12.9.12

Burung Kecil

Di bawah tiang beton bukanlah rumahmu
Pun jalan layang bukanlah atapmu
Asap kendaraan bukanlah udaramu
Tapi mengapa kutemukan dirimu di sana,
oh burung kecil?

Di atas rumputan hijau seharusnya
Kaki-kaki kecilmu berlarian
Di bawah naung dedaunan seharusnya
Sayap-sayapmu mengepak terbang
Tapi mengapa kutemukan dirimu di sini,
oh burung kecil?

Tersesatkah engkau?
Kulihat tak seekor teman pun ada bersamamu
Atau kehendakmulah,
ketibaanmu di rimba jeruji besi ini?

Sadarlah, oh burung kecil!
Tempat ini bukan kebebasan
Kota hanyalah sangkar semu
Berkedok ilmu dan kemajuan zaman
Alangkah indahnya dunia
Jika kau tak pernah tiba di sini

Ah, burung kecil...,
kurasa aku tahu mengapa
dirimu ada di tempat ini...
Kau menunggu teman yang 'kan membawamu
pergi dari tempat ini, bukan?
Ataukah, kau menunggu kekasih,
yang 'kan kau bawa pulang ke bumi impian?


by LV~Eisblume
120912
for the little creature on the street that i saw this afternoon

7.9.12

Siapa Menyepakati?

Sebenarnya ini sebuah pertanyaan yang muncul di otak saya kemarin, ketika baru keluar dari kelas Semantik Pragmatik. Waktu di dalam kelas pertanyaan ini udah muncul, tapi bingung mau nanya gimana. Hal ini berkaitan dengan bahan kajian mata kuliah semantik, yaitu tanda secara umum dan tanda bahasa. Ibu dosen menjelaskan bahwa ada banyak hal yang dapat digolongkan sebagai tanda, misalnya: benda, rambu-rambu, kata, gambar, warna, dll. Pada intinya yang diperlukan sesuatu itu untuk menjadi sebuah tanda adalah adanya kesepakatan bersama dari orang yang melihatnya bahwa sesuatu tersebut menyiratkan suatu makna.

Banyak hal telah disepakati masyarakat sebagai tanda. Contoh yang kemarin sempat disebutkan juga misalnya warna putih sebagai simbol kesucian atau kebersihan dan warna hitam sebagai simbol duka, kesedihan dan kegelapan atau kejahatan. Sebenarnya saya bingung, siapakah orang-orang yang "menyepakati" tanda-tanda ini? Siapa yang bilang kalau putih itu simbol kesucian dan hitam adalah simbol kegelapan/kejahatan? Jika tanda itu sudah disepakati sejak lama oleh masyarakat yang lampau, apakah masyarakat atau generasi yang hidup sekarang boleh tidak sepakat atau harus menuruti apa yang sudah ada? Atau lebih ekstrim lagi, bolehkah saya tidak sepakat dengan makna tanda tersebut? Bagaimana kalau saya berpikir bahwa baik warna putih dan hitam itu sama saja? Bagaimana jika saya berpikir bahwa hitam itu lebih indah daripada putih? Bagaimana jika saya memberi arti yang berbeda dari orang-orang kebanyakan? Apakah berarti saya salah? :c

Ada yang bisa bantu? :)

5.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (3)

Tak ada satu pun manusia yang masih mengingat kisah Blanche sang penyihir. Bahkan semua orang kini menganggap keberadaannya sebagai dongeng saja. Termasuk Lady Calime, seorang putri yang sangat cantik dari garis keturunan halfelven atau campuran manusia dan elf. Darah elf yang mengalir di tubuhnya membuatnya memancarkan cahaya putih lembut. Walau demikian, darah manusia yang dimilikinya membuatnya tidak abadi sehingga tetap harus melewati kematian layaknya manusia.

Hari ini Lady Calime sangat berbahagia. Beberapa hari lagi akan tiba hari pernikahan yang paling dinantinya seumur hidup. Hari ini juga, Roland, calon suaminya yang juga seorang ksatria tampan dan gagah berani akan pindah ke kastil yang didiami Lady Calime. Pesta pernikahan memang akan dilangsungkan di kediaman mempelai wanita sebagaimana tradisi yang hidup di kerajaan tersebut. Siang itu Roland tiba bersama para pengawal dan pengiringnya. Mereka membawa banyak sekali barang dan menempatkan semuanya di kamar sang ksatria yang terletak tidak jauh dari kamar Lady Calime. Menurut tradisi kerajaan juga, kedua calon mempelai akan tidur di kamar berbeda sampai pada hari pernikahan mereka. Pada hari pernikahan itu akan disiapkan kamar lain tempat mereka akan bersatu pada akhirnya.

"Barang apa saja yang kau bawa, kekasihku?" tanya Lady Calime ketika ia mengintip ke dalam kamar Roland dari pintu. Tampak jelas ada banyak sekali barang baru di dalam kamar itu yang bahkan masih ditutupi selubung kain.
"Aku juga tidak tahu, Sayang, sebagian besarnya hadiah dari kerabat-kerabatku untuk hari pernikahan yang akan datang sebentar lagi," jawab Roland.
Ksatria itu kemudian mengundang sang kekasih masuk dan menemaninya di kamar. Lady Calime melangkah dengan penuh keanggunan dalam balutan gaun biru lautnya yang indah.
"Mungkin kita bisa membuka satu persatu benda ini bersama-sama," usul Roland, yang langsung disetujui Lady Calime.
Sesungguhnya dari sekian banyak barang, Lady Calime sangat penasaran dengan sebuah benda pipih yang lebar dan diselubungi kain berwarna hijau pupus yang warnanya sudah tidak indah lagi. Dengan segera ia mengambil benda yang bersandar di tembok itu dan membuka kain yang menutupinya.
"Apa itu, cermin?" tanya Roland ketika melihat benda yang dipegang kekasihnya.
"Sepertinya demikian, cermin antik yang sudah tua," jawab Lady Calime, ia membuka seluruh selubungnya.
"Aneh. Kenapa ada orang yang memberiku cermin?" sang ksatria bertanya dengan bingung.
"Haha... tidak apa-apa. Itu tetap hadiah. Seorang pria tidak berarti tidak butuh cermin, bukan?" ujar Lady Calime.
"Aku penasaran, siapa yang terpikir untuk menghadiahi aku sebuah cermin antik," kata Roland.
Karena penasaran, sang ksatria memanggil salah satu orangnya yang tadi membawa barang-barang ini ke kamar.
"Dari mana kau dapatkan cermin ini? Apakah ini hadiah? Siapa yang memberikan benda ini kepadaku?" tanya Roland.
"Cermin itu kami beli di pasar, Tuan. Seorang nenek tua menjualnya. Kata nenek itu, cermin ini akan membawa kebahagiaan bagi pernikahan Tuan," jawab pria yang dipanggil tadi.
Tanpa bertanya lagi, Roland menyuruh orang itu meninggalkan kamar. Baik Roland maupun Lady Calime tak ada yang sungguh-sungguh percaya dengan kebahagiaan yang dijanjikan benda itu. Meski demikian, Lady Calime merasa cermin itu memiliki keindahan tersendiri yang dapat menghias kamar yang kosong itu. Sang putri mengambil cermin itu dari tangan kekasihnya lalu menggantungkannya pada sebuah paku di tembok, tepat berhadapan dengan tempat tidur di tengah ruangan. Bayangan ruangan yang kosong dan kusam tampak indah di dalam cermin. Mungkin cermin itu sungguh-sungguh cermin ajaib.

4.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (2)

"Tolooong..!! Kebakaraaan!!"
"Selamatkan mereka!! Cepat! Cepat!"
Teriakan penduduk terdengar di seluruh penjuru desa. Mereka berlari ke sana ke mari mencari sumber air dan berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar di salah satu sudut desa. Si jago merah sedang melahap salah satu rumah dengan ganasnya. Rumah Blanche. Di dalam rumah itu tinggal kedua orang tuanya dan Blanche sendiri, sementara sang kakak sudah pindah tinggal setelah pernikahannya. Api yang sangat besar disertai asap tebal seakan menelan rumah itu beserta isinya. Walaupun penduduk desa telah menyiramkan bergentong-gentong air, tetap saja api terus berkobar tak kunjung padam. Usaha yang mereka lakukan berjam-jam menjadi sia-sia ketika akhirnya bangunan itu habis dilalap api.

Tanah di sekitar rumah masih panas dan asap masih membumbung di beberapa sudut. Para penduduk berkerumun menanti sisa apa yang akan mereka temukan dalam rumah. Ketika dirasa cukup aman, beberapa dari mereka mencoba masuk menembus reruntuhan rumah itu. Mereka mencari entah apapun yang bisa mereka temukan di dalam. Semua habis tak tersisa, termasuk kedua orang tua Blanche yang telah menjadi mayat. Tiba-tiba terdengarlah suara isak tangis lain dari balik reruntuhan. Dengan cepat para penduduk desa bekerja sama mengangkat kayu dan batu yang rata dengan tanah. Mereka menemukan sosok Blanche yang terbungkus kain hitam dan menangis tersedu-sedu di bagian yang dulunya kamar pojok di rumah itu, tempat Blanche disembunyikan.
"Siapa gadis ini?" seseorang mencoba membuka kain hitam yang menyelimuti dirinya.
Mereka terkejut karena tak satu pun penduduk desa itu mengetahui keberadaan Blanche sebelumnya.
"Bukankah keluarga ini hanya punya satu anak perempuan?" tambah yang lain. 
"Tidak, mereka punya dua. Tetapi yang satu sudah mati," kata seorang ibu.
"Lalu siapa dia?" tanya yang lain lagi.
"Cukup sudah! Berhenti berdebat. Dia ini Blanche, adikku!" kata sang kakak.
Wanita cantik itu bangkit dari sisi mayat orang tuanya dan menghampiri adiknya yang menangis tersedu-sedu. Alangkah terkejutnya ia ketika dibukanya kain hitam itu dan mendapati bahwa adiknya sangat cantik, bahkan melebihi dirinya. Semua orang di sekitar mereka sibuk berbisik-bisik. Tak satu pun percaya bahwa wanita itu memiliki adik. Tak satu pun percaya bahwa ada seseorang yang sangat cantik telah selamat dari kebakaran besar itu. Mereka merasa keajaiban telah terjadi.

* * *
Setelah kejadian itu, Blanche tinggal bersama kakaknya di sebuah rumah di bagian desa yang terletak dekat dengan hutan. Sang kakak selalu sibuk bekerja. Ia mencari kayu bakar di dalam hutan. Sementara suami sang kakak menghidupi keluarga barunya dengan bekerja sebagai tukang kayu di rumah. Tanpa sepengetahuan kakaknya, diam-diam Blanche telah menaruh hati pada si tukang kayu. Mulanya si tukang kayu tak pernah meladeni setiap godaan yang dilontarkan gadis itu padanya. Blanche yang kesal karena selalu gagal membalaskan dendam pada kakaknya mulai menggunakan sihirnya lagi. Ia mengucapkan mantera dan berhasil menjerat si tukang kayu dalam perangkapnya. 

Suatu hari sang kakak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar seperti biasa. Namun di tengah jalan ia teringat akan sesuatu. Ia lupa membawa bekal yang telah disiapkannya di atas meja. Alangkah terkejutnya ia ketika tiba di rumah. Sang kakak mendapati bahwa adiknya, Blanche, telah tidur bersama suaminya tanpa sepengetahuan dirinya. Ia juga terkejut menemukan buku mantra dan alat sihir lainnya berserakan di kamar Blanche. Segera ia mengetahui apa yang telah dilakukan adiknya. Dengan penuh amarah ia menyeret Blanche dan mengusirnya keluar bersama peralatan sihirnya.

Penuh benci dan dengki, Blanche pergi berlalu dari rumah itu. Ia kemudian hidup menumpang dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia mengganti namanya berulang kali, juga wajahnya sehingga tidak diketahui orang. Tetapi selalu akhir yang sama ditemukan pada setiap rumah. Blanche berselingkuh dengan suami wanita yang tinggal di rumah itu sehingga ia selalu diusir. Lama kelamaan orang tersadar bahwa setiap wanita yang datang ke rumah mereka adalah orang yang sama. Wanita terakhir yang ditumpangi Blanche berhasil menyeretnya ke gedung pengadilan di kota yang terletak di balik tembok tinggi. Dibukanya keras-keras pintu gedung pengadilan dan ia berteriak dengan lantang:
"Bapak Hakim yang terhormat, hari ini juga telah saya temukan seorang wanita penyihir yang bersembunyi di antara kami!" lalu ditunjukkannya peralatan sihir Blanche sebagai bukti.
 Sidang atas terdakwa Blanche digelar. Semua penduduk yang telah menjadi korbannya berkumpul di situ dan berteriak-teriak dengan gaduh meminta Blanche segera dihukum.
"Hukuman paling pantas untuk penyihir adalah dibakar!" teriak seorang ibu.
"Atau ditenggelamkan di sungai!" tambah ibu lainnya.
Kemudian sang hakim berusaha menengahi keriuhan yang terjadi.
"Tenang dulu para penduduk desa. Kita tidak bisa langsung menjatuhkan hukuman dengan tidak bijak. Sebelumnya tidak pernah ada hukuman seperti itu yang dijatuhkan pada penduduk desa kita, " kata sang hakim.
"Biarkan saja, Pak Hakim! Hukum mati saja wanita ini!!" teriak beberapa wanita yang menjadi korban Blanche.
Namun para penduduk desa tak dapat menentukan apa hukuman yang pantas bagi Blanche. Beberapa wanita ingin dia dihukum gantung. Beberapa yang lain minta hukuman bakar, seperti penyihir-penyihir di negeri-negeri lainnya. Ada pula yang meminta agar Blanche ditenggelamkan di sungai. Pada akhirnya karena solusi tidak kunjung ditemukan, sang hakim memutuskan untuk mengusir Blanche jauh dari wilayah tersebut dan menyita segala peralatan sihirnya. Pakaian Blanche yang indah disita dan diganti dengan pakaian lusuh. Rambut merahnya yang indah dipotong dan segala perhiasan yang dipakainya dilucuti. Dengan mata tertutup ia dibawa jauh meninggalkan kota dan desa-desa di situ, lalu dilepaskan di tengah hutan dan ditinggalkan di sana. Tak satu pun pernah melihat Blanche setelah kejadian itu. Tahun-tahun dan masa yang panjang berlalu. Orang mulai melupakan namanya. Kisah Blanche hanya menjadi legenda, sebelum kemudian dilupakan sama sekali. Tetapi sesungguhnya ia terus hidup melewati tahun-tahun itu, tanpa seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya. Sosok buruk rupa aslinya telah kembali, seiring dengan dirinya yang dijauhkan dari peralatan sihirnya.

(bersambung)

2.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (1)

Kisah ini datang dari zaman yang sudah sangat lama berlalu. Di sebuah desa yang terletak tak jauh dari kota yang dikelilingi tembok tinggi, tinggallah sebuah keluarga sederhana. Keluarga ini memiliki dua orang anak perempuan. Yang pertama berusia lima tahun dan dikaruniai wajah yang begitu cantik dan lembut, sementara yang kedua baru saja lahir kemarin dengan keadaan bertolak belakang dengan sang kakak. Meski demikian, anak kedua itu memiliki nama yang indah, Blanche.

Orang tua Blanche sangat kecewa melihat anak kedua mereka. Mereka bahkan berharap jika anak itu sebaiknya tidak dilahirkan saja. Wajahnya buruk dan perkembangan tubuhnya lambat. Kemampuan motorik maupun kepandaiannya jauh berbeda dibanding kakaknya. Karena begitu kecewa akan kondisi Blanche, orang tuanya berusaha menyembunyikan keberadaannya. Mereka selalu mengaku hanya memiliki satu anak saja kepada semua orang. Blanche disembunyikan dan dikurung dalam ruangan yang gelap di sudut rumah seolah ia orang gila atau berpenyakit menular. Ketika ia berbuat kesalahan, orang tuanya tidak segan-segan memberinya hukuman fisik yang berlebihan. Blanche tidak pernah kenal teman dan pergaulan. Masa kecilnya dihabiskan dalam kegelapan.

Suatu ketika di ulang tahunnya yang ke-16, Blanche meratapi nasibnya seorang diri di sudut ruangan tempat dirinya disembunyikan. Bahkan sampai usianya yang hampir dewasa, orang tuanya tidak melepasnya keluar. Sementara kakaknya sudah berencana melangsungkan pernikahan, ia tidak kenal siapapun di luar, seolah ia tidak pernah ada di dunia. Di sela-sela tangisnya itulah terdengar suara kepak sayap yang semakin kuat.
"Selamat malam, gadis cantik. Mengapa engkau menangis?" terdengar suara parau yang dingin menyapanya.
"Siapa kau?!" Blanche menengadah dan terkejut melihat seekor gagak hitam besar bertengger di jendela kecil tepat di atas kepalanya. Jendela itu adalah satu-satunya sumber cahaya dan tempat ia dapat mengintip sedikit dunia luar.
"Aku? Aku utusan Maharaja Kegelapan," jawabnya sambil tertawa dingin.
"A-apa.. apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Blanche, masih ketakutan.
"Aku hendak membantumu keluar dari masalahmu, gadis cantik. Aku tahu betul masalahmu. Kau hampir dewasa dan kau ingin keluar dari sini, bukan? Kau ingin punya teman bukan? Kau ingin seperti kakakmu yang cantik itu, ya kau ingin itu dan aku bisa membantumu," jelas sang gagak.
"Omong kosong!" kata Blanche sembari menyeka air matanya. "Aku buruk rupa begini, bagaimana bisa aku jadi seperti kakakku yang cantik itu! Lebih baik aku mati saja!" 
"Jangan bodoh, Blanche. Kau berpotensi, bahkan melebihi kakakmu. Yang kau perlukan hanyalah mencari akar penyebab penderitaanmu dan menerima tawaranku untuk membantumu," kata sang gagak.
Blanche menatap gagak itu ragu. Ia lelah dengan kenyataan pahit yang harus dihidupinya, tetapi ia baru kenal gagak ini dan tidak tahu ada rencana apa dibaliknya.
"Ayolah, Blanche. Maharaja Kegelapan ingin melihatmu berbahagia di hari ulang tahunmu. Sungguh. Maka itu ia mengirim ini," kata sang gagak yang tiba-tiba telah membawa botol kecil di kakinya.
"Apa itu?" tanya Blanche.
"Ramuan ajaib untuk hadiah ulang tahunmu. Dengan ini kau akan mengetahui apa yang disebut kebahagiaan. Dengan ini kau akan bebas. Percayalah. Kau boleh menuntutku jika aku berbohong," bujuk sang gagak.
Akhirnya Blanche jatuh dalam bujukan burung berbulu legam itu dan menerima tawarannya. Sang burung menarik tutup botol yang dibawanya.
"Sekarang aku minta setetes darahmu dan setetes air matamu untuk dicampurkan dalam botol ini," pinta sang gagak.
Seolah terhipnotis, Blanche melangkah ke sudut lain ruangan kecil itu. Di atas meja yang terletak di sana ada pisau buah yang ujung tajamnya bersinar diterpa cahaya bulan yang masuk lewat jendela kecil. Tanpa ragu Blanche menggores telapak tangannya dan meneteskan darahnya ke dalam botol. Rasa sakit yang dirasakannya membuat matanya dibasahi air mata dan dengan segera ia menumpahkan air mata itu dalam botol kecil sang gagak.
"Minumlah, Blanche, dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan," bisik sang gagak lalu tertawa melihat keberhasilannya.
Blanche menghabiskan isi botol ramuan itu. Segeralah mata jahatnya terbuka dan hati baiknya tertutup. Ia melihat dengan jelas setiap orang yang menyakiti dirinya. Ia melihat jelas setiap orang yang ia harapkan mati saja. Dan sasaran pertamanya adalah orang tuanya sendiri.

(bersambung)