10.2.11

Saya Bangga Jadi Anak FIB!!

Terinspirasi dari berbalas tweets yang saya lakukan dengan teman saya @merieskalaisha di twitter, tiba-tiba terpikir untuk menulis notes ini. Kebetulan topik yang kita bicarakan adalah tentang masalah umum yang terjadi di Indonesia ini, di mana anak-anak yang belajar di jurusan bahasa, jurusan sastra, seni, dan budaya itu cenderung diremehkan. Sebaliknya, anak-anak yang masuk jurusan IPA, IPS, sains dan ilmu-ilmu sosial lebih dianggap terpandang. Anak-anak jurusan sastra dan budaya dianggap tidak punya masa depan, kerap dipertanyakan ke depannya mau jadi apa, dan lain sebagainya. Berlawanan dengan itu jika kita berhasil masuk jurusan sains dan ilmu-ilmu sosial, kita dianggap hebat, pintar, keren karena bisa lolos dari sekian banyak saingan, dll.
Saya, kebetulan adalah siswi jurusan bahasa di SMA dulu, dan sekarang (lagi-lagi) menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI mengambil jurusan Sastra Jerman. Karena itu saya kerap kali menemui masalah seperti ini dari orang-orang di lingkungan saya sejak SMA hingga saat ini. Lalu reaksi saya?? Saya tidak pernah menyesal masuk jurusan bahasa dan belajar di FIB. Saya bangga sekali sebangga-bangganya bisa menjadi anak Bahasa dan mahasiswi FIB. Mengapa demikian? Karena saya punya berbagai pandangan pribadi tentang pilihan yang saya ambil ini.
Tanpa bermaksud mengesampingkan atau merendahkan anak-anak jurusan lain berikut ini saya beberkan beberapa pandangan dan alasan pribadi yang membuat saya bangga menjadi anak jurusan bahasa dan mahasiswi FIB.
1. Saya memang suka jurusan dan bidang ini. Minat saya memang di sini. Mengapa saya harus ikut kata orang, yang dianggap orang bagus atau hebat tetapi akhirnya mengorbankan kebahagiaan saya karena harus tersiksa belajar 3 tahun SMA dan 4 tahun kuliah di jurusan yang tidak saya sukai?
2. Kata siapa anak FIB gak punya masa depan? Coba pikirkan, saat ini jurusan-jurusan yang populer adalah Kedokteran, Teknik dan Akuntansi. Itu teramat sangat banyak peminatnya. Sementara lihat jurusan-jurusan di FIB yang tidak banyak peminatnya. Bayangkan apa yang akan terjadi 10 tahun lagi! Jumlah dokter, akuntan dan teknisi akan sangat melimpah ruah. Hal ini mengakibatkan persaingan dalam lapangan pekerjaan dan mungkin saja berujung pada banyaknya pengangguran. Sementara itu profesi-profesi seperti penerjemah, editor media, jurnalis, reporter, kritikus sastra, seniman, dll akan sedikit jumlahnya dan dicari-cari orang. Karena sedikit, persaingan menjadi tidak terlalu ketat dan karena profesi tersebut langka, sekali ada yang memang benar-benar pro di bidang tersebut akan digaji besar sekali :D Kalau soal orang2 yang pengangguran itu terus mengambil jatah profesi kita, itu lain lagi (dan saya sama sekali tidak suka dengan hal ini -.-")
3. Masih takut dengan masalah "mau jadi apa"?? Hey, teman-teman FIB, bahasa itu dipakai di setiap aspek kehidupan manusia lho! Bayangkan saja, setiap ilmu dan bidang studi membutuhkan buku untuk bahan belajar. Jika manusia tidak kenal bahasa maka tidak akan ada buku. Manusia tidak dapat berkomunikasi. Karena bahasa dipakai di setiap aspek kehidupan, maka lulusan FIB pun bisa bekerja di perusahaan-perusahaan perdagangan, teknik bahkan rumah sakit. Kita bisa jadi penerjemah, sekretaris, dll. di institusi-institusi tersebut.
4. Alasan keempat ini dikemukakan oleh seorang guru Fisika di SMA saya ketika saya baru masuk jurusan Bahasa. Katanya kelompok ilmu di dunia ini digambarkan seperti piramida. Kelompok ilmu yang paling atas adalah dunia Teologi dan Filsafat dengan rohaniwan dan filsuf. Jumlah mereka adalah yang paling sedikit di dunia. Merekalah yang berusaha merumuskan ajaran-ajaran Tuhan atau berbagai pemikiran lainnya yang dapat dihayati oleh manusia dan digunakan untuk mengembangkan dunia. Di tingkat kedua-lah posisi Ilmu Budaya dengan seniman, sastrawan, sejarawan, dll. Mereka adalah orang-orang yang berusaha merumuskan hasil pemikiran para filsuf dan rohaniwan menjadi suatu ide. Merekalah yang mengungkapkan berbagai pandangan akan apa yg harus dilakukan agar dunia menjadi lebih baik. Di tingkat ketiga adalah ilmu-ilmu sosial. Di dalamnya adalah orang-orang yang menjadi "pelaksana" akan ide-ide yang disampaikan oleh orang-orang di tingkat kedua. Mereka yang mengatur strategi dan perencanaan bagaimana agar dunia ini menjadi lebih baik. Kemudian di tingkat terbawah adalah kelompok yang paling besar jumlahnya, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan alam, teknologi dan sains lainnya. Mereka adalah kelompok para pekerja yang menjalankan rencana pelaksanaan dari kelompok ketiga untuk mewujudkannya dalam bentuk nyata. Tampak bahwa kita semua sudah punya fungsi masing-masing.
5. Masih berhubungan dengan nomor tiga, saya jadi mempunyai pandangan bahwa Tuhan memang sudah merencanakan bahwa kelompok pembelajar sains dan ilmu sosial akan lebih banyak daripada ilmu budaya. Mengapa? Karena jika kelompok pekerja sedikit maka masalah tidak akan selesai karena kekurangan tenaga. Sebaliknya jika kelompok pemikir dan seniman terlalu banyak akan menimbulkan perang ide dan terlalu banyak ide yang membuat masalah juga sulit diselesaikan. Jadi jika ada yang mengatakan bahwa masuk jurusan sains atau ilmu sosial lebih membanggakan karena jumlah saingan dan peminatnya banyak itu SALAH BESAR!
6. Mungkin ini merupakan faktor eksternal (bukan dari dalam diri saya). Anak-anak FIB sudah mengetahui betul bahwa hanya di FIB inilah kita bisa menemukan rangkaian acara tanpa akhir di UI. Nyaris tidak ada jeda antara acara yang satu dan yang lain, bahkan kadang-kadang tanggalnya saling bertumpukan. Menurut saya, dengan fakta ini, FIB adalah tempat paling pas di UI untuk merasakan yang namanya Pesta, Buku dan Cinta :)
7. Faktor eksternal lagi. Cuma di FIB kita bisa gaya sesuka kita. Bisa mengekspresikan diri sesuka hati. Rambut gondrong, kribo, bahkan dicat warna-warni pun sah-sah saja. Mau pakai celana pendek, sandal jepit, kaos kutung, selama dosen mengizinkan pun tidak apa-apa. Komentar miring soal gaya-gaya aneh yang ada pun sangat jarang terdengar.
8. Ini juga faktor eksternal. Jurusan FIB sepertinya menjadi yang paling banyak didatangi warga asing karena keberadaan LBI dan BIPA :)
9. Hanya di FIB ada cara belajar serius tapi santai. Bisa merasakannya teman-teman?? Saya ambil contoh dari mata kuliah yang saya pelajari saja. Pengantar Kebudayaan Jerman, itu mata kuliah yang menjadi momok sebagian besar mahasiswa Sastra Jerman karena yang tidak lulus bisa sampai setengah kelas. Tapi suasana di kelas saat belajar ternyata banyak tertawanya tuh :)
Nah, ada yang punya alasan lain yang membuat kalian bangga menjadi anak FIB?? Boleh di share di commment :D

5 komentar:

  1. "Cuma di FIB kita bisa gaya sesuka kita. Bisa mengekspresikan diri sesuka hati. Rambut gondrong, kribo, bahkan dicat warna-warni pun sah-sah saja. Mau pakai celana pendek, sandal jepit, kaos kutung, selama dosen mengizinkan pun tidak apa-apa. Komentar miring soal gaya-gaya aneh yang ada pun sangat jarang terdengar."

    kalau di JIP sudah diusir dosen kalau pakai celana pendek :D

    blognya bagus sekali. saya dapat link ini dari komentar di anakui.com
    rajin ngeblog ya!

    BalasHapus
  2. Hehee.. masa iya? di jurusan saya (Jerman) juga nggak boleh sih, tapi di luar kelas, normal2 aja kan?

    Makasih yaa...:)

    BalasHapus
  3. Aku sekolah di smk jurusan seni rupa aja dicibir mulu sama orang -_- pertanyaan selalu aja sama
    orang: sekolah dimana? jurusan apa?
    aku: seni rupa
    orang: oh. emang nanti jadi apa?
    aku: ya jadi orang lah, masa berubah jadi hewan *saking keselnya*
    oke, ceritaku gak nyambung -___- tapi kita bahasa itu juga termasuk seni kan? hehe *tos
    nice blog kak!

    BalasHapus
  4. Keren ceritanya kebetulan saya anak sastra Indonesia

    BalasHapus