23.5.14

Melepas Dirinya

Dari balik tiang, Sang Ksatria memandangi sosok mungil dalam balutan gaun biru itu. Putrinya, kekasihnya, seseorang yang telah menjadi pengabdiannya selama bertahun-tahun, tengah berdiri dikelilingi para dayangnya yang sibuk merapikan rambutnya. Diamatinya rambut coklat tua yang kini terikat dalam kuncir kuda, berayun-ayun lembut seiring dengan gerakan tubuh mungil Sang Putri. Sebelumnya ia tak pernah mengikat rambutnya demikian. Sang Putri selalu berkuncir setengah atau membiarkan rambutnya terurai bebas. Dan pada saat itulah sang ksatria akan mengagumi kecantikannya. 
"Tunggu sebentar," ujar Sang Putri pada dayang-dayangnya untuk menghentikan aktivitas mereka. Kemudian ia berjalan mendekati tiang, tempat Sang Ksatria berdiri mengamatinya dalam sunyi.
Sang Ksatria tidak menghindar atau membela diri. Dengan berani ia keluar dari persembunyiannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Sang Putri bertanya. "Masih adakah sesuatu yang ingin kau katakan? Tidakkah kau baca suratku semalam?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihatmu untuk terakhir kalinya," jawab Sang Ksatria.
Sang Putri hanya tersenyum memaklumi. Ia tidak melarang, atau memarahi ksatria malang itu. Ia sadar bahwa keduanya pernah memiliki masa lalu yang indah bersama-sama, yang sayangnya tidak berlanjut lagi.
"Tinggalkan aku berdua dengannya," pinta Sang Putri kepada para dayangnya. 
Dalam beberapa detik, hanya ada mereka berdua dalam ruangan itu, bersama kesunyian panjang di antara mereka.
"Maaf untuk keputusanku," suara lembut Sang Putri memecah kesunyian, berharap ia tidak terlalu menyakiti hati seseorang yang telah berbagi hati dan jiwanya selama bertahun-tahun. 
"Ya, apa lagi hal yang bisa kukatakan, Putri, selain menerima maafmu. Inilah risiko yang harus kutanggung sebagai ksatriamu," jawab Sang Ksatria, berusaha berbesar hati dan rela, namun suaranya yang seperti tertahan tidak mampu menyembunyikan kekecewaan dan kesedihannya.
Mengapa Sang Putri tega berbuat demikian? Bukankah dirinya yang selalu ada dalam hari-hari kesepian Sang Putri? Bukankah ia yang selalu menjadi tempat berbagi dalam suka dan duka? Apakah kesalahan yang sudah ia lakukan hingga Sang Putri mencampakkannya seperti ini?

Pandangannya menerawang ke pemandangan padang rumput yang tampak dari jendela kastil. Ia teringat pada suatu hari yang mereka habiskan di bawah pohon Linde. Salah satu hari ketika pembicaraan mereka tidak berakhir dengan baik.
"Aku akan pergi ke negeri yang jauh. Telah kudaftarkan diriku untuk pergi bersama rombongan ksatria kastil ini," ujar Sang Ksatria pada hari itu.
Sang Putri hanya terdiam lama. Tatapan matanya mengisyaratkan kecemasan dan kekecewaan. Ia menarik nafas berkali-kali, seolah mengumpulkan kekuatan atau menyusun kata-kata dalam benaknya.
"Mengapa tak kau bicarakan denganku? Akankah kau meninggalkan diriku berhari-hari tanpa kabar dan membiarkanku dalam kecemasan akan bahaya yang kau hadapi di negeri-negeri nan jauh itu?" kata Sang Putri dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tapi kesempatan ini tidak datang dua kali. Sudah sejak lama aku menginginkannya," Sang Ksatria bersikukuh meyakinkan kekasihnya.
"Tapi tidak bisakah setidaknya kau bicarakan itu denganku dulu?" Sang Putri tertunduk sedih.
"Percayalah, ini akan jadi sesuatu yang baik. Aku pergi untuk menyiapkan segalanya, sehingga nanti aku pun dapat membawamu melihat negeri-negeri yang jauh itu," kata Sang Ksatria.
Sang Putri tersenyum kecil. Ia sedikit terhibur, meski jauh di dalam hatinya, ia sungguh tidak rela. Bukan karena ia takut ksatrianya akan menemukan putri lain di negeri yang jauh. Bukan karena ia takut ksatrianya tak akan mampu melewati berbagai bahaya dan rintangan di sana. Tapi karena ia merasa sudah terlupakan oleh Sang Ksatria. Ia merasa tengah menjadi sebuah mainan yang hanya diletakkan di sudut ruangan, tak dipedulikan ketika Sang Ksatria mengambil keputusan untuk memiliki sebuah kesenangan baru. Sudahkah kekasihnya lupa, bahwa cinta baginya adalah waktu dan perhatian, bukan ajang pamer kehebatan atau hujan hadiah?

