Siang hari, kira-kira pukul 14.30 di sebuah sekolah ternama
di pusat kota.
Aku berlari melintasi
koridor-koridor yang bernuansa hijau. Sekali lagi kelasku terlambat bubar.
Dengan cepat aku menuruni anak tangga dan mencapai lantai satu. Kemudian aku
berlari lagi melewati halaman dalam dan akhirnya berhasil mencapai halaman
parkir. Sinar mentari yang menyengat lagi silau langsung menyambutku. Tanpa
sempat melepaskan jaket yang membalut tubuhku, aku berjalan menyelip-nyelip di
antara mobil-mobil yang terparkir ---- mencari mobil putih yang jujur saja
kurang baik kondisinya. Mobil jemputanku! Ah, ternyata masih ada. Mesinnya
sudah menyala, tanda siap berangkat. Aku nyaris ditinggal lagi.
Seperti biasa
kubuka kotak bekal makan siangku. Aku selalu membawa dua bekal ke sekolah,
untuk sarapan dan untuk makan siang. Kali ini bekalku adalah nasi yang sudah
dingin dengan nugget goreng yang membosankan. Aku makan diiringi suara obrolan
dan tawa teman-teman sejemputanku yang sejak tadi memang sudah terlibat
pembicaraan seru. Aku diam saja, tak banyak menyahut, karena jujur saja aku
memang tipe introvert yang jarang mengobrol. Kunikmati bekalku sampai habis
sembari memandang ke luar.
Setengah perjalanan telah
berlalu dan teman-temanku sudah tertidur. Aneh. Mobil jemputan begitu panas
tetapi mereka bisa tidur. Sementara aku dari tadi mengalami kesulitan. Mungkin
karena aku memang tidak biasa membiarkan pemandangan di luar berlalu begitu
saja sekalipun pemandangan itu buruk. Ya, dalam perjalanan pulang dari sekolah
memang ada dua jalur yang biasa dilalui jemputanku. Aku menyebutnya jalur
pemandangan buruk dan jalur pemandangan bagus. Kesempatan melalui jalur yang
mana ditentukan oleh siapa saja yang ada dalam jemputan itu. Jika ada temanku
yang tinggal di daerah yang melalui pemandangan buruk maka kami akan lewat
sana.
Sebagai informasi, jalur
pemandangan bagus melewati daerah selatan ibukota yang dipenuhi gedung-gedung
pencakar langit, perkantoran, dan bangunan favoritku --- kedutaan negara-negara
asing dengan bendera asing yang berkibar. Sementara itu jalur pemandangan buruk
dipenuhi kemacetan, polusi dan udara panas. Ia melewati daerah timur ibukota
yang dipenuhi rumah-rumah yang kurang bagus keadaannya di kiri-kanan jalan.
Membosankan sekali. Aku sungguh tidak pernah menyukai jalur ini, sama sekali
tidak. Ada bagian dari jalur ini yang berupa jalan sempit dan di sebelah
kanannya adalah sungai yang airnya selalu penuh seolah tak pernah meluap. Di
jalan ini nyaris selalu macet dan udaranya sangat panas. Satu lagi, banyak
sekali "bebek liar", maksudku sepeda motor yang ugal-ugalan. Seperti
bebek yang baru dilepas dari kandang dan melihat mereka sungguh menyebalkan.
Membuat kemacetan semakin parah saja!
Lagi-lagi hari
itu dengan terpaksa aku harus mengikuti kenyataan --- melalui jalur pemandangan
buruk. Aku ingin sekali tidur supaya tidak melihat pemandangan tidak enak itu
dan tiba-tiba sudah sampai di rumah. Sayang sekali aku terlalu segar untuk
tidur, bahkan ketika mobil terjebak macet di jalur tepi sungai itu. Dan di
tengah macet itu aku melihat banyak "bebek liar" di sekeliling mobil.
Salah satunya dikendarai oleh dua orang anak SMA, keduanya laki-laki. Dari
seragamnya yang mainstream --- kemeja putih dan celana abu-abu
panjang --- tampaknya bukan sekolah swasta. Dua siswa itu bercanda saja
sekalipun sedang terjebak di kemacetan. Mereka sempat memandang ke arahku juga,
tanpa maksud tentunya, lalu melanjutkan pembicaraan serunya. Aku pun tidak
begitu memperhatikan keduanya, sekedar melihat saja, seperti aku melihat
orang-orang lain pada umumnya. Lalu mobil bergerak hingga aku tidak
memperhatikan mereka lagi.
