10.5.12

Kambing, Domba dan Serigala


Sama seperti hampir seluruh penduduk desa ini, aku seorang penggembala. Aku memang masih gadis muda, namun aku terlatih sedari kecil. Orang tuaku mengelola sebuah peternakan kecil di kaki gunung yang subur ini. Di peternakanku ada dua jenis hewan ternak: domba dan kambing. Domba dan kambing tak pernah akur. Entahlah aku tak tahu mengapa, padahal mereka masih satu jenis. Baunya pun sama, makanan tidak pernah kubedakan. Hanya saja induk domba dan induk kambing memang seperti tidak akur. Seolah-olah musuh bebuyutan sejak zaman leluhur mereka.
                Suatu hari seekor kambing muda gagahku menghampiriku di tengah kegiatan makan rumputnya.
                “Nona, aku mau mengaku,” katanya.
                Aku terkejut karena ia jarang sekali berbicara sebelumnya. “Ada apa?” tanyaku sembari memainkan tongkat gembala di tanganku.
                “Aku... aku... sebenarnya aku.. dengan domba itu...,” ia menunjuk domba kecil betina kesayanganku.
                “Kenapa dengan dia?” tanyaku lagi.
                “Aku... aku jatuh cinta padanya,” kata si kambing.
                “Apaaa?!” aku berdiri terkejut. “Tidak boleh. Tidak bisa... kamu dan dia berbeda. Kalian tidak boleh bersama. Apa kata induk kalian nanti?” aku mulai sibuk berceramah tentang tidak baiknya persatuan kambing dan domba. “Kalian nggak bisa berkembang biak,” kataku lagi.
                Rupanya si kambing ngotot dan bersikeras. Ia justru berbalik menceramahi aku tentang keindahannya menciptakan spesies baru. Aku jadi bingung dibuatnya, karena orang tuaku tidak pernah mengawinkan kambing dengan domba sebelumnya. Lagipula, jika memang nanti akan menghasilkan anak, mau digolongkan jadi apa anak itu. Kambing dan domba saja tidak bisa akur, bagaimana jika ada spesies lain?
                “Nona, pokoknya aku akan mendekati domba itu. Tak peduli apa yang kau bilang,” katanya kembali menunjukkan keseriusannya.
                “Terserah, tapi kalau kamu dibantai oleh induknya aku tak peduli,” kataku, kemudian berlalu pergi untuk menghalau domba ke tempat yang lebih banyak rumput.
***
                Siapa sangka pada hari selanjutnya ganti si domba betina kesayanganku yang menghampiriku.
                “Nona, apa kamu mau dengar?” tanyanya dengan suara lirih dan muka bersemu merah.
                “Ada apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba semua ternak curhat padaku?” pikirku.
                “Kemarin... kambing gagah itu... baru saja mengembik untukku. Aduhh.... suaranya maniss sekaliii...,” katanya lagi, ia tertawa cekikikan sendiri. Lalu ia mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu.
                Aku langsung melotot dibuatnya. “Jadi sekarang kalian....?”
                “Iya, jangan bilang siapa-siapa yaaa...,” katanya masih dalam bisikan. “Aku nggak mau induk kami tahu.”
                “Uh, baiklah, kalian merumput saja jauh-jauh berdua,” saranku.
                “Hmm... ide yang bagus...,” kata si domba berlalu pergi.
***
                Maka pada hari-hari selanjutnya kutemukan domba dan kambing itu selalu merumput berdua. Jauh dari kawanannya sehingga induk-induk mereka tidak tahu. Kupikir hanya manusia saja yang melakukan semacam itu. Sebenarnya aku pun sendiri bertanya-tanya, mengapa domba dan kambing tak boleh kawin? Mereka toh seperti spesies yang bertetangga. Hanya saja dalam perjalanan evolusinya terjadi sesuatu sehingga mereka jadi berbeda. Huh, aku jadi teringat hubunganku yang sudah berakhir dengan anak saudagar kain itu. Semua gara-gara ayahku menganggapnya tidak sama denganku. Katanya kita dari kelompok yang berbeda, dia orang tersesat yang suka membolak-balik cerita tentang bangsa kita.
                Aku duduk mengamati ternak-ternakku dari atas batu yang cukup tinggi. Seekor anjing gembala Jerman yang setia menemaniku senantiasa. Aku duduk sampai bosan mengamati kambing dan dombaku, lalu aku beralih mengawasi pasangan baru aneh yang sedang merumput agak jauh menuju hutan. Beberapa langkah di belakang keduanya terhampar hutan lebat dengan pohon-pohon ek besar mengelilinginya. Aku tak pernah ke sana karena memang tak diizinkan orang tuaku. Konon katanya hutan itu berbahaya, lebih berbahaya daripada apapun. Aku harus ekstra hati-hati mengawasi ternakku yang berada dekat dengan hutan itu.
                Hari beranjak sore dan aku merasa haus. Sebelum menggiring ternak kembali ke kandang, kuputuskan meninggalkan tempat itu dan mencari air di peternakan untuk kuminum. Aku berbisik pada anjing setiaku untuk mengawasi kambing dan domba selagi aku pergi. Kemudian aku melangkah santai menuju peternakan. Aduh, rupanya aku kebelet pipis juga. Butuh waktu agak lama untuk menggunakan kamar mandi karena airnya habis. Aku harus menimba dulu di sumur.
                Aku tengah berjalan santai kembali menuju batu tadi ketika kudengar lolongan panjang mengerikan dari kejauhan.  Anjingku menggonggong tiada henti dengan mata garang. Tatapannya menuju hutan, seolah telah terjadi sesuatu di sana.
                “Ada apa, Hundie?!” aku bertanya-tanya panik. Kulayangkan pandangku pada hutan lebat nan mengerikan yang ada di seberang. Pasangan baru kambing-domba itu sudah tidak ada. Aku mencari mereka berkeliling, berharap mereka ada di antara hewan ternak yang lain.
                “Oh, tolonglah, di mana kalian?!” aku mulai panik sendiri. Aku berputar-putar dan berkeliling dengan dibantu Hundie. Rasa sedikit lega muncul ketika kulihat si kambing sedang merumput bersama saudara-saudaranya.
                Tapi, di mana domba betina kecil itu???
* * *
                “Tidak, sesuatu pasti terjadi padanya. Oh, tidak, aku akan dimarahi ayah dan ibu...,” pikirku panik. Hundie menghampiriku seolah ingin memberi petunjuk dengan gonggongannya ke arah hutan.
                Hutan itu. Ya, hutan itu, pasti domba betina kecilku ada di sana. Aku berlari bersama Hundie mendekati pohon-pohon ek besar di tepi hutan. Tepat di bawah pohon itu kutemukan pita merah yang mengikat leher domba kecilku telah tercabik cabik. Aku terduduk lemas menyadari bahwa mungkin saja ada hewan buas yang telah memangsa domba kecilku. Ah, kasihan kambing muda itu, ia akan sangat kehilangan kekasih barunya.
                Hundie duduk di sampingku. Kepalanya dielus-eluskan pada kakiku. Ia menggonggong kecil, seolah memaksaku menatap matanya. Harapan. Demikian kata pandangannya. Ya, tentu masih ada harapan. Tapi aku harus beranikan diriku masuk menembus hutan gelap itu. Semakin cepat semakin baik, karena mungkin domba betinaku belum jauh. Siapa tahu ia hanya tersesat, dan lolongan tadi hanya serigala di kejauhan.
                Aku kembali ke peternakan mengambil lentera kecil yang tergantung di atap kandang. Dengan langkah perlahan kumasuki hutan lebat itu bersama Hundie. Pohon-pohon semakin rapat tanpa jarak. Pohon Ek, Linde, Pinus, Birch, dan lain-lain. Pohon-pohon yang konon katanya memiliki roh penunggu sejak ratusan tahun lamanya. Ranting dan daunnya ditiup angin hingga gesekannya menimbulkan suara aneh, seperti banyak orang berbisik-bisik. Bisikan tajam yang menusuk telingaku.
                Setengah jam sudah aku memasuki hutan tanpa  tanda-tanda domba kecilku. Aku mulai mengatur perasaan kalau-kalau nanti domba kecilku ditemukan mati diterkam serigala. Sampai kutemukan benda aneh terpancang di jalan setapak yang kulalui. Sebuah papan penunjuk jalan, bertuliskan huruf-huruf yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku seolah memasuki peradaban lampau yang lebih tua dari zamanku. Dan aku seolah telah lupa akan jalan pulang.
                Angin dingin berkesiur tajam menusuk tulang. Mengibaskan dedaunan pohon yang akarnya besar-besar hingga membuat celah dan gua-gua kecil di bebatuan. Menunjukkan padaku sebuah jalan kecil menuju rumah di tengah hutan itu. Rumah yang asing. Atapnya meninggi dengan ujung kiri kanan melengkung lancip ke atas. Seperti kuil tua yang tak pernah kulihat sebelumnya. Rumah itu diterangi lilin-lilin yang dipahat tulisan yang sama dengan papan penunjuk jalan tadi. Suara burung hantu dan gagak terdengar nyaring, seolah mereka bertengger di pepohonan menjaga rumah itu.
                “Kreeet...,” terdengar suara pintu dibuka.
                Aku dan Hundie melompat masuk ke dalam semak-semak agar tidak ketahuan mengintip oleh pemilik rumah. Sedikit banyak ada rasa penasaran akan siapa penghuni rumah terpencil itu.
                Seorang bapak tua berjubah panjang dengan topi dan penutup mata melangkah keluar. Ia tampak seperti pengembara yang akan berangkat ke negeri jauh. Hanya saja tidak membawa barang apapun. Sebuah pedang terselip di ikat pinggangnya dan ia mengenakan seuntai kalung logam.
                “Aku akan pergi, “ katanya berpamitan pada seseorang yang baru saja akan melangkah keluar. Seorang wanita sedikit gemuk berambut merah ombak nan panjang. Gaunnya hijau menjuntai-juntai ke lantai hutan. Perhiasan melingkari tangan dan lehernya. Mengikuti di belakangnya seekor serigala besar berbulu abu-abu dan dua ekor kucing hitam dengan mata kuning yang menyala. Hewan-hewan itu menempatkan diri di samping sang wanita.
                “Lagi?” tanya wanita itu.
                “Ya, kau tahu aku siapa,” jawabnya. “Jaga baik-baik hewan-hewanku sampai aku kembali.” pintanya.
                “Baiklah. Tunggu sebentar,” kata wanita itu. Ia kemudian beranjak ke dalam rumah dan kembali dengan sebuah mangkuk. Dicelupkan jarinya pada mangkuk itu --- yang berisi cairan berwarna gelap --- dan ia mulai mengukir sesuatu di dahi pria pengembara itu. Mulutnya seperti membisikkan sesuatu.
                “Kompas leluhur kita. Agar kamu tidak tersesat,” kata wanita itu.
                Sang pengembara berpamitan. Ia memanggil kudanya, yang tiba-tiba saja sudah berderap dari belakang rumah. Kudanya sangat aneh. Jumlah kakinya delapan!
“Baiklah, aku pergi. Awasi hutan di sebelah sana. Ada seseorang yang mengawasi kita,” tatapan pengembara itu langsung menuju ke arahku. Sekujur tubuhku merinding. Aku sudah ketahuan!
* * *
                Aku menyerah pulang. Dombaku tak ketemu. Tapi aku pulang membawa misteri baru. Siapakah pasangan yang tinggal di rumah terpencil di dalam hutan itu?
                Malam itu ketika aku santap malam bersama ayah ibu, aku tidak mengatakan akan hilangnya domba betina kecil itu. Pita merahnya yang tercabik-cabik telah kukubur dalam tanah. Aku menyimpannya sebagai rahasia. Takut kalau ibu dan ayah marah karena aku ceroboh. Aku juga enggan melongok ke kandang kambing. Kubiarkan ayah yang memasukkan kambing-kambing itu. Aku takut sedih menyaksikan duka si kambing muda.
                “Kenapa kamu diam saja, Nak?” ibu bertanya, sesekali menyuap kentang panas ke dalam mulutnya.
                “Enggak, nggak ada apa-apa,” jawabku berusaha menyembunyikan kejadian tadi sore.
                “Ayo, katakan saja. Kamu pasti mau ngomong sesuatu. Tentang anak tukang kayu tetangga kita ya? Ayah perhatikan, kamu sepertinya tertarik pada pemuda itu,” kata ayah membujukku dengan penuh kesoktahuan.
                “Ahhh... tidak... , bukan dia,” aku menggeleng kuat-kuat.
                “Lalu siapa? Ohhh... pasti pemuda tukang roti di kota itu, hahaha.., ayah kenal baik kok dengan orang tuanya,” kata ayah lagi, nadanya bercanda, tapi aku tidak tertawa.
                “Hmm... aku... aku.., ayah ibu, kenapa aku tak boleh masuk ke hutan itu?” tanganku menunjuk ke arah hutan di luar sana.
                “Hutan itu? Ahh... kamu... sudah kukatakan sedari kamu kecil berulang kali. Hutan itu berbahaya. Banyak binatang buas yang akan menerkammu,” ibu menjawabnya santai, dengan nada yang sama seperti dulu kalau aku menanyakan pertanyaan itu.
                “Tapi, ibu yakin di dalam sana cuma ada binatang buas? Memangnya hutan itu nggak ada penghuninya?” tanyaku lagi, berusaha sedapat mungkin menyembunyikan pengetahuan lebih yang aku dapatkan sore tadi.
                “Kurasa tidak..., eh... ya, tentu saja tidak.., buat apa orang tinggal di hutan gelap dan berbahaya itu?” kali ini nada suara ibu begitu ragu. Aku yakin ia menyembunyikan sesuatu. Sempat kutangkap sinyal mata ibu yang kemudian berpandang-pandangan sesaat dengan ayah.
                Lalu ayah mengambil alih. “Dengar, anakku. Coba ceritakan apa lagi yang kau dengar tentang hutan itu? Pasti kau dengar dari anak-anak tetangga ya?” tanyanya.
                Aku menggeleng pelan.
                “Hmmh..., baiklah, ayah rasa kamu sudah cukup besar untuk mengetahui rahasia hutan itu,” kata ayahku, lalu suasana berubah serius. Kami semua seperti merapatkan diri. Ayahku membuka cerita, “Ratusan tahun lalu tempat ini dikuasai oleh suatu bangsa. Bangsa yang hidupnya memuja alam. Bangsa yang bersembunyi dalam gelap malam bersama makhluk-makhluk misterius. Bangsa yang mengenal dunia lain, yang mampu meramalkan masa depan. Bangsa yang kejam dan bengis, yang suka menyerang desa-desa lain dan menghabiskan semuanya,”
                Aku memandang ayahku dengan serius. Tiada satu katapun luput dari telingaku.
                “Bangsa itu, memiliki wanita-wanita yang percaya kekuatan sihir. Budak-budak neraka. Mereka menari setiap tanggal-tanggal tertentu merayakan kekuatan gelap yang berkuasa. Mereka berkendara dengan sapu atau hewan magis menuju tempat-tempat pusat kegelapan di dunia. Sampai datang bangsa kita. Bangsa terang yang tinggal dalam siang. Bangsa ini bermaksud membawa pencerahan pada mereka. Dengan usaha demikian keras, pembantaian demi pembantaian, bangsa kita berhasil menaklukkan mereka. Mereka yang tersingkir berlari ke dalam hutan, sembunyi rapat-rapat walau tetap melakukan aktivitasnya. Mereka ...,”
                “... baiklah. Cukup. Cerita itu terdengar sangat fantastis,” komentarku. “Ayah yakin sedang tidak mendongeng?” tanyaku lagi.
                “Tidak Nak, hal itu benar adanya,” jawab ayah.
                Baiklah, yang tadi sore itu memang cukup mengerikan. Beruntung si wanita berambut merah itu tidak menemukanku berkat kegesitan Hundie. Tapi aku tidak mau percaya begitu saja. Ayah ibuku sepertinya suka mendongeng, dan aku tidak suka cara mereka membanggakan bangsa kami.
                “Ayah, tapi kenapa kita mau membawa pencerahan pada mereka? Kenapa mereka butuh dicerahkan? Bukankah apa yang mereka punya harusnya kita biarkan saja? Biarlah mereka mengagungkan malam, jika memang mereka menemukan keindahannya di sana,” kataku.
                “Tidak, tentu saja bangsa seperti itu tidak bisa dibiarkan. Mereka itu sudah sesat. Bangsa kita harus membantu mereka ke jalan yang benar,” jawab ayahku.
                “Aku tidak setuju. Ayah selalu saja begitu. Selalu menjelekkan orang di luar bangsa kita. Bangsa itu, yang datang dari timur sana, juga selalu ayah jelekkan. Gara-gara itu aku terpaksa berpisah dengan anak saudagar penjual kain itu.  Katanya mereka suka melakukan kekerasan. Mereka merasa paling benar dan menghukum orang lain yang dianggap salah. Tapi ayah sendiri...? Apa bedanya?” aku mulai kesal.
                “Kamu berani bilang begitu pada ayah?!” ayahku meninggikan suaranya.
                “Biarkan saja, ayah juga seenaknya bicara. Coba, apa ayah berani jamin, dulu ketika pencerahan itu dilakukan, apa benar bangsa kita nggak pakai kekerasan?” aku menatap ayahku dengan pandangan menantang.
                Ayahku melayangkan tangannya, nyaris menamparku, namun keburu ditahan ibu.
                “Sudah, Yah... biarkan saja..., itu memang masanya dia untuk bertanya-tanya. Dia pasti sedikit banyak masih kecewa dengan perpisahannya dengan anak saudagar kain itu,” mohon ibuku.
                Ayah diam, tangannya diturunkan namun masih memandangku dengan marah.  Aku kesal sekali. Kuputuskan untuk berlari keluar menuju peternakan. Aku bersandar pada dinding kayu kandang kambing. Kulihat keadaan kambing muda jantanku yang kini berdiam di sudut dengan wajah sedih. Kasihan dia, pasti merindukan kekasihnya. Seperti aku merindukan mantan kekasihku...
                Pandangan kualihkan pada rapatnya pepohonan hutan. Di kegelapan malam hutan itu tampak seperti bayangan hitam yang besar. Dengan semburat warna indah di langit yang menaunginya. Cahaya itu lagi, kali ini warnanya hijau. Akhir-akhir ini tidak terlalu terlihat dari desa karena terhalang awan. Konon katanya, cahaya itu hanya bisa dilihat dari dalam hutan. Tapi kata ayah, cahaya itu sesungguhnya sepasukan roh-roh jahat yang menimbulkan ilusi bagi siapa saja yang memandangnya. Cahaya itu akan menggoda orang untuk masuk ke dalam hutan dan mati di sana dalam kegelapan. Cahaya itu adalah jebakan, agar roh-roh jahat dapat mengambil nyawa orang-orang baik untuk kekuatan mereka. Ah, bagaimana bisa sesuatu yang indah begitu jahat?
                Tiba-tiba kambing mudaku bereaksi. Ia berlari mendekati pintu kandang.
                “Hei..., hei..., ada apa?” aku bertanya sembari membelainya lembut.
                “Dia pulang...,” jawab kambingku kegirangan.
                “Dia siapa?” aku bingung.
                “Domba cantik,” jawabnya.
Serta merta aku menoleh ke belakangku. Domba betina kecilku berlari dari arah hutan dengan selamat. Hanya saja ia tidak mengenakan pita merah lagi. Wajahnya cerah, sama sekali tidak ada rasa takut.
                “Nona..., nona..., aku pulang!!” serunya girang.
                “Hei.., domba kecilku..., ke mana saja kamu??” tanyaku, sedikit tak percaya dia akan pulang selamat.
                “Aku akan cerita pada Nona, tenang sajaaaa...,” katanya. Ia melirik genit. Aku tertawa saja.
                Dan malam itu, aku meminjam domba kecil dari kekasihnya. Ia memberikanku cerita yang tidak terduga.
                “Kemarin aku sedang merumput di sana, Nona, dekat hutan itu. Lalu datang seekor serigala. Mulanya aku takut, karena ia menyeramkan sekali. Tapi..., harus kuakui ia gagah juga. Hihihii..., “ domba kecilku tertawa genit. “Aku yang menyapanya duluan. Kupikir lalu ia akan memakanku, ternyata nggak. Dia justru dengan ramah melayani pertanyaanku yang bertubi-tubi tentang hutan terlarang itu,” jelasnya.
                “Ceritakan padaku, apa yang dikatakan serigala tentang hutan itu?” aku penasaran.
                “Hmm.. baiklah. Dia bilang hutan itu memang gelap, tapi dia sudah mengenalnya dengan baik. Dia hidup di sana, dipelihara oleh pasangan yang baik. Si bapak adalah seorang pengembara yang bijak. Ia selalu mencari ilmu di negeri-negeri yang jauh dengan mengendarai kudanya yang berkaki delapan dan teman setianya, seekor burung gagak. Salah satu yang berhasil didapatkannya adalan huruf-huruf aneh yang ia dapatkan setelah mengorbankan mata kirinya dan merasakan digantung di atas pohon berhari-hari,” cerita domba kecilku.
                “Hmm... aneh, tapi menarik ya...,” aku bergumam.
                “...lalu si ibu adalah wanita yang ahli meracik obat. Ia mengenal setiap jengkal hutan dengan baik dan tanaman-tanamannya. Ia mengenal semua makhluk hutan seolah-olah mereka anaknya sendiri. Ia memelihara sang serigala dengan baik, dan juga dua ekor kucing hitam. Oh ya, mereka juga punya seorang anak yang tampan yang bekerja sebagai pandai besi. Kurasa dia cocok untuk Nona. Oh ya, petang tadi sang serigala mengajakku ke puncak tebing di dalam hutan sana. Nona tahu apa yang kulihat? Cahaya menari yang menyentuh bukit. Yang selama ini hanya kita lihat semburatnya dari desa,” si domba bercerita dengan penuh semangat.
                “Cerita yang sangat menarik ya... seandainya aku punya kesempatan yang sama. Tapi hutan itu berbahaya, jadi kau tak boleh ke sana lagi,” kataku membelai si domba.
                “Apa maksud Nona? Aku tak boleh kembali ke sana? Tapi, tapi tempat itu impianku..., masih banyak yang ingin kuketahui,” nada suaranya bergetar mendengar laranganku.
                “Serigala itu musuhnya domba. Kamu memang belum dimangsa, tapi nanti mereka akan memangsamu,” jawabku.
                “Tidak, tidak mungkin. Dia baik sekali padaku. Dia tak akan membiarkanku dimangsa. Dia bahkan mengajariku bagaimana caranya hidup di hutan,” domba berusaha melepaskan diri dari laranganku.
                “Tidak, kau tak akan ke sana. Tempat itu memang indah. Tapi seekor domba di tengah serigala itu tidak mungkin. Tidak mungkin. Kau sudah kuizinkan bersama kambing. Jangan coba-coba meminta lebih. Domba sama serigala? Domba itu mangsanya serigala! Malam ini kamu akan kembali ke kandangmu,” aku bersikeras.
                “Jangan larang aku, Nona. Aku senang di sana. Aku bahagia di sana. Hutan itu penuh kebebasan. Aku tidak harus terkungkung aturan di peternakan. Aku bisa ke mana pun sesukaku. Serigala itu bahkan mengajarkan aku bagaimana membela diriku bila ada yang memburuku. Tidak diam saja seperti domba bodoh. Kalau di peternakan, aku akan terus dipaksa bekerja. Dan aku akan menderita. Di hutan sana, aku cukup berbuat baik saja. Itu syarat cukup untuk hidup tenang,” domba kecilku kini menjauh dariku. Seperti menjaga jarak.
                “Kau.. domba.. kau akan lebih bahagia jika bisa berkorban untuk kehidupan manusia. Di hutan itu, kau akan mati. Mati karena itu bukan tempatmu, atau karena serigala lain yang bukan temanmu,” aku melunakkan suara.
                “Terserah apa kata Nona. Aku akan tetap kembali ke sana. Serigala itu tidak seburuk yang dikatakan gembala-gembala seperti Nona! Jadi, selamat tinggal! Aku akan pindah ke tempat impianku!” domba berteriak lalu berlari menuju hutan.
                Tidak. Dia kabur lagi. Sekarang dia akan hilang untuk selamanya. Lalu aku akan dimarahi ayah ibu. Aku harus mengejarnya.
                Aku berlari melintasi padang rumput, tepat di belakang domba kecilku. Dalam benakku berkecamuk kata-kata yang baru saja kuucapkan. Aku baru saja menggeneralisasi musuh-musuh domba. Aku baru saja memarahi domba karena ia berteman dengan hewan lain, hewan lain yang begitu berbeda dengannya, yang kata para gembala lain adalah musuh domba. Aku baru saja melakukan hal yang sama, serupa seperti kata-kata ayahku.
                “Oh, tidaaaaaakkk....,” aku menjerit menyaksikan dombaku melompat masuk ke dalam hutan.
                Aku terduduk lemas sekali lagi. “Kembali kau domba, kembali kemari!! Kau membuatku dalam situasi sulit! Kembalikan dombaku! Hei, siapapun yang ada di dalam sana, jangan kau coba-coba memangsa dombaku!” aku berteriak-teriak marah.
                Lolongan serigala terdengar lagi, kali ini begitu nyaring. Sekonyong-konyong makhluk berbulu itu melompat dan menggeram di depanku. Bulu-bulunya berkilau keperakan dan tubuhnya begitu besar.
                “Domba itu milikku. Tak akan kubiarkan kau mengambilnya kembali,” geramnya. Tatapan matanya yang tajam seolah membekukanku beberapa saat. Aku tak berkutik sama sekali. Lama aku terdiam. Sunyi.
***
                “Hei, sampai kapan kau mau merunduk seperti itu?” terdengar suara yang asing di telingaku. Aku mengangkat kepala dan mendapati seorang pemuda berambut emas panjang yang membawa palu dan pedang.
                “Oh..., hai..., halo...,” aku jadi salah tingkah sesaat melihat pemuda tampan itu. “mmm... di mana serigala tadi?” tanyaku.
                “Sudah kusuruh pulang dia, maaf ya, peliharaanku memang nakal  kalau sama orang asing,” jawabnya.
                Langsung kusadari bahwa dia adalah anak pasangan misterius yang kulihat waktu itu. “Lalu apa yang kau lakukan dengan benda-benda itu?” tanyaku menunjuk palu dan pedang di tangannya. Kedua alat itu berukir indah seperti buatan pengrajin ternama.
                “Aku tadi sedang bekerja, tapi kemudian aku bosan dan kuputuskan mengerjakannya di luar sambil melihat pemandangan hutan,” jawabnya. “Kamu sepertinya bukan dari sini. Kamu dari desa bangsa itu ya?”  ia menunjuk kumpulan atap di kejauhan di seberang padang rumput.
                Aku mengangguk. “Tapi jangan samakan aku dengan mereka. Aku bukan tipe yang ....,”
                “Aku mengerti,” katanya. “Jadi, kau mau ikut dengan domba kecilmu?” ia mengulurkan tangannya. Aku ragu-ragu menyambutnya. “Tunjukkan padaku cahaya menari yang menyentuh bumi,” pintaku. Dan aku menghilang ke dalam hutan bersama si pandai besi. Sejak saat itu aku tak pernah kembali ke desaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar