Sama seperti hampir
seluruh penduduk desa ini, aku seorang penggembala. Aku memang masih gadis
muda, namun aku terlatih sedari kecil. Orang tuaku mengelola sebuah peternakan
kecil di kaki gunung yang subur ini. Di peternakanku ada dua jenis hewan
ternak: domba dan kambing. Domba dan kambing tak pernah akur. Entahlah aku tak
tahu mengapa, padahal mereka masih satu jenis. Baunya pun sama, makanan tidak
pernah kubedakan. Hanya saja induk domba dan induk kambing memang seperti tidak
akur. Seolah-olah musuh bebuyutan sejak zaman leluhur mereka.
Suatu hari seekor kambing muda gagahku menghampiriku
di tengah kegiatan makan rumputnya.
“Nona, aku mau mengaku,” katanya.
Aku terkejut karena ia jarang sekali berbicara
sebelumnya. “Ada apa?” tanyaku sembari memainkan tongkat gembala di tanganku.
“Aku... aku... sebenarnya aku.. dengan domba itu...,”
ia menunjuk domba kecil betina kesayanganku.
“Kenapa dengan dia?” tanyaku lagi.
“Aku... aku jatuh cinta padanya,” kata si kambing.
“Apaaa?!” aku berdiri terkejut. “Tidak boleh. Tidak
bisa... kamu dan dia berbeda. Kalian tidak boleh bersama. Apa kata induk kalian
nanti?” aku mulai sibuk berceramah tentang tidak baiknya persatuan kambing dan
domba. “Kalian nggak bisa berkembang biak,” kataku lagi.
Rupanya si kambing ngotot dan bersikeras. Ia justru
berbalik menceramahi aku tentang keindahannya menciptakan spesies baru. Aku
jadi bingung dibuatnya, karena orang tuaku tidak pernah mengawinkan kambing
dengan domba sebelumnya. Lagipula, jika memang nanti akan menghasilkan anak,
mau digolongkan jadi apa anak itu. Kambing dan domba saja tidak bisa akur,
bagaimana jika ada spesies lain?
“Nona, pokoknya aku akan mendekati domba itu. Tak
peduli apa yang kau bilang,” katanya kembali menunjukkan keseriusannya.
“Terserah, tapi kalau kamu dibantai oleh induknya aku
tak peduli,” kataku, kemudian berlalu pergi untuk menghalau domba ke tempat
yang lebih banyak rumput.
***
Siapa sangka pada hari
selanjutnya ganti si domba betina kesayanganku yang menghampiriku.
“Nona, apa kamu mau
dengar?” tanyanya dengan suara lirih dan muka bersemu merah.
“Ada apa lagi ini?
Kenapa tiba-tiba semua ternak curhat padaku?” pikirku.
“Kemarin... kambing
gagah itu... baru saja mengembik untukku. Aduhh.... suaranya maniss sekaliii...,”
katanya lagi, ia tertawa cekikikan sendiri. Lalu ia mendekati telingaku dan
membisikkan sesuatu.
Aku langsung melotot
dibuatnya. “Jadi sekarang kalian....?”
“Iya, jangan bilang
siapa-siapa yaaa...,” katanya masih dalam bisikan. “Aku nggak mau induk kami
tahu.”
“Uh, baiklah, kalian
merumput saja jauh-jauh berdua,” saranku.
“Hmm... ide yang
bagus...,” kata si domba berlalu pergi.
***
Maka pada hari-hari
selanjutnya kutemukan domba dan kambing itu selalu merumput berdua. Jauh dari
kawanannya sehingga induk-induk mereka tidak tahu. Kupikir hanya manusia saja
yang melakukan semacam itu. Sebenarnya aku pun sendiri bertanya-tanya, mengapa
domba dan kambing tak boleh kawin? Mereka toh seperti spesies yang bertetangga.
Hanya saja dalam perjalanan evolusinya terjadi sesuatu sehingga mereka jadi
berbeda. Huh, aku jadi teringat hubunganku yang sudah berakhir dengan anak
saudagar kain itu. Semua gara-gara ayahku menganggapnya tidak sama denganku.
Katanya kita dari kelompok yang berbeda, dia orang tersesat yang suka
membolak-balik cerita tentang bangsa kita.
Aku duduk mengamati
ternak-ternakku dari atas batu yang cukup tinggi. Seekor anjing gembala Jerman
yang setia menemaniku senantiasa. Aku duduk sampai bosan mengamati kambing dan
dombaku, lalu aku beralih mengawasi pasangan baru aneh yang sedang merumput
agak jauh menuju hutan. Beberapa langkah di belakang keduanya terhampar hutan
lebat dengan pohon-pohon ek besar mengelilinginya. Aku tak pernah ke sana
karena memang tak diizinkan orang tuaku. Konon katanya hutan itu berbahaya,
lebih berbahaya daripada apapun. Aku harus ekstra hati-hati mengawasi ternakku
yang berada dekat dengan hutan itu.
Hari beranjak sore dan
aku merasa haus. Sebelum menggiring ternak kembali ke kandang, kuputuskan
meninggalkan tempat itu dan mencari air di peternakan untuk kuminum. Aku
berbisik pada anjing setiaku untuk mengawasi kambing dan domba selagi aku
pergi. Kemudian aku melangkah santai menuju peternakan. Aduh, rupanya aku
kebelet pipis juga. Butuh waktu agak lama untuk menggunakan kamar mandi karena
airnya habis. Aku harus menimba dulu di sumur.
Aku tengah berjalan
santai kembali menuju batu tadi ketika kudengar lolongan panjang mengerikan
dari kejauhan. Anjingku menggonggong
tiada henti dengan mata garang. Tatapannya menuju hutan, seolah telah terjadi
sesuatu di sana.
“Ada apa, Hundie?!”
aku bertanya-tanya panik. Kulayangkan pandangku pada hutan lebat nan mengerikan
yang ada di seberang. Pasangan baru kambing-domba itu sudah tidak ada. Aku
mencari mereka berkeliling, berharap mereka ada di antara hewan ternak yang
lain.
“Oh, tolonglah, di
mana kalian?!” aku mulai panik sendiri. Aku berputar-putar dan berkeliling
dengan dibantu Hundie. Rasa sedikit lega muncul ketika kulihat si kambing
sedang merumput bersama saudara-saudaranya.
Tapi, di mana domba
betina kecil itu???
* * *
“Tidak, sesuatu pasti
terjadi padanya. Oh, tidak, aku akan dimarahi ayah dan ibu...,” pikirku panik.
Hundie menghampiriku seolah ingin memberi petunjuk dengan gonggongannya ke arah
hutan.
Hutan itu. Ya, hutan
itu, pasti domba betina kecilku ada di sana. Aku berlari bersama Hundie
mendekati pohon-pohon ek besar di tepi hutan. Tepat di bawah pohon itu
kutemukan pita merah yang mengikat leher domba kecilku telah tercabik cabik.
Aku terduduk lemas menyadari bahwa mungkin saja ada hewan buas yang telah
memangsa domba kecilku. Ah, kasihan kambing muda itu, ia akan sangat kehilangan
kekasih barunya.
Hundie duduk di
sampingku. Kepalanya dielus-eluskan pada kakiku. Ia menggonggong kecil, seolah
memaksaku menatap matanya. Harapan. Demikian kata pandangannya. Ya, tentu masih
ada harapan. Tapi aku harus beranikan diriku masuk menembus hutan gelap itu.
Semakin cepat semakin baik, karena mungkin domba betinaku belum jauh. Siapa
tahu ia hanya tersesat, dan lolongan tadi hanya serigala di kejauhan.
Aku kembali ke
peternakan mengambil lentera kecil yang tergantung di atap kandang. Dengan
langkah perlahan kumasuki hutan lebat itu bersama Hundie. Pohon-pohon semakin
rapat tanpa jarak. Pohon Ek, Linde, Pinus, Birch, dan lain-lain. Pohon-pohon
yang konon katanya memiliki roh penunggu sejak ratusan tahun lamanya. Ranting
dan daunnya ditiup angin hingga gesekannya menimbulkan suara aneh, seperti
banyak orang berbisik-bisik. Bisikan tajam yang menusuk telingaku.
