24.1.13

Terima Kasih pada Malam yang Dingin...

Angin dingin berhembus kuat di seluruh negeri. Udara yang beku menusuk kulit siapapun yang berada di luar bagaikan jarum-jarum besi yang tiada ampun. Pohon dan rerumputan bergoyang-goyang dan bergesekan karena tiupannya. Tidak ada seorang pun tampak di jalan pada malam itu, kecuali sesosok pria berpakaian lusuh yang terus memeluk tubuhnya erat-erat sembari berjalan. Kedua kakinya melangkah perlahan-lahan tetapi mantap melawan kuatnya angin yang bertiup. Tujuannya hanya satu: kekasihnya yang tinggal di kastil megah di ujung jalan itu. Dinginnya malam tak sebanding dengan pertemuan dengan sang kekasih.

Semakin mendekati bangunan kastil berwarna abu-abu itu, langkah sang pria justru diperlambat. Ia berbelok menjauhi gerbang utama. Tentu saja ia ingat betul bahwa kastil itu bukan tempat yang tepat untuknya dan karenanya ia harus melewati jalan lain agar tidak tertangkap penjaga. Ia melangkah masuk ke taman kastil lewat sebuah lubang di pagar batu yang tidak disadari keberadaannya oleh para penjaga. Dengan segera dirinya tiba di taman belakang kastil. Ke arah taman itulah jendela sang kekasih menghadap. Sang pria dapat melihat sosok seorang wanita di balik tirainya, yang sayangnya belum menyadari keberadaannya.

Diambilnya kerikil yang banyak terdapat di taman itu dan dilemparkannya hingga mengenai kaca jendela sang wanita. Mendengar suara yang ditimbulkan kerikil itu, sang gadis membuka daun jendelanya dan melongok ke bawah.
"Franz?" ia tampak terkejut. "Apa yang kamu lakukan di bawah sana?" tanyanya. Ia tidak menyangka kekasihnya akan datang.
"Oh, Louisa..., tolong bukakan pintunya untukku," pinta Franz. "Izinkan diriku masuk ke tempatmu."
Louisa menunjukkan wajah ragu sesaat, lalu ia menggeleng. "Maafkan aku, Sayang, aku tidak mungkin melakukannya. Kau tahu ayahku mengawasi semua tempat malam ini. Aku juga tidak mungkin keluar dari kamar ini. Sebuah palang besi mengunci pintunya dan kuncinya tidak ada padaku."
"Ayolah, Louisa, kau tahu di luar sini sangat dingin. Apa kau tega membiarkan diriku berdiri di bawah cahaya bulan di tengah angin yang beku seperti ini sepanjang malam?" kata Franz terus membujuk.
"Kurasa... aku ada ide...," sesaat wajah sang gadis berubah cerah, "ah.., tidak.. hal itu tidak mungkin dilakukan," katanya tertunduk kecewa.
"Sayang, katakan saja idemu. Percaya padaku. Jika kau membukakan pintu bagiku malam ini, maka pagi tidak akan cepat datang seperti biasanya."
 Masih dengan wajah ragu, Louisa berbalik membelakangi jendela lalu menghilang pergi. Franz nyaris putus asa dan menyerah pergi ketika tiba-tiba gadis itu muncul lagi sembari melempar sesuatu keluar jendela. Kain beraneka warna menjuntai panjang dan sambung-menyambung terikat kuat di samping tempat tidurnya. Kain itu dibuatnya dengan mengikat tirai, kain penutup tempat tidur, berikut gaun-gaun dan selendang yang dimilikinya.
"Naiklah dengan kain itu, Franz!" serunya. "Cepatlah, sebelum penjaga menyadari keberadaanmu!"
Dengan cepat namun berhati-hati, Franz menggunakan untaian kain yang menjuntai ke bawah itu untuk memanjat ke kamar Louisa. Beberapa saat kemudian, ia tiba di jendela gadis itu.
"Teruntuk Franz-ku yang pemberani," dikecupnya kening kekasihnya itu setelah sebelumnya menarik kembali untaian kain panjang yang terikat pada tiang tempat tidurnya itu agar penjaga tidak melihatnya.
"Terima kasih untuk kekasihku yang telah membukakan pintunya untukku," Franz membalas Louisa itu dengan mengulum bibir gadisnya itu sebanyak tujuh kali.
"Berterima kasihlah pada malam yang dingin di luar sana. Kekejamannya telah membuatku tidak tega membiarkanmu berdiri di luar sepanjang malam," kata Louisa.
 * * *
Fajar mulai merekah di ufuk timur. Seekor burung kecil yang bertengger di dahan pohon linde tepat di depan kamar Louisa berkicau merdu menyambut pagi. Gadis itu terbangun dan tersadar bahwa ia telah lupa menutup jendela kemarin malam. Meski demikian, ia tidak peduli. Apa yang dialaminya sepanjang malam adalah suatu hal yang tidak akan terlupakan dalam hidupnya. Diliriknya Franz yang masih terlelap di sampingnya. Lengannya yang kuat masih mendekap erat dirinya. Dibisikkannya rasa terima kasih dalam hatinya. Terima kasih pada malam yang dingin.


by LV~Eisblume
a story inspired by Faun's song titled "Diese Kalte Nacht" from the album "Von den Elben" and my sister's story titled "The Lady's Wedding".
 

 
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar