10.8.13

Deutschland, 6.Schritt: Endlich finde ich meine Welt :')

Sebetulnya ini langkah yang entah keberapa, tapi aku sudah tak sabar menceritakannya pada kalian. Dalam tulisan ini tertuang perasaan emosional yang sulit dijelaskan, maka aku memilih kata-kata yang lebih indah dari biasanya untuk menceritakannya pada kalian.

Sore itu hujan lebat. Udara dingin bertiup dalam angin dari barat laut, membuat aku berulang kali berpikir bahwa aku telah salah berpakaian (meskipun aku mengenakan cardigan ungu sebagai pelapis dan celana panjang berwarna merah muda). Tetap saja aku salah berpakaian, karena sepatu yang kukenakan terlalu cantik untuk menjalani cuaca buruk.

Di bawah atap museum Residenz yang berlukiskan fresko-fresko gaya Barock, aku dan kedua temanku, Domi dan Nataly berlindung dari hujan. Kami tak ingin melewatkan sedikit pun waktu kosong selama di Munich, hingga kami nekat menerjang hujan untuk melihat museum Residenz yang dulunya istana kediaman wangsa Wittelsbach. Tentang keindahan Residenz akan kuceritakan lain kali, karena bukan itulah hal yang terpenting pada hari itu.

Hari itu aku telah membuat janji untuk bertemu seorang teman. Ia tinggal di Munich dan sudah menikah. Kalian tahu di mana kami bertemu? Interpals! Tepat sekali. Situs pertemanan internasional itu tentu pernah kuceritakan pada kalian semua. Memang menyenangkan mencari teman di sana, terlebih kalau kalian menemukan seseorang yang sungguh-sungguh teman. Percaya atau tidak, aku dan temanku ini belum lama saling mengenal di Interpals. Ketika itu aku tengah mencari seseorang yang tinggal di Munich dan mampu membantuku dalam berbagai hal selama di Munich nanti. Lalu aku menemukan sebuah akun yang namanya terdengar indah di telingaku sebagai pecinta Mittelalter dan mitologi Norse. Nama itu kira-kira berarti "pejuang dunia tengah". Dunia tengah adalah istilah dalam mitologi Norse maupun karya-karya Tolkien untuk menyebut planet bumi tempat manusia tinggal. Sepintas melihat deskripsi sang pejuang tampaknya ia bukan orang yang akan senang berteman denganku. Bukan karena aku terpengaruh pandangan bahwa semua orang yang menyukai mitologi Norse adalah pendukung gerakan ekstrem sayap kanan, bukan. Tapi karena kadang-kadang aku merasa bahwa aku sama sekali tidak menunjukkan kesukaanku terhadap subkultur Mittelalter dari penampilanku. Intinya aku tidak punya bukti apapun selain isi otak dan musik-musik yang kudengar.

Singkat cerita, aku memberanikan diri mengirim sebuah pesan. Awalnya hanya mengomentari selera musiknya yang kurang lebih mirip denganku. Lalu lama sekali aku tak menerima balasan. Sampai akhirnya pesanku dibalas! Ia menanyakan beberapa hal dasar dan menceritakan sedikit tentang dirinya, yang ternyata seorang fotografer. Ia menanyakan apakah aku menyukai karya-karyanya. Oh ya, tentu saja, karya-karyanya bagus sekali. Kalian bisa melihatnya di sini: http://gelner-photography.de/index.php/en/ . Aku paling menyukai tema alam. Percakapan kami berlangsung singkat-singkat, karena entah mengapa ia jarang sekali berkunjung ke Interpals. Sampai akhirnya ia menanyakan apakah aku punya Facebook dan menyarankan agar kami berteman di sana juga karena rupanya ia lebih sering berada di Facebook.

Lewat Facebook, kami lebih banyak mengenal. Ia banyak bertanya tentang persiapanku ke Munich sekaligus menanyakan ke mana saja aku akan pergi. Aku pun bercerita bahwa aku sangat ingin melihat festival Mittelalter, yang sayangnya sedang tidak ada di Munich (belakangan aku tahu bahwa ternyata hal itu disebabkan karena di bulan Agustus sebagian besar penduduk Munich berlibur). Di saat yang hampir bersamaan, aku menemukan sebuah festival yang berlangsung di Fürth im Wald, dua jam dengan kereta dari Munich. Cave Gladium namanya. Aku menceritakan festival itu pada temanku ini. Balasannya cukup membuatku terkejut dan bahagia, ia menawarkan diri untuk menemaniku ke festival itu! Aku sangat senang, karena pada awalnya Mutti agak keberatan jika aku pergi sendirian. Selain tentang festival ini, kami juga banyak bertukar cerita tentang kehidupan yang lebih privat. Di sinilah aku mengetahui bahwa ia sudah menikah dengan seorang wanita dari Eropa Timur yang ternyata sangat cantik. Istrinya itu pun ingin bertemu denganku ketika aku tiba di Munich nanti.

Sebelum berangkat menuju festival Mittelalter, kami sepakat untuk bertemu langsung terlebih dahulu. Tanggal  9 Agustus kami sepakati bersama. Pada awalnya, kami akan bertemu di Hirschgarten, yang bagiku sedikit terlalu jauh, tetapi kemudian ia memberikan kebebasan padaku untuk menentukan tempatnya. Kukatakan bahwa aku akan pergi ke Residenz seusai kelas. Ia menawarkan Odeonsplatz sebagai tempat bertemu dan aku menyetujuinya. Kutambahkan sedikit petunjuk: carilah seorang gadis mungil dalam atasan ungu dan celana merah muda.

Dan demikianlah aku berpakaian. Sore itu aku berpisah dari Domi dan Nataly di Residenz. Sebuah pesan singkat menghampiri ponselku, menanyakan keberadaanku. Kukatakan bahwa aku masih di Residenz karena hujan, dan akan berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah Odeonsplatz dan menunggu mereka di sana, karena keduanya masih di Marienplatz, satu stasiun dari Odeonsplatz. Dengan ragu aku mengambil tempat duduk di lantai dua stasiun, berharap-harap cemas apakah akan mudah untuk menemukan kedua temanku ini, terlebih lagi karena ini pertemuan pertamaku di dunia nyata dengan seorang teman yang kukenal di dunia maya. Tepat ketika aku merasa tidak yakin akan ditemukan di tempat itu dan memutuskan untuk berjalan turun ke peron stasiun, mereka muncul di balik tangga dan memanggilku. Dengan bahagia aku berlari menghampiri mereka dan membuat sedikit kebingungan dengan menjabat tangan mereka (orang Jerman tidak berjabat tangan ketika berkenalan). Pertemuan pertama di dunia nyata dengan teman yang kukenal di dunia maya :")

Beberapa kalimat basa-basi kami lontarkan, hingga pada pertanyaan terpenting hari itu, karena itulah yang memutuskan segalanya: "Buch oder Mittelalter?" tanyanya. Dengan cepat, jawaban Mittelalter meluncur dari bibirku dengan penuh rasa bahagia dan semangat. Kami pun langsung menuju peron untuk naik kereta ke stasiun Sendlinger Tor, tempat satu-satunya toko Mittelalter di Munich yang temanku tahu. Dua stasiun kemudian, tibalah kami bertiga di Sendlinger Tor. Kami buka payung karena hujan masih terus turun. Kami harus segera mencapai tempat itu untuk berteduh menunggu hujan yang semakin deras.

Sebuah toko kecil dengan simbol ksatria berupa tiga fleur-de-lys menyambut kami di salah satu sudut jalan. Di balik kacanya tampak seorang ksatria berbaju besi berdiri tegap memandang ke arah jalanan. Mengikuti kedua temanku, aku segera melangkah masuk. Sungguh tidak ada kata yang mampu melukiskan betapa bahagia dan kagumnya aku pada toko kecil itu. Di dalamnya kutemukan berbagai jenis benda yang sebelumnya hanya dapat kulihat lewat foto atau rekaman video di internet. Berbagai macam perlengkapan yang biasanya hanya ada di festival Mittelalter menyambut kedua mataku dan memuaskan pandangannya. Pakaian, perabotan, aksesoris, buku, persenjataan, seragam, bendera, dan segala hal lainnya. Temanku membiarkanku melihat-lihat selagi ia berbincang-bincang dengan wanita tua pemilik toko. Wanita ramah itu kemudian juga mempersilakan aku untuk mengambil apapun yang kuinginkan dan mencobanya. Lama sekali aku menjelajah toko kecil itu, karena begitu sulit menentukan pilihan dari sekian banyak benda khas Mittelalter yang tidak ada di Indonesia. Akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah tas khas Mittelalter (karena aku butuh tas untuk festival nanti), sebuah kalung Mjolnir Thor dan sebuah kalung dengan pahatan Rune Turisas. Sungguh, aku tidak menyangka akan pernah memiliki benda-benda yang selama ini hanya sukses membuatku melihatnya di monitor laptop dengan penuh keinginan.

Aku masih sibuk mengamat-amati ketika tiba-tiba wanita tua pemilik toko beralih padaku dengan wajah heran tetapi ramah:

"Kamu belum pernah mencoba Met?" tanyanya heran.
"Belum," aku menggeleng.
"Kamu belum pernah?? Ahh.., kalau begitu kamu harus mencobanya sekarang,"
Lalu diambilnya sebotol Met buatan rumahan dan empat buah gelas kecil untuk kami bertiga dan dirinya sendiri. Dituangkannya minuman beralkohol tertua di Eropa itu dalam porsi kecil ke dalam gelasku. Warna merah tua segera memenuhi gelas beningku. Kutatap ketiga orang di depanku itu dalam wajah bahagia.
"Prost!!" seru kami berempat dan mulai meneguk sedikit demi sedikit.
Rasa manis dan hangat segera memenuhi lidah, tenggorokan dan akhirnya berdiam dalam tubuh mungilku yang kedinginan oleh hujan. Rasa manis dan hangatnya sungguh membuatku meledak dalam kebahagiaan. Kami larut dalam percakapan yang menyenangkan diiringi musik-musik Mittelalter yang cukup sering mewarnai hari-hariku. Dari sekian banyak lagu yang kudengar di berbagai tempat umum di Munich, hanya rangkaian lagu ini yang familiar bagiku. Rasanya campur aduk, seperti ada satu sisi dalam diriku yang mengingatkan akan kehangatan rumah, rumah yang tak pernah kulihat sebelumnya, sementara sisi lainnya menerbangkan diriku ke sebuah alam fantasi yang selama ini hanya kutemui dalam dongeng dan legenda.

Kuceritakan bahwa di negaraku tidak ada hal yang seperti ini, sehingga aku sedih karena tak mampu memenuhi kesenanganku. Aku juga meminta izin pada wanita pemilik toko itu untuk mengambil beberapa foto. Betapa bahagianya aku ketika ia mengizinkanku mengambil foto toko kecilnya itu. Aku juga mendengar banyak cerita. Wanita tua itu rupanya bukan orang Jerman. Ia berasal dari Slovakia. Memang gayanya sedikit banyak mengingatkanku pada sosok wanita bijak di era Mittelalter, tetapi juga seperti seorang gipsi. Sementara itu, kedua temanku menceritakan tentang diri mereka. Kudengar bahwa istrinya yang cantik itu berasal dari Ukraina dan lulusan Germanistik. Ah, mendengar bagian itu membuatku sedikit iri. Wanita ini telah berhasil meraih impian yang sama seperti yang kuimpikan. Bagaimana tidak? Kuliah Germanistik, menikahi pria asal Jerman yang sama-sama menyukai Mittelalter dan bekerja di bidang seni. Bahkan selama di toko, beberapa kali kudengar mereka tertawa kecil membicarakan bahwa beberapa perabot rumah tangga di toko itu cocok untuk rumah baru mereka. Ah, menyenangkan sekali hidupnya. Kapan ya aku bisa mendapatkan impianku yang itu? :') Rasanya hujan telah membuatku sedikit lebih melankolis hari itu.

Sungguh hari yang menyenangkan, terlepas dari cuaca buruk yang bertahan sejak pagi. Aku benar-benar bahagia. Aku semakin merasa telah menemukan duniaku, dunia yang sangat ingin aku diami, yang jauh dari keramaian dan kegaduhan di tanah airku. Betapa bahagianya berada di tengah orang-orang dengan minat yang sama, berbagi keceriaan bersama dan melakukan perjalanan lintas waktu bersama. Aku harap ini bukan yang terakhir. Aku masih ingin menikmati Met yang manis dan hangat itu, sama seperti perasaan yang muncul dalam diriku hari itu. Akhirnya aku menemukan duniaku. Terima kasih untuk kedua teman baruku, Dennis dan Olga :)


viele liebe Grüße aus München,
LV~Eisblume


Dan ini oleh-oleh dari München, foto-foto dari toko Mittelalter :)








 
 

Deutschland, 5.Schritt: akhirnya nyasar juga!

Judul sengaja dibuat bahasa Indonesia supaya lebih lucu. Konon kata orang, dengan kita tersesat kita bisa menemukan diri kita. Ah, apa iya? Hal itu diiyakan oleh Lyrae yang sempat hilang di Frankfurt gara-gara kamus Langenscheidt. Setelah berhasil menemukan jalannya kembali, ia mendapat pelajaran berharga: ternyata ia mampu mandiri. Padahal sebelumnya baca peta aja nggak becus. Sebuah novel bertema perjalanan pun pernah mengatakan, bahwa dengan tersesat, kita akan menemukan diri kita. Gue sebetulnya nggak begitu mengerti sama kutipan itu, tapi mari dengan cerita ini dulu.

Begitu tiba di bandara München dan tukar uang, gue langsung menuju bus yang akan mengantar gue ke tempat daftar ulang. Bayangan gue tentang tempat daftar ulang: di dalam ruangan, udah ada meja-meja rapi berjajar dan staf penyelenggara kursus duduk rapi bersama setumpuk kertas dan dokumen para peserta. Gue datang, lalu ngurus administrasi yang kurang, termasuk beli tiket U-Bahn untuk sebulan, MensaCard buat makan di kantin dan kunci Wohnung yang baru bisa dipakai jam 2 sehingga kemudian gue di antar ke ruangan lain untuk menitipkan bawaan gue dan dipersilakan menjelajah kota München dan cari makan dengan kartu-kartu yang baru saja gue beli. Kenyataan yang gue dapat: ruangan masih dikunci dan belum ada apa-apanya, staf penyelenggara kursus pada duduk-duduk di rumput sambil ngebir, ngerokok atau ngobrol, gue disuruh taruh barang bawaan di situ dan dikasih nomor biar gak hilang terus disuruh pergi ke mana aja terserah tanpa tiket apapun dan balik ke situ lagi buat daftar ulang jam 2. Apa-apaan ini?? Ini Jerman?? Betul sodara-sodara -.-a

Nah, karena sudah terbiasa dengan ketidaksiapan dan jam karet bangsa Indonesia, akhirnya gue merasa hal tersebut biasa aja. Salah satu yang membedakan adalah karena di situ gue bisa meletakkan koper gue sesuka hati tanpa takut ada pencurian. Padahal di dalamnya ada sejumlah uang dan laptop :) Nah, nggak berapa lama kemudian gue ketemu temen gue, sesama orang Indonesia (biasa, ngumpulnya sama satu negara dulu buat survival haha...). Bukan cuma karena itu sih, masalahnya yang lain orang China semua dan mereka pada ngomong bahasa Mandarin dan gue nggak ngerti. Alhasil gue jalan sama temen gue orang Indonesia ini, namanya Haifa. Tujuan pertama kita adalah beli makan dan minum.

Setelah bertanya pada staf di situ tentang letak supermarket, kita pun berangkat. Katanya supermarket cuma 10 menit jalan kaki, tentu saja 10 menit yang dimaksud adalah 10 menit orang Jerman. Intinya kalau kecepatan jalannya nggak secepat teman kampus gue yang bernama Olly, tentu saja waktu 10 menit bakal ngaret haha... Sembari bernorak ria di jalanan Jerman (maklum, baru pertama kali ketemu udara kota sebersih itu), gue dan Haifa jalan ke supermarket yang katanya bernama Aldi Süd. Gue tahu supermarket ini dari seorang dosen yang pernah mengajar di kelas gue. Supermarketnya sih standar, seperti supermarket pada umumnya. Nah, perjalanannya itu yang mengesankan.

Baru tiba di Jerman pagi itu, gue sudah dihadapkan pada fakta bahwa ia tidak sebersih yang gue kira (walaupun masih JAUH lebih bersih dibanding Jakarta atau Depok sihh), karena gue menemukan ini:


Puntung rokok dibuang di jalan begitu saja!!! Aaaaa.. mimpi buruk banget ini !! Beruntung trotoarnya luas jadi sedikit terhibur. Sembari melanjutkan perjalanan gue berusaha menghibur diri bahwa memang nggak ada tempat di dunia ini yang benar-benar bagus dan benar-benar menyenangkan karena semua itu hanya ada di alam mimpi. Ini salah satu hal yang gue angkat di novel yang sedang dalam proses penulisan :) 

Lanjut. Setelah berdiskusi sebentar tentang arah dan tujuan kita, dengan berbekal melihat peta di samping U-Bahn, gue dan Haifa memutuskan untuk melihat Englischer Garten. Yah, penasaran aja, selain nggak terlalu jauh (bisa ditempuh dengan jalan kaki), kita sama-sama penasaran, seperti apakah taman di München? Untuk mencapai Englischer Garten dari stasiun U-Bahn tempat kita berhenti tadi (namanya Alte Heide), kita harus jalan sekitar 10 menit menyusuri kompleks pemakaman dan perumahan. Sempat mampir juga ke kompleks makamnya, yang ternyata bagus banget. Persis seperti yang ada di film-film horor Eropa kalau ada mayat bangkit dari kubur. Bagian tanahnya nggak jauh beda dengan yang ada di pemakaman Indonesia seperti di Pondok Kelapa, jadi hijau dan banyak bunga gitu. Yang membedakan, di sini nisannya gede-gede banget. Bentuk salib atau setengah elips, tapi bener-bener gede. Bagus dan rapi sekali. Di sana banyak orang tua berjalan-jalan dengan anjingnya, entah mau menjenguk keluarga yang dimakamkan atau mau merenungi hidup hehehe...

Sampai di Englischer Garten, suasana langsung berubah. Teduh dan sejuk banget deh pokoknya. Di sana sini tumbuh pepohonan yang daunnya cantik-cantik bentuknya, seperti maple. Langsung aja gue foto, berhubung nggak ada di Indonesia. Kebayang deh itu cantiknya kalau musim gugur :') Gue sempat berniat mencari pohon Linde, tapi karena terlalu banyak pohonnya jadi gue membatalkan niat gue itu. Kita berdua jalan menyusuri sungai kecil dan menyeberangi jembatan. Bersih banget sungainya. Rasanya seperti memasuki taman Eden atau dunia tempat tinggal peri dan elf. Oke, gue banyak berkhayal... hehehe... 


Nah..., ini gambar sungainya. Cantik ya.. bahkan dasarnya kelihatan lho :))

Awalnya kita berniat jalan jauh dan muter-muter, tetapi berhubung matahari agak terik dan pakaian kita kurang nyaman akhirnya gue dan Haifa memutuskan untuk memilih satu jalan dari empat cabang yang ada. Taman ini luas banget loh, lebih luas daripada Central Park di New York dan Hyde Park di London. Konon sih memang yang terluas di dunia :) Oiya, di bangku tempat kita duduk ada hal yang unik. Di situ ada semacam papan logam bertuliskan sebuah kutipan yang bagus:


Kira-kira artinya: "sekarang saya belum mengenal dengan sempurna, tetapi saya akan semakin mengenal, sebagaimana saya akan semakin dikenali." Nah, coba ingat-ingat lagi, apa sih yang ada di bangku taman di Indonesia ini? Misalnya di Kebun Raya Bogor deh. Hmm.. kalau enggak peringatan seperti jangan menginjak rumput, jangan buang sampah sembarangan ya jangan dicorat-coret, atau malah coretan coretan nama pasangan alay -.-a DUH!!

Cukup lama kita duduk di bangku ini, sambil ngobrol tentang rencana ke depan mau mengunjungi apa aja. Lumayan lama sampai angka jam di hp menunjukkan pukul 12.30 dan kita sadar bahwa kita belum makan! Akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Obrolan di perjalanan pulang beralih pada FC Bayern München dan die Mannschaft. Haifa bercerita kalau Philipp Lahm, pemain favoritnya, tinggal di wilayah elit di München karena dia saat ini termasuk pemain dengan gaji tertinggi di Bundesliga. Sambil memandangi rumah-rumah di kompleks elit di dekat taman itu, kita berkhayal kalau jangan-jangan salah satu rumah ini punya Philipp Lahm, atau paling enggak pemain Bundesliga deh. Hahaha.. ngayal abisss.. Tapi ya gitu, kita terus berjalan dan berjalan, sampai gue sadar kok jalanan ini ujungnya jauh banget dan gue nggak kenal satu benda pun yang gue lewati. Semakin lama rumahnya semakin elit dan besar, sementara waktu berangkat tadi kebanyakan yang kita lihat adalah Altbauwohnung. Gue pun sadar kalau kita salah mengambil jalan. Kita nyasar di hari pertama di München!! -.-a Beruntung kita belum jauh dari jalan yang benar. Akhirnya kita memutar balik ke Englischer Garten kemudian ke jalan yang awalnya kita lewati tadi hehehe...

Lalu apakah gue menemukan diri gue? Sebetulnya bukan pada saat nyasar itu gue mulai menemukannya, tetapi ketika merenung di bangku di Englischer Garten. Gue sadar bahwa kesempatan langka yang gue dapat ini betul-betul anugerah Tuhan. Gue nggak pernah menyangka sebelumnya kalau kesempatan akan datang secepat ini, berbeda dari rencana awal yang mungkin baru bisa terwujud setelah gue lulus dari S1. Di Englischer Garten, gue juga melihat bahwa hidup adalah sesuatu yang harus dinikmati. Ketika di taman itu gue bertemu dengan banyak manula yang masih sehat tengah berjalan-jalan dengan anjingnya. Gue heran aja, mereka udah hidup mandiri dari anak-anaknya, masih pada sehat pula. Sepertinya bahagia gitu deh. Terus gue ingat kalau di Jerman itu bahkan toko-toko tutupnya cepat (jam 8 malam) dan hari Minggu pasti tutup. Gue jadi sadar bahwa para pekerja di toko dan segala macam stafnya itu sebetulnya sama seperti orang dengan pekerjaan lain. Mereka juga butuh libur dan istirahat. Berbeda dengan di Indonesia yang orang bisa kerja 24 jam nonstop, misalnya untuk toko-toko yang buka sepanjang hari. Kapan istirahatnya kalau begitu? Lalu percuma kalau dapat uang cuma bisa dipakai untuk pengobatan sakit karena kerja terlalu lama -.-a

Satu lagi, tradisi untuk meliburkan diri di hari Minggu sebetulnya berasal dari ajaran gereja di Eropa dulu kalau hari Minggu hari Tuhan yang harus dikuduskan. Meskipun pada saat ini banyak orang di Jerman yang sudah nggak ke gereja, intinya dengan libur sehari itu mereka menghargai diri sendiri dengan memberikannya waktu istirahat. Di sini gue dapat dua rahasia kebahagiaan: pertama, jangan melupakan Tuhan, paling enggak kasih satu hari atau satu waktu khusus buat Dia, dan kedua, menghargai diri sendiri dan jangan terlalu memaksakan diri meskipun apa yang kita lakukan bertujuan baik semisal cari uang atau ngejar nilai :)


liebe Grüße aus München,
LV~Eisblume



7.8.13

Deutschland, 4.Schritt: Eine Lange Reise

Maaf ya pemirsa eh.. pembaca, gue telat posting di sini. Maklum, terlalu bahagia melihat München hahahaa... Nah di sini gue mau cerita tentang perjalanan panjang gue menuju negeri impian ini. Gue berangkat tanggal 2 Agustus petang, sekitar jam 6. Pas awal-awal rasanya susah banget deh mau pisah sama keluarga. Maklum, gue orangnya bisa dibilang manja dan gue belum pernah perjalanan sejauh itu sendirian. Iya, benar-benar sendirian, bukan cuma sekedar tanpa keluarga tapi ada temannya. Tadinya gue mau masuk buat check in jam 3an, tapi berhubung gue takut nanti makin susah berpisah alhasil gue pamitan aja langsung. Makin cepat makin bagus, pikir gue. Dan benar saja, begitu gue masuk lewatin pintu dan pamitan sama Mutti dan Lyrae tiba-tiba langkah terasa ringan. Isi otak gue bahagia banget membayangkan pertama kalinya gue sendirian dan bisa ngapain aja! Yahh.. ada satu hal yang nyebelin sih.. koper gue berat dan bawaan gue banyak banget :(
Tantangan pertama gue adalah menemukan loket check in, yang ternyata setelah tanya orang langsung bisa ditemukan hehehe.. Lewat imigrasi lancar dan lancar terus sampai ruang tunggu mau ke pesawat. Nah, di ruang tunggu itu tuh banyak pemandangan. Cowok-cowok berbahasa Jerman yang ganteng-ganteng seliweran di mana-mana. Agak ngarep ada yang ngajak ngobrol sih, tapi sayangnya mereka pada sibuk sendiri. Sama handphone, sama temennya, atau bahkan sama pacarnya. Hiks.. :( Pas naik ke pesawat gue pun berharap bisa duduk sama native speaker Jerman. Lumayanlah buat belajar dan ngobrol-ngobrol dikit. Ternyata gue kurang beruntung. Sebelah gue kakek-kakek orang Indonesia yang kerja di perusahaan gas asal Qatar. Bleh. Tapi ternyata si kakek ini ramah. Dia ngajakin gue bicara dan kita diskusi soal masa depan Indonesia dan multikulturalisme. Seru juga sih. Dia bilang Indonesia itu bakal kacau di masa depan, katanya karena rakyat udah nggak percaya pemerintah lagi. Gue iya-iya aja, berhubung emang kelihatan begitu. Terus bagian yang paling seru adalah ketika dia cerita bahwa dia dari Aceh, tapi udah nggak solat karena menurut dia zaman sekarang udah ga ada agama yang benar. Dia juga bilang kalau anaknya nikah beda agama di gereja. Wedeww.. seru banget yak kalau dapat mertua kaya begitu cueknya sama keyakinan menantunya :)

Balik lagi ke perjalanan panjang. Gue nggak suka sama sekali perjalanan itu. Kenapa? Pertama, jadwal makan yang kacau. Orang lagi enak-enak tidur tiba-tiba lampu nyala dan pramugari dorong-dorong troli buat bagi-bagi makanan, padahal 2 jam sebelumnya baru aja dikasih makan. Kedua, lama banget, alhasil kaki pegel parah, bahkan sampai gak tau mau ditaruh di mana itu kaki. Mana gue sempat mengalami susah tidur pula karena pegel. Untungnya gue menemukan album Valtari-nya Sigur Ros di daftar lagu-lagu yang ada di pesawat. Gue pun berhasil tidur nyenyak dalam buaian senandung Islandia sebelum dibangunkan pramugari yang berisik -.-a

Sampailah gue di Doha dan mendapati bahwa ternyata transit di sana rebek banget. Tengah malam kita disuruh turun di tengah landasan yang membelah gurun lalu dipindahkan dalam bus-bus menuju terminal transit yang lumayan jauh. Mana gue bawa ransel segede gaban. Udah ngantuk parah super berat pula. Belum jalanannya muter-muter pas mau ke security check. Dan di bandara inilah terjadi sesuatu yang menyebalkan. Di tiket gue tertera waktu boarding pesawat ke München pk 1.20. Ketika gate dibuka, gue langung tancap gas mendekati gate supaya bisa cepat selesai urusannya dan naik ke pesawat. Tapi bukan München tujuan yang tertera di layar, melainkan Kigali dan Entebbe (yang belakangan gue baru tau kalau letaknya di Uganda). Pantesan yang masuk kok orang Afrika semua. Alhasil di depan pintu gue dan banyak orang Jerman lain kebingungan dan menggerutu. Setelah protes sana protes sini, akhirnya dibukalah gate untuk tujuan München, empat puluh lima menit setelahnya tentunya -___-a

Berhubung gue udah superngantuk, pas sampai di pesawat gue langsung tidur aja. Sempat ngobrol sedikit banget sama tetangga kiri kanan, yang kiri orang Afrika (nggak tau negaranya) yang mau mengunjungi temannya di München, yang kanan bapak-bapak Jerman muka ala Völkerwanderung dan berbadan gendut. Mereka mengira gue orang Jepang! hahahaa... dari mananya coba? Habis ngobrol sebentar itu gue langsund tidur, bahkan sampai melewatkan makan sahur (seriusan ini makan sahur, soalnya baru dibagiin jam 3an gitu!). Saking lelapnya tidur gue baru bangun waktu sarapan pagi dibagikan. Heran, sarapan pagi jauh lebih enak dari menu makan siang, malam, sahur, dll itu. Waktu itu langit udah mulai terang dan tetangga duduk gue membuka jendela. Waktu gue lihat peta di layar TV, ternyata kita udah di atas Austria. Terus kelihatan gitu puncak-puncak pegunungan Alpen yang menyembul dari awan. Salah satunya pasti Großglockner :3 Makin nggak sabar pengen turun!!

Sekitar dua puluh menit kemudian pesawat mendarat. Franz Joseph Strauss Flughafen München! Bener ya kata Lyrae, begitu sampai tuh rasanya supersangatamatsenangtidakterlukiskanlagi. Semacam nggak nyangka banget bakal menginjakkan kaki di neger impian. Semakin nggak sabar mau keluar dari bangunan bandara, tapi yah begitulah, mau ke tempat imigrasi aja jauhnya keterlaluan. Satu hal lagi yang aneh, super sepi! Gue sampai mikir jangan-jangan cuma kita doang pesawat yang mendarat. Dan kayanya bener deh, soalnya waktu mau ambil koper, cuma ada bagasi dari pesawat gue doang.

Karena gue harus mengejar bus yang jam setengah sembilan, gue langsung buru-buru ke Munich Airport Center buat tukar duit. Nah di sini nih ujian pertama bahasa Jerman gue, berhubung sama petugas imigrasi nggak ditanyain apapun dan bisa langsung ngeloyor begitu aja setelah dia lihat paspor gue. Padahal orang Timur Tengah yang berdiri di depan gue ditanya-tanyain lama banget hehehe.. mungkin si petugas udah muka gue muka gampang berintegrasi heheheh.. :P Ujian pertama gue adalah bertanya ke bagian informasi tentang letak money changer. Dan.. berhasil!! Gue menemukan money changer dan segera menukar uang sisa yang belum ditukar. Habis itu nyempetin diri ke MAC buat foto-foto. Biasa, buat sumber novel hehehee... Begitu melangkah keluar dari bandara. Oh my God..., udara 15 derajat langsung menyambut dengan kesegaran dan kesejukan luar biasa. Buru-buru gue ambil foto pemandangan di situ, termasuk Biergarten dan Maibaum yang supertinggi (gue belum tahu kalau yang tertinggi ada di Viktualienmarkt). Setelah beberapa foto gue pun berlanjut ke bus yang akan mengantarkan gue dan yang lain ke tempat registrasi ulang. Senangnya sudah sampai di München dengan selamat :))