Tahun 2013 ini saya mau mengawali dengan iseng menulis review film yang telah mewarnai akhir tahun 2012 saya: The Hobbit: An Unexpected Journey. Berhubung saya bukan ahli tentang teknik film, saya akan lebih banyak membahas dari segi ceritanya.
The Hobbit: An Unexpected Journey merupakan prekuel dari trilogi The Lord of The Rings sekaligus bagian pertama dari trilogi The Hobbit. Disutradarai oleh Peter Jackson dan dibintangi aktor-aktor yang keren membuat film ini tidak kalah oke dibandingkan sekuelnya. Hal yang membuat film ini melampaui The Lord of the Rings adalah teknik yang digunakan (tentu saja, karena LOTR dibuat 10 tahun sebelum film ini :)). Film The Hobbit menggunakan kamera yang sangat canggih yang mampu merekam 48 frame per detik. Hal ini membuat gambar yang dihasilkan sangat jelas dan bahkan lebih terang dari warna-warna yang kita lihat di kenyataan. Beruntung saya sempat menyaksikan The Hobbit dalam versi 3D (di Djakarta XXI, cuma 40 ribu loh ^^ *promosi*).
Sama seperti LOTR, The Hobbit merupakan film yang diadaptasi dari karya J.R.R. Tolkien dengan judul yang sama. Namun, film The Hobbit tidak murni mengambil dari bukunya saja, melainkan juga menyisipkan beberapa bagian yang tertulis dalam Appendix buku ke-3 The Lord of The Rings yaitu The Return of the King. Sebagai penyuka fantasi, tentu bagi saya The Hobbit dan rangkaian kronik Middle Earth lainnya sangat keren dan sukses menjadi dunia pelarian yang sangat menyenangkan. Terlepas dari pendapat subjektif itu, menurut saya, The Hobbit adalah film yang dipenuhi pesan moral (sama seperti LOTR ^^). Nah, setelah bagian yang ini,
spoiler alert yak :P
Film The Hobbit dibuka dengan flashback pada masa kejayaan kerajaan ras Dwarf dengan sang raja, Thror, yang berkuasa di bawah gunung. Di bawah gunung yang bernama Erebor itu rupanya tersimpan begitu banyak bahan tambang yang mahal dan melimpah seperti emas, perak, dan berbagai jenis batu mulia. Kejayaan kerajaan ini bermula ketika mereka menemukan bahan tambang baru yang sangat berharga, yaitu Arkenstone. Dari hasil tambang ini, sang raja membangun kota-kota mewah dan istana di bawah gunung yang dipenuhi pilar-pilar megah. Namun, sang raja menjadi tamak dan terus menggali dan mengeksploitasi hasil tambang di dalam gunung itu. Bencana datang ketika tiba-tiba seekor naga bernama Smaug menyerbu kerajaan Dwarf tersebut, menghancurkan kota-kotanya dan membunuh banyak jiwa termasuk sang raja. Kaum Dwarf yang tersisa terusir dari tanah mereka dan terpaksa mengembara ke berbagai penjuru Middle Earth. Di sini sudah ada pesan moral pertama yang disampaikan lewat kata-kata Bilbo yang menceritakan flashback itu: "Di mana ada kegilaan, di situlah hal buruk akan datang." Pada intinya segala hal yang berlebihan akan mendatangkan bencana atau hal buruk.
Cerita berlanjut ke beberapa tahun setelahnya, kaum Dwarf yang terusir berusaha mencari tanah tempat tinggal baru. Anak dari Raja Thror, yaitu Thrain, mencoba memasuki tambang milik nenek moyang mereka yang sudah ditinggalkan di bawah Misty Mountain, yaitu Khazad-Dum. Sesampainya di sana, ia justru mendapati bahwa tambang telah diduduki oleh Orcs (salah satu makhluk jahat di Middle Earth) dan terbunuh. Putranya yang bernama Thorin kemudian mengumpulkan pasukannya dan bergerak menuju Khazad-Dum untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Raja Orcs yang bernama Azog berhasil dibunuh, namun anaknya yaitu Bolg berhasil lolos. Di pihak Dwarf terdapat angka kematian yang sangat tinggi sebagai dampak perang. Orcs yang tersisa rupanya tidak tinggal diam. Mereka memburu Thorin, yang kini menggantikan ayahnya sebagai raja Dwarf, untuk dibunuh sebagai bentuk balas dendam atas kematian raja mereka. Pesan moral kedua: segala hal yang dilandasi dendam hanya akan membawa hal yang lebih buruk lagi dan permusuhan yang berkelanjutan.
Terlepas dari perang Dwarf dan Orcs, cerita inti The Hobbit adalah usaha merebut kembali Erebor dari tangan Smaug sang naga. Usaha ini dipimpin oleh Thorin sang raja Dwarf dengan bantuan Gandalf the Grey sang penyihir bijak yang mencarikan satu orang lagi sebagai pelengkap rombongan Dwarf yang sudah terdiri dari 13 orang tersebut. Entah apa alasannya, Gandalf memilih Bilbo, seorang Hobbit yang sehari-harinya hidup damai di dalam lubang bersama makanan-makanan lezat dan perapian di Bag End. Mulanya Bilbo ragu untuk ikut karena ia merasa tidak bisa melalui perjalanan yang berbahaya seperti itu dan lebih memilih menikmati hidup di rumahnya. Pada akhirnya karena terbujuk nasehat Gandalf yang berkata: "dunia itu bukan berada di peta dan buku, melainkan di luar sana." Bilbo pun ikut dalam rombongan.
Masalah muncul dalam rombongan tersebut karena Bilbo merasa rendah diri karena bantuan yang diberikan hanya sedikit dan terkesan lebih banyak menghambat perjalanan. Di sisi lain, Thorin sang pimpinan rombongan merasa bahwa Bilbo tidak berguna dan skeptis bahwa ia akan membantu dalam perjalanan itu. Seiring waktu berjalan, rombongan Dwarf bersama Bilbo dan Gandalf melewati berbagai petualangan yang mendebarkan dan rintangan-rintangan berbahaya seperti ditangkap Troll, dikejar pasukan Orcs, melintasi pegunungan yang dipenuhi raksasa batu, sampai ditawan kaum Goblin. Pada saat ditawan kaum Goblin inilah Bilbo terpisah dan bertemu Gollum, makhluk yang memiliki cincin yang nantinya akan menggemparkan seluruh Middle Earth. Bilbo "tanpa sengaja" mencuri cincin itu dari Gollum. Selanjutnya, Bilbo-lah yang membawa cincin itu sampai kemudian keponakannya, Frodo, akan membawa cincin itu untuk dihancurkan dalam trilogi LOTR. Pesan moral ketiga: setiap orang pasti memiliki suatu misi dalam hidupnya yang telah direncanakan oleh sang pencipta. Bahkan orang yang paling kecil dan bukan siapa-siapa pun bisa mengubah dunia. Hal ini terbukti lewat Bilbo dan (nantinya) Frodo. Sekadar info, Hobbit adalah makhluk paling apatis dan tidak diperhitungkan di antara ras-ras lain yang menghuni Middle Earth.
Pesan moral yang paling penting muncul pada akhir cerita. Ketika itu, Bilbo yang awalnya hanya mempersulit dan nyaris memutuskan untuk pulang ke rumah, justru kembali kepada rombongan Dwarf untuk membantu mereka dari kejaran para Orcs. Saat Thorin berhasil ditangkap dan nyaris terbunuh di tangan para Orcs, Bilbo-lah yang turun dari pohon tempat dia menyelamatkan diri hanya untuk mengalihkan perhatian para Orcs dan menyelamatkan Thorin. Pada akhirnya, Bilbo menyadari kemampuannya dan merasa lebih percaya diri. Di sisi lain, pesan moral terpenting datang dari Thorin. Dengan jiwa besar, ia memeluk Bilbo dan meminta maaf. Dengan berani ia mengakui bahwa ia telah salah menilai Bilbo dan meremehkannya. Ternyata justru Bilbo-lah yang menyelamatkannya. Thorin dan Bilbo kemudian menjadi teman dan bersama-sama melangkah menuju Erebor.
Kalau menonton dan memperhatikan lebih detil, bisa jadi lebih banyak lagi pesan moral yang didapatkan, misalnya ketika Bilbo memilih untuk membiarkan Gollum tetap hidup. Perbuatan ini rupanya memberikan dampak yang sangat positif bagi seluruh Middle Earth yang akan terungkap dalam trilogi LOTR. Intinya, perbuatan yang baik, suatu saat akan berbuah sangat baik. Kemudian ada juga pesan yang disampaikan Gandalf ketika ia memberikan sebilah pedang pada Bilbo: "Keberanian bukan berarti berapa jumlah nyawa yang telah kau bunuh, tetapi justru berapa jumlah yang tidak kau bunuh."
Sayang sekali film ini tiba di Indonesia bersamaan dengan munculnya dua film lokal yang juga bagus, 5cm dan Habibie Ainun. Perfilman Indonesia yang semakin membaik memberikan lebih banyak tempat pada kedua film tersebut. Film The Hobbit hanya muncul di bioskop-bioskop yang memiliki teknologi pemutar film 3D atau kamera High Frame Rate. Selain itu, tampaknya selera masyarakat Indonesia terhadap film fantasi tidak begitu besar seperti masyarakat negara lain. Hal ini membuat film The Hobbit mungkin tidak akan terlalu lama bertahan di bioskop-bioskop dalam negeri. Jadi, yang mau nonton dan belum sempat, buruan nonton! Nggak nyesel loh ^^
PS: Selain Thorin, ada Dwarf lain yang superganteng, namanya Kili :)
~ Eisblume