23.3.13

Tawaran Kedua sang Raja Mimpi

"Selamat malam, Sayangku, Annetta," 
Sapaannya yang lembut membuatku terkejut. Aku tersentak bangun tetapi kenyataannya aku masih berada di alam tak nyata. Aku tidak menyangka ia akan datang lagi. Sekitar tiga tahun lalu ia datang padaku, dalam tidur, tetapi ketika aku terbangun, aku merasa aku belum tidur sama sekali. Hari itu jadi melelahkan untukku.
"Masihkah kau ingat aku? Aku di sini untuk menawarkan kembali sebuah tawaran yang mungkin kau akan pertimbangkan lagi," katanya.
"Hal apa yang akan kau tawarkan padaku kali ini, Raja Mimpi?" aku memberanikan diri bertanya.
"Belum berubah dari yang dulu, Annetta," katanya lagi.
Ingatanku langsung melayang pada tawarannya dulu. Pada pertemuanku dengan Raja Mimpi yang pertama kali. Malam itu aku hendak tidur ketika tiba-tiba saja ia muncul di jendelaku dan mengajakku pergi. Ia perlihatkan padaku istananya yang megah lagi indah. Dalam istana berwarna putih bermenara tinggi itu tinggal  bangsawan, ksatria, para putri, permaisuri, peri, penyihir, dewa-dewi dan segala makhluk ajaib lainnya yang kisah-kisahnya selalu kusukai. Sang Raja Mimpi dan aku berbagi kesukaan yang sama. Legenda-legenda magis dari tanah tempatnya berasal, yang kebetulan kutemukan dalam buku-buku yang kubaca. Favorit sang Raja Mimpi adalah sosok ksatria angsa yang tampan. Favoritku adalah seorang putri dari bangsa bidadari asal tanah utara. Lalu sang Raja Mimpi juga menunjukkan padaku setangkai bunga. Biru keunguan warnanya. Konon katanya, bunga itu simbol cinta abadi dan banyak tumbuh di tanah asalnya. Bunga itu indah sekali. Aku tak dapat melupakan warna birunya yang begitu cantik.

Tak hanya itu yang kubagi dengan sang Raja Mimpi. Raja Mimpi punya kisah kelam dalam hidupnya. Ia merindu cinta sejati yang dapat menemani dan mengerti hidupnya. Ia benci perang, yang kenyataannya ada dalam kesehariannya sebagai pemimpin bangsa. Ia ingin memenuhi tuntutan rakyat sebagai tokoh panutan yang taat agama, negara dan bangsa. Namun hatinya memberontak. Hatinya menolak karena tersiksa, tak bisa menjalani hidup sebagaimana yang ia inginkan. Kehidupan damai tempatnya bisa melakukan kehendaknya, khususnya mengekspresikan cinta pada seni tinggi yang dikaguminya. Aku pun punya kisah kelam dalam hidupku. Aku mendamba persahabatan sejati tanpa pengkhianatan. Aku menginginkan kejujuran dalam setiap hubungan. Aku benci dunia dan segala kehancuran orang-orangnya. Aku pun merasa banyak orang telah begitu mengekspektasikan diriku menjadi yang terbaik di mana pun dan kapan pun.  Bagaimana bisa aku hidup dalam kondisi demikian? Aku pun punya batas bukan? Ada kalanya aku ingin jadi manusia biasa yang tidak selalu diharap jadi yang terbaik, melainkan bisa memberi yang terbaik sebisaku dan bahagia karenanya.

Sang Raja Mimpi telah membangun pelariannya. Istana putih yang megah berisikan makhluk-makhluk legenda itulah pelariannya dari kenyataan pahit di hidupnya. Seolah mengerti apa yang kualami, ia lintasi ratusan tahun ke depan hanya demi bertemu denganku. Ia tahu aku adalah teman sependeritaannya. Ia hendak mengajakku berbagi kebahagiaan di istananya. Ia tawarkan dunia pelarian itu padaku.
"Terima kasih telah mengajakku jalan-jalan, Raja Mimpi. Sungguh malam yang menakjubkan untuk berbagi kebahagiaan bersamamu. Namun sayang sekali, aku belum bisa menerima tawaranmu. Sepertinya aku masih ingin mencoba menaruh harapan pada kenyataan, " kutolak tawarannya dengan halus.
"Kau yakin, Annetta? Sebab telah kualami kenyataan itu, dan di dalamnya tak ada satu pun yang indah. Kau hanya akan menderita di sana. Maka larilah ke alam mimpi bersamaku," ajaknya.
Aku menggeleng pelan dan sedih. "Tidak, Raja Mimpi. Terima kasih untuk tawarannya. Meskipun demikian, perjalanan ini tak akan sia-sia. Lihatlah apa yang kulakukan," kuambil secarik kertas dan menulisinya dalam gelap. Aku tidak ingin membangunkan ibu dan adikku yang berbagi kamar denganku. Kutulis dalam gelap beberapa detil perjalananku dengan sang Raja Mimpi.

Hari-hari selanjutnya kucoba tuangkan poin-poin di kertas itu dalam serangkaian peta kata-kata yang membentuk untaian cerita. Pada intinya cerita itu berkisah akan perjalananku dengan sang Raja Mimpi melintasi istana putih megahnya. Namun kemudian cerita itu terhenti. Aku bertemu Holger. Holger, sosok pria idamanku yang telah mencuri hari-hariku. Holger memperkenalkan diriku pada kenyataan yang indah. Kisah cinta yang manis terus kurangkai hari demi hari bersama Holger. Pada mulanya kisah kami terasa indah, namun lama kelamaan tidak. Holger dan aku begitu berbeda. Aku, seorang gadis pemimpi yang terobsesi pada hal-hal yang tidak nyata. Aku, seorang gadis kekanak-kanakan yang masih menumpukan hidupnya dan melarikan diri pada mimpi setiap kali ada masalah di kenyataan. Holger, seorang pemuda yang berpikiran sederhana dan cenderung cuek dan santai menghadapi masalah di kenyataan. Holger, seorang pemuda yang senang bergaul dan punya banyak teman. Holger sangat menyayangiku, aku pun juga demikian. Holger tidak pernah menyakitiku dan selalu berusaha membuatku bahagia. Hal itulah yang membuatku tidak ingin menyakitinya juga.
"Jadi bagaimana keputusanmu, Annetta?" sang Raja Mimpi menunggu jawabanku.
"Sebelumnya aku ingin bertanya dulu. Apakah Holger boleh ikut serta?" tanyaku memohon pada sang Raja Mimpi.
 "Sayang sekali, Annetta," ia menggeleng. "Holger-mu tak boleh ikut bersamamu. Dunia ini kubangun untuk pelarian pribadiku, dan aku hanya ingin membaginya dengan teman sependeritaanku."
Aku terdiam dan bingung. Saat ini, Holger sedang sibuk dengan sepak bola yang ditekuninya. Sementara aku yang merasa tengah sendiri seperti tenggelam lagi dalam obsesiku pada hal-hal yang tidak nyata namun indah. Meskipun demikian, aku tidak pernah melupakan Holger. Hanya saja aku sedikit takut tidak sanggup hidup bersamanya dalam keadaan masih menjadi tukang mimpi seperti ini. Atau mungkin ada hal lain.
"Baiklah, waktuku tak banyak, Annetta. Sebaiknya kau putuskan pilihanmu. Tetap bersama Holger atau ikut aku ke istanaku?" tanya sang Raja Mimpi.
"Jadi maksudmu, aku tak akan bisa pulang kembali dan menemui Holger?" aku mulai khawatir.
"Tentu tidak, Annetta. Di alam sana, hanya ada aku, kau dan dongeng-dongeng yang kita sukai. Dan kau tak bisa kembali," jelasnya. 
"Dengar Annetta, tidakkah kau renungkan lebih lagi bahwa Holger bukanlah sosok yang tepat untukmu? Lihatlah dirinya, bagaimana bisa orang sepertinya menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupan seperti yang kau mau?" bahkan aku tidak tahu lagi apakah pertanyaan itu berasal dari sang Raja Mimpi, atau hatiku sendiri yang mulai menyadari ketidakberesan di antara aku dan Holger.
Akhirnya aku membuat pilihan. Pilihan yang penting dalam hidupku, mungkin. Pilihan yang terdengar bodoh, menurut orang lain.
"Kalau begitu, bawalah aku bersamamu, Raja Mimpi. Izinkan aku tinggal bersamamu di istana dongeng itu. Bawalah jiwaku lari bersamamu, karena aku sudah lelah dengan pahitnya kenyataan," kuulurkan tanganku ke arah sang raja yang segera menyambutnya.
Cintaku pada sang Raja Mimpi lebih besar daripada apapun. Walau sesungguhnya kami terpisah rentang waktu ratusan tahun, mimpi telah mengizinkan kami bersatu. Bagaimana bisa aku menolaknya? Kutinggalkan Holger bersama kenyataan dunia yang pahit, untuk menjadi permaisuri sang Raja Mimpi di istana putihnya yang penuh dongeng dan legenda. Tawaran kedua dari sang Raja, tak kusia-siakan menjadi sekedar cerita saja. Bersamanya aku menghilang dalam kegelapan malam yang menyelimuti kamarku, dan tak pernah kembali lagi.


by LV~Eisblume
24.03.13
for the second visit to my dream
 
 

 
 
 
 

20.3.13

Kepada Sang Raja Mimpi

Kepada sang raja, penjaga pintu mimpi
Aku ingin kau bawa tubuhku lari
Aku ingin kau culik jiwaku pergi
Aku ingin sunyi dalam imajinasi
Karena realita telah buat aku mati
Sepi, dan sendiri

Untuk ksatria, penguasa alam dongeng
Aku bukan gadis yang cengeng
Hanya aku rindu tanganmu yang menggandeng
masuk dan menari bersamaku,
dalam denting lonceng

Kepada sang raja mimpi
Jikalau impian tak mungkin lagi
terjadi di sini
Ke istanamu ingin aku melarikan diri
Bersediakah kau jadikanku permaisuri?
Tapi bila kau tak ingini,
Biar kupinjam saja nyawamu jadi inspirasi


20.03.13
by LV~Eisblume
surrounded by the atmosphere of Romanticism



6.3.13

Supersekip

Ya, pada hari ini gue akan menceritakan pengalaman yang baru saja gue alami. Sebuah pengalaman yang tentang gue yang supersekip sampai terpaksa menelan kerugian jutaan dolar (eh lebay ding, gak sampai segitu juga hahaha...). Pertama-tama akan gue jelaskan dulu istilah "supersekip". Supersekip berasal dari 2 kata bahasa Inggris, yaitu super, yang berarti sangat, dan skip yang sebenarnya berarti terlewat atau melewati. Kata skip di lidah banyak orang saat ini diserap menjadi sekip yang kira-kira artinya tidak teliti, tidak memperhatikan sehingga melewatkan sesuatu yang penting atau melakukan kesalahan. Nah.., karena yang gue alami ini supersekip jadi hal itu adalah sesuatu yang parah!

Jadi begini sodara-sodara, perlu diketahui sebelumnya bahwa gue baru saja memenangkan hadiah bulanan sebuah lomba posting mimpi (serius ini, posting mimpi!) dari EF yang roman-romannya sih gadget. Karena kebetulan gue memang sedang butuh HP baru yang bisa internetan untuk kelas TJI, jadi gue pun bersemangat menanti dengan penasaran si hadiah ini. Kemarin malam gue baru menerima sebuah e-mail dari institusi penyelenggara lomba tentang mekanisme pembelian hadiah. Di situ tertulis bahwa hadiah bisa diambil di EF cabang Tebet pada hari Rabu. Wow, gue langsung melotot ketika membaca jamnya, Pk 11.00! Astaga itu kan gue lagi kelas. Hmm.. perlu dicatat lagi bahwa gue sebenarnya anticabut. Bukan karena sok rajin, tapi karena gue malas susulan tugas atau ketinggalan materi yang bikin bingung di pertemuan selanjutnya. Alhasil gue memutar otak bagaimana caranya gue bisa ambil hadiah hari ini tapi tetap kuliah semaksimal mungkin. Setelah diskusi dengan nyokap yang akhirnya mengizinkan gue cabut satu matkul, gue pun menyusun rencana. Pagi-pagi gue akan masuk sesi 1 dari jam 8-10, izin kelas sesi 2 yang jam 10-12 dan balik ke kampus lagi buat kelas sesi 3 yang jam 1-3. Gue putuskan untuk kirim sms minta izin ke dosen native sesi 1 pagi-pagi sebelum berangkat. Di tengah jalan gue berpikir ulang, karena sejujurnya gue lebih gak rela melepas kelas bahasa Jerman bersama native speaker, karena belajar dengan native speaker selalu lebih seru. Akhirnya gue putuskan untuk izin di jam terakhir aja, biar gue juga nggak bolak-balik ke kampus. Lagipula gue paling cuma rugi 1 jam karena biasanya kelas yang sesi 3 cepat bubarnya.

Sembari menunggu kereta yang hari ini gak tau kenapa juga lambreta lambada banget, gue telepon contact person penyelenggara lomba (ibu W) yang waktu itu menghubungi gue. Gue bermaksud laporan kalau gue baru bisa ambil hadiahnya jam 2 siang. Eh, sialnya Ibu W belum datang dan kata mbak resepsionis (atau sekretarisnya?), pesan gue bakal disampaikan. Gue tunggu balasan sampai jam 10 (karena katanya Ibu W baru datang jam segitu) gak ada balasan. Tanpa berpikir panjang, setelah sesi 2 berakhir gue langsung buru-buru ngejar kereta buat ambil hadiah. Beruntung gue dapat kereta tidak lama setelah gue beli tiket. Sampai Kalibata, gue ganti taksi. Karena mengantisipasi macet, akhirnya gue minta dia lewat jalan tikus. Dalam setengah jam gue sampai di tempat tujuan.

Di sana gue langsung menemui resepsionis buat konfirmasi pengambilan hadiah. Lalu terjadi percakapan sbb:
Gue: Siang, Mbak, saya yang kemarin menang lomba Gomakehistory, saya mau ambil hadiah hari ini.
        Harusnya jam 11 tadi tapi saya sudah konfirmasi ke Ibu W bakal telat.
Mbak Resepsionis: Siang, oh, hadiah apa ya? Konkretnya bentuk apa?
Gue: Wah, saya nggak tahu juga Mbak, gak dikasih tahu sama Ibu W.
Mbak Resepsionis: Ada bukti pemenangnya nggak?
*gue ngasih fotokopi KTP dan mbak itu bingung*
Mbak Resepsionis: maksudnya pemberitahuan sebagai pemenang.
Gue: Oh, ada di email
Mbak Resepsionis: Ya udah coba dibuka emailnya di sini *nyodorin komputer ke gue*

Gue pun cepat2 browsing email dan membuka email dari Ibu W. Sesuatu yang gue sekip itu sebenarnya terpampang jelas di sana dan gue bahkan belum ngeh sampai waktu itu! Anehnya, Mbak Resepsionis juga gak ngeh, dan dia dengan santainya print screen email itu buat bukti. Habis itu dia masuk ke ruangan kantornya. Gue menunggu dengan gaje sambil ngebayangin hadiah apa yang bakal gue dapat. Lalu Mbak Resepsionis balik lagi dan memanggil gue sambil menyodorkan hasil print email tadi.

Gue: Jadi gimana, Mbak?
Mbak Resepsionis: Iya betul, Mbak memang memenangkan hadiah ini. Tapi *terus dia nunjuk bagian yang gue sekip itu* hadiahnya belum sampai sini. Hadiahnya kan baru bisa diambil TANGGAL 13 MARET 2013, sekarang baru tanggal 6, jadi masih minggu depan, Mbak.
Gue: *diam mematung* *dalam otak langsung mengkalkulasi kerugian yang gue derita: cabut kelas dan bayar taksi*

Akhirnya gue pun mengucapkan terima kasih pada Mbak Resepsionis dan berjalan keluar dengan otak yang terus-terusan bilang: "supersekip banget sih lo!" pada diri sendiri.

4.3.13

Ternyata Mereka Begitu...

Hari ini gue baru saja menyaksikan suatu kejadian yang sangat tidak mengenakkan. Kejadiannya sederhana sih, perselisihan antarteman. Biasa saja 'kan di dunia perkuliahan? Yang jadi tidak biasa adalah karena dari situ gue tersadar akan sesuatu yang ada di belakang "kedamaian" yang selama ini gue lihat setelah ditutupnya tahun 2012 kemarin dengan peristiwa yang sangat amat tidak mengenakkan.

Gue masih ingat betul akhir tahun 2012 yang ditutup dengan semacam forum. Di forum itu setiap orang boleh mengutarakan perasaannya terhadap orang lain di depan seluruh peserta forum (teman-teman seangkatan). Sebetulnya tradisi ini sudah ada sejak zaman gue SMA dan terbilang cukup sukses. Permasalahannya adalah, ketika forum SMA dulu, kelas gue cuma ada 18 orang dan rata-rata mereka punya kelompok pertemanan masing-masing sehingga tidak ada satu pun anak yang diserang secara tunggal (kecuali satu peristiwa yang memang sudah keterlaluan dan sepertinya tidak perlu dibahas lagi di sini karena yang bersangkutan pun akhirnya minta maaf dan berbaikan :)). Nah, di sini forumnya betul-betul kejam. Seseorang bisa diserang secara tunggal di depan satu angkatan sendiri, dibongkar segala kesalahan dan kejelekannya yang belum tentu melibatkan secara langsung semua orang di ruangan itu. Bahkan bisa saja kesalahan yang disebut tentang orang itu adalah kekesalan personal seorang temannya secara pribadi dan bukan untuk konsumsi publik. Akibat forum itu, kita seperti menelanjangi dan ditelanjangi satu sama lain. Kita seperti dibongkar dan dikorek-korek kesalahannya sehingga semua orang seolah menjadi berpikiran yang sama dengan satu orang yang punya masalah tadi. Yah, awalnya gue berpikiran begitu.

Tapi pada akhirnya gue mencoba melihat sisi positif forum itu. Sebelum mulai, pemimpin forum mengatakan bahwa apa yang terjadi di sini berakhir sampai di sini saja, setelah itu kita semua akan memulai awal yang baru. Gue juga mencoba tidak menghakimi dan berprasangka terlebih dahulu pada semua orang. Gue yakin lebih banyak orang di ruangan itu yang cenderung tidak peduli dan pemaaf, terutama orang-orang yang sebenarnya tidak terlibat langsung dan hanya ikut mendengar saja. Di forum itu gue juga dapat pengalaman positif melihat sisi baik dari orang-orang yang sebelumnya sudah dilabeli "buruk". Ya..begitulah..., pada saat itu gue rasa forum cukup berhasil dan tidak buruk.

Sampai ketika gue melihat kejadian pada hari ini. Latar belakang permasalahannya adalah seorang teman yang sebelumnya mendapat cap "buruk" itu (sebut saja Z) lupa membawa tugas yang diserahkan padanya dan harus dibawa hari ini dengan alasan waktu pengerjaan tugas yang tidak buruk. Akibat tugas yang lupa dibawa itu, kami sekelompok tidak bisa memulai mengerjakan keseluruhan tugas lebih awal. Seorang teman lain di kelompok itu (sebut saja P) menanyakan pada Z tentang tugasnya. Pada awalnya Z bersikap santai, namun lama-kelamaan nada jawabannya meninggi dan terkesan marah. Karena gue di situ juga, gue pun melihat sendiri bahwa memang Z sepertinya marah. P pun buru-buru meminta Z untuk bersikap santai dan menekankan bahwa tidak ada yang memarahi dia. Z keluar kelas dengan masih berbicara beberapa hal yang membuat P dan seorang teman lain bernama Y kesal. Setelah didiskusikan, akhirnya kita sepakat untuk mengerjakan tugas yang tadinya menjadi tanggung jawab Z tetapi nanti Z tetap harus membayar ganti rugi materinya. Z setuju dan berlalu pergi.

Masalah selesai? Ya, buat gue, tapi tidak untuk mereka. Mereka masih lanjut saja membicarakan Z. Beberapa teman di luar kelompok kami pun diajak bergabung untuk mendengar cerita tentang Z. Gue ada di situ juga, sehingga mendengar dengan jelas segala hal yang dibeberkan di meja itu (yang sayangnya harus pula didengar orang-orang lain di luar kelompok yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali). Tragisnya, pemimpin forum pun ikut membicarakan. Syukurlah tadi dia sempat bertemu Z dan mengingatkannya. Tapi tentu saja bukan hanya Z yang harusnya diingatkan. Mengapa?

Bukankah tadi penyelesaian telah disepakati dan Z sudah pergi dengan mengiyakan ganti rugi materi? Kenapa kesalahan yang dibuatnya masih diungkit dan dibeberkan pada yang lain yang tidak ada hubungannya? Gue tidak membela Z, karena gue ada di tempat ketika Z tiba-tiba marah. Menurut gue, cara menjawab Z tidak tepat dan bisa memicu kesalahpahaman. Gue maklum jika P dan Y kesal mendengar jawaban Z, tapi ketika kemudian keburukan Z dibeberkan pada orang-orang lain setelah penyelesaian masalah disepakati, apakah hal itu benar? Saat itu juga gue teringat pada forum pada akhir tahun lalu. Jangan-jangan hal yang sama terjadi di belakang setelah forum itu berakhir. Semua kesalahan orang dalam forum itu masih dibicarakan dan disimpan dalam benak semua orang yang hadir di sana? Ah, sepertinya permasalahan di antara kita bukanlah keberadaan mereka yang dicap "buruk" ini, melainkan mereka yang kurang mampu untuk menahan diri tidak menceritakan beberapa hal yang tidak seharusnya jadi konsumsi semua orang. Kesalahan orang lain tidak untuk disebarkan kepada orang yang tidak ada hubungannya. Ya, seharusnya begitu. Kalau tidak, forum pun tidak akan berguna, karena justru akan membuat perpecahan dan beberapa orang semakin dikucilkan dan dicap "buruk".