Petang hari, kira-kira pukul 18.00 di teras rumahku.
"Besok
aku mau nonton," kata adikku sembari membelai-belai anjing kami yang
sedang setengah tertidur. "Nonton? Apa? dengan siapa?" tanyaku.
Aku berdiri agak jauh darinya karena aku takut dengan anjing kami. Aneh memang,
tapi aku pernah digigit sehingga ada trauma yang tersisa.
"New Moon, nonton bareng teman-teman
dong! Fifi, Leah, Chicha, dan yang lainnya," jawabnya dengan berseri-seri.
Maklum, adikku yang masih duduk di kelas 3 SMP ini sedang freak dengan si vampir Cullen dan
saudara-saudaranya.
"Oh,
" balasku. "Aku boleh ikut?" tanyaku.
"Mmmm..
gimana ya....," pikirnya dengan wajah keberatan.
"Baiklah
kalau kau tak mau, aku akan ajak Mutti,"
kataku kemudian beranjak ke dalam rumah.
Aku
mengetuk pintu kamar Mutti --- panggilan sayangku untuk Ibu, dari bahasa Jerman
tentunya. Mutti membukanya sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
"Habis
keramas ya, Mutti?" tanyaku.
"Iya
nih, panas banget udaranya," jawab Mutti. "Bagaimana sekolahnya?
"Baik
hehehehe... oiya, sekalian mau ngasih tau, tadi aku dikasih tau wali kelas,
katanya guru sejarahku mau ketemu Mutti," jelasku.
"Guru
sejarah? Ada apa?" tanya Mutti penasaran karena berita dariku tidak biasa.
"Nggak
tau tuh, mungkin soal yang kemarin, yang katanya aku bakal diseleksi sama
guru-guru untuk pertukaran pelajar ke Thailand," kataku lagi. Belum sempat
Mutti membalas perkataanku, kulanjutkan obrolan untuk mengutarakan maksud awal.
"Mau
nonton New Moon nggak, Mutti?"
tanyaku.
"Itu
film apa? Kapan?" tanya Mutti balik.
"Itu
lho, sambungannya Twilight yang dulu
kita nonton bareng. Minggu aja di tempat biasa," jawabku. "Mutti
nganggur kan hari itu?"
"Hmm..
boleh-boleh aja," jawab Mutti, dan aku sangat senang mendengarnya hingga
aku keluar lagi untuk memamerkannya pada adikku.
Jadi
begini rencana kami. Aku, adikku dan Mutti akan pergi menuju bioskop
bersama-sama lalu kita akan menitip tiket pada teman-teman adikku yang sudah
terlebih dulu ada di sana. Selanjutnya kita akan duduk di tempat terpisah dan
menonton film di jam yang sama. Maka setelah itu adikku dapat pulang bersamaku
dan Mutti tanpa harus diantar oleh teman-temannya.
Minggu siang, pukul 11.00 di bioskop langganan kami.
“Fifi,
Chicha, Leah!!” seru adikku menghambur ke arah teman-temannya. Ia langsung
memisahkan diri dariku dan Mutti setibanya di bioskop. Tak lama kemudian ia
kembali lagi untuk memberikan tiket titipan kami lalu berbalik lagi bersama
teman-temannya. Mereka langsung terlibat percakapan seru.
“Mbak,
tolong belikan pop corn dan minum,” pinta Mutti padaku.
“Oh
baiklah, pakai uangku atau Mutti?” tanyaku.
“Kamulah,
Mutti kan sudah bayar tiketnya tadi,” jawab Mutti, kemudian aku segera
melangkah ke counter makanan.
Agak sulit
mencapainya karena rupanya bioskop sangat ramai. Maklum, hari ini New Moon
tayang premier. Semua anak remaja ingin menyaksikannya, termasuk salah satu
pasangan yang kulihat sedang mengantre tiket di barisan panjang yang tampak tak
bergerak itu.
Pasangan
itu, sepertinya sebaya denganku. Masih remaja seperti aku. Sang gadis berambut
ombak mengembang seperti rambutku dan dibiarkan tergerai begitu saja. Sang
pemuda mengenakan kaos yang didobel kemeja kotak-kotaknya. Mereka tampak mesra,
sang pemuda seperti sangat mencintai gadisnya, dan gadisnya berkarakter sedikit
manja. Setidaknya itu yang kutangkap. Mereka tampak sedang membicarakan film
yang akan mereka tonton --- New Moon
--- seperti yang ingin kutonton bersama ibuku, bukan kekasihku. Sedikit
terbersit dalam hati, seandainya aku dapat menonton film semacam ini dengan
kekasihku, tapi apa daya, sekolahku saja homogen.
Aku
melewati mereka menuju counter makanan. Mereka sadar akan kehadiranku, tetapi
tidak peduli. Sang pemuda memang sempat melihatku, tapi kemudian ia melanjutkan
obrolannya dengan sang gadis. Tidak ada apa-apa terjadi dan memang tidak. Aku
melihat mereka seperti orang-orang lain pada umumnya, bukan seseorang yang
penting. Demikian juga mereka tak peduli dengan siapa aku selain sebagai orang
yang sama-sama ingin menonton di bioskop tersebut.
Siang hari pukul 13.30 di koridor depan kelasku.
Ponselku
berbunyi tidak lama setelah aku menyalakannya. Mutti calling, tertulis demikian di layar. Aku mengangkatnya dan
mendengar suara Mutti yang bernada cerah.
“Halo,
Mbak, sudah selesai sekolahnya?” tanya Mutti.
“Sudah,
kok, barusan aja,” jawabku.
“Kamu
nggak usah naik jemputan ya, Mutti tunggu di bawah sama teman kerja Mutti nih,”
kata Mutti padaku.
“Lho,
Mutti jemput? Kok tumben,” aku malah bernada bingung.
“Ya sudah
cepat turun, ini Mutti di parkiran, nanti Mutti ceritakan,” katanya kemudian
menutup telepon.
Aku
menghambur keluar dan kembali menerjang terik matahari. Kulihat Mutti berdiri
di depan pos satpam dan langsung mengajakku menuju mobil rekan kerjanya. Aku
mengambil duduk di bagian belakang sementara Mutti duduk di depan.
“Ada apa
sih ini, kok kayaknya seru?” tanyaku tak sabar.
“Ya, tadi
Mutti sudah ketemu gurumu. Katanya kamu terpilih untuk pertukaran pelajar ke
Thailand. Terus dia tanya, kamu punya paspor apa enggak. Mutti jawab kamu belum
punya. Terus sama dia disuruh segera bikin, jadi sekarang Mutti minta tolong
dianter sama temen Mutti ini ke kantor imigrasi buat langsung bikin paspor
kamu, “ jelas Mutti.
“Serius
itu aku dapat? Masa sih??” aku masih tak percaya kabar yang dikatakan Mutti.
“Ya,
betul. Katanya tadi ada tiga orang yang dinominasi, tapi setelah diseleksi sama
guru-guru, mereka mau kamu yang pergi,” jelas Mutti lagi.
“Itu
gratis? Beneran gratis?” tanyaku dengan nada bahagia.
“Ya,
gratis semua, tinggal bayar airport tax
seratus ribu aja. Tapi uang jajan nggak dikasih karena kamu nanti homestay.
Nanti sampai rumah langsung berdoa, bersyukur sama Tuhan,” nasehat Mutti.
“Iya,
Mutti” jawabku.
Siang hari pukul 14.00 dalam perjalanan menuju kantor
imigrasi.
Aku tidak
pernah tahu di mana letak kantor imigrasi. Kata Mutti cukup jauh, letaknya di
daerah timur ibukota. Tetapi aku tidak pernah membayangkan bahwa jalan menuju
ke sana akan melewati jalan pemandangan buruk itu. Walau demikian rupanya ada
yang sedikit berbeda karena jalan yang kulalui berbeda dengan jalan pulangku
setiap hari. Rupanya dekat stasiun tua di timur ibukota yang ada di seberang
pasar, ada jalan bercabang yang tak pernah kusadari. Biasanya mobil jemputanku
akan mengambil jalan ke kanan, yang akan berujung pada jalan tepi sungai yang
menyebalkan itu. Kali ini mobil tetap lurus dan tiba di jalan raya yang gersang
dan sepi pepohonan.
Kantor
imigrasi terletak di samping penjara dan daerah di sekitar situ sangat panas
udaranya. Mobil diparkir dan kami semua turun. Mutti memilih jalan belakang,
artinya aku akan mendapatkan paspor lebih cepat daripada orang yang melalui
jalan depan. Benar saja, tak lama setelah aku masuk langsung ada seorang bapak
yang berbicara dengan Mutti dan tiba-tiba saja aku sudah disuruh masuk ke suatu
ruangan yang di dalamnya terdapat bilik-bilik yang disekat. Di sana aku harus
menunjukkan surat-surat penting, menempelkan sidik jari, difoto, menandatangani
ini-itu dan ditanya-tanya akan pergi ke mana dengan alasan apa.
Tidak lama memang tetapi cukup membosankan. Beruntunglah
sebelum jam lima semua sudah selesai, tinggal menunggu paspor jadi.
Menjelang sore pukul 16.00 masih di bawah teriknya matahari
“Ini
kenapa muter-muter deh dari tadi?” tanyaku pada Mutti.
“Nggak
tau, Mutti lupa jalannya ke mana. Mutti nggak kenal daerah ini,” jawab Mutti.
“Tanya aja
deh ke orang, daripada tersesat terus nggak pulang-pulang,” aku memberi usul.
Rekan
kerja Mutti segera menepikan mobilnya di depan sebuah sekolah. Aku tak lagi
ingat angka yang tertera di belakang tulisan “SMA Negeri”, yang jelas sekolah
itu ramai oleh siswa-siswi yang berlalu-lalang keluar-masuk. Sepertinya mereka
sedang menyelenggarakan suatu acara. Teman Mutti itu membuka jendela mobil dan
bertanya pada sekelompok siswa di situ. Aku melihat mereka juga, melihat mereka
dengan sangat biasa.
“Maaf,
kalau mau ke arah Bekasi lewat mana ya?” tanya teman Mutti.
“Oh, bapak
lurus aja ikutin jalan ini juga bisa....,” dan aku tidak lagi mendengar
terusannya, aku sibuk memperhatikan beberapa siswa yang berdiri di depan
pagarnya. Mereka membawa alat-alat musik, seperti sekelompok band yang ingin
tampil. Mungkin sedang ada acara di dalam, maka dari itu kelihatan sangat ramai.
Aku menatap lagi salah satu dari mereka yang berambut ombak dan tidak membawa
apapun. Ia juga sempat melihatku sesaat tanpa maksud, sebelum ditarik oleh
seorang gadis yang juga berambut ombak panjang. Gadis itu mengatakan sesuatu,
semacam ajakan untuk masuk karena acara akan mulai.
* * *
Ingatanku
merangkai sesuatu. Bayanganku mencari sesuatu. Pemuda yang kulihat di motor di
jalan tepi sungai itu, yang kutemui di bioskop ketika hendak membeli pop corn,
dan yang berdiri di depan sekolah.... mungkinkah....
“Mungkinkah
kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkinkah kita...,” aku menatap wajahnya yang
diterpa sinar mentari sore hari menjelang senja. Ia tersenyum seakan tahu aku
belum selesai.
“Mungkinkah
kita pernah ada di tempat yang sama, tanpa sadar bahwa sosok di seberang sana
akan menanti di masa depan? Mungkinkah kita pernah saling bertatap walau tanpa
maksud? Aku tak mengenalmu sebelumnya..., tapi sebelum pertemuan dua belas
tahun lalu di tepi danau ini...,” kubelai wajahnya yang tersenyum menatap balik
padaku.
“Di manakah
dirimu ketika aku sedang menunggu perjalanan ke luar negeri pertamaku? Apa yang
kau lakukan ketika aku sedang mengenakan gaun gothic lolita di malam perpisahanku? Sedang apa dirimu ketika aku
menangis setelah gagal mendapatkan beasiswa ke tanah impianku? Aku ingin tahu
dirimu... sungguh ingin tahu.. setiap detail cerita dari masa lalumu.. sebelum
pertemuan itu..,” kuselesaikan kalimat-kalimatku. Hening yang cukup lama
mengikutinya. Akhirnya ia menarikku lebih dekat dan selagi mendekapku ia
berkata, “mengapa kau ingin tahu itu, Sayang? Masa laluku tak penting. Sebelum
pertemuan itu tak perlu kau cari-cari. Yang terpenting itu, kita jadi masa
depan satu sama lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar