7.10.12

Ketika Aku Berteduh di Bawah Payung Seorang Diri

"Besok acaranya apa?" tanyamu di sela-sela penjelasan pembicara dari seminar kritik film dalam sebuah acara kampus yang diselenggarakan jurusanku.
"Paginya seminar, lalu malamnya ada musik. Aku pengen banget nih nonton musiknya, ada Payung Teduh lho," kataku dengan bersemangat.
"Ah, kalau besok aku nggak bisa. Banyak tugas," jawabmu sembari mengalihkan pandangan.
"Tugas? Tugas apa?" tanyaku kecewa.
"Ya pokoknya banyak tugas, misalnya ada bersama-sama kamu," lalu kau cubit hidungku seperti biasa. Aku tertawa tersipu-sipu. Kamu bisa aja, pikirku.

*  *  *
Percakapan itulah yang kuingat sepanjang hari ini, sebelum akhirnya aku yakin bahwa hujan akan turun malam ini. Keyakinan itu muncul, ketika kubaca pesan singkatmu sebagai balasan pertanyaanku akan keberadaan dirimu siang ini.
"Udah pulang, udah di rumah,"
"Kok nggak bilang kalau mau pulang?"
"Aku buru-buru, Sayang," jawabmu disertai titik dua bintang, favoritku yang kini terkesan seperti usahamu mengganggap tak ada hal yang salah.
Kubiarkan pesan singkatmu di kotak masuk tanpa balasan. Kau harusnya tahu, betapa kecewanya aku. Kata-katamu kemarin, sekalipun nadanya bercanda, cukup membuatku berekspektasi akan sesuatu yang kini terlampau jauh untuk diharapkan.

* * *
Auditorium Gedung 9 FIB UI masih sepi ketika aku masuk ke sana dan mendapati dua orang temanku telah duduk di tempat favorit kami. Namun, tepat sebelum band yang kutunggu tampil, auditorium perlahan-lahan terisi penuh. Sorot lampu aneka warna yang tadinya berdansa kini mulai meredup dan fokus ke tengah panggung. Cahaya kuning temaram memang sengaja disiapkan panitia untuk membangun suasana. Beberapa saat kemudian, masuklah empat personil band bersama alat musik masing-masing. Mereka menempatkan diri di atas panggung dan mengalunlah lagu pertama.

"Tak terasa gelap pun jatuh. Di ujung malam menuju pagi yang dingin. Hanya ada sedikit bintang malam ini. