31.8.12

Freyja's Rune (4 - end)

Suasana di luar tenda sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Keramaian masyarakat Abad Pertengahan di lapangan luas itu sudah tidak tampak lagi. Namun dari salah satu sudut pekan raya itu terdengar hentakan musik yang begitu keras. Suara riuh rendah menyertai irama musik yang berdentum. Tampaknya sudah waktunya pertunjukkan dari band-band papan atas dan keramaian yang tadi siang menyebar kini sudah menyemut di depan panggung.

Aku menoleh sebentar ke arah keramaian itu, namun kemudian kuputuskan untuk pulang saja. Tidak menyenangkan menonton konser semacam itu seorang diri. Aku sudah tidak sabar menemui batu-batu Runeku di rumah dan mencoba mempraktekkan cara melakukan ramalan dengan Rune. Sedikit banyak gerakan dan suara sang Runemaster menginspirasiku untuk segera memulai latihanku. Mungkin dengan sering latihan, aku akan dapat mengerti segala misteri yang diucapkan sang Runemaster tadi. 

Letak rumahku tidak begitu jauh dari tempat festival itu berlangsung. Tepatnya hanya sekali naik bus ditambah berjalan kaki selama lima belas menit maka aku sudah tiba di rumah. Dengan cepat kudapatkan bus yang akan membawaku ke halte terdekat dari rumahku. Hari sudah malam ketika aku tiba di sana. Tidak ada seorang pun menunggu di halte, atau berjalan di jalan. Entah mengapa hari itu sangat sepi, bahkan para Nattravn* tidak tampak di mana pun. Mulanya aku berjalan sendiri, namun kemudian aku sadar akan sesuatu. Beberapa langkah kaki mengikutiku! Dengan segera kupercepat jalanku. Walau demikian, suara langkah kaki itu tetap saja terdengar. Semakin dekat. Semakin dekat. 
"Hahaha..., kau tidak akan bisa kabur, manis," seorang dari mereka menyambarku lalu melingkarkan tangannya di leherku.
"Ayo, temani kami saja malam ini," tambah yang lain.
Mereka mencengkeramku begitu kuat. Entah siapa mereka, tetapi dari aksen bicaranya sudah pasti bukan orang lokal. Sekuat tenaga aku berusaha melawan namun sia-sia. Cengkeraman mereka terlalu kuat. Mereka bermaksud menarikku masuk ke mobil mereka, yang dikemudikan oleh salah satu teman mereka yang lain. 
"Lepaskan aku!!" aku menjerit. "Seseorang, tolong!!!"
"Percuma saja, Manis. Tak ada seorang pun di sekitar sini selain kami," kata mereka.
"Tidak! Lepaskan aku, dasar penjahat!!"
Kugigit tangan dia yang mencengkeram leherku. Ia berteriak mengaduh dan melepaskan tangannya hingga cengkeramannya menjadi longgar. Aku segera melepaskan diri dan berlari. Sesuatu terlepas dariku. Kulihat mereka berhasil menarik kalung pemberian Sigurd. Aku terkejut dan kecewa, namun tidak ada waktu untuk merebutnya kembali. Aku terus berlari dan berlari hingga mencapai sebuah bukit. Aku tidak berhenti sampai kakiku mencapai puncaknya. Kulihat ke belakang, sepertinya mereka telah berhenti mengejarku. Aku langsung menyandarkan diri pada salah satu pohon dan mengatur napas.

"Ah, Freyja, tampaknya ketidakberuntungan baru saja menggagalkan masa depanmu yang bahagia," kataku pada diri sendiri.
Kuraba leherku. Benda itu sudah tidak melingkar di sana. Bandulnya sudah tidak tergantung di sana. Petunjuk yang ingin kucari tahu artinya sudah hilang sebelum aku berhasil menguak misterinya.
"Freyja bodoh! Kau bodoh, tahu! Bodoh dan ceroboh sekali! Hanya karena kau tidak mau melangkah keluar dari masa lalu, sekarang benda kesayanganmu yang paling berharga hilang!" suara-suara yang menyalahkan diriku terus berkecamuk di kepalaku dan membuatku menjadi galau. 
"Hahaha.. iya, aku memang bodoh. Aku Freyja si bodoh yang ceroboh yang nggak bisa move on. Lebih bodoh lagi karena kau mengharapkan orang yang sudah mati. Haha.. Sigurd sudah mati. Aku masih mengejarnya sampai buta akan pria lain yang masih hidup. Hahaa... biarkan saja...aku bodoh..., yang penting aku bahagia," aku berbicara sendiri, seolah membantah apa yang dikatakan pikiranku. Tanpa sadar air mata menggenangi pelupuk mataku dan mulai jatuh bulir demi bulir.
Aku enggan pulang. Aku mau di sini saja dan melepaskan segala kekacauan hati dan pikiran ini. Kutelungkupkan kepalaku hingga menyentuh kedua lutut yang kulipat ke depan. Aku diam dan menangis sendiri. Aku senang tempat ini sepi, hanya aku berdua dengan perasaan yang kacau.

* * *
"Maaf, apakah ini milik Anda?"
Seseorang dengan suara yang baru saja kudengar memecah keheningan malam. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi wajahku dan segera mencari arah suara tersebut. Alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di sana. Tubuhnya yang tegap dengan rambut emas yang terurai panjang sedikit melebihi bahu berdiri di sana dalam balutan mantel hitam bertudung persis seperti yang dikenakan sang Runemaster.
"Apakah aku mengenalmu....?" tanyaku, sedikit tak percaya dengan pemandangan di depanku.
Pria tampan itu hanya tersenyum misterius dan mengangguk.
"Si.. Sigurd??" suaraku berbisik lalu hilang ditiup angin. "Tapi kata ibumu di surat itu kau sudah ....."
 "Freyja, batu-batu Rune itu sudah menjelaskan bukan? Ada sesuatu yang jahat yang memicu masalahmu terjadi di masa lalu. Aku masih hidup, Freyja, seperti yang kau lihat. Bahkan ketika kau mendengar kabar itu, aku masih menghirup udara bebas di dunia ini. Ibuku yang telah memisahkan kita. Ibuku tidak ingin aku terlalu dekat denganmu. Ia ingin aku bermain di lingkungan yang lebih kaya dan di masa depan menikahi orang yang kaya," jelas Sigurd.
"Tapi.. tapi.., berita kebakaran itu??" aku semakin bingung.
"Rumah kami memang terletak di blok yang sama dengan kebakaran besar itu, tetapi beruntunglah kami semua selamat. Ibuku memanfaatkan kejadian itu untuk menyebarkan berita bohong tentangku lewat surat, karena ia tahu bahwa aku dan kamu masih berhubungan. Sejak saat itu aku berusaha dengan giat untuk bisa pindah dari rumah ibuku dan mandiri. Aku bertekad mencarimu, Freyja. Aku tidak bisa melupakanmu," kata Sigurd.
"Tapi bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku masih tak percaya.
"Bukan aku yang menemukanmu, kamu yang menemukanku duluan. Itu karena kamu percaya dengan keajaiban. Rune Gebo yang selalu kau kenakan itu telah menjawab permohonanmu. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta. Kamu pernah memikirkan makna-makna itu sebelumnya, tapi kamu tidak yakin dengan hal itu," jawab Sigurd.
"Jadi maksud kedatangan seseorang itu adalah dirimu?" aku teringat akan rune Raidho yang muncul dalam ramalan tadi sore.
"Ya, kau bisa lihat sendiri. Selain kedatangan, Raidho juga simbol untuk reuni, pertemuan kembali,"
Sigurd tersenyum, lalu merentangkan tangannya padaku. Dengan segera aku berlari ke arahnya dan menyambut pelukan hangatnya. Saat itu juga kusadari bahwa ia mengenakan kalung yang sama dengan yang kumiliki. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta.

(Tamat)

*Nattravn : kelompok patroli sipil sukarela di Norwegia yang bertugas mengamankan khususnya para wanita yang terpaksa berjalan sendiri atau berada di luar rumah pada larut malam dari para kriminal atau pelaku pelecehan seksual. Kebanyakan dari para pelaku tersebut adalah para imigran yang datang dari negara-negara konflik.

Freyja's Rune (3)

Sang peramal masih tersenyum penuh misteri. Ia menyentuh Rune ketiga yang terletak di paling kiri. Kemudian ia mendongakkan kepala menatap diriku, sekalipun aku tidak bisa melihat seluruh wajahnya kecuali senyumnya yang tampak sedikit.
"Freyja, Rune ketiga ini menunjukkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Rune ini bernama Raidho yang memiliki arti kedatangan atau perjalanan. Seseorang akan datang di masa depan Anda. Tetapi tidak ada yang dapat mengetahui siapakah orang itu, atau apakah dia akan membawa jawaban bagi pertanyaan Anda," jelas sang Runemaster.
Tanpa sadar senyumku ikut mengembang. Aku memang tidak tahu siapa orang di masa depan itu, tapi aku selalu menyukai pertemuan, apalagi dengan orang baru. Hidupku jarang sekali didatangi orang. Sangat sepi rasanya seorang diri terus menerus.
"Hmm.. baiklah. Bagian ini akan jadi yang paling penting. Rune yang berada paling dekat dengan Anda itu bernama Ansuz dengan posisi terbalik. Ini adalah sebuah peringatan bagi Anda, bahwa ada banyak informasi di sekitar Anda tetapi Anda harus berhati-hati mengartikannya. Cobalah mencari tahu lebih dalam dan tetap percaya pada kata hati Anda," kata sang Runemaster lagi.
Aku sibuk manggut-manggut mengiyakan. Kusimpan dan kuingat hal itu sebagai nasehat untukku. Mulai hari ini aku akan lebih memperhatikan hal-hal di sekelilingku.
"Kita tiba pada dua Rune terakhir. Rune yang agak ke tengah ini Fehu. Ia menunjukkan tantangan yang harus kau hadapi, karena posisinya yang terbalik. Tantangan itu adalah ketidakberuntungan. Sementara Rune terakhir yang terletak paling jauh dari Anda bernama Wunjo. Ia adalah simbol dari kebahagiaan. Rangkaian ini ditafsirkan sebagai kemungkinan terjauh yang bisa terjadi. Berhati-hatilah, Freyja, jangan sampai ketidakberuntungan menggagalkan pencapaian dan pencarian jawaban Anda," sang Runemaster menutup rangkaian penjelasan tentang batu-batu Rune yang terserak di meja.
"Tapi.. tapi.., bagaimana dengan jawaban pertanyaanku? Jadi apa arti hadiahnya?" tanyaku bingung.
"Freyja, perlu Anda ketahui bahwa Rune tidak meramal nasib atau masa depan seseorang. Rune hanya membantu seseorang untuk menemukan jawaban akan pertanyaannya sendiri. Rune menjelaskan di mana posisi seseorang berdiri dalam lingkaran masalah. Selanjutnya terserah orang itu sendiri. Ialah yang menentukan jalannya dengan panduan batu-batu Rune ini," jelas sang Runemaster, yang membuat aku terlihat bodoh dan semakin memperjelas diriku sebagai seorang amatir dengan batu-batu Rune.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku buat, untuk misalnya, menghindari ketidakberuntungan itu?" tanyaku lagi.
"Anda bisa berdoa pada siapapun yang Anda percaya. Tapi jika cinta adalah masalah Anda, maka nama Anda telah menunjukkan solusinya. Mintalah petunjuk pada Dewi Freyja, " saran sang Runemaster.
"Lalu bagaimana dengan arti hadiah itu? Siapa yang bisa menjawabnya?"
"Maaf, sebelumnya jika Anda tidak keberatan, maukah Anda sedikit mendeskripsikan bentuk hadiah itu? Mungkin saya bisa membantu memberi pencerahan," sang Runemaster berkata dengan sopan.
"Tidak perlu deskripsi. Aku sudah membawanya," kataku seraya menunjukkan kalung Rune Gebo-ku yang tidak pernah kulepas sejak pertama aku mendapatkannya.
Sang Runemaster tampak terkejut, hingga sedikit memundurkan tubuhnya. Lalu ia kembali tersenyum.
"Anda tidak perlu menanyakannya lagi. Anda sudah tahu jawabannya. Percayalah pada kata hati Anda," 
Aku terdiam seribu bahasa, berusaha mencerna kalimat-kalimat terakhir sang Runemaster. Dengan cepat aku mengucapkan terima kasih dan permisi sembari melangkah pergi. Runemaster ini sungguh membuatku bingung. Aku tidak mengerti apapun kecuali arti dari setiap Rune itu, yang tentu saja bisa kubaca sendiri di buku. Huh, seandainya saja dia tahu bahwa aku masih sangat amatir dan tidak bisa mengerti dengan mudah semua kata-katanya yang penuh misteri itu.

(bersambung)

29.8.12

Freyja's Rune (2)

Festival Viking dan Abad Pertengahan. Keramaian itu kini tepat berada di depan mataku. Orang-orang dari berbagai golongan berlalu lalang dalam pakaian ksatria Viking atau putri-putri kastil abad pertengahan. Mereka mengenakan aksesoris dan atribut yang sejak lama sangat ingin kumiliki. Aku sendiri hanya mengenakan pakaian sederhana yang kupikir "paling bernuansa abad pertengahan". Aku membawa tas kulit berwarna coklat sederhana dan memakai sandal bergaya kekaisaran Romawi yang diikat silang setinggi lutut. Rambut merahku kubiarkan tergerai alami.

Seiring langkahku semakin jauh ke dalam pasar abad pertengahan itu, aku semakin tidak bisa menghentikan rasa kagumku terhadap festival itu. Aku serasa sungguh-sungguh terlempar ke era Viking dan abad pertengahan. Tenda-tenda, miniatur kastil, orang-orang berlalu lalang dan segala macam acara yang diselenggarakan mengingatkan aku pada gambar-gambar yang terdapat di naskah-naskah kuno. Dari arah panggung selalu terdengar melodi dari berbagai alat musik tradisional yang dimainkan oleh beberapa band secara bergantian. Ah, seandainya aku bersama Sigurd sekarang. Ia pasti senang sekali berada di festival ini. Aku teringat pada salah satu permainan favorit kita ketika kecil dulu. Permainan ksatria Viking yang mengalahkan naga untuk menyelamatkan putri yang dicintainya. Sigurd seolah menjelma menjadi Sigurd sang Pembunuh Naga sungguhan. Sigurd...Sigurd... kuharap sebelum kepergianmu kau telah sedikit mencicipi festival ini.

Hari menjelang sore. Setelah aku berputar-putar seorang diri dalam keramaian festival itu, akhirnya aku menemukan tempat yang kucari. Stand peramal Rune. Aku menjadi yang terakhir mengantri karena rupanya stand itu akan tutup sebentar lagi. Beruntung sekali diriku masih sempat mencoba ramalan itu. Aku sangat tidak sabar melihat sang Runemaster atau Runemistress mempraktekkan kebolehannya. Aku juga penasaran tentang petunjuk Rune itu akan hidupku.

Setelah penantian panjang, akhirnya tibalah giliranku untuk masuk ke sisi dalam tenda yang dikelilingi tirai hitam. Hanya sebuah meja kayu sederhana dan sebatang lilin yang hampir habis menemani sang peramal. Tidak ada satu pun batu Rune yang berserakan di atas meja. Tentu saja, karena nanti akulah yang akan mengambil sendiri dari kantongnya. Demikianlah kalau batu Rune itu dipakai untuk meramal orang lain.
"Selamat malam, Nona. Selamat datang. Boleh saya tahu nama Anda?" tanya sang peramal. Dari suaranya sepertinya ia seorang pria, jadi, Runemaster.
"Freyja," jawabku sembari berusaha mengetahui seperti apa rupa sang Runemaster karena ia mengenakan jubah hitam panjang yang bahkan nyaris menutupi seluruh wajah kecuali mulutnya.
"Apa yang ingin kau ketahui lewat batu-batu Rune ini?" tanyanya.
"Mmm.. aku.. aku.. ingin tahu arti hadiah yang diberikan teman masa kecilku, dan...aku ingin tahu apakah aku akan bisa menemukan cinta lagi setelah kepergian temanku ini," jawabku dengan grogi dan malu.
"Silakan, Anda bisa memulai. Ambil lima batu Rune dari kantong ini," katanya mempersilakan.
Aku merasakan aura mistis di sekelilingku. Asap lilin memenuhi ruangan kecil itu seolah mengaburkan pandanganku dan membawaku ke dimensi lain. Dimensi tempat para leluhur hidup bersama dewa dewi. Dimensi tempat rahasia kehidupanku tersimpan. Aku memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi dan memusatkan pikiran pada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan. Bukan tentang batu Rune, bukan tentang menjadi Runemistress, tetapi tentang arti hadiah Sigurd dan menemukan cinta setelah aku kehilangan dirinya.
Tanpa sadar jariku mendorong keluar lima batu Rune butir demi butir dan menempatkannya pada pola yang telah dibuat sang Runemaster. Semua batu itu kini terserak di atas meja dengan posisi begitu alami --- bahkan sang Runemaster pun tidak menyentuh atau mengubah posisinya sama sekali. Kemudian aku merasa pikiranku dikembalikan ke alam nyata.

"Ah!" sang Runemaster terkejut sembari menatap batu Rune yang sudah terletak dengan manis di atas mejanya. "Maaf, apakah tadi nama Anda Freyja?"
"Ya, namaku Freyja," jawabku tanpa mengerti alasan sang Runemaster terkejut.
"Bagaimana bisa...," ia berbisik seolah pada dirinya sendiri. "... Freyja, perlu kuberi tahu sebelumnya bahwa semua batu Rune yang kau ambil secara kebetulan tergolong dalam batu Rune Freyja. Ada tiga golongan batu Rune yaitu Freyja atau Frey, Heimdall dan Tyr ...."
Suara sang Runemaster seolah makin samar dan menghilang. Aku terkejut dan melamun mengamati setiap batu Rune yang terletak di meja. Benar kata sang Runemaster. Semua batu Rune yang kuambil merupakan anggota dari Rune Freyja.
"Baiklah, saya akan mulai dari Rune di sebelah kanan. Rune ini bernama Thurisaz, tetapi posisinya menelungkup ketika Anda ambil tadi. Rune ini menunjukkan sesuatu di masa lalu yang memicu masalah Anda. Ada sesuatu yang tidak baik yang tersamar menjadi sesuatu yang baik di masa lalu Anda," jelasnya.
Aku berpikir keras berusaha mencari jawabannya. Di hadapanku seolah tergambar nyata kejadian ketika Sigurd berpamitan dan pindah dari rumah sebelah ke kota besar dan aku berlari mengejarnya dengan sedih. Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Apa yang membuat Sigurd pindah dengan terburu-buru dan ibunya melarangnya memberi tahuku?
"Rune berikutnya terletak di tengah, dekat dengan Anda. Rune ini bernama Kaunaz tetapi letaknya terbalik. Ini menunjukkan diri Anda di masa kini. Anda mengalami suatu masa yang suram, gelap dan seolah tidak memiliki petunjuk apapun tentang masalah yang Anda ingin tahu jawabannya," kata sang Runemaster.
Aku mengangguk menyetujui apa yang dikatakan batu-batu Rune itu. Kulihat sang Runemaster tersenyum dari balik bayang jubahnya. Aku seolah ingin mengingat sesuatu, tetapi aku tidak bisa menemukan hal itu dalam memoriku. Masih ada empat batu Rune lagi yang menunggu untuk dijelaskan lebih lanjut. Sang Runemaster bersiap dengan Rune yang paling kiri. Ia tersenyum lagi dengan penuh misteri. Aku begitu tegang menunggu penjelasannya. Entah baik atau buruk sesuatu yang akan ditunjukkan oleh batu Rune itu.

(bersambung)


26.8.12

Are You a Smoker?? Please Respect Others!

Maaf ya kalau gue terpaksa menyelingi deretan cerita bersambung gue dengan hal ini. Gue mau numpang ngeluarin unek-unek dulu nih...

Jujur tadinya gue mau kasih judul "Are You a Smoker? Just Go to Hell!" tapi kayaknya terlalu sadis ya dan gue pikir gak semua perokok itu jahat. Akhirnya judulnya gue ganti biar lebih pas. Kejadian tadi siang menginspirasi gue untuk menulis ini. Tadi siang pas gue duduk dan makan di food court Kalibata City gue berhasil memaksa seorang cewek perokok gak bertanggung jawab untuk mematikan rokoknya. Kenapa dia nggak bertanggung jawab? Jelas, karena dia merokok di ruangan ber-AC (baca: di dalam mall) padahal sudah disediakan area outdoor untuk merokok dan di area outdoor itu masih tersedia banyak meja dan kursi kosong. Memang sih pintu keluar yang ada di dekat dia dikunci jadi kalau mau keluar dia harus muter dulu. Tapi apa salahnya sih muter dikit? Toh juga nanti dia enak bisa merokok dengan bebas. Nah, sekarang gue mau cerita gimana caranya gue "memaksa" dia. Seperti hobi gue kalau memperlakukan orang-orang gak bertanggung jawab kayak gini, gue nggak akan mendatangi dan menegur orangnya baik-baik. Gue akan ngomong dengan volume keras dan menyindir-nyindir orang itu sampai dia dilihatin orang dan malu. Kenapa gue nggak menegur dengan cara baik-baik? Karena orang-orang semacam dia ini sebenarnya udah tau peraturannya kalau di dalam ruangan AC nggak boleh merokok tapi dengan egoisnya dia mengabaikan aturan itu untuk enaknya sendiri. Nah kalau gini gue udah nggak bisa toleransi lagi.

Jadi awalnya gue udah duduk duluan di salah satu meja, tiba-tiba cewek ini datang dan mengeluarkan sebatang rokok lalu mulai merokok dengan cueknya. Begitu gue tahu kalau dia penyebar polusinya gue langsung pindah duduk agak menjauh sambil bilang the F word dalam bahasa Jerman. Habis itu gue sindir habis dengan suara keras. Gue bilang, seandainya membunuh itu nggak dosa, perokok nggak bertanggung jawab macam dia ini nih yang jadi korban gue duluan, pengen langsung gue cekik dari belakang. Terus gue bilang lagi bahwa orang kayak dia itu egois, mentingin diri sendiri dan bodoh. Udah tahu peraturannya masih aja dilanggar. Gue bilang dia tega dan jahat karena di sekitar situ banyak anak-anak dan ibu hamil yang bisa tercemar polusinya. Plus nyokap gue nambah-nambahin kalau dia itu nggak sopan dan bilang seharusnya cewek itu menelan asapnya sendiri biar nggak polusi. Pokoknya lumayan heboh deh sampai orang-orang yang di sekitar situ pada ngeliatin cewe ini. Malah ada yang sampai batuk-batuk segala, nggak tau disengaja atau nggak. Akhirnya temennya si cewe ini ngingetin dia kalau mau merokok mending keluar aja. Terus dimatiin deh rokoknya. Huahahahaha... gue merasa menang banget... xD

Well, gue nggak benci dan bilang kalau semua perokok itu jahat. Gue cuma nggak suka sama orang yang merokok tapi nggak bertanggung jawab. Gue tahu kok kalau merokok itu hak setiap orang (walaupun gue masih suka ketawa sama orang yang kalo ditanya "kenapa merokok?" jawabannya "merayakan kebebasan". Menurut gue merokok itu sama kayak bunuh diri pelan-pelan xD LOL). Tapi tolong dong bertanggung jawab sedikit. Merokoklah di tempat yang sudah disediakan, atau kalau tidak ada ya sedikit menjauh dari orang-orang. Jujur gue berharap suatu saat ada peraturan "dilarang merokok di tempat umum kecuali pada tempat yang sudah disediakan", karena kalau peraturannya cuma "dilarang merokok di tempat tertutup dan berAC" nanti di stasiun, di kaki lima, dll. orang pada merokok -.-a Gue suka jahat kalau ada orang yang merokok dengan tidak bertanggung jawab, gue berharap mereka mati aja. Toh merokok itu sama aja kayak bunuh diri pelan-pelan, dan menurut gue lebih baik itu terjadi lebih cepat supaya mereka nggak bunuh diri ngajak-ngajak orang lain (baca: para perokok pasif).

Selain nggak bertanggung jawab, banyak juga perokok yang ngotot dan nggak mau dengerin pendapat orang, dengan kata lain, selalu mencari cara untuk membenarkan dirinya. Gue inget pernah berdebat sama seorang senior yang selama ini selalu gue anggap pintar, punya pemikiran nggak biasa, jago orasi dan nulis sastra, tapi sayang, dia perokok! (buat gue cowok merokok itu kegantengannya langsung melorot 75% kecuali kalo tampangnya kayak Elijah Wood atau Josh Hartnett :P #ehkokjadifangirling xD Jadi kalo tampangnya belum seganteng itu mending jangan merokok deh!). Nah, balik ke perdebatan gue sama si senior. Waktu itu gue komentar soal RUU Antirokok, dia langsung bales dengan bilang bahwa rokok itu menyelamatkan perekonomian Indonesia karena banyak banget buruh bisa hidup dari pabrik rokok. Terus gue usul, kenapa tanaman tembakau nggak diganti aja jadi tanaman lain yang bisa dipanen juga. Dia bilang kalau tanahnya cuma cocok untuk tanaman tembakau. Nah, masalahnya waktu gue nonton di TV, gue dengar kalau sekalipun jumlah perokok di Indonesia bertambah terus, penghasilan para buruh ini nggak tambah banyak. Belum lagi gue nonton video juga yang menjelaskan kalau sebagian besar rokok yang beredar di Indonesia ini rokok putih (yang asalnya dari negara-negara Barat dan di dalamnya mengandung sianida, bahan kutek, bahan sabun pel-pelan, dll yang beracun2 itu -.-a) dan bukan rokok kretek yang khas Indonesia dan biasanya beraroma cengkeh (tanaman khas Indonesia juga). Mana katanya pabrik rokok kretek dibeli sama industri rokok luar lagi, sekarang cuma tinggal satu deh merk rokok kretek yang besar. Nah, kalau sudah begini sekarang alasannya si senior jadi nggak masuk akal kan? Tapi tetep aja tuh orang ngotot dan merasa dirinya benar. Padahal kan yang gue protes bukan masalah merokoknya, tapi pertanggung jawaban mereka sama lingkungan yang isinya gak cuma perokok doang.

Gue juga nggak suka sama jawaban mereka ketika gue protes kalau asapnya nggak baik untuk kesehatan. Gue gak peduli sih sama nyawa mereka, tapi kan kasian sama yang nggak merokok terpaksa kena asapnya juga. Nah, kalau gue udah bahas ini terus mereka bilang "belum ada bukti tuh kalau merokok itu penyebab penyakit A, B, C, dll." Gue tahu kok memang itu belum resmi dibuktikan, tapi kenyataan menunjukkan sebagian besar penderita penyakit-penyakit itu dulunya perokok. Walaupun di sisi lain banyak juga yang nggak pernah merokok tapi sakit juga. Dengan alasan itu mereka bilang kalau yang gue bilang belum terbukti. Plus ditambah juga mereka bilang kalau asap kendaraan bermotor dan polusi udara di jalan lebih bahaya. Gini aja deh, nggak usah mikir lebih bahaya mana, tapi lihat dong jelas-jelas rokok itu ada sianidanya. Sianida! Itu lho, bahan gas yang dipakai untuk pembunuhan massal di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Nggak cuma itu, ada zat pembuat kutek, sabun pel lantai, dll. Itu kan sedikit banyak sama aja minum bahan-bahan itu sedikit demi sedikit. Maksud gue, zat-zat itu kan bukan zat yang diperlukan tubuh dan beracun pula, kenapa harus dikonsumsi? -___-a

Masalahnya sekarang perokok di Indonesia bukannya makin sedikit jumlahnya, malah makin banyak. Bahayanya lagi banyak dari mereka yang masih remaja dan belum bisa cari duit sendiri. Jadi beli rokok pakai duit jajan dari orang tuanya (duh!!). Uang orang tuanya dibakar gitu aja untuk hal-hal nggak guna, tau gitu mending buat anak2 baik yang gak bisa sekolah atau susah hidup aja dehh... -.-a Kalau dari video yang pernah gue tonton sih, memang saat ini perusahaan rokok sedang menargetkan remaja dan wanita jadi konsumen baru mereka. Banyak terutama di kalangan remaja yang berpikir bahwa merokok itu tanda gaul dan keren. Huh, padahal menurut gue kalau ada cowok sampai mikir kalau merokok sama dengan jantan itu bodoh. Merokok kan bisa bikin impoten. Kalau impoten gak jantan lagi dooong hahahahaha...xD

25.8.12

Freyja's Rune (1)


Pagi itu sangat cerah. Aku tidak menyangka akan menerima kabar buruk yang begitu mendadak. Seseorang berdiri di depan pintu rumahku dan menekan bel. Aku masih sangat kecil ketika itu, mungkin sekitar 6 tahun usiaku. Ibu berjalan menuju pintu dan membukanya. Sosok kecilnya berdiri di sana. Sigurd, tetanggaku, teman bermainku, dan seseorang yang diam-diam kusukai.
"Freyja, maaf aku baru bilang sekarang. Ibu selalu melarangku kemari, jadi aku tidak bisa menemuimu. Aku harus pergi sekarang," katanya.
Ibuku langsung mempersilakan ia masuk, tetapi ia menolak. Alasannya sama, ditunggu oleh ibunya. Aku tidak menyangka salam itu menjadi salam perpisahannya. Dengan cepat suara ibunya yang berteriak-teriak memanggil dirinya. Aku tak sempat membalas apapun sebelum ia pergi dari hadapanku. Aku berlari mengejarnya, tetapi ia telah menghilang masuk ke dalam mobil. Aku melihat dirinya dari balik kaca mobil yang gelap. Ia menangis. Aku juga. Kupanggil namanya.. Sigurd.., Sigurd..., berharap mobil berhenti dan menurunkan dirinya. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. Mobil itu menghilang di belokan jalan. Aku masih terdiam dan menangis di situ, sampai ibuku datang dan memelukku. Ia menjelaskan bahwa keluarga Sigurd pindah ke kota, tetapi mereka tidak memberikan alamat barunya, entah mengapa.

* * *
Aku tersentak dari lamunanku, tanpa sadar tanganku menggenggam kuat bandul kalung yang tergantung di dadaku. Sekeping batu bertanda seperti huruf X atau silang itu sesungguhnya adalah salah satu huruf Rune bernama Gebo. Kalung itu pemberian Sigurd untuk ulang tahunku yang ke-12, sebelum akhirnya ia pergi untuk selamanya. Aku masih ingat bungkusan kecil yang kuterima pada pagi hari ulang tahunku di kotak surat. Di dalamnya ada satu set batu Rune, sebuah buku tentang cara pemakaiannya dan kalung ini disertai secarik kertas. "Untuk Freyja. Semoga masa depanmu menjadi masa depan terindah seperti yang kau bayangkan. -- Sigurd." demikian tertulis di kertas itu.

Ketika itu aku tidak mengerti apa maksud Sigurd memberikan hadiah semacam itu padaku. Satu set batu Rune bukanlah hal yang biasa, meski cukup sering ditemukan di sini. Benda itu sudah digunakan oleh leluhur bangsa kami sejak zaman dahulu kala, tepatnya untuk meramal nasib atau membaca situasi dan karakter seseorang. Orang yang ahli menggunakan Rune untuk hal-hal demikian disebut Runemaster atau Runemistress. Mungkinkah Sigurd ingin aku menjadi Runemistress? Atau ia memberikannya hanya untuk koleksiku saja? Sejujurnya aku tidak percaya diri menggunakannya. Aku merasa tidak punya talenta mengetahui masa depan atau membaca situasi dan semacamnya menggunakan media. Tidak, aku belum berani menggunakannya. Aku merasa aku belum percaya sepenuhnya pada benda warisan leluhur itu. Setiap kali aku ingin mencobanya pada akhirnya aku hanya membiarkan Rune itu berserakan di meja. Seperti yang lagi-lagi kulakukan hari ini, ketika aku bosan dan tidak punya hal lain untuk dikerjakan.

Aku mulai membolak-balik buku yang datang bersama batu-batu Rune itu. Buku itu sudah kubaca berulang kali. Di dalamnya tertera sejarah Rune, asal muasalnya, arti setiap karakternya dan yang terpenting, cara meramal menggunakan Rune. Tetapi bagian favoritku (dan yang paling kuingat) adalah penjelasan tentang Rune Gebo. Rune Gebo, merupakan salah satu bagian dari rangkaian delapan Rune Freyja, yaitu delapan Rune pertama dari seluruh Rune. Rune Gebo memiliki tiga makna utama, yakni hadiah, cinta dan pengampunan. Mungkinkah Sigurd memilih Rune ini untukku hanya karena Rune ini menyimbolkan hadiah? Atau dia meminta maaf karena kami tidak lagi bisa bermain bersama? Atau..., ah.., aku tidak terlalu yakin dengan makna ketiga. Sigurd dan aku hanya teman masa kecil, sekalipun rasa sukaku padanya belum hilang sampai sekarang. Setelah kepergiannya, aku merasa tidak akan bisa mencintai orang lain. Aku selalu merindukan dia.

* * *
"Freyja...," suara lembut ibuku membangunkan tidurku yang sangat tidak nyaman. "Astaga, Freyja! Kenapa kau tidur di meja? Pasti kau ketiduran lagi semalam."
Ibu berjalan masuk ke kamarku selagi aku mengusap mata dan memaksa tubuhku untuk kembali menghadapi rutinitas sehari-hari. Kulihat ibuku sudah rapi berpakaian, seperti biasa ia selalu bangun lebih pagi dariku.
"Freyja, apa yang kau lakukan?" ibu mengusap kepalaku dengan lembut, lalu pandangannya beralih ke meja. "Ah, Rune itu lagi. Sampai kapan kau akan membuatnya berserakan tanpa melakukan apapun? Sudahlah, benda seperti itu bukan untukmu, Freyja. Kau bukan Runemistress. Keluarga kita tidak terlahir dengan talenta itu," kata ibu.
"Tapi Bu, Sigurd memberikan ini padaku, pasti ada maksudnya," aku bersikeras.
"Sigurd?" ibu mengernyit. "Sudahlah, Freyja. Sigurd tidak akan kembali. Ia sudah lama tiada. Ibu mengerti perasaan kehilanganmu, Sayang. Tapi Ibu tidak ingin melihatmu terus menerus berada dalam kesedihan dan kenangan masa lalu. Kau harus kembali menjalani hidupmu. Banyak lelaki di luar sana. Kau bisa bersenang-senang dan melupakan sejenak kepergian Sigurd."
Aku mendesah kecewa. Aku tahu Ibu pada akhirnya akan berkata demikian dan aku sadar bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Hidupku harus terus berjalan, sekalipun tanpa Sigurd. Tapi bersenang-senang dengan lelaki lain? Itu tidak mungkin. Semua orang di luar sana menganggapku aneh. Aku tidak cantik, seleraku tidak umum. Huh, ujung-ujungnya aku akan kembali pada kenangan akan Sigurd-ku dan berharap ia masih ada. Ya, kalau saja ia masih ada. Aku sedih jika teringat bahwa aku tidak ada di sisinya pada hari terakhirnya. Aku masih tidak bisa menerima fakta bahwa aku tidak menghadiri pemakamannya. Bahkan aku tidak tahu di mana ia dikuburkan. Aku sedih jika mengingat bahwa aku tidak melewatkan hari-hari bersamanya lebih banyak. Kenangan yang tersisa padaku hanyalah kebersamaan di masa kecil dan hadiah ini. Karenanya aku ingin setidaknya aku mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya, karena aku merasa tulisan di kertas itu adalah pesan terakhirnya.
"Freyja? Apa kau dengar Ibu?" tanya ibuku ketika tersadar bahwa aku melamun lagi.
"Eh, iya Bu, tentu aku dengar. Terima kasih untuk sarannya, Bu. Mungkin aku akan coba lain kali. Untuk sekarang, aku masih ingin mencoba mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya. Mungkin suatu saat aku akan bisa menggunakan batu-batu Rune ini," kataku.
"Hmm.. seperti biasa, anak Ibu selalu keras kepala. Baiklah, kalau Ibu boleh memberi saran, sebaiknya jika kau ingin bisa menggunakan Rune ini, kau belajar pada ahlinya," kata Ibu.
"Ahlinya? Siapa?" tanyaku, sedikit gembira karena rupanya Ibu tidak melarangku sama sekali untuk terus mencoba.
"Mungkin pertama-tama kau harus mencoba diramal menggunakan Rune dulu," kata Ibu lagi. "Lihat ini, Ibu mendapatkan ini ketika pergi ke pasar tadi pagi," ia menyodorkan sebuah brosur padaku.
"Festival Viking dan Abad Pertengahan?!" aku terkejut ketika membaca tulisan yang tertera di brosur itu.
"Baiklah, Freyja. Semoga itu bisa membantumu. Ibu akan ke dapur sekarang. Cepat kau mandi dan bereskan batu Rune yang berserakan itu," kata Ibu yang kemudian berlalu pergi.
Festival Viking dan Abad Pertengahan. Acara itu sesungguhnya merupakan acara tahunan di Bergen, tetapi karena aku baru pindah kemari setahun lalu maka kali ini adalah kesempatan pertamaku untuk melihat dan menikmatinya secara langsung. Festival itu berlangsung setiap musim panas selama beberapa hari. Di sana akan ada banyak sekali musisi dari seluruh Eropa yang tampil secara langsung. Musik-musik mereka umumnya bernuansa folk, abad pertengahan atau metal. Orang-orang yang datang ke festival itu akan mengenakan pakaian bergaya Viking dan abad pertengahan. Di festival itu juga akan ada pasar yang menjual berbagai pernak pernik bernuansa abad pertengahan dan era Viking. Tidak ketinggalan sesuatu yang paling kucari : stand peramal tempat Runemaster dan Runemistress yang berpengalaman akan meramal memakai batu Rune. Aku sangat tidak sabar ingin mencobanya untuk pertama kali. Mungkin besok akan jadi hari yang sangat menyenangkan.

(bersambung)





24.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (5 - end)

Alangkah terkejutnya Thorvard ketika ia tiba di negerinya. Desa-desa di sekitarnya sudah porak poranda. Bekas-bekas terbakar api tampak di sana sini. Entah apa yang terjadi di dalam kastil ia tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya. Ia ingin segera menemui gadis yang bernama Yngva lalu berlari mencari ayahnya. Menara kastil dan gerbangnya masih kokoh berdiri, tetapi bekas pertempuran terlihat jelas di berbagai sisi. Ia tidak tahu lagi siapa yang berkuasa di dalam kastil itu.

Thorvard berlari menuju salah satu reruntuhan desa. Ia tidak dapat menemukan seorang pun di sana. Lebih terkejut lagi karena yang dilihatnya hanyalah mayat-mayat orang tak bersalah tertancap di tombak-tombak yang dipancangkan di kiri kanan jalan --- tanda legitimasi kekuasaan dan kemenangan suku barbar yang menyerang mereka. Sepanjang hari ia mencari keberadaan atau setidaknya tanda-tanda keberadaan Yngva. Ia sangat berharap gadis itu masih hidup. Tetapi kenyataan yang tampak menunjukkan sebaliknya, bahkan tak ada manusia tersisa di desa itu. Pastilah meskipun ada yang selamat mereka telah melarikan diri entah ke mana.

Ksatria itu menatap langit. Di ufuk timur sudah muncul cahaya kemerahan. Ia tahu ia akan gagal menjadikan pagi kemarin sebagai pagi terakhirnya dalam wujud serigala. Sadar bahwa tidak ada satu pun manusia yang melihatnya, ia membiarkan tubuhnya berubah sosok di tempat terbuka tanpa bersembunyi terlebih dahulu. Dengan mata serigalanya, Thorvard mendapatkan penglihatan yang lebih tajam. Penciuman dan pendengarannya juga menjadi lebih baik. Dari sinyal bau ia ketahui bahwa tak jauh dari tempat itu ada sosok manusia. Dengan cepat diputarnya pandangan ke segala arah. Hutan keramat. Ke arah sanalah Thorvard mengikuti bau itu dan mendapati seorang gadis berambut emas berkepang yang kulitnya nyaris sama putihnya dengan salju. Yngva, berdiri di antara pepohonan ek yang tertutup salju di tepi hutan. Melihat kecantikan sang gadis, Thorvard jadi lupa diri.
"Selamat pagi, gadis cantik. Apakah kau Yngva?" tanya Thorvard dalam wujud serigala.
 Yngva terkejut mendengar suara geraman serigala tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mundur beberapa langkah dan memasang tatapan waspada.
"Yngva, tunggu! Kau harus menolongku. Aku mohon, aku minta sedikit saja air matamu."
Sang serigala berjalan mendekat sehingga kali ini Yngva dapat melihat sosoknya dengan jelas. Serigala itu menggeram-geram dan menatap lekat-lekat dirinya. Yngva mulai merasakan ancaman yang berada di dekatnya. Gadis itu berlari masuk ke dalam hutan.
"Yngva, tunggu aku!" seru Thorvard, ia langsung berlari menyusul Yngva.
"Oh, tidak! Hidupku dalam bahaya! Kenapa tiba-tiba ada serigala di sini?" pikir Yngva selagi kakinya melangkah cepat melompati semak-semak dan akar pohon.
Yngva berlari dan terus berlari. Sama seperti ketika suku barbar penunggang kuda itu mengejar dirinya. Ia berbelok ke sana dan kemari menghindari kejaran serigala. Tetapi Thorvard berlari begitu cepat. Penciuman dan pendengarannya yang tajam membuat Yngva selalu gagal menghilangkan jejak. Gadis itu terpaksa menghindar dengan memanjat pohon.
"Baiklah, aku akan tunggu di sini sampai dia pergi," pikir Yngva. Ia menempatkan diri pada dahan yang tidak mampu dicapai oleh Thorvard.
Thorvard berdiri dan menunggu di bawah. Bagi Yngva, sang serigala tidak kunjung berhenti menggeram dan melolong. Tetapi sesungguhnya Thorvard berbicara padanya dalam bahasa yang tak diketahuinya.
"Jangan takut, Yngva. Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji. Tolonglah aku yang malang ini. Aku hanya meminta sedikit air matamu," mohon Thorvard. 
"Sungguh menakutkan, aku harus mencari cara untuk berlindung dari serigala ini. Kutunggu mentari terbenam dan aku akan berlari ke danau sehingga aku dapat menjadi bunga salju. Mungkin serigala itu tidak akan tertarik lagi untuk memangsa diriku," Yngva mendapatkan ide cemerlang.
* * *
Musim dingin menyebabkan siang tidak berlangsung panjang. Dengan cepat ufuk barat menjadi kemerahan tanda mentari hendak terbenam dan berganti dengan bintang-bintang malam. Yngva melihat sang serigala. Tampaknya ia tidak lagi memperhatikan. Namun sesungguhnya Thorvard pun menunggu malam tiba sehingga ia dapat berbicara dengan Yngva dalam sosok ksatrianya. Yngva turun dari pohon dengan mengendap-endap. Ketika ia sudah sedikit menjauhi pohon itu, Thorvard tersadar.
"Oh tidak, ke mana perginya gadis itu?" ia kebingungan mencari sosok Yngva. "Tidak bisa, aku harus jadi manusia seutuhnya mulai besok. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan." pikirnya.
Beruntunglah Thorvard karena gadis itu tidak pergi jauh. Yngva berdiri di tengah kolam yang membeku seolah menantikan sesuatu. Thorvard memutuskan untuk mengawasi gadis itu dari balik pohon dan keluar ketika malam mengubah sosoknya. Perlahan-lahan langit hitam musim dingin mendatangkan kegelapan di atas bumi. Yngva masih berdiri di sana, kini bermandikan sinar bulan. Sosok berwarna putih itu semakin putih dan menyatu dengan es di bawah kakinya. Perlahan dan anggun ia menjadi sosok yang berbeda sekali. Setangkai bunga salju.
"Tidak!! Yngvaaaa!! Apa yang terjadi?? Mengapa sosokmu berubah? Aku baru saja hendak meminta tolong padamu," Thorvard melompat keluar dari balik pohon, kini dalam sosok ksatrianya.
Dalam sosok bunga saljunya Yngva terkejut. Sosok yang melompat ke arahnya, bukan seekor serigala, tetapi seorang ksatria tampan.
"Oh, jangan... jangan sekarang..., aku tak ingin berubah jadi bunga salju. Dewi musim dingin, kembalikan sosokku," pintanya dalam hati. "Bagaimana jika ia sang ksatria itu? Tidak, aku tidak bisa melihat diriku membunuh orang lain."
"Yngva, tolonglah... kembalilah jadi manusia..."
Thorvard berlutut dan memohon. Ia menyentuh lembut kelopak beku sang bunga salju. Ia mendapatkan ide. Mungkin dengan mencabutnya, sosok Yngva akan kembali. Thorvard menempatkan genggamannya pada tubuh bunga itu.
"Hentikan perbuatanmu, wahai Ksatria. Kau akan mati jika mencoba memetik diriku," cegah Yngva dalam suara yang tidak terdengar oleh Thorvard.
Thorvard mulai menarik tubuh sang bunga salju. Akarnya begitu kuat dan sulit tercabut. Permukaan es tempat dia tumbuh bahkan tidak kunjung retak. Justru jari-jari dan telapak tangan sang ksatria mulai biru dan membeku. Tetapi ia terus berjuang.
"Cukup sudah, Ksatria! Jangan lakukan itu! Aku tak ingin kau mati oleh karena diriku!" Yngva menjerit sia-sia.
"Walau tubuhmu akan membekukanku, aku akan tetap menarikmu. Aku ingin kau kembali, Yngva!" Thorvard bersikeras selagi es mulai merambat dan membekukan seluruh tangannya.
"Tolonglah dengarkan aku...,"
Yngva pasrah. Hatinya menangis melihat perjuangan sang ksatria. Thorvard masih berusaha mencabut tubuhnya dari tanah. Kedua kaki sang ksatria sudah membeku. Es terus merambat menyelimuti separuh tubuhnya.
"Aku pasti bisa melakukannya. Yngva, kau akan kembali, kau harus menolongku," ia bersikeras.
Es tempat bunga itu tumbuh mulai retak. Tetapi bunga itu masih sulit tercabut. Waktu sang ksatria tidak banyak. Es hampir mencapai jantungnya. Jika es itu berhasil, maka sang ksatria akan mati.
"Yngva, kembalilah...,"
Thorvard berbisik lemah, namun tarikan tangannya tidak berkurang kuatnya. Ia kehilangan napasnya tepat ketika sang bunga salju tercabut dari tanah es yang mengurungnya. Sang ksatria terkapar di lantai beku kolam dengan bunga salju dalam genggamannya. Namun perlahan-lahan wujud bunga salju itu lenyap. Sosok Yngva yang seputih salju terbaring tepat di samping sang ksatria. Ia segera tersadar dan menghampiri Thorvard yang membeku.
"Oh, tidak...," bisik Yngva lirih dan sedih. "Tidak..., aku telah membunuhnya...," suara tangis gadis itu memecah kesunyian hutan di malam hari.
Ia mendekap Thorvard begitu erat, seolah hendak mengantarkan hangat tubuhnya dan mencairkan es yang membekukan tubuh sang ksatria. Air matanya jatuh dan membasahi pipinya, lalu mengalir jatuh tepat di dada sang ksatria malam. Tanpa Yngva sadari, air matanya yang hangat memberikan keajaiban. Es yang menyelimuti tubuh sang ksatria mulai mencair. Napas kehidupan perlahan kembali pada Thorvard. Ketika ia mulai tersadar dan membuka mata, dilihatnya kecantikan Yngva dalam balutan duka berada tepat di hadapannya. Ia melihat butir-butir air mata yang membasahi wajah sang gadis. Air mata yang telah menyelamatkan dirinya dan menghapus kutukannya.
"Yngva," panggilnya, "terima kasih." lalu didekapnya gadis itu dengan begitu erat.
Yngva terkejut lalu tersenyum ketika menyadari bahwa sang ksatria tidak mati. Ia membalas dengan dekapan yang sama. Air matanya menjadi air mata bahagia. Berakhirlah sudah kutukan atas mereka berdua.

Thorvard Sigmundson kembali ke kastilnya dan mendapati bahwa tidak ada keluarganya yang selamat. Kastil itu telah jatuh ke tangan suku-suku barbar. Ia kembali pada Yngva Thunorsdottir dan menikahi gadis itu disaksikan segala penghuni hutan keramat. Keduanya bersumpah menjaga hutan itu dari ancaman musuh atau orang-orang yang akan merusak hingga akhir hayat mereka. Konon katanya ketika mereka meninggal, Yngva dikuburkan di dekat kolam di tengah hutan dan makamnya dipenuhi oleh bunga-bunga salju yang tumbuh cantik di musim dingin, sementara Thorvard dikuburkan di sampingnya, tetapi arwahnya menjelma menjadi serigala abu-abu yang mendiami dan menjaga hutan itu sampai sekarang.

(end)

23.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (4)

Akhirnya Yngva bangkit berdiri. Ia sadar bahwa meratapi kehancuran di depan matanya sungguh tidak akan menghasilkan apapun. Ia memutuskan untuk melaksanakan nazarnya pada sang dewi di dalam hutan tadi. Sejak saat itu Yngva tinggal di hutan keramat bersama alam liar di dalamnya. Segala hewan dan tumbuhan menjadi temannya dan ia menjaga mereka dengan baik. Sesekali ia mendekat ke tepi hutan dan memastikan tidak ada satu pun orang dari desanya yang memasuki atau merusak hutan itu.

Pada akhir bulan itu, sang dewi meniupkan musim dingin ke seluruh penjuru negeri. Musim dingin itu menjadi musim dingin terdingin yang pernah dialami Yngva. Tidak ada perapian hangat di rumah atau makanan lezat di meja makan. Tidak ada ayah maupun ibu. Yngva melaluinya dengan seorang diri berada di dalam hutan. Ia berlindung di gua, menyalakan api dengan kayu bakar dan batu api dan menyantap kelinci salju. Dengan terpaksa ia kembali ke cara hidup kuno yang pernah ada di negeri itu juga. Mau tidak mau ia melakukannya sekalipun ia mulai merasa bosan.

Tetapi hutan keramat adalah hutan yang menakjubkan. Banyak hal indah tersimpan di dalamnya. Yngva sering berjalan-jalan mengamati indahnya musim dingin di hutan itu ketika ia bosan. Suatu hari, ia putuskan untuk kembali melihat air terjun dan kolam awal mula hidupnya berubah. Ia penasaran dengan air terjun yang membeku oleh musim dingin. Beruntung hari itu salju tidak turun sehingga ia bisa berjalan dengan aman sampai tiba di tempat itu. Alangkah terkejutnya Yngva ketika dilihatnya sesuatu yang baru telah berada di sana. Kolam tempat air terjun membeku berakhir telah dipenuhi dengan sesuatu yang indah. Serumpun bunga salju berwarna putih kebiruan seperti kristal yang tumbuh subur dari tanah yang beku.
"Alangkah cantiknya bunga-bunga ini. Tak pernah kulihat sebelumnya bunga-bunga seindah ini tumbuh di musim dingin. Kurasa tidak apa-apa aku memetik beberapa tangkai, setidaknya untuk menghias guaku yang sepi," pikir Yngva, lalu tangannya mulai memetik beberapa tangkai bunga.
Tapi tidak mudah rupanya melangkah pergi dari kolam beku. Yngva mulai merasakan dingin yang aneh merambat dari telapak kakinya hingga ujung rambutnya. Kakinya menjadi sulit digerakkan seolah menyatu dengan air kolam yang telah menjadi es. Es itu merambat menutupi seluruh tubuhnya. Yngva berteriak namun suaranya tertahan. Tubuhnya kembali berubah menjadi bunga salju. Tangkai-tangkai bunga yang dipetiknya berserakan di sekitar dirinya. Lalu muncullah sang dewi musim dingin.
"Yngva Thunorsdottir? Apa yang kau lakukan dengan bunga-bunga di kolamku? Bukankah kau sendiri telah berjanji untuk menjaga hutan ini dan tidak merusak atau mengambil apapun yang ada di dalamnya? Sebagai hukumannya kau harus menjalani separuh masa hidupmu menjadi pengganti bunga-bunga salju yang kau rusak. Dalam gelap malam kau akan jadi cahaya yang menyihir banyak orang untuk mencabut akarmu. Banyak orang akan mati karena dirimu. Hanya seorang ksatria yang tepat yang dapat mengembalikan hidupmu, tetapi ia harus menukarnya dengan nyawanya sendiri," sang dewi berkata, lalu menghilang, meninggalkan sang bunga salju yang menangis dalam hati menyesali kesalahan dan meratapi nasibnya.
* * *
Malam telah tiba. Thorvard yang sedang dalam perjalanan kembali ke negerinya terpaksa berhenti dan menumpang di rumah penduduk. Rumah yang ia tempati tidak besar dan terbuat dari kayu dengan lubang di bagian tengah rumah sebagai lubang sirkulasi udara sekaligus cerobong asap. Di dalamnya tinggal seorang nenek yang sudah tua seorang diri. Dengan ramah ia memberikan tumpangan bagi Thorvard untuk bermalam di rumahnya. Sang nenek tidak berbeda dari orang tua pada umumnya, kecuali satu hal, bahasa yang digunakannya bukan bahasa penduduk desa, seolah-olah nenek ini seorang bangsawan yang menyamar. Mungkin dulunya ia pekerja istana. Satu hal lain yang dari tadi membuat Thorvard penasaran: pandangan mata sang nenek padanya seperti mengawasi atau menyimpan misteri diam-diam.

"Saya tahu siapa kamu, Nak. Kau adalah sang ksatria malam yang banyak dibicarakan orang-orang, bukan?" tanya sang nenek ketika mereka menikmati makan malam bersama.
Thorvard tidak menjawab. Ia membiarkan nenek misterius itu melanjutkan kalimatnya.
"Apakah orang lain tahu mengapa kamu disebut ksatria malam?" tanyanya lagi.
"Tentu saja, karena aku hanya muncul pada malam hari," jawab Thorvard.
"Maksud saya, alasan sesungguhnya yang membuat kamu terpaksa keluar hanya pada malam hari," kata "terpaksa" ditekannya dengan sengaja sehingga Thorvard sedikit terkejut.
"Aku? Terpaksa keluar pada malam hari? Apa maksud Nenek?" Thorvard pura-pura bodoh.
"Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi. Saya tahu betul apa yang menimpamu, Nak. Sungguh kasihan dirimu, kalau saja para dewa tidak terlalu kejam dan bisa membatalkan kutukan mereka padamu. Saya sudah dengar akan segala kebaikan yang kamu lakukan. Dengan berani kamu mengabdi pada banyak raja dan melindungi negeri-negeri dari bahaya. Sungguh, kamu pantas mendapat pengampunan," kata sang Nenek lagi.
"Aku tidak mengerti bagaimana Nenek bisa tahu akan kutukan itu. Tapi, kurasa para dewa benar, aku memang tidak pantas hidup sebagai putra tuan tanah kaya yang sombong. Lebih baik aku jadi serigala saja. Setidaknya aku berburu hanya untuk makan, bukan kesenangan, lalu menghancurkan alam ciptaan ini," kata Thorvard merendah.
"Kau yakin tidak ingin kembali menjadi manusia sepenuhnya? Baiklah ksatria malam, saya rasa kamu bisa memutuskan sendiri. Tetapi suatu rahasia sebaiknya tidak disimpan terlalu lama apabila ia berguna. Temuilah seorang gadis di kampung halamanmu yang bernama Yngva. Ialah satu-satunya yang dapat menolongmu. Mintalah beberapa tetes air matanya untuk mengembalikan kutukan yang menimpamu. Sebaiknya kau cepat pulang, kudengar desa tempat tinggal gadis itu sudah porak poranda oleh serangan suku barbar," kata sang nenek misterius.
"Bagaimana bisa aku menemukannya sedangkan aku tidak tahu seperti apa rupa gadis itu?" tanya Thorvard.
"Kulitnya putih seperti salju dan rambutnya emas berkepang," jawab sang nenek.
Dengan cepat Thorvard menghabiskan makanannya lalu berpamitan pada nenek itu seraya mengucapkan terima kasih. Ia menyambar mantelnya lalu pergi menghilang dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mencari Yngva.

(bersambung)

22.8.12

Penenun Silesia

(versi terjemahan dari puisi "die Schlesische Weber" karya Heinrich Heine)


Dalam mata yang suram tiada air mata
Mereka duduk pada mesin tenun dan menggeram
Jerman, kami tenun kain kafanmu
Kami tenun ke dalamnya kutukan tiga sisi -
Kami menenun, kami menenun!


Satu kutuk bagi Tuhan, yang padanya kami berdoa
Dalam musim dingin dan kelaparan
Yang ampunnya kami harap dan rindukan
Telah dia ganggu, usik, dan permainkan kami -
Kami menenun, kami menenun!


Satu kutuk bagi Raja, sang penguasa negeri
Yang tak mampu atasi derita kami
Memeras kami hingga keping terakhir
Menembaki kami seolah anjing-anjing -
Kami menenun, kami menenun!


Satu kutuk bagi tanah air palsu
Tempat di mana hina dan aib bertumbuh subur
Tempat di mana bunga-bunga dipetik terlalu awal
Tempat kemalasan dan kebusukan menyuburkan cacing-cacing -
Kami menenun, kami menenun!


Sekoci terbang, mesin tenun berbunyi keras
Sibuk menenun kami siang malam -
Jerman tua, kami tenun kain kafanmu -
Kami tenun ke dalamnya kutukan tiga sisi -
Kami menenun, kami menenun!


PS: karya ini adalah salah satu tulisan Heine yang terinspirasi dari latar belakang masa itu yakni Vormaerz. Sebelum revolusi di Jerman tahun 1848, tepatnya pada tahun 1844 terjadi suatu peristiwa di Silesia. Buruh penenun yang keadaannya semakin terdesak oleh kemajuan industrialisasi dan penggunaan mesin-mesin pengganti tenaga mereka memprotes pemilik pabrik hingga terjadi bentrokan dengan tentara yang menewaskan 11 orang. Terjemahan ini belum versi final, karena tadinya saya mau mengerjakan bersama teman saya, Mutiara, namun karena keterbatasan waktu dan belum sempatnya kami lanjutkan sehingga saya iseng-iseng melakukannya sendiri. Tapi terjemahan ini belum hasil akhir karena baru versi saya hehehe...:)

Slavic Wishes


I dream to go around eastern Europe
enjoy the Transylvanian Alps to Kamchatka Bay
I wish to taste the delicious Czech Palačinky
accompanied by Russian vodka

I dream to dance the Polish Krakowiak
and sing the folk song of Dinaric village
I wish to speak Hungarian fluently
as well as write the Cyrillic

I dream to sleep on the snow in Vilnius
then feel the warm spring of Karlovy Vary
I wish to do pilgrimage to Cracow,
to Medjurgorje to pray for the Chernobyl victims

I dream to marry a Croat
and built our house in the island of Hvar
Then I wish for these Slavic wishes
in the Karlův Most of Prague


by LV~Eisblume
11.11.08

I was inspired to write this in my blog after attended a seminar about Czech Republic yesterday :D
Slavic countries are my second love after Germany...

Ksatria Malam dan Bunga Salju (3)

Thorvard -- yang kini dikenal sebagai ksatria malam --- sungguh tidak pernah lagi menjejakkan kakinya di lingkungan kastil itu. Ia telah memutuskan untuk berkelana ke negeri-negeri yang jauh dan mengabdi sebagai ksatria yang melindungi masyarakat. Karena keterbatasannya, ia hanya muncul dan beraksi pada malam hari. Sigmund, menyadari bahwa sang anak tak pernah kembali, akhirnya telah merelakan kepergiannya sekalipun ia masih sedikit berharap bahwa sebelum kematiannya nanti ia dapat bertemu kembali dengan putranya itu.

Sementara Thorvard pergi berkelana, keadaan di negerinya justru menjadi kacau. Ancaman demi ancaman dari suku-suku barbar mulai berdatangan. Pasukan kerajaan disiagakan di mana-mana, termasuk para pasukan yang mengabdi pada Sigmund sang tuan tanah. Mereka dikirim ke berbagai wilayah kerajaan untuk membantu mengamankan situasi. Di saat seperti ini, Sigmund begitu merindukan anaknya. Kemampuan berperang dan ketrampilan menggunakan senjata yang ada pada Thorvard sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.

* * *
Di salah satu desa yang terletak di luar tembok istana tinggal sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu dan anak perempuan mereka yang masih muda dan cantik. Yngva namanya, dan sehari-harinya ia membantu orang tuanya dengan menggembalakan domba. Setiap pagi gadis itu menggiring beberapa ekor dombanya menuju padang rumput yang terletak di antara desanya dan hutan keramat. Sembari menunggui domba-dombanya merumput, ia senang duduk di atas sebuah batu besar yang ada di situ dan mengepang rambut emasnya lalu menghiasnya dengan bunga-bunga rumput liar yang tumbuh di sekitar situ. Yngva menyukai bunga. Kadang-kadang pandangannya beralih pada hutan keramat yang terbentang sejauh mata memandang di sebelah selatan desa. Ia membayangkan, bahwa di balik kelebatan hutan itu pasti ada banyak bunga-bunga yang tumbuh dengan indah.

Suatu hari menjelang musim dingin, Yngva menggiring domba-dombanya ke padang rumput. Tidak banyak rumput yang tersisa di situ. Nyaris semua helai rumput sudah mengering karena angin musim gugur yang bertiup. Tetapi orang tua Yngva memutuskan untuk menghemat persediaan rumput musim dingin bagi domba-domba itu sehingga mereka menyuruh anak perempuannya untuk menghabiskan sisa rumput yang masih bisa dimakan oleh hewan-hewan berbulu putih itu. Sedang ia menikmati dinginnya semilir angin musum gugur, dilihatnya sesuatu yang mengejutkan. Asap mengepul dari kejauhan. Ia segera tersadar bahwa asap itu berasal dari desanya. Ingatannya melayang pada kedua orang tuanya. Dengan cepat ia berlari meninggalkan domba-dombanya. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik. Sekelompok pria bertubuh raksasa yang menunggang kuda hitam memburunya. Yngva bingung. Ia tidak tahu harus melarikan diri ke mana lagi. Pandangannya tertuju pada hutan keramat di depannya. Ke sanalah ia berlari. Satu-satunya tempat yang dapat menyelamatkannya saat itu.

Yngva berlari dan terus berlari. Ia tidak peduli lagi akan jalan keluar selama ia dapat melarikan diri dari para penunggang kuda itu. Ia tahu mereka. Mereka pastilah suku barbar yang telah dikabarkan melintasi perbatasan negeri ini. Gadis gembala itu tahu betul keganasan suku itu. Mereka dikenal suka membakar dan menghancurkan apapun yang dilewatinya. Semua penduduk desa dibunuh dan para wanita diculik untuk dijadikan istri pemimpin mereka atau sekedar pemuas nafsu mereka saja kemudian dibuang atau dibunuh. Yngva bergidik ngeri membayangkan hal itu. Ia terus berlari, tak peduli dengan tersandung akar pohon atau tersandung batu berulang kali. Sesekali ia mengintip lewat bahunya. Para penunggang kuda itu belum juga berhenti. Kuda-kuda mereka tampaknya terlalu handal untuk dihambat dengan medan seperti hutan ini.

Tepat di sebuah kolam di bawah air terjun Yngva terjatuh. Kakinya tidak mampu lagi untuk berlari. Ia menangis ketakutan meratapi nasibnya. Dalam kata-katanya terselip kalimat-kalimat doa.
"Oh, dewa dewi penghuni hutan. Jangan biarkan diriku jatuh ke tangan mereka. Selamatkanlah aku dari kejaran musuh-musuhku. Biarkan aku kesempatan untuk hidup. Kan kuabdikan diriku sebagai penjaga hutan ini. Tak akan kubiarkan satu pun penduduk desaku merusak dan mengambil apapun dari hutan ini. Kumohon padamu dewa dewi penghuni hutan,"
Serta merta muncullah sesosok wanita berpakaian musim dingin --- sang dewi musim dingin dan perburuan yang juga dilihat oleh Thorvard. Hanya Yngva yang mampu melihat sosok ini, tidak dengan musuh-musuh pengejarnya. Wanita itu tersenyum pada Yngva dan mengucapkan sesuatu, lalu menghilang. Seketika tubuh Yngva berubah sosok menjadi setangkai bunga putih kebiruan yang tumbuh di tanah. Tanah di sekitarnya tidak coklat atau hijau, melainkan putih, karena tertutup salju.
"Tidak mungkin! Pasti perempuan itu hanya salah satu penyihir di desa itu. Ia menipu kita dengan triknya!" kata salah satu penunggang kuda.
"Ayo, kita tangkap dia!" seru yang lain.
Empat pria raksasa yang mengejar Yngva turun dari punggung kudanya. Mereka berjalan mendekati setangkai bunga putih yang tumbuh tepat di tengah kolam itu. Tetapi kemudian langkah mereka terhenti. Satu persatu dari mereka mulai tersadar bahwa kaki mereka telah terperangkap dalam air yang membeku tiba-tiba. Air terjun yang mengalir dari atas tebing di sisi kiri mereka juga telah menjadi beku. Es merambat dari kaki mereka lalu menelan mereka hingga kepala. Keempat penunggang kuda itu telah menjadi patung es, diam tak bergerak, mati. Sementara Yngva yang telah menjadi bunga hanya tersenyum penuh syukur dalam sosoknya yang berkelopak putih kebiruan seperti kristal itu.

Beberapa menit kemudian sosok manusia Yngva kembali. Ia mengucapkan terima kasih pada sang dewi yang menolongnya, kemudian pergi dari tempat itu, meninggalkan musuh-musuhnya yang telah menjadi patung es. Ia mencari jalan pulang dan tiba kembali di tepi hutan hanya untuk menyaksikan desanya yang habis terbakar dan domba-dombanya yang sudah menghilang entah ke mana dari padang rumput itu. Dengan terisak ia duduk di tanah melihat segala kehancuran di depan matanya. Ia tidak tahu lagi harus pulang ke mana.

(bersambung)
 

20.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (2)

Seluruh penghuni kastil cemas, terlebih lagi Sigmund, ayah Thorvard. Ia menanti kepulangan anaknya dari perburuan. Beberapa pengawal telah diperintahnya untuk mencari rombongan Thorvard, sedangkan ia duduk menanti putra tunggalnya itu dengan penuh kekhawatiran di meja makan. Tiba-tiba pintu kastil terbuka. Dua pengawal yang pakaiannya basah kuyup membawa masuk bangkai seekor serigala.
"Hamba mohon ampun Tuanku, kami tidak dapat menemukan putra Tuanku di mana pun. Kami terpisah darinya ketika badai datang. Kami sudah peringatkan ia agar tidak nekad menerjang badai, apa daya kami tak mampu mencegahnya. Keinginan Tuan Muda Thorvard untuk mendapatkan buruan sangat besar," kata Lars, salah satu pengawal yang mendampingi Thorvard.
"Huh! Dasar kalian berdua bodoh! Harusnya kalian tidak membiarkan putraku pergi sendirian!" kata Sigmund kesal.
"Tapi Tuanku, kedua kuda kami tidak mau dipacu menerjang badai itu," kata Knut, pengawal lainnya.
"Banyak alasan kalian! Sekarang cepat jelaskan mengapa kau bawa bangkai serigala itu kemari!" perintah Sigmund.
"Serigala ini kami temukan tergeletak mati di tepi hutan keramat, Tuan. Dan kami terkejut ketika menemukan ini padanya," Lars dan Knut mengangkat tubuh serigala itu dan memperlihatkan sesuatu yang menancap menembus lehernya: panah Thorvard! 
"Oh, tidak. Thorvard anakku!" Sigmund bangkit dari kursi makannya dan langsung menghampiri bangkai serigala yang dibawa kedua pengawal itu. "Thorvard..., putraku satu-satunya... ahli warisku..., bagaimana mungkin kau tewas dimangsa serigala ini?" ia menelungkup penuh penyesalan. Seketika ruangan itu menjadi sunyi seolah kabar duka yang dibawa kedua pengawal telah tersebar lewat udara ke segala penjuru kastil. 
"Tapi Tuanku," Lars memecah kesunyian penuh duka itu. "hamba tidak begitu yakin bahwa Thorvard pasti dimangsa serigala ini. Memang ada kemungkinan ketika ia dimangsa ia berusaha melawan dengan menancapkan panahnya ini. Tapi... jika memang serigala ini memangsanya, kami tidak menemukan sisa apapun dari Tuan Muda Thorvard, yang tentu seharusnya tidak terjadi,"
Sigmund mengangkat kepalanya. "Jadi.. maksud kalian, ada harapan bahwa anakku masih hidup? Lalu jika demikian di mana ia sekarang?" 
"Satu hal yang kami khawatirkan, Tuanku. Tuan Muda Thorvard mungkin telah tersesat dalam badai dan tanpa sengaja masuk ke hutan keramat," kata Knut.
"Apaaa?! Hutan keramat kau bilang?! Apa bedanya dengan kematian kalau begitu?! Siapa pun yang masuk ke sana tidak akan dapat keluar!" Sigmund tidak begitu suka dengan kemungkinan kedua.
"Setidaknya kita dapat berharap Tuan Muda Thorvard tidak seperti yang lainnya dan suatu saat menemukan jalan keluar," kata Lars berusaha memberikan pemikiran positif.
Sigmund sang tuan tanah melewatkan makan malam dalam kesendirian. Separuh hatinya masih berharap bahwa anaknya akan kembali. Sayangnya hingga ia beranjak tidur, tidak ada tanda-tanda kepulangan Thorvard.
* * *
Nun jauh di hutan keramat, Thorvard yang telah berubah menjadi serigala menanti datangnya malam dengan tidak sabar. Ketika sinar bulan pertama menembus celah-celah pohon yang begitu rapat, ia segera berlari dan membiarkan tubuhnya dimandikan cahaya bulan yang membuat bulu-bulunya menjadi keperakan. Ia membuat sebuah lolongan panjang lalu seluruh tubuhnya mulai berubah. Wajah, tangan, badan, kaki dan jari jemarinya kembali menjadi Thorvard, sang ksatria gagah. Ia berdiri dalam balutan baju besi yang bersinar terkena pantulan cahaya bulan. Dengan mantap ia melangkah meninggalkan cahaya itu, bermaksud melaksanakan keinginan utamanya: pulang ke kastil.

Thorvard melangkah keluar dari hutan keramat, melalui desa-desa di sekitar dinding kastil yang sangat sunyi seolah mati. Malam sudah begitu larut, sampai-sampai ketika ia tiba di kastil, tak seorang pun masih terbangun kecuali para penjaga gerbang. Penjaga gerbang tampak terkejut melihat kehadiran sang ksatria yang tidak berubah kecuali sebuah luka yang tampak di kepala akibat terantuk batu tadi. Tanpa berkata apa-apa, mereka langsung membukakan gerbang untuk sang tuan muda. Thorvard harus melalui jalan panjang yang melingkar ke atas apabila ingin mencapai pintu kastil. Ia harus melakukannya dengan kedua kakinya karena kudanya telah kabur entah ke mana ketika melihat dirinya berubah menjadi serigala. 

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah Thorvard di pintu kastilnya. Semua pengawal yang berjaga membukakan pintu untuknya, tetapi ia merasa ada yang janggal, karena para pengawal itu kemudian berbisik-bisik dengan berisik sekali. Kepulangan Thorvard langsung diketahui oleh ayahnya lewat kurir kastil. Sigmund menghambur keluar menghampiri sang anak dan segera menanyakan banyak hal pada Thorvard. Tanpa mempertimbangkan waktu, sang tuan tanah memerintahkan para pelayan untuk memasakkan makanan mewah dan lezat untuk putranya. Ia begitu percaya akan keajaiban yang telah terjadi: Thorvard tidak mati namun berhasil keluar dari hutan keramat dengan selamat, nyaris tanpa kekurangan apapun. 

Ayah dan anak itu terus bercakap-cakap hingga lupa waktu. Ketika Thorvard tersadar, jam sudah menunjuk pukul lima pagi. Mereka telah mengobrol semalaman tanpa tidur dan Thorvard mulai khawatir. Ia sadar bahwa sebentar lagi mentari akan terbit dan sinarnya akan mengubah dirinya menjadi serigala kembali. 
"Tapi Thorvard anakku," kata Sigmund, "kau baru saja pulang, kenapa harus pamit dan pergi lagi?" tanyanya bingung.
"Tidak bisa ayah, aku harus pergi. Ada urusan yang belum kuselesaikan. Aku akan kembali lagi nanti," katanya. Ia langsung menyambar jubah yang disampirkan di punggung kursinya dan berlari melintasi ruang tengah kastil yang luas menuju keluar.
"Thorvard! Tunggu!" panggil Sigmund, namun ia tidak lagi dapat mencegah anaknya. Sang ksatria muda telah menghilang dari pintu.
Thorvard berlari dengan cepat melintasi lorong-lorong sempit di antara bangunan. Ia berusaha menghindari sinar mentari yang mulai menyusup menembus awan di ufuk timur. Namun ia kalah cepat. Matahari mulai naik dan menampakkan seluruh wujudnya. Sekelilingnya menjadi sangat terang dan perlahan-lahan ia merasakan bulu-bulu kembali menutupi tubuhnya. Dengan segera ia melompat bersembunyi di balik bayangan. Sial bagi Thorvard, seorang anak kecil justru berjalan mendekatinya karena penasaran.
"Aada.. celigalaaaa..., celigalaaa..," katanya dengan polos dan lugu seolah tak tahu bahaya yang mengancam nyawanya.
"Tidak ada serigala di dalam dinding kastil, Nak," kata ibunya tanpa menyadari keberadaan Thorvard.
"Jangan ke sini, Nak! Bahaya.., menjauhlah dariku! Hush.. hush...," Thorvard berusaha mengusirnya dengan melambai-lambaikan cakarnya. Ia tidak sadar suara yang dihasilkannya sama sekali bukan suara manusia, melainkan suara geraman hewan buas.
"Ada serigalaaaaaaa!!!! Toloooong!!" sang ibu menjerit ketika menyadari asal geraman itu. Ia menarik anaknya menjauh dan berteriak-teriak di sepanjang jalan lalu menunjuk tempat persembunyian Thorvard.
 Buru-buru Thorvard melompat keluar dari bayangan. Ia terkejut melihat banyaknya orang di jalan dengan berbagai macam senjata. Mereka juga tampak terkejut menemukan serigala abu-abu besar berada di balik dinding kastil.
"Itu serigalanya! Ayo kita kejar!!" seru seorang penduduk.
Mereka mengejar Thorvard sembari melesakkan anak panahnya berharap dapat melumpuhkan atau membunuh serigala itu. Thorvard berlari dengan panik mencari gerbang kastil selagi berusaha menghindari senjata apapun yang dilemparkan para penduduk. Sebuah anak panah yang tajam berhasil menggores kakinya. Siksaan belum berakhir, karena ketika ia tiba di gerbang kastil, penduduk desa di luar sudah bersiap dengan senjatanya masing-masing. Garpu ladang dan obor dengan api menyala dilemparkan ke arah dirinya. Kerumunan penduduk terus mengejarnya. Thorvard terengah-engah berlari melintasi padang rumput lalu menghilang di balik kelebatan hutan keramat. Sejak hari itu ia bertekad tidak lagi ingin masuk ke dalam kastil selagi kutukan itu masih ada. Ia hanya keluar pada malam hari sesekali dalam pakaian ksatria dan wujudnya yang tegap dan gagah dan menghilang sebelum matahari terbit. Orang di daerah tersebut kemudian mengenalnya sebagai ksatria malam.

(bersambung)

19.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (1)

Kemarilah, aku akan menceritakan sebuah dongeng. Dongeng dari masa yang lampau. Dongeng dari negeri yang sangat jauh. Tempat hutan-hutan tumbuh dengan rimbun, desa-desa tua hidup di sekitarnya, dan benteng-benteng kokoh para raja masih berdiri tegak. Salah satu desa itu terletak di luar dinding kastil yang tinggi. Tak jauh dari desa itu ada sebuah hutan yang pohonnya besar-besar. Konon katanya, hutan itu keramat dan berhantu. Tak satu pun manusia berani menjejakkan kaki ke dalam hutan itu. Katanya, hutan itu ada penunggunya.

Sekarang kita kembali ke desa. Desa itu tidak besar, namun cukup banyak penduduk yang tinggal di dalamnya. Para prianya kebanyakan bekerja sebagai penggembala dan pemburu, sementara para wanitanya adalah peramu obat dan tabib yang handal. Meski demikian, tak satu pun dari bahan baku hasil produksi mereka diambil dari hutan keramat itu. Mereka memilih mencari hutan lain yang letaknya lebih jauh. Tidak hanya penduduk desa yang takut akan hutan itu, tetapi juga para penduduk yang tinggal di balik dinding kastil. Sang tuan tanah yang sangat suka berburu juga menghindari hutan itu. Ia selalu menasehati anak laki-lakinya, seorang ksatria muda yang tampan berambut pirang panjang sebahu, untuk tidak memacu kudanya melangkah masuk ke hutan itu.

Suatu hari menjelang musim dingin, Thorvard sang ksatria hendak mengusir rasa bosannya dengan berburu. Ia berpamitan pada sang ayah untuk pergi sejenak keluar kastil. 
"Ayah, aku sangat bosan. Aku hendak pergi berburu sebentar," katanya.
"Baiklah anakku, Thorvard, ingat selalu pesan ayahmu. Ayah tahu kau sudah beranjak dewasa dan mulai penasaran akan segala hal, tapi untuk hutan itu... itu sebuah pengecualian. Jangan kau pacu kudamu ke sana, karena hutan itu telah dikeramatkan untuk para dewa dan leluhur kita," pesan ayahnya.
Bersama dengan pesan itu Thorvard berangkat. Ia membawa serta dua pengawalnya yang setia dalam perburuan itu. Thorvard menunggang kuda hitam kesayangannya sedangkan para pengawal mengikutinya di belakang dengan kuda coklat mereka masing-masing. Derap langkah kaki kuda menggetarkan jalanan batu di balik dinding kastil, kemudian keluar menjauh mengikuti arah ketiga orang itu.

Jam demi jam berlalu, namun baik Thorvard maupun kedua pengawalnya tak ada yang berhasil mendapatkan buruan. Tak seekor burung atau pun kelinci yang berhasil mereka tangkap, apalagi babi hutan dan rusa. Entah mengapa binatang-binatang seolah terlalu malu menampakkan diri pada hari itu. Thorvard mulai merasa kesal dengan nasibnya yang kurang beruntung. Sementara itu para pengawal seperti cemas dan sedari tadi mereka terus memohon pada sang ksatria untuk pulang.
"Tuan muda Thorvard, apakah tidak sebaiknya kita pulang saja? Kita sudah berjam-jam mengelilingi hutan dan padang rumput tanpa hasil," kata salah satu pengawalnya.
"Apa kau bilang, Lars?! Kau memintaku pulang tanpa membawa apapun? Bodoh! Bagaimana bisa aku menerima pandangan seluruh penghuni kastil ---- Thorvard sang ksatria tidak bisa menangkap satu buruan pun. Huh!" gerutu Thorvard kesal.
"Tapi tuan muda Thorvard, lihatlah! Langit mulai gelap dan sebentar lagi badai akan turun. Badai musim gugur yang membawa angin musim dingin. Badai yang mematikan," Knut, pengawal kedua mencoba memberi saran.
"Tidak.., tidak.., aku tidak akan kalah dengan badai mana pun. Aku akan terus berburu sampai dapat, sekalipun dewa petir mengirimkan badai terdahsyatnya. Kalian para pengecut, silakan kalian pulang, aku akan mengadukan kalian pada ayahku bahwa kalian telah meninggalkanku!" kata Thorvard dengan nada mengejek. Para pengawalnya terdiam tak menjawab lagi. Dengan pasrah mereka mengikuti keangkuhan sang tuan muda sekalipun dalam hatinya merasa berat akan perkataan Thorvard tentang sang dewa petir.
 Sekonyong-konyong hujan turun dengan lebatnya. Bukan hujan salju, namun hujan air yang teramat sangat dingin. Angin bertiup kencang dan memperparah keadaan. Kedua kuda para pengawal Thorvard menolak dipacu, sehingga mereka terpaksa berhenti dan menunggu hujan sedikit mereda. Namun kuda hitam milik Thorvard, yang kebetulan berasal dari generasi kuda tertangguh di seluruh kerajaan, masih bersikeras menghadapi badai itu. Tampaknya ia tertular jiwa keras kepala tuannya. 

Thorvard memacu kudanya dan berusaha menembus badai. Namun angin semakin kuat bertiup dan menerbangkan segala hal yang dilewatinya. Kabut turun dari langit membutakan pandangan mata. Thorvard tidak bisa lagi melihat kejauhan. Jarak pandang matanya semakin terbatas. Tanpa ia sadari, langkah kaki kudanya telah membawa dirinya mendekat ke arah hutan keramat. Ketika kaki kudanya hendak melangkah masuk ke dalam lapisan pertama pepohonan hutan itu, ia terkejut ketika dilihatnya sebuah cahaya keperakan berjalan mendekat. Cahaya itu berhasil menahan kudanya untuk tidak melangkah masuk ke hutan. Thorvard mengusap kedua matanya, menyangka bahwa cahaya itu hanya ada dalam mimpinya. Namun cahaya keperakan itu begitu nyata dan semakin mendekat. Akhirnya Thorvard menyadari bahwa cahaya itu menampakkan siluet seekor binatang yang sangat gagah : serigala! Sang ksatria terpana memandang sosok sang serigala. Begitu terangnya cahaya perak yang dihasilkan bulu-bulunya, ia sampai dapat melihat keadaan di sekelilingnya. Hujan belum berhenti tetapi ia mampu melihat dengan jelas, bahwa kaki kudanya berdiri tepat di tepi hutan keramat. Sang serigala telah menyelamatkan dirinya.

Ia terkesima dengan pemandangan beberapa detik itu. Tanpa mampu berkata-kata, Thorvard memacu kudanya berbalik memunggungi hutan keramat. Ia bermaksud meninggalkan tempat itu ketika disadarinya sang serigala tidak lagi bercahaya. Dari balik bahunya ia melirik dan menemukan seekor serigala biasa berbulu abu-abu tua berdiri di belakangnya. 
"Tampaknya yang tadi itu hanya halusinasiku saja..., hahaa..., bodoh kau Thorvard!" katanya pada diri sendiri. "Masa kau tidak sadar, serigala itu hadiah dari dewa untukmu. Lihat, serigala itu besar sekali, pasti kau akan jadi kebanggaan setelah pulang dan membawanya."
Dengan segera Thorvard mengambil busurnya dan melesakkan panah secepat kilat yang langsung menembus tubuh sang serigala. Serigala itu menggeram kesakitan lalu rebah di tanah. Thorvard terdiam, kemudian perasaan bangga langsung menyelimuti hatinya. Ia tertawa sendiri memuji keberhasilannya.  

Sang ksatria turun dari kudanya hendak mengambil dan membawa pulang sang serigala. Tiba-tiba sebuah petir yang begitu kuat menyambar dirinya. Ia terpental menjauhi tubuh sang serigala dan kepalanya terantuk batu-batu di jalan hingga luka. Sembari mengaduh ia berusaha bangun dan bermaksud melanjutkan pekerjaannya ketika dilihatnya sosok terang lain telah berdiri di sebelahnya, menghalangi pandangannya dari sang serigala. Ia adalah sang dewi yang menguasai musim dingin dan perburuan. Sosok wanita berambut kepang emas dengan pakaian dari bulu-bulu hewan musim dingin itu berkata:
"Thorvard Sigmundson! Ksatria pemberani yang angkuh, tamak dan tidak punya hati. Telah kutolong dirimu dengan mengirimkan serigalaku untuk membantumu pulang, tapi karena ketamakan dan keangkuhanmu, kau justru membunuhnya! Kau tidak pantas hidup sebagai manusia. Maka atas nama semua dewa-dewi dan penghuni kerajaan langit, kukutuk kau menjadi serigala, seperti makhluk malang yang telah kau bunuh! Kau akan berjalan dengan empat kaki, menghindari kejaran pemburu, ditakuti dan dibenci semua makhluk selama mentari bercahaya di langit. Kau akan selalu terburu-buru meninggalkan kastil sebelum matahari terbit hingga tiada mampu lagi kau menjejakkan kaki di dalamnya!"
Petir yang sangat kuat menyambar lagi, melenyapkan sosok sang dewi dari pandangan kedua mata kuning menyala, mata Thorvard Sigmundson, sang serigala.

(bersambung)




17.8.12

Sang Burung Malam dan Ketidakabadian



Dalam padang jiwa ketidakabadian menemukannya
Sang burung malam berbalut selendang putih menari
Masuk kegelapan hutan beribu tahun yang lampau
Menyanyikan lagu rindu tanah seberang

Tersembunyi dari pandang dunia tengah
Di balik selimut kabut hamparan laut
Alam tanpa derita impian sang burung malam
Ke sanalah seharusnya dia berlayar
Dengan kapal abu-abu dari pelabuhan barat

"Siapakah dirimu oh burung malam?"
Ketidakabadian menemukan separuh hatinya
Dan meski keduanya berbeda
Bertekuk lutut mereka pada sang cinta

Sang burung malam palingkan wajahnya
dari tanah impian di seberang lautan
Bersatulah ia dengan ketidakabadian
"Biarlah kumiliki satu hidup bersama dia
daripada melewati keabadian tanpa dirinya"

by LV~Eisblume
17.08.12
inspired by the story of Beren and Luthien by J.R.R.Tolkien, for our story...


13.8.12

Me? A Paradox!

Kadang-kadang gue nggak ngerti sama diri sendiri. Gue selalu merasa punya kepribadian ganda. Tapi yang namanya punya kepribadian ganda pasti antarkepribadian nggak saling tahu satu sama lain, jadi pasti ini bukan, soalnya gue sadar banget bahwa di dalam diri gue semacam ada 2 "orang" atau "jiwa" yang bertolak belakang. Entahlah gue juga nggak ngerti kenapa bisa gitu. Kalau adek gue bilang itu namanya alter ego. Tapi menurut gue bukan juga, soalnya kalau alter ego itu biasanya ada dua kehidupan berbeda yang dijalanin sama orang itu, sementara gue nggak sampai segitunya. Akhirnya gue lebih suka menyebut bahwa itu memang diri gue yang satu ini yang paradoks, tapi udah parah hahahaha...xD

Mungkin dari sini lebih enak dibilang kalau gue punya kepribadian dengan dua sisi. Dua sisi ini ikut ke mana aja gue pergi. Dua-duanya ke kampus, dua-duanya tinggal di keluarga yang sama, dll. Tapi yang bikin dia jadi paradoks adalah kesukaan, minat dan karakternya. Mungkin lebih mudah ditunjukin buktinya dulu.
Sisi kepribadian gue ada yang sifatnya gelap, yang bisa dilihat kalau buka blog gue yang ini: http://eventyrfjell.tumblr.com/. Di situ sebenarnya ada deskripsi panjangnya tentang siapa gue (dan orang yang nggak tahu gue punya blog yang lain mungkin percaya aja kalau gue ya begitu tanpa tahu sebenarnya gue punya sisi lain). Nah, di blog yang itu orang dapat kesan kalau gue itu seseorang yang tidak religius yang memiliki ketertarikan tingkat tinggi pada era medieval Eropa, Viking dan budayanya, mitologi Norse, paganisme, sihir, ilmu ramal meramal, berbagai ritual dan keyakinan orang Eropa kuno, alam liar, fantasi dan dongeng tapi yang sifatnya mistis (seperti kumpulan karya Grimm). Gue senang mendengar musik metal dan pagan folk. Gue posting segala penjelasan tentang dewa-dewi Norse, huruf Rune, simbol-simbol mistik mereka plus kadang-kadang ajaran bangsa mereka yang tertulis di buku Prose Edda dan Havamal (semacam kitab sucinya orang Norse kuno). Tapi jujur aja, walaupun kesannya gue orang tersesat dan pengikut aliran kayak gitu, sebenarnya tak satupun dari yang gue posting di situ gue percaya. Gue cuma suka aja dan pengen tahu lebih banyak tanpa mau dipercayai, seperti baca dongeng aja. Intinya sih gue tertarik pada hal-hal itu scientifically, bukan spiritually. Yahh.. walaupun gue pengen banget bisa meramal pakai Rune :3

Blog yang satu lagi ada di sini: http://frouwelineisblume.tumblr.com/ . Nah ini versi baik (light) gue. Orang yang lihat ini tanpa tahu blog yang di atas tadi pasti berpikir kalau gue cewek baik-baik, nggak suka aneh-aneh, anak rumahan, ceria, berhati lembut dan sensitif. Postingan gue di situ isinya baju-baju lolita atau mori kei (cabang J-style yang terinspirasi dari gadis yang tinggal di hutan), motif floral, bunga-bunga, foto-foto model cantik, baju-baju modis, kartun disney khususnya Princess, kutipan-kutipan bagus bahkan termasuk di antaranya ayat Alkitab! dan berbagai hal yang berkaitan dengan era Victoria dan gaya vintage. Huahahahaa... cewek banget kan? Dan jelas itu ada satu hal yang bertolak belakang, di blog yang dark gue bisa posting kutipan "kitab suci" nya para pemuja dewa Norse itu, giliran di sini postingnya ayat Alkitab. Kesannya gue aneh banget ya itu kan sangat bertolak belakang (gue juga nggak ngerti kenapa -.-a).

Saat paling aneh adalah ketika gue menyatukan dua sisi itu karena hasilnya pasti jadi aneh. Di kampus, orang melihat gue sebagai cewek yang selalu pakai baju floral yang ceweeeekk buanget (walaupun kadang-kadang kaos + jeans juga kalau lagi males dandan). Tapi di sisi lain gue dengarnya tetap aja musik metal atau mistis. Gue merasa aneh kalau sadar sama gaya gue yang super nggak nyambung ini hahahaa...xD

A Lay for the Land of Dream

I sing a lay for the land of dream:

Where the rivers keep flowing and gleam
And the golden sun never stop her light
Nor the white dim stars to brighten the night
The morning dew and those greenish hills

There live my friends, the merry hole-folk
Outside their doors to go to the mills

Back to the far land, the people tell more
About the fair folk and wonderful tale
Come here and there to reach the sea shore
Kingdom of wonder beyond the sky pale

There live a king in the fairest land
Own he a high throne and a mighty sword

Men of honour reached the golden sand
In long years ere him to proclaim the word
Deep in the caves of the precious stone
Dwell the dwarf lords in glittering hall
Long may the time till the quest well done
Ere the world get their best dreams and all

End of all ways may the wisest know
And until that I'll let my life flows
Runaway to walk my path on the land
To release myself from the nightmare's hand
Here I end my lay for the land of dream

by LV~Eisblume
13.08.12
for Middle Earth, a land who save me from loneliness..









12.8.12

Bhinneka Tunggal Ika, hanya sekedar semboyan saja?

Gue selalu mau nulis ini dan baru kesampaian sekarang, setelah banyak peristiwa terjadi mendorong gue untuk melakukannya. Plus bentar lagi Hari Kemerdekaan Indonesia jadi pas banget untuk bahas hal-hal seperti ini :)

Pernah nggak sih kalian menanyakan hal ini: apakah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu beneran ada? Atau Bhinneka Tunggal Ika itu hanya semboyan buat keren-kerenan negara kita di mata internasional aja? Pertanyaan ini tuh selalu muncul di kepala gue kalau sedang heboh-hebohnya ada isu berkaitan dengan keberagaman SARA di negara kita. Gue tahu, negara kita itu bagus sekali apalagi dari segi keberagamannya. Gimana enggak, sukunya macam-macam dari yang asli maupun pendatang. Agama juga macam-macam, nggak terhitung lagi kepercayaan yang bahkan kita sendiri aja nggak tahu eksistensinya. Bahasa daerah macam-macam. Duh, apalagi yang macam-macam? Banyak banget kan... Dan menurut gue hal ini tuh jadi nilai plus di mata internasional.

Kenyataan bahwa banyak sekali sisi negatif negara kita yang juga terekspos ke luar negeri nggak bisa kita pungkiri. Korupsi, pembajakan, terorisme, kemiskinan, konflik-konflik dalam negeri, separatisme, illegal logging, dll. semua pernah masuk media internasional. Kebetulan gue suka sekali menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai negara dan gue selalu malu kalau segi negatif ini ketahuan. Untungnya sisi positif Indonesia dari keberagamannya bisa menutupi semua itu. Gue selalu bilang sama mereka: yah, itu bangsanya yang bikin citra buruk seperti itu, tapi kenyataannya Indonesia bagus lho. Kita punya buanyak sekali suku dan bahasa, kita terdiri dari masyarakat yang keyakinannya beragam. Percaya nggak kalau kita aja punya 4 tahun baru dalam setahun: tahun baru masehi, tahun baru Imlek, tahun baru Hijriyah dan tahun baru Saka. Waktu teman-teman gue dengar ini mereka memuji-muji Indonesia. Tapi JLEB!! kenyataannya gue sadar kalau gue sudah bohong ke mereka. Kenyataannya ada yang nggak beres di negara kita berkaitan dengan keberagaman ini. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ingat cerita nyokap gue dulu bahwa pada zaman Orde Baru masalah semacam ini tuh nyaris nggak lebih dari masalah kecil yang biasa ada di semua negara. Coba lihat sekarang deh.. Orang mau ibadah aja susah, mendirikan tempat ibadah harus izin sana sini, tempat ibadah dihancurkan, orang-orang dari golongan suku tertentu dianggap bukan "Indonesia", diskriminasi terjadi di sana-sini. Gue jadi bertanya-tanya lagi, sebenarnya segi positif yang gue bilang ke teman-teman di luar sana itu ada beneran nggak sih?

Yang gue tulis di atas bukan karangan. Gue yakin sekarang kalau Bhinneka Tunggal Ika itu nggak lebih dari semboyan doang. Kalau nggak percaya coba deh kita renungkan hal berikut ini:
- Kalau kita berada di antara orang-orang Indonesia, kita cenderung masih memandang mereka sebagai suku A, suku B, agama A, agama B. Jarang yang bisa memandang cukup sampai "sesama Indonesia" saja. Anggapan "sesama Indonesia" cuma berlaku kalau sedang ada pertandingan sepak bola, bulu tangkis atau intinya punya musuh bersama atau ketika sudah jadi teman akrab.
- Sebagian besar dari kita senang dan menerima adanya hari besar agama lain di kalender hari nasional Indonesia hanya karena senang dengan liburnya, bukan karena rasa ingin respek pada penganutnya. Pasti sebagian besar dari kita masa bodoh aja, bahkan nggak kasih ucapan apa-apa sekali pun teman kita merayakannya.
- Sebagian besar dari kita masih jauh lebih suka jika dipimpin oleh orang yang segolongan baik agama, suku, ras, dll. tetapi prestasinya biasa aja atau bahkan buruk daripada dipimpin oleh orang yang golongannya beda tapi prestasinya lebih bagus.
- Sebagian besar dari kita setidaknya masih menganggap suku tertentu sebagai "bukan Indonesia" atau "pendatang" sekalipun kenyataannya mereka dan nenek moyangnya sudah lama ada di Indonesia.
Kalau kita banyak setuju dengan pertanyaan di atas, artinya Bhinneka Tunggal Ika buat kita itu hanya semboyan doang dan belum masuk ke kehidupan kita sehari-hari. Kita masih mengutamakan kelompok atau golongan di atas kesatuan sebagai Indonesia.

Kadang-kadang gue berharap pemerintah bisa memberi contoh yang baik lewat institusi-institusinya supaya Bhinneka Tunggal Ika nggak cuma jadi semboyan aja. Eh tapi sayangnya enggak. Bahkan dari institusi yang di dalamnya beranggotakan anak-anak dan remaja (yang harusnya sejak kecil diajarkan tentang penerapan semboyan itu) saja tidak. Misalnya saja institusi pendidikan milik pemerintah, dari jenjang SD sampai Universitas. Kebetulan gue nggak pernah mengayom pendidikan di sekolah milik pemerintah sampai akhirnya gue kuliah di UI dan terkaget-kaget dengan isinya. Beberapa hal yang gue catat berkaitan dengan bahasan di post ini:
1. Sejak masuk UI gue sering banget dengar orang tanya: "asal mana?" dan ketika gue tanya lagi: "asal apa? sekolah?", orang tsb menjawab: "bukan, asal daerah." Lebih parah lagi kalau orang itu langsung tanya: "suku mana?" hohoho.. pertanyaan ini paling males gue jawab. Memang apa pentingnya suku gue buat orang itu? Mau dicatat ke database? Udahlah ngapain sih masih bahas-bahas suku segala, kita sama kok orang Indonesia, suku-sukuan itu buat personal aja deh nggak usah dibawa keluar. Gue tau itu bisa memperkaya Indonesia, tapi kenyataannya pertanyaan begitu tuh nggak penting dan ujung-ujungnya malah dipakai buat beda-bedain orang :(
2. Sikap yang sama berlaku untuk pertanyaan: "agama apa?" dan semua kolom agama di semua biodata yang terpaksa gue isi kecuali yang buat database mahasiswa yang di SIAK NG. Lebih kesel lagi kalau pertanyaannya: "Lo x atau non-x?" Seolah-olah yang penting cuma x ini doang dan sisanya nggak dilihat lagi ragamnya cuma dibilang non-x. Duh di Indonesia kan ada 5 agama lainnya yang diakui (dan sebenarnya menurut gue ini masalah juga, masa dari ratusan keyakinan yang diakui cuma 5, padahal kita lebih beragam dari itu).
3. Ucapan salam di semua acara. Bukannya gue gak mau jawab atau sentimen, nggak sama sekali. Gue tahu itu hanya sebuah ucapan salam yang nggak ada salahnya dibalas (bahkan selalu gue balas). Sama dengan ucapan "Guten Tag" ketika masuk jurusan Jerman. Tapi masalahnya ada di sini nih: itu bukan bahasa Indonesia >.> dan nggak semua orang menempatkan "selamat pagi/siang/sore/malam" di belakangnya. Kenapa sih di institusi yang sifatnya milik umum, milik pemerintah dan universal nggak pakai bahasa Indonesia aja. Kecuali kalau ada di kelas bahasa tsb sih silakan aja. Coba deh kita ganti salam itu pakai bahasa Inggris, atau "God be with you" gitu misalnya, pasti nggak enak juga kan? Pakai bahasa asing di tengah acara resmi institusi yang labelnya "Indonesia" :c
4. Salah satu maba gue baru aja masuk UI dan ikut OBM. Pas di kelas Learning Skill dan disuruh muterin kertas trus ngisi pendapat tentang teman yang punya kertas itu, banyak orang nulis di kertas dia dengan tulisan nama sukunya atau yang berhubungan dengan itu. Buat apa coba? Setahu gue kertas itu harusnya dipakai untuk nulis karakter orang tsb deh -.-a Lebih parahnya lagi si maba ini cerita ke adek gue kalau dia dulu di SMA cuma satu-satunya anak yang agamanya beda. Sampai pas kelas agama gurunya frustasi trus marah-marah dan bilang: "ini nih akibatnya kalau kamu minoritas!" setelah sebelumnya menarik dia ke ruang guru. Hmm.. yang gue kaget, sekolahnya ini ternyata jadi partner pemerintah Jerman. Duh, kalau gue jadi pemerintah Jerman gue akan berpikir sekolah ini gak deserve posisi itu, karena mereka gagal melakukan sesuatu yang sedang diperjuangkan sekali sama pemerintah Jerman: Multikulturalisme.
5. Gue sama teman gue pernah lihat spanduk gede-gede di depan stasiun soal sukarelawan yang mau dikirim ke Palestina. Menurut gue spanduk itu berlebihan banget ya. Pertama, ngapain coba sukarelawan digembar-gemborkan. Sukarelawan kan harusnya anonim. Kedua, gue heran sama universitas ini. Indonesia masih banyak masalah, banyak orang-orang di wilayah terpencil yang nggak tersentuh tangan pemerintah. Kenapa nggak kirim sukarelawan ke sana aja trus digembar-gemborkan? Mereka sama-sama Indonesia lho...jadi kayanya lebih pantas digembar-gemborkan :) Yah, mungkin orang Indonesia (lagi-lagi) lebih melihat yang segolongan daripada yang sebangsa -__-a atau lagi-lagi cuma buat citra bagus yang palsu di mata internasional. Sama dengan konflik di Rohingya yang digembar-gemborkan tapi lupa kalau negara sendiri masih diskriminatif sama kelompok-kelompok minoritas -__-a

Gue tahu betul kalau di mana-mana minoritas, baik dari segi suku, agama, ras bahkan gaya dan selera (makanya ada namanya subculture) pasti didiskriminasi. Hak mereka nggak akan sebanyak kelompok mayoritas. Banyak orang Indonesia yang menunjuk-nunjuk kalau misalnya di Jerman terjadi hal yang sama terhadap para imigran Turki, di Norwegia terjadi hal yang sama terhadap imigran Afrika dan Afghanistan, dan lain sebagainya. Tapi ingat, Jerman, Norwegia, dan negara-negara itu pada awalnya bersifat monokultur. Negara yang terdiri dari satu bangsa, satu ras bahkan punya agama resmi. Sementara itu Indonesia berdiri di atas keberagaman itu. Berbagai suku, agama, ras dan golongan mendirikan Indonesia, bersumpah lewat Sumpah Pemuda dan akhirnya menghasilkan semboyan itu. Hal itu yang membuat kita jadi tidak boleh diskriminatif dan harus mengutamakan Indonesia di atas golongan. Kalau tidak setuju dengan hal ini lebih baik keluar dan buat negara sendiri khusus untuk kelompoknya :)

Tulisan ini sama sekali bukan buat mancing pertengkaran atau menyerang pihak-pihak tertentu. Gue bahkan nggak menyebut terang-terangan berbagai macam pihak yang ada di sini. Pada intinya inilah hal yang gue rasakan selama ini dan gue temukan di sekitar gue. Kalau ada hal yang menyinggung baik langsung dan tidak gue minta maaf sedalam-dalamnya. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita semua :)

Peace,
Eisblume :)