25.4.14

Dongeng Peri Clairessa (3 - end)

Dalam lentera yang dibawa sang rambut emas, Clairessa duduk dengan tenang. Pakaiannya berkilau-kilau indah begitu terang, seolah sinar mentari yang diserap pada tempo hari tak pernah habis untuk selamanya. Bersama sang rambut emas, ia mengarungi lautan menuju sebuah negeri di utara yang diketahuinya bernama Frozenland. Sang rambut emas tampak bosan dalam perjalanan panjang itu, sehingga dikeluarkannya Clairessa dari kotak lentera dan mulai mengajaknya berbicara, seolah-olah mereka dapat mendengar satu sama lain.
"Kuharap kau tidak keberatan kubawa pulang, peri cahaya," katanya. "Sejak aku melihatmu dalam gelap malam itu, kupikir kau akan cocok untuk membantu negeriku."
Clairessa tersenyum lebar dan bahagia. Ia berputar-putar menari di depan wajah sang rambut emas.
"Aku tak tahu apa kau mengerti yang kukatakan, peri. Tapi aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Eirik, hanya seorang petualang dari Frozenland yang penasaran dengan negeri tropis. Tak kusangka aku menemukan peri sepertimu. Kuharap aku tahu namamu," kata sang rambut emas.
"Clairessa!" seru sang peri, yang tentu saja tak akan terdengar. Namun Clairessa tidak peduli. Baginya, pergi dari Tropicalea sudah menjadi kebahagiaan.
"Kau tahu? Kau mengingatkanku pada periku yang dulu pernah kumiliki juga. Namanya Lysette. Mungkin ia peri cahaya tercantik di seluruh Frozenland. Tetapi tentu ia tidak akan bertahan selamanya. Mentari yang jarang datang telah mematikan cahayanya," ujar Eirik.
Clairessa mendengar kisah itu dengan prihatin. Frozenland tampaknya suatu kerajaan yang sangat malang. Ia teringat pada mentari yang membuat cahayanya berlimpah seperti sekarang. Dalam satu hari itu, nyaris tak ada sedikit pun waktu yang digunakan mentari untuk pergi menghilang, kecuali ketika ia berganti tempat dengan bulan. 
"Izinkan aku mengirimkan seberkas cahaya mentari negeri tropis ke Frozenland," Clairessa menjawab, meski ia tahu Eirik tak akan mendengar dirinya.
 Akan tetapi, pria berambut emas itu tampaknya mengerti. Karena kemudian ia tersenyum. Dimasukkannya kembali Clairessa ke dalam kotak lentera yang dibawanya.

Kapal merapat di pelabuhan Frozenland. Untuk pertama kalinya Clairessa menyaksikan sendiri negeri yang malang itu. Langit tertutup awan mendung, tak menyisakan celah bagi mentari untuk muncul. Salju turun perlahan, namun terasa lebih lebat ketika ditiup angin laut. Bongkahan-bongkahan es yang pecah mengambang di beberapa bagian laut. 

Eirik turun dari kapal. Clairessa ada di dalam lentera yang tergantung di jemarinya. Peri cahaya itu dapat melihat peri-peri lain yang berdiam sunyi dalam lampu-lampu penerang jalan di dermaga. Cahayanya biru, membeku seperti tak pernah mendapat asupan lagi. Semua peri itu menunduk. Namun ketika Clairessa lewat, kemilau tubuh dan pakaiannya yang gemilang memaksa para peri itu untuk memandang lebih dekat. Clairessa dapat melihat, peri-peri yang putih seperti pualam dengan rambut panjang yang diikat dengan cara berbeda dengan rambutnya mulai bersandar pada dinding lampu yang menatap jalanan pelabuhan. Ia ingin memberi salam pada mereka, namun ia tak mengerti bahasa peri Frozenland. Beruntunglah Clairessa, tampaknya para peri cahaya menerima dirinya. Mereka tersenyum memandangnya.

Eirik membawa Clairessa ke sebuah bangunan yang memiliki menara jam yang menjulang. Clairessa begitu terpesona memandang bangunan itu. Tidak pernah sekalipun ia melihat bangunan seperti itu di hutan. Mungkin bangunan semacam itu ada pula di negerinya, hanya saja ia belum sempat melihat karena ia tak pernah sungguh-sungguh mencapai dunia manusia di sana. Di dalam bangunan itu tampak suram. Clairessa melihat para peri cahaya lain yang menari begitu cepat di dalam perapian. Dengan kecepatan seperti itu tampaknya mereka tak akan mampu bertahan lama. Tetapi dalam dingin seperti ini pastilah mereka harus melakukannya. 

Seorang wanita, umurnya tampak belum terlalu tua, turun dari tangga dan menemui Eirik. Dari pakaiannya, Clairessa menebak bahwa ia memegang peranan penting. 
"Selamat pagi, Ibu Walikota," sapa Eirik. "Saya membawa sesuatu untuk Anda dan seluruh penduduk negeri ini."
"Katakan padaku, Eirik. Apa yang kau temukan dari petualanganmu?" tanya wanita itu.
"Seorang peri cahaya. Dalam lentera ini. Ia begitu terang namun hangatnya cocok untuk negeri kita. Mungkin ia bisa menggantikan para peri yang ada pada lampu plasa kota ini," jelas Eirik sembari menunjukkan lentera dengan Clairessa di dalamnya.
"Oh?!" sang wanita tampak begitu terkejut menyaksikan cahaya Clairessa. "Peri cahaya apa ini? Mengapa begitu cantik?"
"Aku mendapatkannya dari Tropicalea," jawab Eirik. "Dan tampaknya ia tidak keberatan jika kubawa ke sini, karena di sana ia kurang panas."
Ibu Walikota tampak bahagia. Seolah-olah ia sudah menemukan solusi bagi bencana musim dingin di negerinya, setidaknya untuk sementara. Ia mengajak Eirik untuk keluar dari bangunan itu dan berjalan menuju sebuah air mancur di tengah plasa yang terletak di depan balai kota. Air mancur itu membeku karena udara yang sangat dingin. Di puncaknya terdapat sebuah lampu yang sudah mati.
"Bisakah kau tolong aku memindahkan perimu ke dalam lampu itu?" pinta Ibu Walikota.
Eirik mengangguk menyanggupi. Dikeluarkannya Clairessa yang terbang dengan tenang mengikuti telapak tangannya menuju lampu di atas air mancur itu. Dan segeralah sumber cahaya baru memancar dari tengah plasa kota. Cahaya Clairessa yang begitu terang menerangi bagian utama kota itu, memaksa orang-orang untuk keluar, menyaksikan sendiri keajaiban dari negeri tropis yang baru tiba di Frozenland. Beberapa dari mereka mendekat untuk menghangatkan diri. Kehangatan Clairessa rupanya cukup untuk melelehkan sedikit demi sedikit air mancur yang membeku. Tak percaya akan keajaiban itu, Clairessa pun menangis bahagia.

* * *
Waktu berlalu. Bencana musim dingin di Frozenland telah berakhir, meski udaranya masih jauh lebih dingin dibandingkan Tropicalea. Clairessa masih bahagia membantu masyarakat di sana. Terlebih lagi karena dari tempatnya berdiri, di tiang lampu di atas air mancur balai kota, ia dapat menyaksikan laut yang dipenuhi kapal-kapal berlayar, berikut pegunungan yang menjulang di bagian timur kota itu. Mentari mulai muncuk kembali, sehingga Clairessa dapat menyerap cahayanya dan membuat dirinya terus menjadi terang, meski ketika musim dingin datang melanda. 

Suatu malam musim dingin, Clairessa tengah memperhatikan kota yang sudah sunyi dari orang-orang yang berlalu lalang ketika tiba-tiba disaksikannya suatu keanehan tampak di langit. Clairessa melihat cahaya, warnanya hijau kebiruan, seperti jatuh dari angkasa, namun tiada bintang yang menjadi sumbernya di sana. Ia menduga bahwa itu sepasukan peri cahaya Frozenland yang belum terlalu dikenalnya. Dugaan itu lenyap ketika Clairessa menyadari sesuatu. Cahaya hijau itu mampu diserap oleh tubuhnya! Ia memperhatikan sekitarnya. Tak ada peri lain yang melakukannya, entah mengapa. Clairessa tak peduli. Ia membiarkan cahaya itu jatuh dan menari, di atas langit yang menaungi plasa kota. Ia begitu bahagia merasakan pengalaman itu. Cahaya hijau itu, tidak sama dengan mentari, karena ia tidak hangat, namun tampak indah seperti warna zamrud.

"Peri cahaya?! Apa yang kau lakukan?!" terdengar suara familiar di telinganya. 
Clairessa menjauhi cahaya itu dan melihat ke arah sumber suara. Eirik berdiri di sana, dekat dengan air mancur dan sedang memperhatikan dirinya dengan wajah heran. 

"Lihatlah aku!" ujar Clairessa, lalu ia menari dan berputar, membiaskan cahaya hijau kebiruan yang baru saja diserapnya dari langit.
Eirik terpana melihat cahaya itu. Ia terkesima cukup lama, sampai kemudian berseru dengan senang.
"Penduduk Frozenland!! Kalian tak akan percaya apa yang akan kalian lihat! Sekarang kita punya lampu yang bercahaya seperti aurora!"
Beberapa orang mulai membuka jendelanya dan langsung terpana seperti Eirik. Anak-anak berlarian keluar dari rumah dan mendekati air mancur tempat lampu aurora itu berada. Clairessa terus menari, membiaskan cahaya itu hingga ke lekuk-lekuk arsitektur balai kota. Ia begitu bahagia melihat dirinya sekarang. Apa yang telah menjadi kelemahannya di negerinya, kini menjadi kekuatannya di negeri orang. Ia tak percaya akan apa yang telah terjadi padanya. Dan ia tentu lebih bahagia lagi, jika mengetahui bahwa ialah satu-satunya peri cahaya yang mampu membiaskan warna aurora borealis. Tidak hanya di Frozenland, tetapi juga di seluruh dunia. 

(Tamat)

Dongeng Peri Clairessa (2)

Setelah perjalanan panjang yang menegangkan, Clairessa tiba di tepi hutan. Meski cahaya tubuhnya begitu terang, ia berhasil mengelabui para penjaga Tropicalea dengan bersembunyi di balik dedaunan. Ia mencari-cari Lichta dan peri-peri lain. Namun bukan Lichta yang ia temukan, melainkan beberapa manusia yang datang memasuki hutan. Clairessa terpaku memandang mereka. Begitu besar dan gagah. Mereka mengenakan pakaian berlapis-lapis dan menggendong tas yang besar di punggung. Clairessa tahu semua benda-benda itu, karena meski dunianya berbeda dengan para manusia, ia telah mempelajari tentang mereka dalam buku-bukunya.

Sambil bersembunyi di balik dedaunan, Clairessa memperhatikan para manusia itu. Ketiganya pria, namun mereka tampak berbeda. Salah satunya berkulit sangat terang, putih seperti nyala tubuhnya. Rambutnya keemasan seperti warna pakaiannya, yang menyimpan cahaya mentari terlampau banyak. Ketiga manusia itu duduk di tanah. Salah satunya mulai menumpuk kayu di bagian tengah. Clairessa tahu apa yang harus ia lakukan. Manusia itu ingin membuat api unggun, dan para peri cahaya seharusnya hadir di sana untuk menghasilkan api dan menjaganya agar tetap menyala sepanjang malam. 
"Jangan gila kau, Clairessa! Mana mungkin kau bisa membuat api?! Panas saja kau tak punya," ejek Lichta yang tiba-tiba saja sudah terbang di belakangnya.
"Ah, tidak. Aku tidak akan melakukannya. Lagipula, belum saatnya kita di sana dan membantu mereka. Itu tugas para peri yang sudah resmi meninggalkan Tropicalea," ujar Clairessa.
"Buat apa menunggu mereka. Kenyataannya kitalah yang ada di sini dan kita sudah cukup pandai untuk melakukannya," kata Sonneia, dikedipkannya salah satu matanya ke arah Lichta.
"Kalian gila! Bagaimana kalau itu berbahaya?" Clairessa terdengar panik. Ia berusaha memperingatkan teman-temannya.
"Kau terlalu penakut. Aku yakin itu tidak masalah," kata Lichta, kemudian terbang meninggalkan Clairessa di balik pepohonan. Sonneia dan peri-peri cahaya lainnya menyusul di belakangnya.
Clairessa memilih untuk menunggu dan menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh para peri cahaya itu. Dilihatnya salah satu manusia itu tengah mengambil dua buah batu dan mulai menggosok-gosokkan keduanya. Ia tahu, bahwa gosokan dua batu adalah tanda bagi para peri untuk terbang mendekat dan membuat api di sekitar bagian batu yang bergesekan. Di saat itulah Lichta, Sonneia dan yang lainnya terbang menuju kedua batu itu. Mereka menari dan menari di sana, menciptakan percikan api yang berpijar kecil di antara keduanya. Batu itu didekatkan pada kayu, dan mereka terus menari dan menari hingga menciptakan api yang sangat besar. Lichta dan Sonneia begitu bangga akan pekerjaan mereka, yang tentu saja belum selesai, karena mereka harus mempertahankan api itu sampai pagi.

Jam demi jam berlalu. Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka mulai kelelahan. Clairessa menyadari hal itu dari api yang mulai meredup. Dilihatnya ketiga manusia yang sudah tertidur tampak sedikit tidak nyaman. Berulang kali mereka menggosok-gosokkan telapak tangannya akibat dingin yang menusuk. 
"Tampaknya peri-peri cahaya yang membuat api kita tidak mampu bertahan lama," komentar salah satu dari mereka yang tiba-tiba terbangun akibat ketidaknyamanan itu.
"Belum apa-apa apinya sudah kecil, Payah! Padahal kayunya masih banyak," keluh yang lain.
"Ini belum apa-apa, teman. Di negeriku, Frozenland, jarang sekali kami memiliki malam hangat seperti ini. Terutama tahun-tahun belakangan ini. Para peri cahaya tidak mampu bertahan lama di bawah suhu dingin akibat sinar mentari yang mereka serap terlalu sedikit," ujar yang berambut emas.
Akhirnya Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka tidak lagi mampu bertahan. Mereka terkulai lemas di sekitar kayu-kayu yang belum terbakar, lalu tertiup angin dan menghilang dalam gelap, menyisakan kabut tipis sebagai jejaknya, yang dikenal manusia sebagai asap. Para manusia tampak kecewa. Mereka bermaksud menyalakan api lagi. Di saat itulah Clairessa keluar dari persembunyiannya.
"Oh lihat, kawan!" seru salah satu manusia itu. "Ada peri kecil yang tersisa! Terang sekali cahayanya!"
"Mungkinkah ia bisa membuat api?" tanya yang lain.
"Aku tak yakin, karena ia seorang diri dan kecil. Tetapi cahaya terangnya bisa menyalakan lentera kita," kata yang berambut emas.
Pria berambut emas itu kemudian mengulurkan tangannya dan berusaha meraih Clairessa untuk disimpan dalam lentera. Tentu saja Clairessa sangat senang, karena ia setidaknya bisa membantu para manusia itu.
"Wah, aneh sekali! Aku bisa menyentuhnya tanpa merasa terlalu panas!" ujar yang berambut emas dengan nada senang.
"Masa sih? Bagaimana bisa? Peri cahaya 'kan panas sekali, apalagi yang berasal dari negeri ini," temannya tampak heran.
"Ya, aku baru saja menyentuhnya. Rasanya cukup hangat, mengingatkan aku pada hari-hari bermentari di negeriku," kata yang berambut emas mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak salah kau pernah bilang, kalau negerimu sedang mengalami masalah cuaca. Mengapa tidak kau bawa saja lentera dengan peri cahaya ini. Kurasa cahayanya akan cukup membantu menerangi hari-hari gelap tanpa matahari yang kau katakan," usul salah satu manusia itu.
"Hmm.. kau benar juga,"
"Ya, betul sekali itu! Lagipula panasnya sepertinya akan cukup untuk orang-orang di negerimu yang tidak terlalu menyukai panas seperti bangsaku," timpal yang lainnya.
Si rambut emas tersenyum senang mendengar usul kedua temannya. Ia mengangguk-angguk penuh persetujuan. Dalam lentera, Clairessa menari bahagia. Tak ia sangka ia akan mengetahui kegunaan dirinya secepat itu. Bahkan saat ini ia semakin tidak sabar melihat negeri lain yang terdengar begitu jauh dari Tropicalea. Meski ia harus meninggalkan tanah kelahirannya, Clairessa tidak keberatan. Ia begitu senang memperoleh kesempatan menemukan dirinya kembali, dan mungkin, memperoleh teman yang sesungguhnya.

(bersambung) 

Dongeng Peri Clairessa (1)

Segala keajaiban alam di dunia ini dikerjakan oleh makhluk-makhluk kecil cantik yang tak kita sadari keberadaannya. Tak percayakah kau akan apa yang baru saja kukatakan? Sekarang cobalah pejamkan mata dan berhentilah melihat dunia dengan kedua mata di wajahmu. Mulailah melihat dunia dengan mata di hatimu dan mungkin kau akan melihat sesuatu yang tengah menjadi pemandanganku saat ini.

Aku melihat sebuah hutan hujan tropis yang hijau dan lebat di suatu lereng gunung. Di dalam hutan itu tumbuh beraneka jenis pohon dan tanaman yang batang dan dahannya besar-besar. Sulur-sulur hijau berjatuhan ke lantai hutan atau menghubungkan pohon demi pohon. Di sana-sini tampak bebungaan yang warnanya indah. Di hutan itu terdapat sebuah kerajaan peri, salah satu yang terbesar di dunia, yang bernama Tropicalea. Peri-peri Tropicalea mendiami celah-celah kecil di batang-batang pohon, tidur di atas helai dedaunan atau berdiam dalam kolam-kolam kecil di bawah air terjun yang mengaliri hutan itu. Di kerajaan itulah para peri yang masih muda tinggal dan belajar untuk kemudian pergi ke dunia luar untuk membantu pekerjaan alam dan manusia di negeri tersebut.

Clairessa adalah salah satu peri cahaya yang tinggal dan berlatih di Tropicalea. Sebagai peri cahaya, ia harus menyerap sedikit berkas cahaya mentari pada siang hari serta bulan dan bintang pada malam hari. Ketika ia dewasa, ia akan keluar dari Tropicalea dan menggunakan cahaya itu untuk membantu manusia. Peri cahaya akan tinggal dalam lentera-lentera dan lampu-lampu yang digunakan manusia untuk menerangi dunianya di malam hari. Ketika hari hujan atau dingin, peri cahaya juga membantu menghangatkan manusia. Semua peri cahaya selalu bersemangat menantikan hari ketika mereka cukup dewasa dan meninggalkan Tropicalea. Tak terkecuali Clairessa, yang sayangnya mempunyai sedikit masalah.

"Clairessa!! Bagaimana kau ini?! Berapa banyak cahaya yang kau serap tadi siang? Bahkan kau tak bisa menguapkan embun di daun ini! Bagaimana kau akan menghangatkan perapian di masa depan nanti?!" bentak Lumina, guru yang bertanggung jawab mendidik para peri cahaya kecil.
"Tapi, Bu... Aku, aku sudah berbaring seharian di bawah sinar matahari. Memang cahayaku tidak sehangat yang lain," Clairessa  mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mau tahu. Sudah tugasku meluluskan semua peri cahaya untuk memasuki dunia manusia. Aku tidak ingin kau menodai keberhasilanku, Clairessa. Besok aku mau kau berbaring di atas daun yang paling puncak dan menyerap sebanyak mungkin sinar mentari. Kau mengerti?!" perintah Lumina. Tongkatnya diarahkan ke pucuk pohon tertinggi di hutan itu, yang terletak dalam wilayah Tropicalea.
"Baik, Bu," ujar Clairessa tertunduk sedih.
Demikianlah pada pagi berikutnya, Clairessa langsung terbang ke pucuk pohon yang dimaksud Lumina dan menjemput sinar mentari sejak detik pertama ia terbit. Ia berbaring sepanjang hari di sana, menyerap setiap sinar yang dipancarkan sang mentari. Clairessa tak ingin gagal. Ia selalu bermimpi melihat dunia luar, terutama dunia manusia yang selalu diidamkan para peri. Ia ingin menjadi berguna bagi para manusia dan tentu saja tidak ingin terjebak di Tropicalea untuk selama-lamanya, meski tempat itu indah. Lama ia berbaring di atas daun tertinggi di hutan itu sembari melihat pemandangan hutan yang luas nan hijau. Ia baru kembali ke Tropicalea ketika mentari terbenam.
"Mudah-mudahan besok aku berhasil, " katanya dalam hati.
Hari berganti kembali. Siang itu, semua peri cahaya berkumpul kembali di sebuah lapangan, di atas permukaan yang tersisa dari sebuah pohon tumbang. Clairessa ada di sana, juga beberapa peri cahaya lain yang setingkat dengannya. Pada mulanya ada kepercayaan diri dan harapan yang tumbuh dalam diri Clairessa setelah melalui hari sebelumnya dengan berbaring seharian di bawah mentari. Namun akhirnya perasaan itu lenyap, tatkala ia melihat bahwa peri-peri cahaya lainnya menatap dirinya dengan pandangan aneh dan mulai berbisik-bisik. Akhirnya, salah satu dari mereka angkat bicara.
"Oh, Clairessa, tidakkah kau berdandan terlalu berlebihan hari ini?" tanya Lichta, peri cahaya yang tercantik di kelompok itu. "Apakah kau ingin menyaingi aku?"
"Berdandan? Ah, tidak, aku sama sekali tidak memakai apa-apa hari ini," Clairessa tampak bingung.
"Lihatlah dirimu dan pakaian yang sangat berkilauan itu! Bahkan mataku silau dibuatnya!" ujar Sonneia sambil tertawa mengejek.
Dengan ragu-ragu dan malu, Clairessa memandangi tubuhnya sendiri. Cahaya kuning yang begitu terang terpancar dari tubuh dan pakaiannya. Tampaknya ia terlalu banyak menyerap sinar mentari kemarin hingga tubuhnya menjadi terlampau bercahaya. Dan kini peri-peri cahaya lain mulai menertawakan dirinya. Bahkan Lichta tampaknya menganggap bahwa ia terlalu mencari perhatian dengan cara yang berlebihan. Clairessa ingin sekali cepat-cepat pergi dan menghilang dari hadapan teman-temannya. Sayang sekali, Lumina keburu datang dan hendak memulai lagi latihan hari itu.
"Baiklah semua, hari ini aku ingin kalian menguapkan embun di dedaunan untuk mengetahui berapa panas yang kalian mampu pancarkan untuk menjadi peri-peri cahaya penghangat!" jelas Lumina tentang rencana latihannya hari itu.
Cahaya terang yang memancar dari pakaian Clairessa langsung tertangkap pandangannya begitu ia menyelesaikan penjelasan itu. Disuruhnya Clairessa untuk menjadi peri pertama yang melakukan ujian itu.
"Tampaknya kau menganggap perintahku dengan sangat serius, Clairessa!" katanya sembari menyuruh peri muda itu menghampiri salah satu daun berembun yang terletak tak jauh dari situ.
Rasa malu Clairessa seketika menghilang. Kini ia begitu percaya diri karena banyaknya cahaya mentari yang berhasil diserapnya kemarin. Dengan mantap ia melangkah mendekati daun itu dan berusaha mengirimkan panas dari tubuhnya.

Menit demi menit berlalu, namun daun itu tak kunjung kering. Embun di atasnya masih tenang dalam butiran-butiran dan tidak juga menguap. Lumina mulai melihat dengan tidak sabar selagi Clairessa mulai frustrasi dan kesal karena panas tubuhnya tidak mampu menguapkan embun itu.
"Buat apa pakaian sebercahaya itu jika tidak ada panasnya, Clairessa?!" tanya Lumina dengan kesal.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu mengapa bisa seperti ini. Saya rasa, memang saya tidak mampu menyimpan panas mentari seperti yang lainnya," Clairessa mulai merasa tidak tenang. Suaranya pelan dan seperti tercekat.
"Hahahaa... kasihan kamu, Clairessa! Peri cahaya tanpa panas tak akan berguna bagi manusia!" Lichta tertawa, diikuti oleh peri-peri yang lainnya.
Dengan malu dan sedih, Clairessa terbang meninggalkan tempat itu. Masih dapat ia dengar tawa teman-temannya yang begitu meremehkan dirinya. Ia tidak mengerti apa yang salah dari dirinya. Telah ia ikuti segala suruhan Lumina, namun tak juga berhasil. Mungkin memang dirinya ditakdirkan untuk menjadi tidak sepanas peri-peri lainnya, meski kini ia begitu bercahaya. Mungkin memang ia berbeda, meski ia tak tahu mengapa.

Clairessa kembali pada daun di pucuk pohon. Duduk di sana dan termenung hingga mentari terbenam lagi dan mendatangkan kegelapan. Ia hendak tidur ketika tiba-tiba ia terbangun oleh suara-suara bisikan yang ribut. Suara teman-temannya! Ia mengintip dari balik dedaunan dan mendapati Lichta, Sonneia dan beberapa peri lainnya tengah terbang di dekatnya dengan berbisik-bisik.
"Kau yakin ingin melakukan ini, Lichta?" tanya Sonneia.
"Oh ya, tentu saja! Buat apa menunggu sampai dewasa untuk melihat dunia luar! Kalian sudah tidak sabar, bukan?" tanya Lichta.
"Tentu saja!!!" sahut peri-peri cahaya yang lain.
 Clairessa terkejut mendengar apa yang direncanakan para peri itu. Berulang kali ia berpikir mengenai rencana yang sesungguhnya juga terdengar menarik untuknya. Tetapi bergabung dengan Lichta dan kawanannya bukanlah ide bagus, setelah apa yang ia lakukan padanya hari ini. Rupanya Clairessa memilih untuk tidak peduli. Dengan nekat ia turun mendekati peri tercantik itu.
"Hei, mau apa kau kemari? Pasti kau ingin melaporkan perbuatan kita, bukan?" ujar Sonneia yang menyadari kedatangan Clairessa lebih dulu.
"Aku tidak ingin melapor. Justru aku tertarik untuk ikut dengan kalian," jawab Clairessa.
"Ikut dengan kami? Maaf ya, Clairessa. Bukan maksudku melarangmu ikut, tetapi cahayamu terlampau terang dan akan membuat kita semua ketahuan!" tolak Lichta dengan nada angkuh.
"Mmm.. tidak, aku tidak akan membuat kalian ketahuan. Kalian terbang duluan saja, aku akan mengikuti kalian jauh di belakang," kata Clairessa.
Para peri cahaya itu kemudian berunding. Perdebatan memutuskan bahwa Clairessa boleh ikut, dengan syarat ia akan terbang jauh di belakang dan menjadi umpan bagi para penjaga Tropicalea yang mungkin tak sengaja melihat mereka terbang ke pinggir hutan dan menyeberangi batas kerajaan peri. Meski ada perasaan takut, Clairessa menerima hasil perundingan itu. Ia begitu ingin melihat dunia luar dan bertemu dengan manusia. Mungkin ia dapat menemukan jawaban, apakah dirinya benar-benar tidak berguna tanpa panas atau tidak.

(bersambung)