12.4.12

Sebelum Pertemuan Itu


Siang hari, kira-kira pukul 14.30 di sebuah sekolah ternama di pusat kota.

         Aku berlari melintasi koridor-koridor yang bernuansa hijau. Sekali lagi kelasku terlambat bubar. Dengan cepat aku menuruni anak tangga dan mencapai lantai satu. Kemudian aku berlari lagi melewati halaman dalam dan akhirnya berhasil mencapai halaman parkir. Sinar mentari yang menyengat lagi silau langsung menyambutku. Tanpa sempat melepaskan jaket yang membalut tubuhku, aku berjalan menyelip-nyelip di antara mobil-mobil yang terparkir ---- mencari mobil putih yang jujur saja kurang baik kondisinya. Mobil jemputanku! Ah, ternyata masih ada. Mesinnya sudah menyala, tanda siap berangkat. Aku nyaris ditinggal lagi. 
           Seperti biasa kubuka kotak bekal makan siangku. Aku selalu membawa dua bekal ke sekolah, untuk sarapan dan untuk makan siang. Kali ini bekalku adalah nasi yang sudah dingin dengan nugget goreng yang membosankan. Aku makan diiringi suara obrolan dan tawa teman-teman sejemputanku yang sejak tadi memang sudah terlibat pembicaraan seru. Aku diam saja, tak banyak menyahut, karena jujur saja aku memang tipe introvert yang jarang mengobrol. Kunikmati bekalku sampai habis sembari memandang ke luar.
        Setengah perjalanan telah berlalu dan teman-temanku sudah tertidur. Aneh. Mobil jemputan begitu panas tetapi mereka bisa tidur. Sementara aku dari tadi mengalami kesulitan. Mungkin karena aku memang tidak biasa membiarkan pemandangan di luar berlalu begitu saja sekalipun pemandangan itu buruk. Ya, dalam perjalanan pulang dari sekolah memang ada dua jalur yang biasa dilalui jemputanku. Aku menyebutnya jalur pemandangan buruk dan jalur pemandangan bagus. Kesempatan melalui jalur yang mana ditentukan oleh siapa saja yang ada dalam jemputan itu. Jika ada temanku yang tinggal di daerah yang melalui pemandangan buruk maka kami akan lewat sana. 
          Sebagai informasi, jalur pemandangan bagus melewati daerah selatan ibukota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit, perkantoran, dan bangunan favoritku --- kedutaan negara-negara asing dengan bendera asing yang berkibar. Sementara itu jalur pemandangan buruk dipenuhi kemacetan, polusi dan udara panas. Ia melewati daerah timur ibukota yang dipenuhi rumah-rumah yang kurang bagus keadaannya di kiri-kanan jalan. Membosankan sekali. Aku sungguh tidak pernah menyukai jalur ini, sama sekali tidak. Ada bagian dari jalur ini yang berupa jalan sempit dan di sebelah kanannya adalah sungai yang airnya selalu penuh seolah tak pernah meluap. Di jalan ini nyaris selalu macet dan udaranya sangat panas. Satu lagi, banyak sekali "bebek liar", maksudku sepeda motor yang ugal-ugalan. Seperti bebek yang baru dilepas dari kandang dan melihat mereka sungguh menyebalkan. Membuat kemacetan semakin parah saja!
            Lagi-lagi hari itu dengan terpaksa aku harus mengikuti kenyataan --- melalui jalur pemandangan buruk. Aku ingin sekali tidur supaya tidak melihat pemandangan tidak enak itu dan tiba-tiba sudah sampai di rumah. Sayang sekali aku terlalu segar untuk tidur, bahkan ketika mobil terjebak macet di jalur tepi sungai itu. Dan di tengah macet itu aku melihat banyak "bebek liar" di sekeliling mobil. Salah satunya dikendarai oleh dua orang anak SMA, keduanya laki-laki. Dari seragamnya yang mainstream --- kemeja putih dan celana abu-abu panjang --- tampaknya bukan sekolah swasta. Dua siswa itu bercanda saja sekalipun sedang terjebak di kemacetan. Mereka sempat memandang ke arahku juga, tanpa maksud tentunya, lalu melanjutkan pembicaraan serunya. Aku pun tidak begitu memperhatikan keduanya, sekedar melihat saja, seperti aku melihat orang-orang lain pada umumnya. Lalu mobil bergerak hingga aku tidak memperhatikan mereka lagi. 

Petang hari, kira-kira pukul 18.00 di teras rumahku.

             "Besok aku mau nonton," kata adikku sembari membelai-belai anjing kami yang sedang setengah tertidur. "Nonton? Apa? dengan siapa?" tanyaku. Aku berdiri agak jauh darinya karena aku takut dengan anjing kami. Aneh memang, tapi aku pernah digigit sehingga ada trauma yang tersisa.
            "New Moon, nonton bareng teman-teman dong! Fifi, Leah, Chicha, dan yang lainnya," jawabnya dengan berseri-seri. Maklum, adikku yang masih duduk di kelas 3 SMP ini sedang freak dengan si vampir Cullen dan saudara-saudaranya.
            "Oh, " balasku. "Aku boleh ikut?" tanyaku.
            "Mmmm.. gimana ya....," pikirnya dengan wajah keberatan.
            "Baiklah kalau kau tak mau, aku akan ajak Mutti," kataku kemudian beranjak ke dalam rumah.

            Aku mengetuk pintu kamar Mutti --- panggilan sayangku untuk Ibu, dari bahasa Jerman tentunya. Mutti membukanya sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
            "Habis keramas ya, Mutti?" tanyaku.
            "Iya nih, panas banget udaranya," jawab Mutti. "Bagaimana sekolahnya?
            "Baik hehehehe... oiya, sekalian mau ngasih tau, tadi aku dikasih tau wali kelas, katanya guru sejarahku mau ketemu Mutti," jelasku.
            "Guru sejarah? Ada apa?" tanya Mutti penasaran karena berita dariku tidak biasa.
            "Nggak tau tuh, mungkin soal yang kemarin, yang katanya aku bakal diseleksi sama guru-guru untuk pertukaran pelajar ke Thailand," kataku lagi. Belum sempat Mutti membalas perkataanku, kulanjutkan obrolan untuk mengutarakan maksud awal.
            "Mau nonton New Moon nggak, Mutti?" tanyaku.
            "Itu film apa? Kapan?" tanya Mutti balik.
            "Itu lho, sambungannya Twilight yang dulu kita nonton bareng. Minggu aja di tempat biasa," jawabku. "Mutti nganggur kan hari itu?"
            "Hmm.. boleh-boleh aja," jawab Mutti, dan aku sangat senang mendengarnya hingga aku keluar lagi untuk memamerkannya pada adikku.
            Jadi begini rencana kami. Aku, adikku dan Mutti akan pergi menuju bioskop bersama-sama lalu kita akan menitip tiket pada teman-teman adikku yang sudah terlebih dulu ada di sana. Selanjutnya kita akan duduk di tempat terpisah dan menonton film di jam yang sama. Maka setelah itu adikku dapat pulang bersamaku dan Mutti tanpa harus diantar oleh teman-temannya.

Minggu siang, pukul 11.00 di bioskop langganan kami.

            “Fifi, Chicha, Leah!!” seru adikku menghambur ke arah teman-temannya. Ia langsung memisahkan diri dariku dan Mutti setibanya di bioskop. Tak lama kemudian ia kembali lagi untuk memberikan tiket titipan kami lalu berbalik lagi bersama teman-temannya. Mereka langsung terlibat percakapan seru.
            “Mbak, tolong belikan pop corn dan minum,” pinta Mutti padaku.
            “Oh baiklah, pakai uangku atau Mutti?” tanyaku.
            “Kamulah, Mutti kan sudah bayar tiketnya tadi,” jawab Mutti, kemudian aku segera melangkah ke counter makanan.
            Agak sulit mencapainya karena rupanya bioskop sangat ramai. Maklum, hari ini New Moon tayang premier. Semua anak remaja ingin menyaksikannya, termasuk salah satu pasangan yang kulihat sedang mengantre tiket di barisan panjang yang tampak tak bergerak itu.
            Pasangan itu, sepertinya sebaya denganku. Masih remaja seperti aku. Sang gadis berambut ombak mengembang seperti rambutku dan dibiarkan tergerai begitu saja. Sang pemuda mengenakan kaos yang didobel kemeja kotak-kotaknya. Mereka tampak mesra, sang pemuda seperti sangat mencintai gadisnya, dan gadisnya berkarakter sedikit manja. Setidaknya itu yang kutangkap. Mereka tampak sedang membicarakan film yang akan mereka tonton --- New Moon --- seperti yang ingin kutonton bersama ibuku, bukan kekasihku. Sedikit terbersit dalam hati, seandainya aku dapat menonton film semacam ini dengan kekasihku, tapi apa daya, sekolahku saja homogen.
            Aku melewati mereka menuju counter makanan. Mereka sadar akan kehadiranku, tetapi tidak peduli. Sang pemuda memang sempat melihatku, tapi kemudian ia melanjutkan obrolannya dengan sang gadis. Tidak ada apa-apa terjadi dan memang tidak. Aku melihat mereka seperti orang-orang lain pada umumnya, bukan seseorang yang penting. Demikian juga mereka tak peduli dengan siapa aku selain sebagai orang yang sama-sama ingin menonton di bioskop tersebut.

Siang hari pukul 13.30 di koridor depan kelasku.

            Ponselku berbunyi tidak lama setelah aku menyalakannya. Mutti calling, tertulis demikian di layar. Aku mengangkatnya dan mendengar suara Mutti yang bernada cerah.
            “Halo, Mbak, sudah selesai sekolahnya?” tanya Mutti.
            “Sudah, kok, barusan aja,” jawabku.
            “Kamu nggak usah naik jemputan ya, Mutti tunggu di bawah sama teman kerja Mutti nih,” kata Mutti padaku.
            “Lho, Mutti jemput? Kok tumben,” aku malah bernada bingung.
            “Ya sudah cepat turun, ini Mutti di parkiran, nanti Mutti ceritakan,” katanya kemudian menutup telepon.

            Aku menghambur keluar dan kembali menerjang terik matahari. Kulihat Mutti berdiri di depan pos satpam dan langsung mengajakku menuju mobil rekan kerjanya. Aku mengambil duduk di bagian belakang sementara Mutti duduk di depan.
            “Ada apa sih ini, kok kayaknya seru?” tanyaku tak sabar.
            “Ya, tadi Mutti sudah ketemu gurumu. Katanya kamu terpilih untuk pertukaran pelajar ke Thailand. Terus dia tanya, kamu punya paspor apa enggak. Mutti jawab kamu belum punya. Terus sama dia disuruh segera bikin, jadi sekarang Mutti minta tolong dianter sama temen Mutti ini ke kantor imigrasi buat langsung bikin paspor kamu, “ jelas Mutti.
            “Serius itu aku dapat? Masa sih??” aku masih tak percaya kabar yang dikatakan Mutti.
            “Ya, betul. Katanya tadi ada tiga orang yang dinominasi, tapi setelah diseleksi sama guru-guru, mereka mau kamu yang pergi,” jelas Mutti lagi.
            “Itu gratis? Beneran gratis?” tanyaku dengan nada bahagia.
            “Ya, gratis semua, tinggal bayar airport tax seratus ribu aja. Tapi uang jajan nggak dikasih karena kamu nanti homestay. Nanti sampai rumah langsung berdoa, bersyukur sama Tuhan,” nasehat Mutti.
            “Iya, Mutti” jawabku.

Siang hari pukul 14.00 dalam perjalanan menuju kantor imigrasi.

            Aku tidak pernah tahu di mana letak kantor imigrasi. Kata Mutti cukup jauh, letaknya di daerah timur ibukota. Tetapi aku tidak pernah membayangkan bahwa jalan menuju ke sana akan melewati jalan pemandangan buruk itu. Walau demikian rupanya ada yang sedikit berbeda karena jalan yang kulalui berbeda dengan jalan pulangku setiap hari. Rupanya dekat stasiun tua di timur ibukota yang ada di seberang pasar, ada jalan bercabang yang tak pernah kusadari. Biasanya mobil jemputanku akan mengambil jalan ke kanan, yang akan berujung pada jalan tepi sungai yang menyebalkan itu. Kali ini mobil tetap lurus dan tiba di jalan raya yang gersang dan sepi pepohonan.
            Kantor imigrasi terletak di samping penjara dan daerah di sekitar situ sangat panas udaranya. Mobil diparkir dan kami semua turun. Mutti memilih jalan belakang, artinya aku akan mendapatkan paspor lebih cepat daripada orang yang melalui jalan depan. Benar saja, tak lama setelah aku masuk langsung ada seorang bapak yang berbicara dengan Mutti dan tiba-tiba saja aku sudah disuruh masuk ke suatu ruangan yang di dalamnya terdapat bilik-bilik yang disekat. Di sana aku harus menunjukkan surat-surat penting, menempelkan sidik jari, difoto, menandatangani ini-itu dan ditanya-tanya akan pergi ke mana dengan alasan apa.
Tidak lama memang tetapi cukup membosankan. Beruntunglah sebelum jam lima semua sudah selesai, tinggal menunggu paspor jadi.

Menjelang sore pukul 16.00 masih di bawah teriknya matahari

            “Ini kenapa muter-muter deh dari tadi?” tanyaku pada Mutti.
            “Nggak tau, Mutti lupa jalannya ke mana. Mutti nggak kenal daerah ini,” jawab Mutti.
            “Tanya aja deh ke orang, daripada tersesat terus nggak pulang-pulang,” aku memberi usul.
            Rekan kerja Mutti segera menepikan mobilnya di depan sebuah sekolah. Aku tak lagi ingat angka yang tertera di belakang tulisan “SMA Negeri”, yang jelas sekolah itu ramai oleh siswa-siswi yang berlalu-lalang keluar-masuk. Sepertinya mereka sedang menyelenggarakan suatu acara. Teman Mutti itu membuka jendela mobil dan bertanya pada sekelompok siswa di situ. Aku melihat mereka juga, melihat mereka dengan sangat biasa.
            “Maaf, kalau mau ke arah Bekasi lewat mana ya?” tanya teman Mutti.
            “Oh, bapak lurus aja ikutin jalan ini juga bisa....,” dan aku tidak lagi mendengar terusannya, aku sibuk memperhatikan beberapa siswa yang berdiri di depan pagarnya. Mereka membawa alat-alat musik, seperti sekelompok band yang ingin tampil. Mungkin sedang ada acara di dalam, maka dari itu kelihatan sangat ramai. Aku menatap lagi salah satu dari mereka yang berambut ombak dan tidak membawa apapun. Ia juga sempat melihatku sesaat tanpa maksud, sebelum ditarik oleh seorang gadis yang juga berambut ombak panjang. Gadis itu mengatakan sesuatu, semacam ajakan untuk masuk karena acara akan mulai.

* * *
            Ingatanku merangkai sesuatu. Bayanganku mencari sesuatu. Pemuda yang kulihat di motor di jalan tepi sungai itu, yang kutemui di bioskop ketika hendak membeli pop corn, dan yang berdiri di depan sekolah.... mungkinkah....
            “Mungkinkah kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkinkah kita...,” aku menatap wajahnya yang diterpa sinar mentari sore hari menjelang senja. Ia tersenyum seakan tahu aku belum selesai.
            “Mungkinkah kita pernah ada di tempat yang sama, tanpa sadar bahwa sosok di seberang sana akan menanti di masa depan? Mungkinkah kita pernah saling bertatap walau tanpa maksud? Aku tak mengenalmu sebelumnya..., tapi sebelum pertemuan dua belas tahun lalu di tepi danau ini...,” kubelai wajahnya yang tersenyum menatap balik padaku.
            “Di manakah dirimu ketika aku sedang menunggu perjalanan ke luar negeri pertamaku? Apa yang kau lakukan ketika aku sedang mengenakan gaun gothic lolita di malam perpisahanku? Sedang apa dirimu ketika aku menangis setelah gagal mendapatkan beasiswa ke tanah impianku? Aku ingin tahu dirimu... sungguh ingin tahu.. setiap detail cerita dari masa lalumu.. sebelum pertemuan itu..,” kuselesaikan kalimat-kalimatku. Hening yang cukup lama mengikutinya. Akhirnya ia menarikku lebih dekat dan selagi mendekapku ia berkata, “mengapa kau ingin tahu itu, Sayang? Masa laluku tak penting. Sebelum pertemuan itu tak perlu kau cari-cari. Yang terpenting itu, kita jadi masa depan satu sama lain.”