Setengah jam sudah aku
memasuki hutan tanpa tanda-tanda domba
kecilku. Aku mulai mengatur perasaan kalau-kalau nanti domba kecilku ditemukan
mati diterkam serigala. Sampai kutemukan benda aneh terpancang di jalan setapak
yang kulalui. Sebuah papan penunjuk jalan, bertuliskan huruf-huruf yang tak
pernah kukenal sebelumnya. Aku seolah memasuki peradaban lampau yang lebih tua
dari zamanku. Dan aku seolah telah lupa akan jalan pulang.
Angin dingin berkesiur
tajam menusuk tulang. Mengibaskan dedaunan pohon yang akarnya besar-besar
hingga membuat celah dan gua-gua kecil di bebatuan. Menunjukkan padaku sebuah
jalan kecil menuju rumah di tengah hutan itu. Rumah yang asing. Atapnya
meninggi dengan ujung kiri kanan melengkung lancip ke atas. Seperti kuil tua
yang tak pernah kulihat sebelumnya. Rumah itu diterangi lilin-lilin yang
dipahat tulisan yang sama dengan papan penunjuk jalan tadi. Suara burung hantu
dan gagak terdengar nyaring, seolah mereka bertengger di pepohonan menjaga
rumah itu.
“Kreeet...,” terdengar
suara pintu dibuka.
Aku dan Hundie melompat
masuk ke dalam semak-semak agar tidak ketahuan mengintip oleh pemilik rumah.
Sedikit banyak ada rasa penasaran akan siapa penghuni rumah terpencil itu.
Seorang bapak tua
berjubah panjang dengan topi dan penutup mata melangkah keluar. Ia tampak seperti
pengembara yang akan berangkat ke negeri jauh. Hanya saja tidak membawa barang
apapun. Sebuah pedang terselip di ikat pinggangnya dan ia mengenakan seuntai
kalung logam.
“Aku akan pergi, “
katanya berpamitan pada seseorang yang baru saja akan melangkah keluar. Seorang
wanita sedikit gemuk berambut merah ombak nan panjang. Gaunnya hijau
menjuntai-juntai ke lantai hutan. Perhiasan melingkari tangan dan lehernya. Mengikuti
di belakangnya seekor serigala besar berbulu abu-abu dan dua ekor kucing hitam
dengan mata kuning yang menyala. Hewan-hewan itu menempatkan diri di samping
sang wanita.
“Lagi?” tanya wanita
itu.
“Ya, kau tahu aku
siapa,” jawabnya. “Jaga baik-baik hewan-hewanku sampai aku kembali.” pintanya.
“Baiklah. Tunggu
sebentar,” kata wanita itu. Ia kemudian beranjak ke dalam rumah dan kembali
dengan sebuah mangkuk. Dicelupkan jarinya pada mangkuk itu --- yang berisi
cairan berwarna gelap --- dan ia mulai mengukir sesuatu di dahi pria pengembara
itu. Mulutnya seperti membisikkan sesuatu.
“Kompas leluhur kita.
Agar kamu tidak tersesat,” kata wanita itu.
Sang pengembara
berpamitan. Ia memanggil kudanya, yang tiba-tiba saja sudah berderap dari
belakang rumah. Kudanya sangat aneh. Jumlah kakinya delapan!
“Baiklah, aku pergi. Awasi hutan di sebelah sana.
Ada seseorang yang mengawasi kita,” tatapan pengembara itu langsung menuju ke
arahku. Sekujur tubuhku merinding. Aku sudah ketahuan!
* * *
Aku menyerah pulang. Dombaku tak ketemu. Tapi aku
pulang membawa misteri baru. Siapakah pasangan yang tinggal di rumah terpencil
di dalam hutan itu?
Malam itu ketika aku santap malam bersama ayah ibu,
aku tidak mengatakan akan hilangnya domba betina kecil itu. Pita merahnya yang
tercabik-cabik telah kukubur dalam tanah. Aku menyimpannya sebagai rahasia.
Takut kalau ibu dan ayah marah karena aku ceroboh. Aku juga enggan melongok ke
kandang kambing. Kubiarkan ayah yang memasukkan kambing-kambing itu. Aku takut
sedih menyaksikan duka si kambing muda.
“Kenapa kamu diam saja, Nak?” ibu bertanya, sesekali
menyuap kentang panas ke dalam mulutnya.
“Enggak, nggak ada apa-apa,” jawabku berusaha
menyembunyikan kejadian tadi sore.
“Ayo, katakan saja. Kamu pasti mau ngomong sesuatu.
Tentang anak tukang kayu tetangga kita ya? Ayah perhatikan, kamu sepertinya
tertarik pada pemuda itu,” kata ayah membujukku dengan penuh kesoktahuan.
“Ahhh... tidak... , bukan dia,” aku menggeleng
kuat-kuat.
“Lalu siapa? Ohhh... pasti pemuda tukang roti di kota
itu, hahaha.., ayah kenal baik kok dengan orang tuanya,” kata ayah lagi,
nadanya bercanda, tapi aku tidak tertawa.
“Hmm... aku... aku.., ayah ibu, kenapa aku tak boleh
masuk ke hutan itu?” tanganku menunjuk ke arah hutan di luar sana.
“Hutan itu? Ahh... kamu... sudah kukatakan sedari
kamu kecil berulang kali. Hutan itu berbahaya. Banyak binatang buas yang akan
menerkammu,” ibu menjawabnya santai, dengan nada yang sama seperti dulu kalau
aku menanyakan pertanyaan itu.
“Tapi, ibu yakin di dalam sana cuma ada binatang
buas? Memangnya hutan itu nggak ada penghuninya?” tanyaku lagi, berusaha
sedapat mungkin menyembunyikan pengetahuan lebih yang aku dapatkan sore tadi.
“Kurasa tidak..., eh... ya, tentu saja tidak.., buat
apa orang tinggal di hutan gelap dan berbahaya itu?” kali ini nada suara ibu
begitu ragu. Aku yakin ia menyembunyikan sesuatu. Sempat kutangkap sinyal mata
ibu yang kemudian berpandang-pandangan sesaat dengan ayah.
Lalu ayah mengambil alih. “Dengar, anakku. Coba
ceritakan apa lagi yang kau dengar tentang hutan itu? Pasti kau dengar dari
anak-anak tetangga ya?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
“Hmmh..., baiklah, ayah rasa kamu sudah cukup besar
untuk mengetahui rahasia hutan itu,” kata ayahku, lalu suasana berubah serius.
Kami semua seperti merapatkan diri. Ayahku membuka cerita, “Ratusan tahun lalu
tempat ini dikuasai oleh suatu bangsa. Bangsa yang hidupnya memuja alam. Bangsa
yang bersembunyi dalam gelap malam bersama makhluk-makhluk misterius. Bangsa
yang mengenal dunia lain, yang mampu meramalkan masa depan. Bangsa yang kejam
dan bengis, yang suka menyerang desa-desa lain dan menghabiskan semuanya,”
Aku memandang ayahku dengan serius. Tiada satu
katapun luput dari telingaku.
“Bangsa itu, memiliki wanita-wanita yang percaya
kekuatan sihir. Budak-budak neraka. Mereka menari setiap tanggal-tanggal
tertentu merayakan kekuatan gelap yang berkuasa. Mereka berkendara dengan sapu
atau hewan magis menuju tempat-tempat pusat kegelapan di dunia. Sampai datang
bangsa kita. Bangsa terang yang tinggal dalam siang. Bangsa ini bermaksud
membawa pencerahan pada mereka. Dengan usaha demikian keras, pembantaian demi
pembantaian, bangsa kita berhasil menaklukkan mereka. Mereka yang tersingkir
berlari ke dalam hutan, sembunyi rapat-rapat walau tetap melakukan
aktivitasnya. Mereka ...,”
“... baiklah. Cukup. Cerita itu terdengar sangat
fantastis,” komentarku. “Ayah yakin sedang tidak mendongeng?” tanyaku lagi.
“Tidak Nak, hal itu benar adanya,” jawab ayah.
Baiklah, yang tadi sore itu memang cukup mengerikan.
Beruntung si wanita berambut merah itu tidak menemukanku berkat kegesitan
Hundie. Tapi aku tidak mau percaya begitu saja. Ayah ibuku sepertinya suka
mendongeng, dan aku tidak suka cara mereka membanggakan bangsa kami.
“Ayah, tapi kenapa kita mau membawa pencerahan pada mereka?
Kenapa mereka butuh dicerahkan? Bukankah apa yang mereka punya harusnya kita
biarkan saja? Biarlah mereka mengagungkan malam, jika memang mereka menemukan
keindahannya di sana,” kataku.
“Tidak, tentu saja bangsa seperti itu tidak bisa
dibiarkan. Mereka itu sudah sesat. Bangsa kita harus membantu mereka ke jalan
yang benar,” jawab ayahku.
“Aku tidak setuju. Ayah selalu saja begitu. Selalu
menjelekkan orang di luar bangsa kita. Bangsa itu, yang datang dari timur sana,
juga selalu ayah jelekkan. Gara-gara itu aku terpaksa berpisah dengan anak
saudagar penjual kain itu. Katanya
mereka suka melakukan kekerasan. Mereka merasa paling benar dan menghukum orang
lain yang dianggap salah. Tapi ayah sendiri...? Apa bedanya?” aku mulai kesal.
“Kamu berani bilang begitu pada ayah?!” ayahku
meninggikan suaranya.
“Biarkan saja, ayah juga seenaknya bicara. Coba, apa
ayah berani jamin, dulu ketika pencerahan itu dilakukan, apa benar bangsa kita
nggak pakai kekerasan?” aku menatap ayahku dengan pandangan menantang.
Ayahku melayangkan
tangannya, nyaris menamparku, namun keburu ditahan ibu.
“Sudah, Yah... biarkan
saja..., itu memang masanya dia untuk bertanya-tanya. Dia pasti sedikit banyak
masih kecewa dengan perpisahannya dengan anak saudagar kain itu,” mohon ibuku.
Ayah diam, tangannya
diturunkan namun masih memandangku dengan marah. Aku kesal sekali. Kuputuskan untuk berlari
keluar menuju peternakan. Aku bersandar pada dinding kayu kandang kambing.
Kulihat keadaan kambing muda jantanku yang kini berdiam di sudut dengan wajah
sedih. Kasihan dia, pasti merindukan kekasihnya. Seperti aku merindukan mantan
kekasihku...
Pandangan kualihkan
pada rapatnya pepohonan hutan. Di kegelapan malam hutan itu tampak seperti
bayangan hitam yang besar. Dengan semburat warna indah di langit yang
menaunginya. Cahaya itu lagi, kali ini warnanya hijau. Akhir-akhir ini tidak
terlalu terlihat dari desa karena terhalang awan. Konon katanya, cahaya itu
hanya bisa dilihat dari dalam hutan. Tapi kata ayah, cahaya itu sesungguhnya
sepasukan roh-roh jahat yang menimbulkan ilusi bagi siapa saja yang
memandangnya. Cahaya itu akan menggoda orang untuk masuk ke dalam hutan dan
mati di sana dalam kegelapan. Cahaya itu adalah jebakan, agar roh-roh jahat
dapat mengambil nyawa orang-orang baik untuk kekuatan mereka. Ah, bagaimana
bisa sesuatu yang indah begitu jahat?
Tiba-tiba kambing
mudaku bereaksi. Ia berlari mendekati pintu kandang.
“Hei..., hei..., ada
apa?” aku bertanya sembari membelainya lembut.
“Dia pulang...,” jawab
kambingku kegirangan.
“Dia siapa?” aku
bingung.
“Domba cantik,”
jawabnya.
Serta merta aku menoleh ke belakangku. Domba betina kecilku berlari dari
arah hutan dengan selamat. Hanya saja ia tidak mengenakan pita merah lagi.
Wajahnya cerah, sama sekali tidak ada rasa takut.
“Nona..., nona..., aku
pulang!!” serunya girang.
“Hei.., domba
kecilku..., ke mana saja kamu??” tanyaku, sedikit tak percaya dia akan pulang
selamat.
“Aku akan cerita pada
Nona, tenang sajaaaa...,” katanya. Ia melirik genit. Aku tertawa saja.
Dan malam itu, aku
meminjam domba kecil dari kekasihnya. Ia memberikanku cerita yang tidak
terduga.
“Kemarin aku sedang
merumput di sana, Nona, dekat hutan itu. Lalu datang seekor serigala. Mulanya
aku takut, karena ia menyeramkan sekali. Tapi..., harus kuakui ia gagah juga.
Hihihii..., “ domba kecilku tertawa genit. “Aku yang menyapanya duluan. Kupikir
lalu ia akan memakanku, ternyata nggak. Dia justru dengan ramah melayani
pertanyaanku yang bertubi-tubi tentang hutan terlarang itu,” jelasnya.
“Ceritakan padaku, apa
yang dikatakan serigala tentang hutan itu?” aku penasaran.
“Hmm.. baiklah. Dia
bilang hutan itu memang gelap, tapi dia sudah mengenalnya dengan baik. Dia hidup
di sana, dipelihara oleh pasangan yang baik. Si bapak adalah seorang pengembara
yang bijak. Ia selalu mencari ilmu di negeri-negeri yang jauh dengan
mengendarai kudanya yang berkaki delapan dan teman setianya, seekor burung
gagak. Salah satu yang berhasil didapatkannya adalan huruf-huruf aneh yang ia
dapatkan setelah mengorbankan mata kirinya dan merasakan digantung di atas
pohon berhari-hari,” cerita domba kecilku.
“Hmm... aneh, tapi
menarik ya...,” aku bergumam.
“...lalu si ibu adalah
wanita yang ahli meracik obat. Ia mengenal setiap jengkal hutan dengan baik dan
tanaman-tanamannya. Ia mengenal semua makhluk hutan seolah-olah mereka anaknya
sendiri. Ia memelihara sang serigala dengan baik, dan juga dua ekor kucing
hitam. Oh ya, mereka juga punya seorang anak yang tampan yang bekerja sebagai
pandai besi. Kurasa dia cocok untuk Nona. Oh ya, petang tadi sang serigala
mengajakku ke puncak tebing di dalam hutan sana. Nona tahu apa yang kulihat?
Cahaya menari yang menyentuh bukit. Yang selama ini hanya kita lihat
semburatnya dari desa,” si domba bercerita dengan penuh semangat.
“Cerita yang sangat
menarik ya... seandainya aku punya kesempatan yang sama. Tapi hutan itu
berbahaya, jadi kau tak boleh ke sana lagi,” kataku membelai si domba.
“Apa maksud Nona? Aku
tak boleh kembali ke sana? Tapi, tapi tempat itu impianku..., masih banyak yang
ingin kuketahui,” nada suaranya bergetar mendengar laranganku.
“Serigala itu musuhnya
domba. Kamu memang belum dimangsa, tapi nanti mereka akan memangsamu,” jawabku.
“Tidak, tidak mungkin.
Dia baik sekali padaku. Dia tak akan membiarkanku dimangsa. Dia bahkan
mengajariku bagaimana caranya hidup di hutan,” domba berusaha melepaskan diri
dari laranganku.
“Tidak, kau tak akan
ke sana. Tempat itu memang indah. Tapi seekor domba di tengah serigala itu
tidak mungkin. Tidak mungkin. Kau sudah kuizinkan bersama kambing. Jangan
coba-coba meminta lebih. Domba sama serigala? Domba itu mangsanya serigala!
Malam ini kamu akan kembali ke kandangmu,” aku bersikeras.
“Jangan larang aku,
Nona. Aku senang di sana. Aku bahagia di sana. Hutan itu penuh kebebasan. Aku
tidak harus terkungkung aturan di peternakan. Aku bisa ke mana pun sesukaku.
Serigala itu bahkan mengajarkan aku bagaimana membela diriku bila ada yang
memburuku. Tidak diam saja seperti domba bodoh. Kalau di peternakan, aku akan
terus dipaksa bekerja. Dan aku akan menderita. Di hutan sana, aku cukup berbuat
baik saja. Itu syarat cukup untuk hidup tenang,” domba kecilku kini menjauh
dariku. Seperti menjaga jarak.
“Kau.. domba.. kau
akan lebih bahagia jika bisa berkorban untuk kehidupan manusia. Di hutan itu,
kau akan mati. Mati karena itu bukan tempatmu, atau karena serigala lain yang
bukan temanmu,” aku melunakkan suara.
“Terserah apa kata
Nona. Aku akan tetap kembali ke sana. Serigala itu tidak seburuk yang dikatakan
gembala-gembala seperti Nona! Jadi, selamat tinggal! Aku akan pindah ke tempat
impianku!” domba berteriak lalu berlari menuju hutan.
Tidak. Dia kabur lagi.
Sekarang dia akan hilang untuk selamanya. Lalu aku akan dimarahi ayah ibu. Aku
harus mengejarnya.
Aku berlari melintasi
padang rumput, tepat di belakang domba kecilku. Dalam benakku berkecamuk
kata-kata yang baru saja kuucapkan. Aku baru saja menggeneralisasi musuh-musuh
domba. Aku baru saja memarahi domba karena ia berteman dengan hewan lain, hewan
lain yang begitu berbeda dengannya, yang kata para gembala lain adalah musuh
domba. Aku baru saja melakukan hal yang sama, serupa seperti kata-kata ayahku.
“Oh, tidaaaaaakkk....,”
aku menjerit menyaksikan dombaku melompat masuk ke dalam hutan.
Aku terduduk lemas
sekali lagi. “Kembali kau domba, kembali kemari!! Kau membuatku dalam situasi
sulit! Kembalikan dombaku! Hei, siapapun yang ada di dalam sana, jangan kau
coba-coba memangsa dombaku!” aku berteriak-teriak marah.
Lolongan serigala
terdengar lagi, kali ini begitu nyaring. Sekonyong-konyong makhluk berbulu itu
melompat dan menggeram di depanku. Bulu-bulunya berkilau keperakan dan tubuhnya
begitu besar.
“Domba itu milikku.
Tak akan kubiarkan kau mengambilnya kembali,” geramnya. Tatapan matanya yang
tajam seolah membekukanku beberapa saat. Aku tak berkutik sama sekali. Lama aku
terdiam. Sunyi.
***
“Hei, sampai kapan kau
mau merunduk seperti itu?” terdengar suara yang asing di telingaku. Aku
mengangkat kepala dan mendapati seorang pemuda berambut emas panjang yang
membawa palu dan pedang.
“Oh..., hai...,
halo...,” aku jadi salah tingkah sesaat melihat pemuda tampan itu. “mmm... di
mana serigala tadi?” tanyaku.
“Sudah kusuruh pulang
dia, maaf ya, peliharaanku memang nakal
kalau sama orang asing,” jawabnya.
Langsung kusadari
bahwa dia adalah anak pasangan misterius yang kulihat waktu itu. “Lalu apa yang
kau lakukan dengan benda-benda itu?” tanyaku menunjuk palu dan pedang di tangannya.
Kedua alat itu berukir indah seperti buatan pengrajin ternama.
“Aku tadi sedang
bekerja, tapi kemudian aku bosan dan kuputuskan mengerjakannya di luar sambil
melihat pemandangan hutan,” jawabnya. “Kamu sepertinya bukan dari sini. Kamu
dari desa bangsa itu ya?” ia menunjuk
kumpulan atap di kejauhan di seberang padang rumput.
Aku mengangguk. “Tapi
jangan samakan aku dengan mereka. Aku bukan tipe yang ....,”
“Aku mengerti,”
katanya. “Jadi, kau mau ikut dengan domba kecilmu?” ia mengulurkan tangannya.
Aku ragu-ragu menyambutnya. “Tunjukkan padaku cahaya menari yang menyentuh
bumi,” pintaku. Dan aku menghilang ke dalam hutan bersama si pandai besi. Sejak
saat itu aku tak pernah kembali ke desaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar