15.11.12

Kepulangan Kerudung Merah


Berbulan-bulan sudah Ibu menanti kepulangan anak semata wayangnya. Ia masih ingat hari itu, ketika anak gadisnya berpamitan ke rumah Nenek. Ia ingat betul pakaian yang dikenakan anaknya, sebuah jubah merah berkerudung dari wol yang dijahitnya khusus bagi anaknya itu. Kerudung Merah, demikian orang memanggil anaknya karena pakaian yang selalu dikenakannya tersebut. Pada hari itu pergilah Kerudung Merah ke rumah Nenek. Ibu telah berpesan sebelumnya, agar gadis itu menjauhi hutan dan terutama seekor serigala yang tinggal di sana. Namun, entah apa yang terjadi, sejak hari itu Kerudung Merah tidak pernah pulang.

Hari ini adalah ulang tahun Kerudung Merah. Sejak pagi Ibu sudah bangun dan membersihkan rumah. Ia menyiapkan banyak makanan lezat, termasuk kue cokelat dengan ceri dan krim kesukaan anaknya itu. Ia melakukan semuanya, seolah Kerudung Merah masih ada dan tinggal bersama dengannya. Ketika semua telah siap, terkejutlah Ibu karena telah melupakan sesuatu yang sangat penting.
"Astaga! Aku lupa, kau sudah tidak ada, Kerudung Merah," bisiknya lirih dalam hati. 
Ia meletakkan sapu yang dipakainya untuk membersihkan lantai di sudut ruangan, kemudian beranjak menuju jendela. Dipandanginya keluasan hutan di luar sana.
"Oh, anakku, Kerudung Merah. Di mana pun kamu berada, juga kalau kamu telah di surga, kamu akan selalu tahu bahwa aku selalu mengingatmu," katanya, seolah menyampaikan pesannya pada angin dan berharap pesan itu akan terbawa masuk ke dalam hutan.
Ibu terus berada di situ sembari membayangkan berbagai kenangan yang dialaminya bersama Kerudung Merah. Ia teringat masa-masa ketika keduanya hidup bersama dengan damai di pondok bersama-sama. Tanpa sadar Ibu tertidur bersandar di bingkai jendela.

* * *

Mentari terbenam di ufuk barat, membawa kegelapan meliputi hutan. Sesosok bayangan kecil berjalan mengendap-endap ke arah pinggir hutan. Di tangannya ada sebuah obor yang apinya menyala-nyala. Di balik cahaya api terdapat sosok bayangan lain yang lebih besar mengikuti bayangan kecil.
"Sssh.. jangan berulah ya, ada seseorang yang akan kukenalkan," kata bayangan kecil itu dalam bisikan.
Bayangan besar mengangguk-angguk menurut pada isyarat tangan yang dibentuk bayangan kecil. Perlahan-lahan keduanya mendekati pondok di tepi hutan, tempat Ibu tertidur bersandar pada bingkai jendela. Bayangan kecil segera mengenali sosok Ibu. Ia berlari mendekati sosok itu dan menampakkan wujud aslinya, Kerudung Merah. 
"Ibu! Bangunlah! Anakmu sudah pulang!" serunya menghambur ke arah wanita yang tertidur itu.
Ibu terbangun karena terkejut. Ia melihat sosok berkerudung merah dari matanya yang masih mengantuk, tetapi ia tidak bisa mengenali suaranya.
"Kaukah itu, Kerudung Merah? Anakku yang hilang itu? Mengapa suaramu berbeda??" tanya Ibu.
Ia berusaha membuka matanya lebih lebar. Dilihatnya sosok cantik jelita dengan rambut emas yang terurai di balik kerudung merahnya. Tidak ada lagi dua buah kepang yang menjulur di balik kerudung itu, seperti yang selalu ia buatkan jika Kerudung Merah hendak pergi ke luar. Tidak ada lagi bibir kecil yang menguncup. Bibir itu telah berganti dengan warna merah delima dalam bentuk lengkungan kecil yang manis. Tidak ada lagi tubuh yang bulat dan mungil, hanya ada sosok molek seorang gadis dewasa yang ramping. Ketika keterkejutan Ibu belum berakhir akibat sosok cantik itu, muncullah sosok lain yang besar yang sedari tadi mendampingi Kerudung Merah. Sosok itu menampak diri sebagai seekor serigala abu-abu besar dengan kuku dan taring yang tajam. Mata kuningnya tiada henti memandang Kerudung Merah, bukan tatapan hendak memangsa, tetapi sebuah tatapan penuh cinta yang hangat. Ibu tidak bisa berkata-kata menyaksikan pemandangan sore itu.
"Selamat sore, Ibu tersayang," kata gadis itu dalam suara merdu layaknya seorang wanita. "Aku telah menjadi dewasa sekarang."
by LV~Eisblume
16.11.12
for my birthday 

 
 
 
 

28.10.12

Hermeneutik dalam Hubungan dengan Perbedaan

Banyak orang harus bermasalah ketika hubungannya terbentur perbedaan, entah perbedaan agama, etnis, budaya, bangsa, kelas sosial, bahkan jurusan atau profesi. Masalah ini klise dan umum ditemukan di semua kasus perbedaan, yaitu keadaan ketika mereka tidak bisa bersatu karena perbedaan itu. Nah, lalu biasanya yang terjadi adalah kedua pihak jadi galau dan ujung-ujungnya kalau sudah nggak kuat menghadapi tantangan itu biasanya mengakhiri hubungan begitu saja. Sebegitu cepatnya menyerahkah? Memangnya kalau ada perbedaan dua orang yang saling mencintai nggak bisa bersatu? Wah, sayang sekali dong kalau gitu apa gunanya Tuhan mempertemukan mereka? Kok kalau saya tidak secepat itu menyerah ya?

Saya berpandangan bahwa perbedaan dalam hubungan itu selalu bisa dijembatani. Tetapi pertama-tama, untuk bisa melihat cara menjembataninya ini dibutuhkan dua jiwa dan pemikiran yang sudah cukup dewasa. Kebetulan saya tipe orang yang menolak hubungan percintaan di bawah umur (dengan batas minimal umur itu sekitar 17 tahun). Alasannya sederhana, orang di bawah usia itu rata-rata belum bisa menyikapi hubungannya dengan benar dan keputusan-keputusannya masih sering banyak dipengaruhi orang tua tanpa bisa menyampaikan pemikiran dan alasan masuk akal milik sendiri. Kalau hubungan percintaan dengan perbedaan itu terjadi di usia segini sih nggak heran kalau ujung-ujungnya pisah.

Terus hubungannya sama hermeneutik apa? Nah, balik lagi ke jalur pembicaraan semula, bahwa setiap perbedaan termasuk yang level berat seperti agama itu bisa dijembatani. Caranya dengan proses Verstehen (saling mengerti) yang berhubungan sama suatu konsep filsafat bernama hermeneutik. Pada intinya sih hermeneutik ini semacam proses penyampaian dan penafsiran pesan, berasal dari nama dewa pengantar pesan bangsa Yunani, Hermes. Kebetulan karena saya berasal dari jurusan sastra, maka saya membahasnya dari sudut pandang sastra untuk memberi gambaran yang lebih mudah. Teori hermeneutik ini sering dipakai untuk mengkritik karya sastra. Dalam suatu karya sastra, ada seorang penulis yang ingin menyampaikan pesan lewat tulisannya. Pesan itu kemudian ditangkap oleh pembaca. Namun karena ada perbedaan latar belakang antara penulis dan pembaca, maka seringkali pesan tidak bisa tersampaikan persis sama dengan yang dikehendaki penulis. Proses menangkap dan menafsirkan pesan yang seringkali dipengaruhi oleh latar belakang pembaca itulah yang disebut proses Verstehen.

Proses Verstehen tidak hanya terjadi dalam hubungan antara penulis dan pembaca, melainkan juga antartokoh dalam cerita. Misalkan ada dua tokoh dengan latar belakang berbeda bertemu dan satu sama lain saling bertolak belakang. Dua tokoh ini membawa latar belakang A dan B yang berbeda dalam berperilaku. Ketika mereka bertemu, proses Verstehen yang terjadi lewat interaksi keduanya menghasilkan satu titik temu (anggap sebagai titik C) yang menjadi reaksi bersama hasil interaksi tersebut. Hasil interaksi ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu: perluasan cakrawala (Horizonterweiterung), pendekatan cakrawala (Horizontannaeherung) dan peleburan/pembauran cakrawala (Horizontverschmelzung).

Mari kita gunakan contoh dengan perbedaan dalam hubungan tadi untuk menjelaskan ketiga jenis hasil proses Verstehen di atas. Misalkan ada seorang pria dengan agama A yang menjalin hubungan dengan wanita beragama B. Jika proses Verstehen mereka menghasilkan perluasan cakrawala, maka baik pria maupun wanita cukup mengetahui bahwa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian. Keduanya tidak bisa menerima sepenuhnya mengapa ada hal-hal tersebut dalam agama pasangannya. Proses Verstehen ini bisa dianggap gagal, tapi bisa juga berhasil, jika pada akhirnya satu sama lain memilih untuk menganggap bahwa agama adalah hal privat yang tidak perlu dipaksakan untuk dimengerti oleh satu sama lain, intinya lebih baik diprivatkan dan tidak usah dibicarakan lagi di ruang publik antarkeduanya. Mereka bisa menaruh cinta di atas keyakinan dalam menyikapi perbedaan itu. Jika proses Verstehen menghasilkan pendekatan cakrawala, maka baik pria maupun wanita mengetahui mengapa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian serta menerima dan memakluminya. Pria maupun wanita tetap setia dengan keyakinan masing-masing namun (mungkin) ketika pasangannya merayakan hari raya, ia mengucapkan selamat, ikut membantu dalam menyiapkan perayaan, atau bahkan turut memeriahkan tanpa harus ikut serta dalam ritual di tempat ibadahnya. Hal ini adalah hasil yang paling ideal :) Proses Verstehen terakhir adalah yang paling banyak diharapkan banyak orang tetapi kalau untuk saya tetap kurang oke. Jika hasil proses Verstehen adalah pembauran cakrawala, maka salah satu dari kedua pihak menerima dan mengikuti dengan rela apa yang diyakini pasangannya. Mengapa salah satu dan bukan saling? Karena nggak mungkin kan seseorang memeluk dua agama, atau mereka akhirnya cuma tukar agama (nanti perbedaannya cuma pindah posisi dong?). Intinya, ketika proses Verstehen ini berhasil (salah satu dari hasil di atas), maka pasti hubungan tersebut akan langgeng dan berhasil.

Hmm... tapi bagaimana dengan lingkungan sosial? dengan keluarga? dengan institusi agamanya? Nah, inilah pentingnya kedewasaan. Ketika seseorang sudah dewasa dan merasa bahwa proses tersebut telah berhasil, maka ia bisa menentukan sikap sendiri. Tidak satu pun orang di dunia ini yang dapat menentang kekuatan niat dan rencana Tuhan. Ketika kedua orang merasa cocok, apalagi yang harus dikhawatirkan. Oh, tapi ingat, pandangan ini berdasarkan pandangan saya yang sesungguhnya pernikahan itu kontrak sosial antara dua manusia :) Keluarga dan lingkungan sosial hanya sebagai penasehat dan pengarah, tetapi tidak bisa mengatur mutlak dua orang yang sudah dewasa dan punya hak memutuskan ini. Tentang institusi agama..., banyak pilihan kok, kalau memang keduanya sudah merasa saling cocok kan bisa dicari jalan keluarnya. Ada kok agama yang masih mengizinkan pernikahan beda, atau kalau saya sendiri tipe orang yang nggak mau cepat menyerah, karena nggak satu pun orang tahu akan masa depan. Siapa tahu suatu saat hukum agama berubah. Siapa tahu suatu saat di masa depan terbukti bahwa semua jalan keyakinan sama aja. Siapa tahu (walaupun sebenarnya kurang sreg sih) salah satu dari kita akhirnya ikut meyakini apa yang diyakini pasangannya. Siapa tahu... siapa tahu.. dan masih banyak hal yang tidak kita tahu bisa terjadi di masa depan. Intinya sih yang diperlukan cuma keberhasilan proses saling mengerti itu, kalau sudah saling mengerti, siapa lagi yang bisa menghalangi? Hanya jika bukan takdirnya atau bukan rencana Tuhan-lah hubungan itu akan menjadi gagal. Jadi, buat yang sedang menjalani hubungan dengan perbedaan (seperti saya :P), berhentilah menggalau yang tidak penting, mantapkan dulu keberhasilan proses Verstehen-nya supaya bisa melangkah lebih jauh :) Semoga berhasil :)

viele Liebe,
LV~Eisblume



7.10.12

Ketika Aku Berteduh di Bawah Payung Seorang Diri

"Besok acaranya apa?" tanyamu di sela-sela penjelasan pembicara dari seminar kritik film dalam sebuah acara kampus yang diselenggarakan jurusanku.
"Paginya seminar, lalu malamnya ada musik. Aku pengen banget nih nonton musiknya, ada Payung Teduh lho," kataku dengan bersemangat.
"Ah, kalau besok aku nggak bisa. Banyak tugas," jawabmu sembari mengalihkan pandangan.
"Tugas? Tugas apa?" tanyaku kecewa.
"Ya pokoknya banyak tugas, misalnya ada bersama-sama kamu," lalu kau cubit hidungku seperti biasa. Aku tertawa tersipu-sipu. Kamu bisa aja, pikirku.

*  *  *
Percakapan itulah yang kuingat sepanjang hari ini, sebelum akhirnya aku yakin bahwa hujan akan turun malam ini. Keyakinan itu muncul, ketika kubaca pesan singkatmu sebagai balasan pertanyaanku akan keberadaan dirimu siang ini.
"Udah pulang, udah di rumah,"
"Kok nggak bilang kalau mau pulang?"
"Aku buru-buru, Sayang," jawabmu disertai titik dua bintang, favoritku yang kini terkesan seperti usahamu mengganggap tak ada hal yang salah.
Kubiarkan pesan singkatmu di kotak masuk tanpa balasan. Kau harusnya tahu, betapa kecewanya aku. Kata-katamu kemarin, sekalipun nadanya bercanda, cukup membuatku berekspektasi akan sesuatu yang kini terlampau jauh untuk diharapkan.

* * *
Auditorium Gedung 9 FIB UI masih sepi ketika aku masuk ke sana dan mendapati dua orang temanku telah duduk di tempat favorit kami. Namun, tepat sebelum band yang kutunggu tampil, auditorium perlahan-lahan terisi penuh. Sorot lampu aneka warna yang tadinya berdansa kini mulai meredup dan fokus ke tengah panggung. Cahaya kuning temaram memang sengaja disiapkan panitia untuk membangun suasana. Beberapa saat kemudian, masuklah empat personil band bersama alat musik masing-masing. Mereka menempatkan diri di atas panggung dan mengalunlah lagu pertama.

"Tak terasa gelap pun jatuh. Di ujung malam menuju pagi yang dingin. Hanya ada sedikit bintang malam ini. Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya..."

Semua orang riuh rendah bertepuk tangan, tapi aku tidak. Benakku sibuk memainkan memori. Lirik itu seperti sesuatu, sesuatu yang pernah kudengar. Tidak persis, tapi senada. Baris-barisnya mengingatkanku pada puisi-puisimu yang menghiasi hari-hari di awal cerita kita. Kata-kata yang kudengar saat aku dan kamu baru menjadi kita. Betapa aku ingin mengenangnya bersamamu, bukan seorang diri seperti ini. 

Kupandangi sekitar. Kedua temanku yang duduk setingkat di bawahku tertawa-tawa sembari menikmati lagu-lagu yang mengalun. Bahkan seolah mereka tidak sadar akan keberadaanku. Diiringi kata demi kata dalam lirik, aku kembali tenggelam dalam kesepian.

"Malam jadi saksinya. Kita berdua di antara kata. Yang tak terucap ....
Mungkinkah kita ada kesempatan. Ucapkan janji takkan berpisah selamanya."

"Sayang, kamu inget nggak?" 
"Inget apa?"
"Itu lho, waktu kita kejebak hujan di payung gedung satu,"
"Ah, ya, haha..., aku inget dong,"
"Hihi.. waktu itu kita 'kan masih zaman galau-galau gitu. Ngomongin perbedaan, takut kalau nanti di masa depan kita nggak bisa nyatu karena beda agama," 
"Hehe...iya, tapi tenang aja, siapa yang tahu masa depan? Jalanin aja dulu,"
"Iya, kamu bener. Harapan itu selalu ada kok,"

Ah. Aku tersentak dari lamunanku. Tanpa sadar, benakku telah memainkan kata-kata, membuat seolah-olah aku sedang bercakap-cakap denganmu karena kenangan yang dibawa lirik lagu ini. Aku kembali melihat sekeliling, menatap keramaian yang membawa sepi untukku. Kukirim lagi pesan singkat, berharap kamu membalasnya untuk sedikit mengusir rasa sepiku.
"Coba kalau kamu di sini sekarang, kapan lagi coba Payung Teduh tampil sore. Biasanya 'kan mereka selalu disimpan buat malam, dan aku nggak selalu bisa pulang malam :'( " tulisku.
Hanya berselang beberapa menit, kuterima balasanmu. Dengan mencuri-curi kesempatan ketika sang vokalis sibuk berinteraksi dengan penonton, kubaca pesan singkatmu.
"Bolehkah saya menyimpan maaf dari kamu sebab hari ini?"
Ah, teganya dirimu, Sayang. Meminta maaf dengan bahasa yang sedemikian menyentuh. Rupanya menghubungimu bukan ide bagus. Aku malah jadi semakin sedih. Mengapa aku harus jahat membuatmu merasa bersalah? 

Lagu terhenti sesaat. Seseorang membuka pintu samping auditorium. Sepertinya panitia bagian keamanan yang hendak bertukar jaga. Samar-samar kudengar suara alam berbisik lewat udara. Hujan. Hujan yang deras terlihat dari balik pintu auditorium ketika ia terbuka. Rupanya langit sedang menangis di luar. Kualihkan pandanganku kembali pada band yang sedang bermain di atas panggung. Aku masih ingin berteduh, karena kurasakan isyarat hujan lain yang hendak turun.

"Aku cari kamu. Disetiap malam yang panjang. Aku cari kamu. Kutemui kau tiada..."

Lirik lagu ini, sungguh menggambarkan perasaanku sekarang, asal kamu tahu. 

Lalu teman-temanku yang duduk di tingkat bawah, seolah dengan sengaja menoleh padaku dan berbisik di tengah alunan suara sang vokalis yang menenangkan. 
"Mana dia? Kok dia nggak datang?" tanya salah satunya.
"Dia nggak datang, dia sibuk kerja," jawabku tanpa berani memandang kedua temanku. 
"Ah, sayang banget ya dia nggak ada. Padahal kalau mau nonton band ini 'kan harus ada dia. Ah.. sayang banget...," kata yang lain sambil mengguncang-guncangkan tanganku. 
Kembali kualihkan pandangan, tapi yang kutemukan lebih menyakitkan. Teman lain yang duduk di sisi kiriku sedang asyik mesra dengan kekasihnya. Ah, beruntung sekali dia, menikmati lagu-lagu seindah ini berdua dengan yang terkasih. Memandang mereka hanya menambah kesepianku saja. Sekali lagi hati ini menegaskan kalau ia menginginkanmu, di sisiku, sekarang.

"Aku ingin berjalan bersamamu. Dalam hujan dan malam gelap. Tapi aku tak bisa melihat matamu. Aku ingin berdua denganmu. Diantara daun gugur...."

"Kamu tahu nggak, kenapa aku manggil kamu "Ritter"?" tanyaku suatu hari.
"Nggak, kenapa?"
"Karena Ritter itu bahasa Jermannya ksatria. Kamu itu seperti ksatria buat aku, dan aku wanitanya. Kamu 'kan suka nulis dan bacain puisi buat aku, seperti ksatria-ksatria di abad pertengahan yang suka nyanyi di bawah jendela kamar wanita yang dicintainya. Tapi karena biasanya cinta di antara mereka itu terlarang karena sang wanita sudah dijodohkan, wanitanya akan turun diam-diam dari balkon, terus mereka ketemu berdua di bawah pohon Linde. Pohon Linde itu kalau di Jerman jadi simbol cinta," jelasku.
Kamu tersenyum, lalu melanjutkan, "aku mau dong, berdua sama kamu di bawah pohon Linde."

Bayangan percakapan itu menghilang perlahan, larut dalam riuh rendah tepuk tangan penonton yang membahana. Kedua temanku ikut serta, selagi aku menarik diri. Aku mundur ke belakang, tak ingin melihat keramaian itu. Hujan turun, membasahi pipi kiriku terlebih dahulu. Konon katanya, kalau air mata menetes dari mata kiri terlebih dahulu, artinya tangis itu sedih. Mungkin aku berlebihan dengan ini, karena banyak temanku yang toh sedang sendiri tetapi tetap bahagia. Mungkin aku berlebihan, karena toh kamu selalu ada di hari-hari biasanya. Mungkin aku berlebihan, tapi entah mengapa aku merasa kesempatan seperti ini tidak akan datang lagi.

Masih dalam gelap aku menyingkir, pergi dari keramaian yang membawa sepi. Hujan masih turun di luar, namun aku tak ingin peduli. Kembali kulanjutkan malam ini dengan berteduh di bawah payung seorang diri, sambil melangkah dalam perjalanan pulang.



by LV~Eisblume
07.10.12
based on a true story~
ditulis dalam rangka proyek #UIMenulis dari @NBC_UI 


12.9.12

Burung Kecil

Di bawah tiang beton bukanlah rumahmu
Pun jalan layang bukanlah atapmu
Asap kendaraan bukanlah udaramu
Tapi mengapa kutemukan dirimu di sana,
oh burung kecil?

Di atas rumputan hijau seharusnya
Kaki-kaki kecilmu berlarian
Di bawah naung dedaunan seharusnya
Sayap-sayapmu mengepak terbang
Tapi mengapa kutemukan dirimu di sini,
oh burung kecil?

Tersesatkah engkau?
Kulihat tak seekor teman pun ada bersamamu
Atau kehendakmulah,
ketibaanmu di rimba jeruji besi ini?

Sadarlah, oh burung kecil!
Tempat ini bukan kebebasan
Kota hanyalah sangkar semu
Berkedok ilmu dan kemajuan zaman
Alangkah indahnya dunia
Jika kau tak pernah tiba di sini

Ah, burung kecil...,
kurasa aku tahu mengapa
dirimu ada di tempat ini...
Kau menunggu teman yang 'kan membawamu
pergi dari tempat ini, bukan?
Ataukah, kau menunggu kekasih,
yang 'kan kau bawa pulang ke bumi impian?


by LV~Eisblume
120912
for the little creature on the street that i saw this afternoon

7.9.12

Siapa Menyepakati?

Sebenarnya ini sebuah pertanyaan yang muncul di otak saya kemarin, ketika baru keluar dari kelas Semantik Pragmatik. Waktu di dalam kelas pertanyaan ini udah muncul, tapi bingung mau nanya gimana. Hal ini berkaitan dengan bahan kajian mata kuliah semantik, yaitu tanda secara umum dan tanda bahasa. Ibu dosen menjelaskan bahwa ada banyak hal yang dapat digolongkan sebagai tanda, misalnya: benda, rambu-rambu, kata, gambar, warna, dll. Pada intinya yang diperlukan sesuatu itu untuk menjadi sebuah tanda adalah adanya kesepakatan bersama dari orang yang melihatnya bahwa sesuatu tersebut menyiratkan suatu makna.

Banyak hal telah disepakati masyarakat sebagai tanda. Contoh yang kemarin sempat disebutkan juga misalnya warna putih sebagai simbol kesucian atau kebersihan dan warna hitam sebagai simbol duka, kesedihan dan kegelapan atau kejahatan. Sebenarnya saya bingung, siapakah orang-orang yang "menyepakati" tanda-tanda ini? Siapa yang bilang kalau putih itu simbol kesucian dan hitam adalah simbol kegelapan/kejahatan? Jika tanda itu sudah disepakati sejak lama oleh masyarakat yang lampau, apakah masyarakat atau generasi yang hidup sekarang boleh tidak sepakat atau harus menuruti apa yang sudah ada? Atau lebih ekstrim lagi, bolehkah saya tidak sepakat dengan makna tanda tersebut? Bagaimana kalau saya berpikir bahwa baik warna putih dan hitam itu sama saja? Bagaimana jika saya berpikir bahwa hitam itu lebih indah daripada putih? Bagaimana jika saya memberi arti yang berbeda dari orang-orang kebanyakan? Apakah berarti saya salah? :c

Ada yang bisa bantu? :)

5.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (3)

Tak ada satu pun manusia yang masih mengingat kisah Blanche sang penyihir. Bahkan semua orang kini menganggap keberadaannya sebagai dongeng saja. Termasuk Lady Calime, seorang putri yang sangat cantik dari garis keturunan halfelven atau campuran manusia dan elf. Darah elf yang mengalir di tubuhnya membuatnya memancarkan cahaya putih lembut. Walau demikian, darah manusia yang dimilikinya membuatnya tidak abadi sehingga tetap harus melewati kematian layaknya manusia.

Hari ini Lady Calime sangat berbahagia. Beberapa hari lagi akan tiba hari pernikahan yang paling dinantinya seumur hidup. Hari ini juga, Roland, calon suaminya yang juga seorang ksatria tampan dan gagah berani akan pindah ke kastil yang didiami Lady Calime. Pesta pernikahan memang akan dilangsungkan di kediaman mempelai wanita sebagaimana tradisi yang hidup di kerajaan tersebut. Siang itu Roland tiba bersama para pengawal dan pengiringnya. Mereka membawa banyak sekali barang dan menempatkan semuanya di kamar sang ksatria yang terletak tidak jauh dari kamar Lady Calime. Menurut tradisi kerajaan juga, kedua calon mempelai akan tidur di kamar berbeda sampai pada hari pernikahan mereka. Pada hari pernikahan itu akan disiapkan kamar lain tempat mereka akan bersatu pada akhirnya.

"Barang apa saja yang kau bawa, kekasihku?" tanya Lady Calime ketika ia mengintip ke dalam kamar Roland dari pintu. Tampak jelas ada banyak sekali barang baru di dalam kamar itu yang bahkan masih ditutupi selubung kain.
"Aku juga tidak tahu, Sayang, sebagian besarnya hadiah dari kerabat-kerabatku untuk hari pernikahan yang akan datang sebentar lagi," jawab Roland.
Ksatria itu kemudian mengundang sang kekasih masuk dan menemaninya di kamar. Lady Calime melangkah dengan penuh keanggunan dalam balutan gaun biru lautnya yang indah.
"Mungkin kita bisa membuka satu persatu benda ini bersama-sama," usul Roland, yang langsung disetujui Lady Calime.
Sesungguhnya dari sekian banyak barang, Lady Calime sangat penasaran dengan sebuah benda pipih yang lebar dan diselubungi kain berwarna hijau pupus yang warnanya sudah tidak indah lagi. Dengan segera ia mengambil benda yang bersandar di tembok itu dan membuka kain yang menutupinya.
"Apa itu, cermin?" tanya Roland ketika melihat benda yang dipegang kekasihnya.
"Sepertinya demikian, cermin antik yang sudah tua," jawab Lady Calime, ia membuka seluruh selubungnya.
"Aneh. Kenapa ada orang yang memberiku cermin?" sang ksatria bertanya dengan bingung.
"Haha... tidak apa-apa. Itu tetap hadiah. Seorang pria tidak berarti tidak butuh cermin, bukan?" ujar Lady Calime.
"Aku penasaran, siapa yang terpikir untuk menghadiahi aku sebuah cermin antik," kata Roland.
Karena penasaran, sang ksatria memanggil salah satu orangnya yang tadi membawa barang-barang ini ke kamar.
"Dari mana kau dapatkan cermin ini? Apakah ini hadiah? Siapa yang memberikan benda ini kepadaku?" tanya Roland.
"Cermin itu kami beli di pasar, Tuan. Seorang nenek tua menjualnya. Kata nenek itu, cermin ini akan membawa kebahagiaan bagi pernikahan Tuan," jawab pria yang dipanggil tadi.
Tanpa bertanya lagi, Roland menyuruh orang itu meninggalkan kamar. Baik Roland maupun Lady Calime tak ada yang sungguh-sungguh percaya dengan kebahagiaan yang dijanjikan benda itu. Meski demikian, Lady Calime merasa cermin itu memiliki keindahan tersendiri yang dapat menghias kamar yang kosong itu. Sang putri mengambil cermin itu dari tangan kekasihnya lalu menggantungkannya pada sebuah paku di tembok, tepat berhadapan dengan tempat tidur di tengah ruangan. Bayangan ruangan yang kosong dan kusam tampak indah di dalam cermin. Mungkin cermin itu sungguh-sungguh cermin ajaib.

4.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (2)

"Tolooong..!! Kebakaraaan!!"
"Selamatkan mereka!! Cepat! Cepat!"
Teriakan penduduk terdengar di seluruh penjuru desa. Mereka berlari ke sana ke mari mencari sumber air dan berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar di salah satu sudut desa. Si jago merah sedang melahap salah satu rumah dengan ganasnya. Rumah Blanche. Di dalam rumah itu tinggal kedua orang tuanya dan Blanche sendiri, sementara sang kakak sudah pindah tinggal setelah pernikahannya. Api yang sangat besar disertai asap tebal seakan menelan rumah itu beserta isinya. Walaupun penduduk desa telah menyiramkan bergentong-gentong air, tetap saja api terus berkobar tak kunjung padam. Usaha yang mereka lakukan berjam-jam menjadi sia-sia ketika akhirnya bangunan itu habis dilalap api.

Tanah di sekitar rumah masih panas dan asap masih membumbung di beberapa sudut. Para penduduk berkerumun menanti sisa apa yang akan mereka temukan dalam rumah. Ketika dirasa cukup aman, beberapa dari mereka mencoba masuk menembus reruntuhan rumah itu. Mereka mencari entah apapun yang bisa mereka temukan di dalam. Semua habis tak tersisa, termasuk kedua orang tua Blanche yang telah menjadi mayat. Tiba-tiba terdengarlah suara isak tangis lain dari balik reruntuhan. Dengan cepat para penduduk desa bekerja sama mengangkat kayu dan batu yang rata dengan tanah. Mereka menemukan sosok Blanche yang terbungkus kain hitam dan menangis tersedu-sedu di bagian yang dulunya kamar pojok di rumah itu, tempat Blanche disembunyikan.
"Siapa gadis ini?" seseorang mencoba membuka kain hitam yang menyelimuti dirinya.
Mereka terkejut karena tak satu pun penduduk desa itu mengetahui keberadaan Blanche sebelumnya.
"Bukankah keluarga ini hanya punya satu anak perempuan?" tambah yang lain. 
"Tidak, mereka punya dua. Tetapi yang satu sudah mati," kata seorang ibu.
"Lalu siapa dia?" tanya yang lain lagi.
"Cukup sudah! Berhenti berdebat. Dia ini Blanche, adikku!" kata sang kakak.
Wanita cantik itu bangkit dari sisi mayat orang tuanya dan menghampiri adiknya yang menangis tersedu-sedu. Alangkah terkejutnya ia ketika dibukanya kain hitam itu dan mendapati bahwa adiknya sangat cantik, bahkan melebihi dirinya. Semua orang di sekitar mereka sibuk berbisik-bisik. Tak satu pun percaya bahwa wanita itu memiliki adik. Tak satu pun percaya bahwa ada seseorang yang sangat cantik telah selamat dari kebakaran besar itu. Mereka merasa keajaiban telah terjadi.

* * *
Setelah kejadian itu, Blanche tinggal bersama kakaknya di sebuah rumah di bagian desa yang terletak dekat dengan hutan. Sang kakak selalu sibuk bekerja. Ia mencari kayu bakar di dalam hutan. Sementara suami sang kakak menghidupi keluarga barunya dengan bekerja sebagai tukang kayu di rumah. Tanpa sepengetahuan kakaknya, diam-diam Blanche telah menaruh hati pada si tukang kayu. Mulanya si tukang kayu tak pernah meladeni setiap godaan yang dilontarkan gadis itu padanya. Blanche yang kesal karena selalu gagal membalaskan dendam pada kakaknya mulai menggunakan sihirnya lagi. Ia mengucapkan mantera dan berhasil menjerat si tukang kayu dalam perangkapnya. 

Suatu hari sang kakak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar seperti biasa. Namun di tengah jalan ia teringat akan sesuatu. Ia lupa membawa bekal yang telah disiapkannya di atas meja. Alangkah terkejutnya ia ketika tiba di rumah. Sang kakak mendapati bahwa adiknya, Blanche, telah tidur bersama suaminya tanpa sepengetahuan dirinya. Ia juga terkejut menemukan buku mantra dan alat sihir lainnya berserakan di kamar Blanche. Segera ia mengetahui apa yang telah dilakukan adiknya. Dengan penuh amarah ia menyeret Blanche dan mengusirnya keluar bersama peralatan sihirnya.

Penuh benci dan dengki, Blanche pergi berlalu dari rumah itu. Ia kemudian hidup menumpang dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia mengganti namanya berulang kali, juga wajahnya sehingga tidak diketahui orang. Tetapi selalu akhir yang sama ditemukan pada setiap rumah. Blanche berselingkuh dengan suami wanita yang tinggal di rumah itu sehingga ia selalu diusir. Lama kelamaan orang tersadar bahwa setiap wanita yang datang ke rumah mereka adalah orang yang sama. Wanita terakhir yang ditumpangi Blanche berhasil menyeretnya ke gedung pengadilan di kota yang terletak di balik tembok tinggi. Dibukanya keras-keras pintu gedung pengadilan dan ia berteriak dengan lantang:
"Bapak Hakim yang terhormat, hari ini juga telah saya temukan seorang wanita penyihir yang bersembunyi di antara kami!" lalu ditunjukkannya peralatan sihir Blanche sebagai bukti.
 Sidang atas terdakwa Blanche digelar. Semua penduduk yang telah menjadi korbannya berkumpul di situ dan berteriak-teriak dengan gaduh meminta Blanche segera dihukum.
"Hukuman paling pantas untuk penyihir adalah dibakar!" teriak seorang ibu.
"Atau ditenggelamkan di sungai!" tambah ibu lainnya.
Kemudian sang hakim berusaha menengahi keriuhan yang terjadi.
"Tenang dulu para penduduk desa. Kita tidak bisa langsung menjatuhkan hukuman dengan tidak bijak. Sebelumnya tidak pernah ada hukuman seperti itu yang dijatuhkan pada penduduk desa kita, " kata sang hakim.
"Biarkan saja, Pak Hakim! Hukum mati saja wanita ini!!" teriak beberapa wanita yang menjadi korban Blanche.
Namun para penduduk desa tak dapat menentukan apa hukuman yang pantas bagi Blanche. Beberapa wanita ingin dia dihukum gantung. Beberapa yang lain minta hukuman bakar, seperti penyihir-penyihir di negeri-negeri lainnya. Ada pula yang meminta agar Blanche ditenggelamkan di sungai. Pada akhirnya karena solusi tidak kunjung ditemukan, sang hakim memutuskan untuk mengusir Blanche jauh dari wilayah tersebut dan menyita segala peralatan sihirnya. Pakaian Blanche yang indah disita dan diganti dengan pakaian lusuh. Rambut merahnya yang indah dipotong dan segala perhiasan yang dipakainya dilucuti. Dengan mata tertutup ia dibawa jauh meninggalkan kota dan desa-desa di situ, lalu dilepaskan di tengah hutan dan ditinggalkan di sana. Tak satu pun pernah melihat Blanche setelah kejadian itu. Tahun-tahun dan masa yang panjang berlalu. Orang mulai melupakan namanya. Kisah Blanche hanya menjadi legenda, sebelum kemudian dilupakan sama sekali. Tetapi sesungguhnya ia terus hidup melewati tahun-tahun itu, tanpa seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya. Sosok buruk rupa aslinya telah kembali, seiring dengan dirinya yang dijauhkan dari peralatan sihirnya.

(bersambung)

2.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (1)

Kisah ini datang dari zaman yang sudah sangat lama berlalu. Di sebuah desa yang terletak tak jauh dari kota yang dikelilingi tembok tinggi, tinggallah sebuah keluarga sederhana. Keluarga ini memiliki dua orang anak perempuan. Yang pertama berusia lima tahun dan dikaruniai wajah yang begitu cantik dan lembut, sementara yang kedua baru saja lahir kemarin dengan keadaan bertolak belakang dengan sang kakak. Meski demikian, anak kedua itu memiliki nama yang indah, Blanche.

Orang tua Blanche sangat kecewa melihat anak kedua mereka. Mereka bahkan berharap jika anak itu sebaiknya tidak dilahirkan saja. Wajahnya buruk dan perkembangan tubuhnya lambat. Kemampuan motorik maupun kepandaiannya jauh berbeda dibanding kakaknya. Karena begitu kecewa akan kondisi Blanche, orang tuanya berusaha menyembunyikan keberadaannya. Mereka selalu mengaku hanya memiliki satu anak saja kepada semua orang. Blanche disembunyikan dan dikurung dalam ruangan yang gelap di sudut rumah seolah ia orang gila atau berpenyakit menular. Ketika ia berbuat kesalahan, orang tuanya tidak segan-segan memberinya hukuman fisik yang berlebihan. Blanche tidak pernah kenal teman dan pergaulan. Masa kecilnya dihabiskan dalam kegelapan.

Suatu ketika di ulang tahunnya yang ke-16, Blanche meratapi nasibnya seorang diri di sudut ruangan tempat dirinya disembunyikan. Bahkan sampai usianya yang hampir dewasa, orang tuanya tidak melepasnya keluar. Sementara kakaknya sudah berencana melangsungkan pernikahan, ia tidak kenal siapapun di luar, seolah ia tidak pernah ada di dunia. Di sela-sela tangisnya itulah terdengar suara kepak sayap yang semakin kuat.
"Selamat malam, gadis cantik. Mengapa engkau menangis?" terdengar suara parau yang dingin menyapanya.
"Siapa kau?!" Blanche menengadah dan terkejut melihat seekor gagak hitam besar bertengger di jendela kecil tepat di atas kepalanya. Jendela itu adalah satu-satunya sumber cahaya dan tempat ia dapat mengintip sedikit dunia luar.
"Aku? Aku utusan Maharaja Kegelapan," jawabnya sambil tertawa dingin.
"A-apa.. apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Blanche, masih ketakutan.
"Aku hendak membantumu keluar dari masalahmu, gadis cantik. Aku tahu betul masalahmu. Kau hampir dewasa dan kau ingin keluar dari sini, bukan? Kau ingin punya teman bukan? Kau ingin seperti kakakmu yang cantik itu, ya kau ingin itu dan aku bisa membantumu," jelas sang gagak.
"Omong kosong!" kata Blanche sembari menyeka air matanya. "Aku buruk rupa begini, bagaimana bisa aku jadi seperti kakakku yang cantik itu! Lebih baik aku mati saja!" 
"Jangan bodoh, Blanche. Kau berpotensi, bahkan melebihi kakakmu. Yang kau perlukan hanyalah mencari akar penyebab penderitaanmu dan menerima tawaranku untuk membantumu," kata sang gagak.
Blanche menatap gagak itu ragu. Ia lelah dengan kenyataan pahit yang harus dihidupinya, tetapi ia baru kenal gagak ini dan tidak tahu ada rencana apa dibaliknya.
"Ayolah, Blanche. Maharaja Kegelapan ingin melihatmu berbahagia di hari ulang tahunmu. Sungguh. Maka itu ia mengirim ini," kata sang gagak yang tiba-tiba telah membawa botol kecil di kakinya.
"Apa itu?" tanya Blanche.
"Ramuan ajaib untuk hadiah ulang tahunmu. Dengan ini kau akan mengetahui apa yang disebut kebahagiaan. Dengan ini kau akan bebas. Percayalah. Kau boleh menuntutku jika aku berbohong," bujuk sang gagak.
Akhirnya Blanche jatuh dalam bujukan burung berbulu legam itu dan menerima tawarannya. Sang burung menarik tutup botol yang dibawanya.
"Sekarang aku minta setetes darahmu dan setetes air matamu untuk dicampurkan dalam botol ini," pinta sang gagak.
Seolah terhipnotis, Blanche melangkah ke sudut lain ruangan kecil itu. Di atas meja yang terletak di sana ada pisau buah yang ujung tajamnya bersinar diterpa cahaya bulan yang masuk lewat jendela kecil. Tanpa ragu Blanche menggores telapak tangannya dan meneteskan darahnya ke dalam botol. Rasa sakit yang dirasakannya membuat matanya dibasahi air mata dan dengan segera ia menumpahkan air mata itu dalam botol kecil sang gagak.
"Minumlah, Blanche, dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan," bisik sang gagak lalu tertawa melihat keberhasilannya.
Blanche menghabiskan isi botol ramuan itu. Segeralah mata jahatnya terbuka dan hati baiknya tertutup. Ia melihat dengan jelas setiap orang yang menyakiti dirinya. Ia melihat jelas setiap orang yang ia harapkan mati saja. Dan sasaran pertamanya adalah orang tuanya sendiri.

(bersambung)

31.8.12

Freyja's Rune (4 - end)

Suasana di luar tenda sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Keramaian masyarakat Abad Pertengahan di lapangan luas itu sudah tidak tampak lagi. Namun dari salah satu sudut pekan raya itu terdengar hentakan musik yang begitu keras. Suara riuh rendah menyertai irama musik yang berdentum. Tampaknya sudah waktunya pertunjukkan dari band-band papan atas dan keramaian yang tadi siang menyebar kini sudah menyemut di depan panggung.

Aku menoleh sebentar ke arah keramaian itu, namun kemudian kuputuskan untuk pulang saja. Tidak menyenangkan menonton konser semacam itu seorang diri. Aku sudah tidak sabar menemui batu-batu Runeku di rumah dan mencoba mempraktekkan cara melakukan ramalan dengan Rune. Sedikit banyak gerakan dan suara sang Runemaster menginspirasiku untuk segera memulai latihanku. Mungkin dengan sering latihan, aku akan dapat mengerti segala misteri yang diucapkan sang Runemaster tadi. 

Letak rumahku tidak begitu jauh dari tempat festival itu berlangsung. Tepatnya hanya sekali naik bus ditambah berjalan kaki selama lima belas menit maka aku sudah tiba di rumah. Dengan cepat kudapatkan bus yang akan membawaku ke halte terdekat dari rumahku. Hari sudah malam ketika aku tiba di sana. Tidak ada seorang pun menunggu di halte, atau berjalan di jalan. Entah mengapa hari itu sangat sepi, bahkan para Nattravn* tidak tampak di mana pun. Mulanya aku berjalan sendiri, namun kemudian aku sadar akan sesuatu. Beberapa langkah kaki mengikutiku! Dengan segera kupercepat jalanku. Walau demikian, suara langkah kaki itu tetap saja terdengar. Semakin dekat. Semakin dekat. 
"Hahaha..., kau tidak akan bisa kabur, manis," seorang dari mereka menyambarku lalu melingkarkan tangannya di leherku.
"Ayo, temani kami saja malam ini," tambah yang lain.
Mereka mencengkeramku begitu kuat. Entah siapa mereka, tetapi dari aksen bicaranya sudah pasti bukan orang lokal. Sekuat tenaga aku berusaha melawan namun sia-sia. Cengkeraman mereka terlalu kuat. Mereka bermaksud menarikku masuk ke mobil mereka, yang dikemudikan oleh salah satu teman mereka yang lain. 
"Lepaskan aku!!" aku menjerit. "Seseorang, tolong!!!"
"Percuma saja, Manis. Tak ada seorang pun di sekitar sini selain kami," kata mereka.
"Tidak! Lepaskan aku, dasar penjahat!!"
Kugigit tangan dia yang mencengkeram leherku. Ia berteriak mengaduh dan melepaskan tangannya hingga cengkeramannya menjadi longgar. Aku segera melepaskan diri dan berlari. Sesuatu terlepas dariku. Kulihat mereka berhasil menarik kalung pemberian Sigurd. Aku terkejut dan kecewa, namun tidak ada waktu untuk merebutnya kembali. Aku terus berlari dan berlari hingga mencapai sebuah bukit. Aku tidak berhenti sampai kakiku mencapai puncaknya. Kulihat ke belakang, sepertinya mereka telah berhenti mengejarku. Aku langsung menyandarkan diri pada salah satu pohon dan mengatur napas.

"Ah, Freyja, tampaknya ketidakberuntungan baru saja menggagalkan masa depanmu yang bahagia," kataku pada diri sendiri.
Kuraba leherku. Benda itu sudah tidak melingkar di sana. Bandulnya sudah tidak tergantung di sana. Petunjuk yang ingin kucari tahu artinya sudah hilang sebelum aku berhasil menguak misterinya.
"Freyja bodoh! Kau bodoh, tahu! Bodoh dan ceroboh sekali! Hanya karena kau tidak mau melangkah keluar dari masa lalu, sekarang benda kesayanganmu yang paling berharga hilang!" suara-suara yang menyalahkan diriku terus berkecamuk di kepalaku dan membuatku menjadi galau. 
"Hahaha.. iya, aku memang bodoh. Aku Freyja si bodoh yang ceroboh yang nggak bisa move on. Lebih bodoh lagi karena kau mengharapkan orang yang sudah mati. Haha.. Sigurd sudah mati. Aku masih mengejarnya sampai buta akan pria lain yang masih hidup. Hahaa... biarkan saja...aku bodoh..., yang penting aku bahagia," aku berbicara sendiri, seolah membantah apa yang dikatakan pikiranku. Tanpa sadar air mata menggenangi pelupuk mataku dan mulai jatuh bulir demi bulir.
Aku enggan pulang. Aku mau di sini saja dan melepaskan segala kekacauan hati dan pikiran ini. Kutelungkupkan kepalaku hingga menyentuh kedua lutut yang kulipat ke depan. Aku diam dan menangis sendiri. Aku senang tempat ini sepi, hanya aku berdua dengan perasaan yang kacau.

* * *
"Maaf, apakah ini milik Anda?"
Seseorang dengan suara yang baru saja kudengar memecah keheningan malam. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi wajahku dan segera mencari arah suara tersebut. Alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di sana. Tubuhnya yang tegap dengan rambut emas yang terurai panjang sedikit melebihi bahu berdiri di sana dalam balutan mantel hitam bertudung persis seperti yang dikenakan sang Runemaster.
"Apakah aku mengenalmu....?" tanyaku, sedikit tak percaya dengan pemandangan di depanku.
Pria tampan itu hanya tersenyum misterius dan mengangguk.
"Si.. Sigurd??" suaraku berbisik lalu hilang ditiup angin. "Tapi kata ibumu di surat itu kau sudah ....."
 "Freyja, batu-batu Rune itu sudah menjelaskan bukan? Ada sesuatu yang jahat yang memicu masalahmu terjadi di masa lalu. Aku masih hidup, Freyja, seperti yang kau lihat. Bahkan ketika kau mendengar kabar itu, aku masih menghirup udara bebas di dunia ini. Ibuku yang telah memisahkan kita. Ibuku tidak ingin aku terlalu dekat denganmu. Ia ingin aku bermain di lingkungan yang lebih kaya dan di masa depan menikahi orang yang kaya," jelas Sigurd.
"Tapi.. tapi.., berita kebakaran itu??" aku semakin bingung.
"Rumah kami memang terletak di blok yang sama dengan kebakaran besar itu, tetapi beruntunglah kami semua selamat. Ibuku memanfaatkan kejadian itu untuk menyebarkan berita bohong tentangku lewat surat, karena ia tahu bahwa aku dan kamu masih berhubungan. Sejak saat itu aku berusaha dengan giat untuk bisa pindah dari rumah ibuku dan mandiri. Aku bertekad mencarimu, Freyja. Aku tidak bisa melupakanmu," kata Sigurd.
"Tapi bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku masih tak percaya.
"Bukan aku yang menemukanmu, kamu yang menemukanku duluan. Itu karena kamu percaya dengan keajaiban. Rune Gebo yang selalu kau kenakan itu telah menjawab permohonanmu. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta. Kamu pernah memikirkan makna-makna itu sebelumnya, tapi kamu tidak yakin dengan hal itu," jawab Sigurd.
"Jadi maksud kedatangan seseorang itu adalah dirimu?" aku teringat akan rune Raidho yang muncul dalam ramalan tadi sore.
"Ya, kau bisa lihat sendiri. Selain kedatangan, Raidho juga simbol untuk reuni, pertemuan kembali,"
Sigurd tersenyum, lalu merentangkan tangannya padaku. Dengan segera aku berlari ke arahnya dan menyambut pelukan hangatnya. Saat itu juga kusadari bahwa ia mengenakan kalung yang sama dengan yang kumiliki. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta.

(Tamat)

*Nattravn : kelompok patroli sipil sukarela di Norwegia yang bertugas mengamankan khususnya para wanita yang terpaksa berjalan sendiri atau berada di luar rumah pada larut malam dari para kriminal atau pelaku pelecehan seksual. Kebanyakan dari para pelaku tersebut adalah para imigran yang datang dari negara-negara konflik.

Freyja's Rune (3)

Sang peramal masih tersenyum penuh misteri. Ia menyentuh Rune ketiga yang terletak di paling kiri. Kemudian ia mendongakkan kepala menatap diriku, sekalipun aku tidak bisa melihat seluruh wajahnya kecuali senyumnya yang tampak sedikit.
"Freyja, Rune ketiga ini menunjukkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Rune ini bernama Raidho yang memiliki arti kedatangan atau perjalanan. Seseorang akan datang di masa depan Anda. Tetapi tidak ada yang dapat mengetahui siapakah orang itu, atau apakah dia akan membawa jawaban bagi pertanyaan Anda," jelas sang Runemaster.
Tanpa sadar senyumku ikut mengembang. Aku memang tidak tahu siapa orang di masa depan itu, tapi aku selalu menyukai pertemuan, apalagi dengan orang baru. Hidupku jarang sekali didatangi orang. Sangat sepi rasanya seorang diri terus menerus.
"Hmm.. baiklah. Bagian ini akan jadi yang paling penting. Rune yang berada paling dekat dengan Anda itu bernama Ansuz dengan posisi terbalik. Ini adalah sebuah peringatan bagi Anda, bahwa ada banyak informasi di sekitar Anda tetapi Anda harus berhati-hati mengartikannya. Cobalah mencari tahu lebih dalam dan tetap percaya pada kata hati Anda," kata sang Runemaster lagi.
Aku sibuk manggut-manggut mengiyakan. Kusimpan dan kuingat hal itu sebagai nasehat untukku. Mulai hari ini aku akan lebih memperhatikan hal-hal di sekelilingku.
"Kita tiba pada dua Rune terakhir. Rune yang agak ke tengah ini Fehu. Ia menunjukkan tantangan yang harus kau hadapi, karena posisinya yang terbalik. Tantangan itu adalah ketidakberuntungan. Sementara Rune terakhir yang terletak paling jauh dari Anda bernama Wunjo. Ia adalah simbol dari kebahagiaan. Rangkaian ini ditafsirkan sebagai kemungkinan terjauh yang bisa terjadi. Berhati-hatilah, Freyja, jangan sampai ketidakberuntungan menggagalkan pencapaian dan pencarian jawaban Anda," sang Runemaster menutup rangkaian penjelasan tentang batu-batu Rune yang terserak di meja.
"Tapi.. tapi.., bagaimana dengan jawaban pertanyaanku? Jadi apa arti hadiahnya?" tanyaku bingung.
"Freyja, perlu Anda ketahui bahwa Rune tidak meramal nasib atau masa depan seseorang. Rune hanya membantu seseorang untuk menemukan jawaban akan pertanyaannya sendiri. Rune menjelaskan di mana posisi seseorang berdiri dalam lingkaran masalah. Selanjutnya terserah orang itu sendiri. Ialah yang menentukan jalannya dengan panduan batu-batu Rune ini," jelas sang Runemaster, yang membuat aku terlihat bodoh dan semakin memperjelas diriku sebagai seorang amatir dengan batu-batu Rune.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku buat, untuk misalnya, menghindari ketidakberuntungan itu?" tanyaku lagi.
"Anda bisa berdoa pada siapapun yang Anda percaya. Tapi jika cinta adalah masalah Anda, maka nama Anda telah menunjukkan solusinya. Mintalah petunjuk pada Dewi Freyja, " saran sang Runemaster.
"Lalu bagaimana dengan arti hadiah itu? Siapa yang bisa menjawabnya?"
"Maaf, sebelumnya jika Anda tidak keberatan, maukah Anda sedikit mendeskripsikan bentuk hadiah itu? Mungkin saya bisa membantu memberi pencerahan," sang Runemaster berkata dengan sopan.
"Tidak perlu deskripsi. Aku sudah membawanya," kataku seraya menunjukkan kalung Rune Gebo-ku yang tidak pernah kulepas sejak pertama aku mendapatkannya.
Sang Runemaster tampak terkejut, hingga sedikit memundurkan tubuhnya. Lalu ia kembali tersenyum.
"Anda tidak perlu menanyakannya lagi. Anda sudah tahu jawabannya. Percayalah pada kata hati Anda," 
Aku terdiam seribu bahasa, berusaha mencerna kalimat-kalimat terakhir sang Runemaster. Dengan cepat aku mengucapkan terima kasih dan permisi sembari melangkah pergi. Runemaster ini sungguh membuatku bingung. Aku tidak mengerti apapun kecuali arti dari setiap Rune itu, yang tentu saja bisa kubaca sendiri di buku. Huh, seandainya saja dia tahu bahwa aku masih sangat amatir dan tidak bisa mengerti dengan mudah semua kata-katanya yang penuh misteri itu.

(bersambung)

29.8.12

Freyja's Rune (2)

Festival Viking dan Abad Pertengahan. Keramaian itu kini tepat berada di depan mataku. Orang-orang dari berbagai golongan berlalu lalang dalam pakaian ksatria Viking atau putri-putri kastil abad pertengahan. Mereka mengenakan aksesoris dan atribut yang sejak lama sangat ingin kumiliki. Aku sendiri hanya mengenakan pakaian sederhana yang kupikir "paling bernuansa abad pertengahan". Aku membawa tas kulit berwarna coklat sederhana dan memakai sandal bergaya kekaisaran Romawi yang diikat silang setinggi lutut. Rambut merahku kubiarkan tergerai alami.

Seiring langkahku semakin jauh ke dalam pasar abad pertengahan itu, aku semakin tidak bisa menghentikan rasa kagumku terhadap festival itu. Aku serasa sungguh-sungguh terlempar ke era Viking dan abad pertengahan. Tenda-tenda, miniatur kastil, orang-orang berlalu lalang dan segala macam acara yang diselenggarakan mengingatkan aku pada gambar-gambar yang terdapat di naskah-naskah kuno. Dari arah panggung selalu terdengar melodi dari berbagai alat musik tradisional yang dimainkan oleh beberapa band secara bergantian. Ah, seandainya aku bersama Sigurd sekarang. Ia pasti senang sekali berada di festival ini. Aku teringat pada salah satu permainan favorit kita ketika kecil dulu. Permainan ksatria Viking yang mengalahkan naga untuk menyelamatkan putri yang dicintainya. Sigurd seolah menjelma menjadi Sigurd sang Pembunuh Naga sungguhan. Sigurd...Sigurd... kuharap sebelum kepergianmu kau telah sedikit mencicipi festival ini.

Hari menjelang sore. Setelah aku berputar-putar seorang diri dalam keramaian festival itu, akhirnya aku menemukan tempat yang kucari. Stand peramal Rune. Aku menjadi yang terakhir mengantri karena rupanya stand itu akan tutup sebentar lagi. Beruntung sekali diriku masih sempat mencoba ramalan itu. Aku sangat tidak sabar melihat sang Runemaster atau Runemistress mempraktekkan kebolehannya. Aku juga penasaran tentang petunjuk Rune itu akan hidupku.

Setelah penantian panjang, akhirnya tibalah giliranku untuk masuk ke sisi dalam tenda yang dikelilingi tirai hitam. Hanya sebuah meja kayu sederhana dan sebatang lilin yang hampir habis menemani sang peramal. Tidak ada satu pun batu Rune yang berserakan di atas meja. Tentu saja, karena nanti akulah yang akan mengambil sendiri dari kantongnya. Demikianlah kalau batu Rune itu dipakai untuk meramal orang lain.
"Selamat malam, Nona. Selamat datang. Boleh saya tahu nama Anda?" tanya sang peramal. Dari suaranya sepertinya ia seorang pria, jadi, Runemaster.
"Freyja," jawabku sembari berusaha mengetahui seperti apa rupa sang Runemaster karena ia mengenakan jubah hitam panjang yang bahkan nyaris menutupi seluruh wajah kecuali mulutnya.
"Apa yang ingin kau ketahui lewat batu-batu Rune ini?" tanyanya.
"Mmm.. aku.. aku.. ingin tahu arti hadiah yang diberikan teman masa kecilku, dan...aku ingin tahu apakah aku akan bisa menemukan cinta lagi setelah kepergian temanku ini," jawabku dengan grogi dan malu.
"Silakan, Anda bisa memulai. Ambil lima batu Rune dari kantong ini," katanya mempersilakan.
Aku merasakan aura mistis di sekelilingku. Asap lilin memenuhi ruangan kecil itu seolah mengaburkan pandanganku dan membawaku ke dimensi lain. Dimensi tempat para leluhur hidup bersama dewa dewi. Dimensi tempat rahasia kehidupanku tersimpan. Aku memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi dan memusatkan pikiran pada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan. Bukan tentang batu Rune, bukan tentang menjadi Runemistress, tetapi tentang arti hadiah Sigurd dan menemukan cinta setelah aku kehilangan dirinya.
Tanpa sadar jariku mendorong keluar lima batu Rune butir demi butir dan menempatkannya pada pola yang telah dibuat sang Runemaster. Semua batu itu kini terserak di atas meja dengan posisi begitu alami --- bahkan sang Runemaster pun tidak menyentuh atau mengubah posisinya sama sekali. Kemudian aku merasa pikiranku dikembalikan ke alam nyata.

"Ah!" sang Runemaster terkejut sembari menatap batu Rune yang sudah terletak dengan manis di atas mejanya. "Maaf, apakah tadi nama Anda Freyja?"
"Ya, namaku Freyja," jawabku tanpa mengerti alasan sang Runemaster terkejut.
"Bagaimana bisa...," ia berbisik seolah pada dirinya sendiri. "... Freyja, perlu kuberi tahu sebelumnya bahwa semua batu Rune yang kau ambil secara kebetulan tergolong dalam batu Rune Freyja. Ada tiga golongan batu Rune yaitu Freyja atau Frey, Heimdall dan Tyr ...."
Suara sang Runemaster seolah makin samar dan menghilang. Aku terkejut dan melamun mengamati setiap batu Rune yang terletak di meja. Benar kata sang Runemaster. Semua batu Rune yang kuambil merupakan anggota dari Rune Freyja.
"Baiklah, saya akan mulai dari Rune di sebelah kanan. Rune ini bernama Thurisaz, tetapi posisinya menelungkup ketika Anda ambil tadi. Rune ini menunjukkan sesuatu di masa lalu yang memicu masalah Anda. Ada sesuatu yang tidak baik yang tersamar menjadi sesuatu yang baik di masa lalu Anda," jelasnya.
Aku berpikir keras berusaha mencari jawabannya. Di hadapanku seolah tergambar nyata kejadian ketika Sigurd berpamitan dan pindah dari rumah sebelah ke kota besar dan aku berlari mengejarnya dengan sedih. Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Apa yang membuat Sigurd pindah dengan terburu-buru dan ibunya melarangnya memberi tahuku?
"Rune berikutnya terletak di tengah, dekat dengan Anda. Rune ini bernama Kaunaz tetapi letaknya terbalik. Ini menunjukkan diri Anda di masa kini. Anda mengalami suatu masa yang suram, gelap dan seolah tidak memiliki petunjuk apapun tentang masalah yang Anda ingin tahu jawabannya," kata sang Runemaster.
Aku mengangguk menyetujui apa yang dikatakan batu-batu Rune itu. Kulihat sang Runemaster tersenyum dari balik bayang jubahnya. Aku seolah ingin mengingat sesuatu, tetapi aku tidak bisa menemukan hal itu dalam memoriku. Masih ada empat batu Rune lagi yang menunggu untuk dijelaskan lebih lanjut. Sang Runemaster bersiap dengan Rune yang paling kiri. Ia tersenyum lagi dengan penuh misteri. Aku begitu tegang menunggu penjelasannya. Entah baik atau buruk sesuatu yang akan ditunjukkan oleh batu Rune itu.

(bersambung)


26.8.12

Are You a Smoker?? Please Respect Others!

Maaf ya kalau gue terpaksa menyelingi deretan cerita bersambung gue dengan hal ini. Gue mau numpang ngeluarin unek-unek dulu nih...

Jujur tadinya gue mau kasih judul "Are You a Smoker? Just Go to Hell!" tapi kayaknya terlalu sadis ya dan gue pikir gak semua perokok itu jahat. Akhirnya judulnya gue ganti biar lebih pas. Kejadian tadi siang menginspirasi gue untuk menulis ini. Tadi siang pas gue duduk dan makan di food court Kalibata City gue berhasil memaksa seorang cewek perokok gak bertanggung jawab untuk mematikan rokoknya. Kenapa dia nggak bertanggung jawab? Jelas, karena dia merokok di ruangan ber-AC (baca: di dalam mall) padahal sudah disediakan area outdoor untuk merokok dan di area outdoor itu masih tersedia banyak meja dan kursi kosong. Memang sih pintu keluar yang ada di dekat dia dikunci jadi kalau mau keluar dia harus muter dulu. Tapi apa salahnya sih muter dikit? Toh juga nanti dia enak bisa merokok dengan bebas. Nah, sekarang gue mau cerita gimana caranya gue "memaksa" dia. Seperti hobi gue kalau memperlakukan orang-orang gak bertanggung jawab kayak gini, gue nggak akan mendatangi dan menegur orangnya baik-baik. Gue akan ngomong dengan volume keras dan menyindir-nyindir orang itu sampai dia dilihatin orang dan malu. Kenapa gue nggak menegur dengan cara baik-baik? Karena orang-orang semacam dia ini sebenarnya udah tau peraturannya kalau di dalam ruangan AC nggak boleh merokok tapi dengan egoisnya dia mengabaikan aturan itu untuk enaknya sendiri. Nah kalau gini gue udah nggak bisa toleransi lagi.

Jadi awalnya gue udah duduk duluan di salah satu meja, tiba-tiba cewek ini datang dan mengeluarkan sebatang rokok lalu mulai merokok dengan cueknya. Begitu gue tahu kalau dia penyebar polusinya gue langsung pindah duduk agak menjauh sambil bilang the F word dalam bahasa Jerman. Habis itu gue sindir habis dengan suara keras. Gue bilang, seandainya membunuh itu nggak dosa, perokok nggak bertanggung jawab macam dia ini nih yang jadi korban gue duluan, pengen langsung gue cekik dari belakang. Terus gue bilang lagi bahwa orang kayak dia itu egois, mentingin diri sendiri dan bodoh. Udah tahu peraturannya masih aja dilanggar. Gue bilang dia tega dan jahat karena di sekitar situ banyak anak-anak dan ibu hamil yang bisa tercemar polusinya. Plus nyokap gue nambah-nambahin kalau dia itu nggak sopan dan bilang seharusnya cewek itu menelan asapnya sendiri biar nggak polusi. Pokoknya lumayan heboh deh sampai orang-orang yang di sekitar situ pada ngeliatin cewe ini. Malah ada yang sampai batuk-batuk segala, nggak tau disengaja atau nggak. Akhirnya temennya si cewe ini ngingetin dia kalau mau merokok mending keluar aja. Terus dimatiin deh rokoknya. Huahahahaha... gue merasa menang banget... xD

Well, gue nggak benci dan bilang kalau semua perokok itu jahat. Gue cuma nggak suka sama orang yang merokok tapi nggak bertanggung jawab. Gue tahu kok kalau merokok itu hak setiap orang (walaupun gue masih suka ketawa sama orang yang kalo ditanya "kenapa merokok?" jawabannya "merayakan kebebasan". Menurut gue merokok itu sama kayak bunuh diri pelan-pelan xD LOL). Tapi tolong dong bertanggung jawab sedikit. Merokoklah di tempat yang sudah disediakan, atau kalau tidak ada ya sedikit menjauh dari orang-orang. Jujur gue berharap suatu saat ada peraturan "dilarang merokok di tempat umum kecuali pada tempat yang sudah disediakan", karena kalau peraturannya cuma "dilarang merokok di tempat tertutup dan berAC" nanti di stasiun, di kaki lima, dll. orang pada merokok -.-a Gue suka jahat kalau ada orang yang merokok dengan tidak bertanggung jawab, gue berharap mereka mati aja. Toh merokok itu sama aja kayak bunuh diri pelan-pelan, dan menurut gue lebih baik itu terjadi lebih cepat supaya mereka nggak bunuh diri ngajak-ngajak orang lain (baca: para perokok pasif).

Selain nggak bertanggung jawab, banyak juga perokok yang ngotot dan nggak mau dengerin pendapat orang, dengan kata lain, selalu mencari cara untuk membenarkan dirinya. Gue inget pernah berdebat sama seorang senior yang selama ini selalu gue anggap pintar, punya pemikiran nggak biasa, jago orasi dan nulis sastra, tapi sayang, dia perokok! (buat gue cowok merokok itu kegantengannya langsung melorot 75% kecuali kalo tampangnya kayak Elijah Wood atau Josh Hartnett :P #ehkokjadifangirling xD Jadi kalo tampangnya belum seganteng itu mending jangan merokok deh!). Nah, balik ke perdebatan gue sama si senior. Waktu itu gue komentar soal RUU Antirokok, dia langsung bales dengan bilang bahwa rokok itu menyelamatkan perekonomian Indonesia karena banyak banget buruh bisa hidup dari pabrik rokok. Terus gue usul, kenapa tanaman tembakau nggak diganti aja jadi tanaman lain yang bisa dipanen juga. Dia bilang kalau tanahnya cuma cocok untuk tanaman tembakau. Nah, masalahnya waktu gue nonton di TV, gue dengar kalau sekalipun jumlah perokok di Indonesia bertambah terus, penghasilan para buruh ini nggak tambah banyak. Belum lagi gue nonton video juga yang menjelaskan kalau sebagian besar rokok yang beredar di Indonesia ini rokok putih (yang asalnya dari negara-negara Barat dan di dalamnya mengandung sianida, bahan kutek, bahan sabun pel-pelan, dll yang beracun2 itu -.-a) dan bukan rokok kretek yang khas Indonesia dan biasanya beraroma cengkeh (tanaman khas Indonesia juga). Mana katanya pabrik rokok kretek dibeli sama industri rokok luar lagi, sekarang cuma tinggal satu deh merk rokok kretek yang besar. Nah, kalau sudah begini sekarang alasannya si senior jadi nggak masuk akal kan? Tapi tetep aja tuh orang ngotot dan merasa dirinya benar. Padahal kan yang gue protes bukan masalah merokoknya, tapi pertanggung jawaban mereka sama lingkungan yang isinya gak cuma perokok doang.

Gue juga nggak suka sama jawaban mereka ketika gue protes kalau asapnya nggak baik untuk kesehatan. Gue gak peduli sih sama nyawa mereka, tapi kan kasian sama yang nggak merokok terpaksa kena asapnya juga. Nah, kalau gue udah bahas ini terus mereka bilang "belum ada bukti tuh kalau merokok itu penyebab penyakit A, B, C, dll." Gue tahu kok memang itu belum resmi dibuktikan, tapi kenyataan menunjukkan sebagian besar penderita penyakit-penyakit itu dulunya perokok. Walaupun di sisi lain banyak juga yang nggak pernah merokok tapi sakit juga. Dengan alasan itu mereka bilang kalau yang gue bilang belum terbukti. Plus ditambah juga mereka bilang kalau asap kendaraan bermotor dan polusi udara di jalan lebih bahaya. Gini aja deh, nggak usah mikir lebih bahaya mana, tapi lihat dong jelas-jelas rokok itu ada sianidanya. Sianida! Itu lho, bahan gas yang dipakai untuk pembunuhan massal di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Nggak cuma itu, ada zat pembuat kutek, sabun pel lantai, dll. Itu kan sedikit banyak sama aja minum bahan-bahan itu sedikit demi sedikit. Maksud gue, zat-zat itu kan bukan zat yang diperlukan tubuh dan beracun pula, kenapa harus dikonsumsi? -___-a

Masalahnya sekarang perokok di Indonesia bukannya makin sedikit jumlahnya, malah makin banyak. Bahayanya lagi banyak dari mereka yang masih remaja dan belum bisa cari duit sendiri. Jadi beli rokok pakai duit jajan dari orang tuanya (duh!!). Uang orang tuanya dibakar gitu aja untuk hal-hal nggak guna, tau gitu mending buat anak2 baik yang gak bisa sekolah atau susah hidup aja dehh... -.-a Kalau dari video yang pernah gue tonton sih, memang saat ini perusahaan rokok sedang menargetkan remaja dan wanita jadi konsumen baru mereka. Banyak terutama di kalangan remaja yang berpikir bahwa merokok itu tanda gaul dan keren. Huh, padahal menurut gue kalau ada cowok sampai mikir kalau merokok sama dengan jantan itu bodoh. Merokok kan bisa bikin impoten. Kalau impoten gak jantan lagi dooong hahahahaha...xD

25.8.12

Freyja's Rune (1)


Pagi itu sangat cerah. Aku tidak menyangka akan menerima kabar buruk yang begitu mendadak. Seseorang berdiri di depan pintu rumahku dan menekan bel. Aku masih sangat kecil ketika itu, mungkin sekitar 6 tahun usiaku. Ibu berjalan menuju pintu dan membukanya. Sosok kecilnya berdiri di sana. Sigurd, tetanggaku, teman bermainku, dan seseorang yang diam-diam kusukai.
"Freyja, maaf aku baru bilang sekarang. Ibu selalu melarangku kemari, jadi aku tidak bisa menemuimu. Aku harus pergi sekarang," katanya.
Ibuku langsung mempersilakan ia masuk, tetapi ia menolak. Alasannya sama, ditunggu oleh ibunya. Aku tidak menyangka salam itu menjadi salam perpisahannya. Dengan cepat suara ibunya yang berteriak-teriak memanggil dirinya. Aku tak sempat membalas apapun sebelum ia pergi dari hadapanku. Aku berlari mengejarnya, tetapi ia telah menghilang masuk ke dalam mobil. Aku melihat dirinya dari balik kaca mobil yang gelap. Ia menangis. Aku juga. Kupanggil namanya.. Sigurd.., Sigurd..., berharap mobil berhenti dan menurunkan dirinya. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. Mobil itu menghilang di belokan jalan. Aku masih terdiam dan menangis di situ, sampai ibuku datang dan memelukku. Ia menjelaskan bahwa keluarga Sigurd pindah ke kota, tetapi mereka tidak memberikan alamat barunya, entah mengapa.

* * *
Aku tersentak dari lamunanku, tanpa sadar tanganku menggenggam kuat bandul kalung yang tergantung di dadaku. Sekeping batu bertanda seperti huruf X atau silang itu sesungguhnya adalah salah satu huruf Rune bernama Gebo. Kalung itu pemberian Sigurd untuk ulang tahunku yang ke-12, sebelum akhirnya ia pergi untuk selamanya. Aku masih ingat bungkusan kecil yang kuterima pada pagi hari ulang tahunku di kotak surat. Di dalamnya ada satu set batu Rune, sebuah buku tentang cara pemakaiannya dan kalung ini disertai secarik kertas. "Untuk Freyja. Semoga masa depanmu menjadi masa depan terindah seperti yang kau bayangkan. -- Sigurd." demikian tertulis di kertas itu.

Ketika itu aku tidak mengerti apa maksud Sigurd memberikan hadiah semacam itu padaku. Satu set batu Rune bukanlah hal yang biasa, meski cukup sering ditemukan di sini. Benda itu sudah digunakan oleh leluhur bangsa kami sejak zaman dahulu kala, tepatnya untuk meramal nasib atau membaca situasi dan karakter seseorang. Orang yang ahli menggunakan Rune untuk hal-hal demikian disebut Runemaster atau Runemistress. Mungkinkah Sigurd ingin aku menjadi Runemistress? Atau ia memberikannya hanya untuk koleksiku saja? Sejujurnya aku tidak percaya diri menggunakannya. Aku merasa tidak punya talenta mengetahui masa depan atau membaca situasi dan semacamnya menggunakan media. Tidak, aku belum berani menggunakannya. Aku merasa aku belum percaya sepenuhnya pada benda warisan leluhur itu. Setiap kali aku ingin mencobanya pada akhirnya aku hanya membiarkan Rune itu berserakan di meja. Seperti yang lagi-lagi kulakukan hari ini, ketika aku bosan dan tidak punya hal lain untuk dikerjakan.

Aku mulai membolak-balik buku yang datang bersama batu-batu Rune itu. Buku itu sudah kubaca berulang kali. Di dalamnya tertera sejarah Rune, asal muasalnya, arti setiap karakternya dan yang terpenting, cara meramal menggunakan Rune. Tetapi bagian favoritku (dan yang paling kuingat) adalah penjelasan tentang Rune Gebo. Rune Gebo, merupakan salah satu bagian dari rangkaian delapan Rune Freyja, yaitu delapan Rune pertama dari seluruh Rune. Rune Gebo memiliki tiga makna utama, yakni hadiah, cinta dan pengampunan. Mungkinkah Sigurd memilih Rune ini untukku hanya karena Rune ini menyimbolkan hadiah? Atau dia meminta maaf karena kami tidak lagi bisa bermain bersama? Atau..., ah.., aku tidak terlalu yakin dengan makna ketiga. Sigurd dan aku hanya teman masa kecil, sekalipun rasa sukaku padanya belum hilang sampai sekarang. Setelah kepergiannya, aku merasa tidak akan bisa mencintai orang lain. Aku selalu merindukan dia.

* * *
"Freyja...," suara lembut ibuku membangunkan tidurku yang sangat tidak nyaman. "Astaga, Freyja! Kenapa kau tidur di meja? Pasti kau ketiduran lagi semalam."
Ibu berjalan masuk ke kamarku selagi aku mengusap mata dan memaksa tubuhku untuk kembali menghadapi rutinitas sehari-hari. Kulihat ibuku sudah rapi berpakaian, seperti biasa ia selalu bangun lebih pagi dariku.
"Freyja, apa yang kau lakukan?" ibu mengusap kepalaku dengan lembut, lalu pandangannya beralih ke meja. "Ah, Rune itu lagi. Sampai kapan kau akan membuatnya berserakan tanpa melakukan apapun? Sudahlah, benda seperti itu bukan untukmu, Freyja. Kau bukan Runemistress. Keluarga kita tidak terlahir dengan talenta itu," kata ibu.
"Tapi Bu, Sigurd memberikan ini padaku, pasti ada maksudnya," aku bersikeras.
"Sigurd?" ibu mengernyit. "Sudahlah, Freyja. Sigurd tidak akan kembali. Ia sudah lama tiada. Ibu mengerti perasaan kehilanganmu, Sayang. Tapi Ibu tidak ingin melihatmu terus menerus berada dalam kesedihan dan kenangan masa lalu. Kau harus kembali menjalani hidupmu. Banyak lelaki di luar sana. Kau bisa bersenang-senang dan melupakan sejenak kepergian Sigurd."
Aku mendesah kecewa. Aku tahu Ibu pada akhirnya akan berkata demikian dan aku sadar bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Hidupku harus terus berjalan, sekalipun tanpa Sigurd. Tapi bersenang-senang dengan lelaki lain? Itu tidak mungkin. Semua orang di luar sana menganggapku aneh. Aku tidak cantik, seleraku tidak umum. Huh, ujung-ujungnya aku akan kembali pada kenangan akan Sigurd-ku dan berharap ia masih ada. Ya, kalau saja ia masih ada. Aku sedih jika teringat bahwa aku tidak ada di sisinya pada hari terakhirnya. Aku masih tidak bisa menerima fakta bahwa aku tidak menghadiri pemakamannya. Bahkan aku tidak tahu di mana ia dikuburkan. Aku sedih jika mengingat bahwa aku tidak melewatkan hari-hari bersamanya lebih banyak. Kenangan yang tersisa padaku hanyalah kebersamaan di masa kecil dan hadiah ini. Karenanya aku ingin setidaknya aku mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya, karena aku merasa tulisan di kertas itu adalah pesan terakhirnya.
"Freyja? Apa kau dengar Ibu?" tanya ibuku ketika tersadar bahwa aku melamun lagi.
"Eh, iya Bu, tentu aku dengar. Terima kasih untuk sarannya, Bu. Mungkin aku akan coba lain kali. Untuk sekarang, aku masih ingin mencoba mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya. Mungkin suatu saat aku akan bisa menggunakan batu-batu Rune ini," kataku.
"Hmm.. seperti biasa, anak Ibu selalu keras kepala. Baiklah, kalau Ibu boleh memberi saran, sebaiknya jika kau ingin bisa menggunakan Rune ini, kau belajar pada ahlinya," kata Ibu.
"Ahlinya? Siapa?" tanyaku, sedikit gembira karena rupanya Ibu tidak melarangku sama sekali untuk terus mencoba.
"Mungkin pertama-tama kau harus mencoba diramal menggunakan Rune dulu," kata Ibu lagi. "Lihat ini, Ibu mendapatkan ini ketika pergi ke pasar tadi pagi," ia menyodorkan sebuah brosur padaku.
"Festival Viking dan Abad Pertengahan?!" aku terkejut ketika membaca tulisan yang tertera di brosur itu.
"Baiklah, Freyja. Semoga itu bisa membantumu. Ibu akan ke dapur sekarang. Cepat kau mandi dan bereskan batu Rune yang berserakan itu," kata Ibu yang kemudian berlalu pergi.
Festival Viking dan Abad Pertengahan. Acara itu sesungguhnya merupakan acara tahunan di Bergen, tetapi karena aku baru pindah kemari setahun lalu maka kali ini adalah kesempatan pertamaku untuk melihat dan menikmatinya secara langsung. Festival itu berlangsung setiap musim panas selama beberapa hari. Di sana akan ada banyak sekali musisi dari seluruh Eropa yang tampil secara langsung. Musik-musik mereka umumnya bernuansa folk, abad pertengahan atau metal. Orang-orang yang datang ke festival itu akan mengenakan pakaian bergaya Viking dan abad pertengahan. Di festival itu juga akan ada pasar yang menjual berbagai pernak pernik bernuansa abad pertengahan dan era Viking. Tidak ketinggalan sesuatu yang paling kucari : stand peramal tempat Runemaster dan Runemistress yang berpengalaman akan meramal memakai batu Rune. Aku sangat tidak sabar ingin mencobanya untuk pertama kali. Mungkin besok akan jadi hari yang sangat menyenangkan.

(bersambung)





24.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (5 - end)

Alangkah terkejutnya Thorvard ketika ia tiba di negerinya. Desa-desa di sekitarnya sudah porak poranda. Bekas-bekas terbakar api tampak di sana sini. Entah apa yang terjadi di dalam kastil ia tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya. Ia ingin segera menemui gadis yang bernama Yngva lalu berlari mencari ayahnya. Menara kastil dan gerbangnya masih kokoh berdiri, tetapi bekas pertempuran terlihat jelas di berbagai sisi. Ia tidak tahu lagi siapa yang berkuasa di dalam kastil itu.

Thorvard berlari menuju salah satu reruntuhan desa. Ia tidak dapat menemukan seorang pun di sana. Lebih terkejut lagi karena yang dilihatnya hanyalah mayat-mayat orang tak bersalah tertancap di tombak-tombak yang dipancangkan di kiri kanan jalan --- tanda legitimasi kekuasaan dan kemenangan suku barbar yang menyerang mereka. Sepanjang hari ia mencari keberadaan atau setidaknya tanda-tanda keberadaan Yngva. Ia sangat berharap gadis itu masih hidup. Tetapi kenyataan yang tampak menunjukkan sebaliknya, bahkan tak ada manusia tersisa di desa itu. Pastilah meskipun ada yang selamat mereka telah melarikan diri entah ke mana.

Ksatria itu menatap langit. Di ufuk timur sudah muncul cahaya kemerahan. Ia tahu ia akan gagal menjadikan pagi kemarin sebagai pagi terakhirnya dalam wujud serigala. Sadar bahwa tidak ada satu pun manusia yang melihatnya, ia membiarkan tubuhnya berubah sosok di tempat terbuka tanpa bersembunyi terlebih dahulu. Dengan mata serigalanya, Thorvard mendapatkan penglihatan yang lebih tajam. Penciuman dan pendengarannya juga menjadi lebih baik. Dari sinyal bau ia ketahui bahwa tak jauh dari tempat itu ada sosok manusia. Dengan cepat diputarnya pandangan ke segala arah. Hutan keramat. Ke arah sanalah Thorvard mengikuti bau itu dan mendapati seorang gadis berambut emas berkepang yang kulitnya nyaris sama putihnya dengan salju. Yngva, berdiri di antara pepohonan ek yang tertutup salju di tepi hutan. Melihat kecantikan sang gadis, Thorvard jadi lupa diri.
"Selamat pagi, gadis cantik. Apakah kau Yngva?" tanya Thorvard dalam wujud serigala.
 Yngva terkejut mendengar suara geraman serigala tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mundur beberapa langkah dan memasang tatapan waspada.
"Yngva, tunggu! Kau harus menolongku. Aku mohon, aku minta sedikit saja air matamu."
Sang serigala berjalan mendekat sehingga kali ini Yngva dapat melihat sosoknya dengan jelas. Serigala itu menggeram-geram dan menatap lekat-lekat dirinya. Yngva mulai merasakan ancaman yang berada di dekatnya. Gadis itu berlari masuk ke dalam hutan.
"Yngva, tunggu aku!" seru Thorvard, ia langsung berlari menyusul Yngva.
"Oh, tidak! Hidupku dalam bahaya! Kenapa tiba-tiba ada serigala di sini?" pikir Yngva selagi kakinya melangkah cepat melompati semak-semak dan akar pohon.
Yngva berlari dan terus berlari. Sama seperti ketika suku barbar penunggang kuda itu mengejar dirinya. Ia berbelok ke sana dan kemari menghindari kejaran serigala. Tetapi Thorvard berlari begitu cepat. Penciuman dan pendengarannya yang tajam membuat Yngva selalu gagal menghilangkan jejak. Gadis itu terpaksa menghindar dengan memanjat pohon.
"Baiklah, aku akan tunggu di sini sampai dia pergi," pikir Yngva. Ia menempatkan diri pada dahan yang tidak mampu dicapai oleh Thorvard.
Thorvard berdiri dan menunggu di bawah. Bagi Yngva, sang serigala tidak kunjung berhenti menggeram dan melolong. Tetapi sesungguhnya Thorvard berbicara padanya dalam bahasa yang tak diketahuinya.
"Jangan takut, Yngva. Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji. Tolonglah aku yang malang ini. Aku hanya meminta sedikit air matamu," mohon Thorvard. 
"Sungguh menakutkan, aku harus mencari cara untuk berlindung dari serigala ini. Kutunggu mentari terbenam dan aku akan berlari ke danau sehingga aku dapat menjadi bunga salju. Mungkin serigala itu tidak akan tertarik lagi untuk memangsa diriku," Yngva mendapatkan ide cemerlang.
* * *
Musim dingin menyebabkan siang tidak berlangsung panjang. Dengan cepat ufuk barat menjadi kemerahan tanda mentari hendak terbenam dan berganti dengan bintang-bintang malam. Yngva melihat sang serigala. Tampaknya ia tidak lagi memperhatikan. Namun sesungguhnya Thorvard pun menunggu malam tiba sehingga ia dapat berbicara dengan Yngva dalam sosok ksatrianya. Yngva turun dari pohon dengan mengendap-endap. Ketika ia sudah sedikit menjauhi pohon itu, Thorvard tersadar.
"Oh tidak, ke mana perginya gadis itu?" ia kebingungan mencari sosok Yngva. "Tidak bisa, aku harus jadi manusia seutuhnya mulai besok. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan." pikirnya.
Beruntunglah Thorvard karena gadis itu tidak pergi jauh. Yngva berdiri di tengah kolam yang membeku seolah menantikan sesuatu. Thorvard memutuskan untuk mengawasi gadis itu dari balik pohon dan keluar ketika malam mengubah sosoknya. Perlahan-lahan langit hitam musim dingin mendatangkan kegelapan di atas bumi. Yngva masih berdiri di sana, kini bermandikan sinar bulan. Sosok berwarna putih itu semakin putih dan menyatu dengan es di bawah kakinya. Perlahan dan anggun ia menjadi sosok yang berbeda sekali. Setangkai bunga salju.
"Tidak!! Yngvaaaa!! Apa yang terjadi?? Mengapa sosokmu berubah? Aku baru saja hendak meminta tolong padamu," Thorvard melompat keluar dari balik pohon, kini dalam sosok ksatrianya.
Dalam sosok bunga saljunya Yngva terkejut. Sosok yang melompat ke arahnya, bukan seekor serigala, tetapi seorang ksatria tampan.
"Oh, jangan... jangan sekarang..., aku tak ingin berubah jadi bunga salju. Dewi musim dingin, kembalikan sosokku," pintanya dalam hati. "Bagaimana jika ia sang ksatria itu? Tidak, aku tidak bisa melihat diriku membunuh orang lain."
"Yngva, tolonglah... kembalilah jadi manusia..."
Thorvard berlutut dan memohon. Ia menyentuh lembut kelopak beku sang bunga salju. Ia mendapatkan ide. Mungkin dengan mencabutnya, sosok Yngva akan kembali. Thorvard menempatkan genggamannya pada tubuh bunga itu.
"Hentikan perbuatanmu, wahai Ksatria. Kau akan mati jika mencoba memetik diriku," cegah Yngva dalam suara yang tidak terdengar oleh Thorvard.
Thorvard mulai menarik tubuh sang bunga salju. Akarnya begitu kuat dan sulit tercabut. Permukaan es tempat dia tumbuh bahkan tidak kunjung retak. Justru jari-jari dan telapak tangan sang ksatria mulai biru dan membeku. Tetapi ia terus berjuang.
"Cukup sudah, Ksatria! Jangan lakukan itu! Aku tak ingin kau mati oleh karena diriku!" Yngva menjerit sia-sia.
"Walau tubuhmu akan membekukanku, aku akan tetap menarikmu. Aku ingin kau kembali, Yngva!" Thorvard bersikeras selagi es mulai merambat dan membekukan seluruh tangannya.
"Tolonglah dengarkan aku...,"
Yngva pasrah. Hatinya menangis melihat perjuangan sang ksatria. Thorvard masih berusaha mencabut tubuhnya dari tanah. Kedua kaki sang ksatria sudah membeku. Es terus merambat menyelimuti separuh tubuhnya.
"Aku pasti bisa melakukannya. Yngva, kau akan kembali, kau harus menolongku," ia bersikeras.
Es tempat bunga itu tumbuh mulai retak. Tetapi bunga itu masih sulit tercabut. Waktu sang ksatria tidak banyak. Es hampir mencapai jantungnya. Jika es itu berhasil, maka sang ksatria akan mati.
"Yngva, kembalilah...,"
Thorvard berbisik lemah, namun tarikan tangannya tidak berkurang kuatnya. Ia kehilangan napasnya tepat ketika sang bunga salju tercabut dari tanah es yang mengurungnya. Sang ksatria terkapar di lantai beku kolam dengan bunga salju dalam genggamannya. Namun perlahan-lahan wujud bunga salju itu lenyap. Sosok Yngva yang seputih salju terbaring tepat di samping sang ksatria. Ia segera tersadar dan menghampiri Thorvard yang membeku.
"Oh, tidak...," bisik Yngva lirih dan sedih. "Tidak..., aku telah membunuhnya...," suara tangis gadis itu memecah kesunyian hutan di malam hari.
Ia mendekap Thorvard begitu erat, seolah hendak mengantarkan hangat tubuhnya dan mencairkan es yang membekukan tubuh sang ksatria. Air matanya jatuh dan membasahi pipinya, lalu mengalir jatuh tepat di dada sang ksatria malam. Tanpa Yngva sadari, air matanya yang hangat memberikan keajaiban. Es yang menyelimuti tubuh sang ksatria mulai mencair. Napas kehidupan perlahan kembali pada Thorvard. Ketika ia mulai tersadar dan membuka mata, dilihatnya kecantikan Yngva dalam balutan duka berada tepat di hadapannya. Ia melihat butir-butir air mata yang membasahi wajah sang gadis. Air mata yang telah menyelamatkan dirinya dan menghapus kutukannya.
"Yngva," panggilnya, "terima kasih." lalu didekapnya gadis itu dengan begitu erat.
Yngva terkejut lalu tersenyum ketika menyadari bahwa sang ksatria tidak mati. Ia membalas dengan dekapan yang sama. Air matanya menjadi air mata bahagia. Berakhirlah sudah kutukan atas mereka berdua.

Thorvard Sigmundson kembali ke kastilnya dan mendapati bahwa tidak ada keluarganya yang selamat. Kastil itu telah jatuh ke tangan suku-suku barbar. Ia kembali pada Yngva Thunorsdottir dan menikahi gadis itu disaksikan segala penghuni hutan keramat. Keduanya bersumpah menjaga hutan itu dari ancaman musuh atau orang-orang yang akan merusak hingga akhir hayat mereka. Konon katanya ketika mereka meninggal, Yngva dikuburkan di dekat kolam di tengah hutan dan makamnya dipenuhi oleh bunga-bunga salju yang tumbuh cantik di musim dingin, sementara Thorvard dikuburkan di sampingnya, tetapi arwahnya menjelma menjadi serigala abu-abu yang mendiami dan menjaga hutan itu sampai sekarang.

(end)

23.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (4)

Akhirnya Yngva bangkit berdiri. Ia sadar bahwa meratapi kehancuran di depan matanya sungguh tidak akan menghasilkan apapun. Ia memutuskan untuk melaksanakan nazarnya pada sang dewi di dalam hutan tadi. Sejak saat itu Yngva tinggal di hutan keramat bersama alam liar di dalamnya. Segala hewan dan tumbuhan menjadi temannya dan ia menjaga mereka dengan baik. Sesekali ia mendekat ke tepi hutan dan memastikan tidak ada satu pun orang dari desanya yang memasuki atau merusak hutan itu.

Pada akhir bulan itu, sang dewi meniupkan musim dingin ke seluruh penjuru negeri. Musim dingin itu menjadi musim dingin terdingin yang pernah dialami Yngva. Tidak ada perapian hangat di rumah atau makanan lezat di meja makan. Tidak ada ayah maupun ibu. Yngva melaluinya dengan seorang diri berada di dalam hutan. Ia berlindung di gua, menyalakan api dengan kayu bakar dan batu api dan menyantap kelinci salju. Dengan terpaksa ia kembali ke cara hidup kuno yang pernah ada di negeri itu juga. Mau tidak mau ia melakukannya sekalipun ia mulai merasa bosan.

Tetapi hutan keramat adalah hutan yang menakjubkan. Banyak hal indah tersimpan di dalamnya. Yngva sering berjalan-jalan mengamati indahnya musim dingin di hutan itu ketika ia bosan. Suatu hari, ia putuskan untuk kembali melihat air terjun dan kolam awal mula hidupnya berubah. Ia penasaran dengan air terjun yang membeku oleh musim dingin. Beruntung hari itu salju tidak turun sehingga ia bisa berjalan dengan aman sampai tiba di tempat itu. Alangkah terkejutnya Yngva ketika dilihatnya sesuatu yang baru telah berada di sana. Kolam tempat air terjun membeku berakhir telah dipenuhi dengan sesuatu yang indah. Serumpun bunga salju berwarna putih kebiruan seperti kristal yang tumbuh subur dari tanah yang beku.
"Alangkah cantiknya bunga-bunga ini. Tak pernah kulihat sebelumnya bunga-bunga seindah ini tumbuh di musim dingin. Kurasa tidak apa-apa aku memetik beberapa tangkai, setidaknya untuk menghias guaku yang sepi," pikir Yngva, lalu tangannya mulai memetik beberapa tangkai bunga.
Tapi tidak mudah rupanya melangkah pergi dari kolam beku. Yngva mulai merasakan dingin yang aneh merambat dari telapak kakinya hingga ujung rambutnya. Kakinya menjadi sulit digerakkan seolah menyatu dengan air kolam yang telah menjadi es. Es itu merambat menutupi seluruh tubuhnya. Yngva berteriak namun suaranya tertahan. Tubuhnya kembali berubah menjadi bunga salju. Tangkai-tangkai bunga yang dipetiknya berserakan di sekitar dirinya. Lalu muncullah sang dewi musim dingin.
"Yngva Thunorsdottir? Apa yang kau lakukan dengan bunga-bunga di kolamku? Bukankah kau sendiri telah berjanji untuk menjaga hutan ini dan tidak merusak atau mengambil apapun yang ada di dalamnya? Sebagai hukumannya kau harus menjalani separuh masa hidupmu menjadi pengganti bunga-bunga salju yang kau rusak. Dalam gelap malam kau akan jadi cahaya yang menyihir banyak orang untuk mencabut akarmu. Banyak orang akan mati karena dirimu. Hanya seorang ksatria yang tepat yang dapat mengembalikan hidupmu, tetapi ia harus menukarnya dengan nyawanya sendiri," sang dewi berkata, lalu menghilang, meninggalkan sang bunga salju yang menangis dalam hati menyesali kesalahan dan meratapi nasibnya.
* * *
Malam telah tiba. Thorvard yang sedang dalam perjalanan kembali ke negerinya terpaksa berhenti dan menumpang di rumah penduduk. Rumah yang ia tempati tidak besar dan terbuat dari kayu dengan lubang di bagian tengah rumah sebagai lubang sirkulasi udara sekaligus cerobong asap. Di dalamnya tinggal seorang nenek yang sudah tua seorang diri. Dengan ramah ia memberikan tumpangan bagi Thorvard untuk bermalam di rumahnya. Sang nenek tidak berbeda dari orang tua pada umumnya, kecuali satu hal, bahasa yang digunakannya bukan bahasa penduduk desa, seolah-olah nenek ini seorang bangsawan yang menyamar. Mungkin dulunya ia pekerja istana. Satu hal lain yang dari tadi membuat Thorvard penasaran: pandangan mata sang nenek padanya seperti mengawasi atau menyimpan misteri diam-diam.

"Saya tahu siapa kamu, Nak. Kau adalah sang ksatria malam yang banyak dibicarakan orang-orang, bukan?" tanya sang nenek ketika mereka menikmati makan malam bersama.
Thorvard tidak menjawab. Ia membiarkan nenek misterius itu melanjutkan kalimatnya.
"Apakah orang lain tahu mengapa kamu disebut ksatria malam?" tanyanya lagi.
"Tentu saja, karena aku hanya muncul pada malam hari," jawab Thorvard.
"Maksud saya, alasan sesungguhnya yang membuat kamu terpaksa keluar hanya pada malam hari," kata "terpaksa" ditekannya dengan sengaja sehingga Thorvard sedikit terkejut.
"Aku? Terpaksa keluar pada malam hari? Apa maksud Nenek?" Thorvard pura-pura bodoh.
"Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi. Saya tahu betul apa yang menimpamu, Nak. Sungguh kasihan dirimu, kalau saja para dewa tidak terlalu kejam dan bisa membatalkan kutukan mereka padamu. Saya sudah dengar akan segala kebaikan yang kamu lakukan. Dengan berani kamu mengabdi pada banyak raja dan melindungi negeri-negeri dari bahaya. Sungguh, kamu pantas mendapat pengampunan," kata sang Nenek lagi.
"Aku tidak mengerti bagaimana Nenek bisa tahu akan kutukan itu. Tapi, kurasa para dewa benar, aku memang tidak pantas hidup sebagai putra tuan tanah kaya yang sombong. Lebih baik aku jadi serigala saja. Setidaknya aku berburu hanya untuk makan, bukan kesenangan, lalu menghancurkan alam ciptaan ini," kata Thorvard merendah.
"Kau yakin tidak ingin kembali menjadi manusia sepenuhnya? Baiklah ksatria malam, saya rasa kamu bisa memutuskan sendiri. Tetapi suatu rahasia sebaiknya tidak disimpan terlalu lama apabila ia berguna. Temuilah seorang gadis di kampung halamanmu yang bernama Yngva. Ialah satu-satunya yang dapat menolongmu. Mintalah beberapa tetes air matanya untuk mengembalikan kutukan yang menimpamu. Sebaiknya kau cepat pulang, kudengar desa tempat tinggal gadis itu sudah porak poranda oleh serangan suku barbar," kata sang nenek misterius.
"Bagaimana bisa aku menemukannya sedangkan aku tidak tahu seperti apa rupa gadis itu?" tanya Thorvard.
"Kulitnya putih seperti salju dan rambutnya emas berkepang," jawab sang nenek.
Dengan cepat Thorvard menghabiskan makanannya lalu berpamitan pada nenek itu seraya mengucapkan terima kasih. Ia menyambar mantelnya lalu pergi menghilang dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mencari Yngva.

(bersambung)