Lalu berangkatlah Sang Ksatria bersama rombongan ksatria kastil itu. Dengan gagah ia menunggang kuda unggulannya yang berderap meninggalkan negeri itu. Pada tombak yang dibawanya terikat kain biru bunga Kornblume, warna simbol Sang Putri. Sang Putri berdiri dekat pintu kastil, melambai-lambaikan sapu tangan dalam warna yang sama. Bibirnya mengucap doa, berharap ksatrianya akan kembali.

Hari berganti hari, namun Sang Putri tak kunjung melihat sosok yang dicintainya kembali berkendara menuju kastilnya. Ia termenung di dekat jendela, memandang bayangan biru dari puncak-puncak gunung di negeri yang jauh. Berulang kali ia tanyakan pada kurirnya, adakah surat dari sang kekasih. Mula-mula surat itu datang, namun kemudian tidak lagi. Sang Ksatria seperti hilang tanpa jejak, meninggalkan Sang Putri dalam kesepiannya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena kemudian Sang Raja mengetuk pintu kamar Sang Putri dan membawa kabar.
"Putriku, mau sampai kapan kau bersedih demikian? Ikutlah bersamaku. Aku akan mengadakan kunjungan ke Kerajaan Utara," ujar Sang Raja.
Sang Putri menoleh mendengar ajakan Sang Raja. Ia tak suka bersosialisasi. Baginya Sang Ksatrialah satu-satunya orang yang mampu menghibur dan menyenangkan dirinya. Tetapi kemudian ia memandang jendela. Ia tahu Sang Ksatria masih mencintainya, tetapi mungkin dengan caranya sendiri dan bukan dengan cara yang diinginkannya. Tak ada salahnya mengikuti ajakan ayah, demikian ia berpikir. Mungkin ia akan mendapat teman. Lagipula sudah lama ia tertarik dengan kehidupan di Kerajaan Utara yang penuh kedamaian dan kemakmuran. Dan di sana tinggal seorang pangeran, sahabat lamanya, yang sudah lama tak berhubungan dengannya.

Maka berangkatlah Sang Raja dan Sang Putri dengan kereta kuda menuju Kerajaan Utara, tempat Sang Pangeran yang terkenal dengan kehebatan ekspansinya tinggal. Mereka dijamu dengan makanan laut khas negeri itu. Meski kedua kerajaan tersebut seringkali bermusuhan, Sang Pangeran tampaknya sangat ramah, khususnya kepada Sang Putri. Sang Putri merasa bahagia, seolah-olah menemukan penghiburan atas kesepiannya.
"Aku terpikir untuk membawamu tinggal di sini," ujar Sang Pangeran suatu hari, ketika ia dan Sang Putri tengah berlayar di salah satu fyord yang menjadi kenampakan alam khas Kerajaan Utara.
"Sungguhkah itu, Pangeran? Engkau tahu kita berbeda bangsa, dan seringkali berada pada pihak yang berlawanan," Sang Putri tampak tak percaya.
"Tidak masalah bagiku. Dengan bangsamu aku sudah terbiasa hidup bersama selama tahun-tahun belakangan ini. Lagipula kau adalah pengecualian bagiku," jelas Sang Pangeran.
Sang Putri tampak bahagia mendengarnya. Sembari menatap keindahan fyord yang ditunjukkan Sang Pangeran, ia banyak menceritakan tentang mimpi-mimpinya. Sang Pangeran berdiri di sampingnya, memainkan rambut panjangnya yang pada saat itu diikat kuncir kuda.
"Sesungguhnya aku sangat senang melakukan perjalanan. Namun aku tanpa daya untuk melakukannya. Aku terkurung dalam kastil dan tak bahagia. Hatiku ingin menyaksikan negeri-negeri yang jauh dengan alam yang indah," ujar Sang Putri.
"Mungkin kita bisa pergi bersama? Mintalah izin ayahmu dan kita akan pergi bersama menyaksikan negeri-negeri yang jauh," kata Sang Pangeran.
"Mungkinkah itu? Aku ingin sekali pergi berlayar dengan kapal panjang seperti milikmu ini," Sang Putri berandai-andai.
"Kita akan mengusahakannya bersama-sama. Membangun kapal panjang untuk berdua dan melihat negeri-negeri yang jauh bersama-sama. Dan kau tak perlu khawatir tentang hidup di sini. Aku tak akan memaksamu bertanggung jawab atas bagian dapur atau berlatih menjahit. Di Kerajaan Utara kau bisa setara denganku," kata Sang Pangeran.
Sang Putri tersenyum senang. Ia seperti menemukan  kebahagiaannya lagi. Sungguh tidak disangka, bahwa ia dan Sang Pangeran memiliki banyak impian yang sama. Sang Raja pun tak berkeberatan. Ia siap mengizinkan Sang Putri untuk menikahi Sang Pangeran dan tinggal di Kerajaan Utara. Dan hari ini adalah hari ketika Sang Putri akan berangkat ke tanah Sang Pangeran dan menyongsong mimpi-mimpinya.
"Begitukah, Putri? Kau lebih memilih Sang Pangeran dibanding diriku? Tak bisakah kau setia selagi aku pergi menjelajah negeri-negeri yang jauh?" tanya Sang Ksatria.
"Aku sudah mencoba. Bukan aku tak setia menunggumu. Aku hanya ingin dilibatkan dan diajak serta. Aku tak ingin kau tinggal di belakang, menunggumu mengejar kesenanganmu, dengan alasan aku akan diajak serta suatu hari nanti. Itu hanya pembenaran darimu. Sejak awal aku tak pernah menyukainya, bahwa kau bertualang seorang diri tanpa membawaku. Aku menginginkan seseorang, yang dengannya aku dapat berbagi dan membangun mimpi bersama-sama. Karena pada akhirnya, seseorang yang mengajakku ikut serta akan menang atas seseorang yang mengejar kesenangan hanya untuk dirinya. Jadi, untuk terakhir kalinya, maafkan aku dan biarkan aku pergi," ujar Sang Putri, jauh dalam hatinya masih ada sedikit rasa bersalah yang terselip akibat ketidakmampuannya menunggu hingga Sang Ksatria pulang.
"Kau seperti tidak mengerti perasaanku," kata Sang Ksatria tertunduk sedih.
"Maafkan aku," sang Putri berkata pendek.
Sang Ksatria mendesah. Ia sadar, sudah saatnya ia melepas Sang Putri pergi. Mungkin memang ia ditakdirkan untuk terus-menerus berkorban bagi Sang Putri. Bersama dengan itu terdengar suara derap langkah kaki kuda dari jendela kastil. Kereta kuda yang akan mengantar Sang Putri telah tiba. Dayang-dayang kembali masuk ke ruangan untuk mengantar Sang Putri menuju kereta kuda itu. Sang Ksatria mengikuti mereka di belakang.
"Selamat tinggal," ujar Sang Ksatria, nyaris dalam bisikan.
"Selamat tinggal. Semoga kau berbahagia meski tanpa diriku,"  balas Sang Putri, yang kemudian melangkah masuk ke dalam kereta kuda dan menutup pintu selamanya dari Sang Ksatria.
by Frouwelinde
24.05.14
for my confession about life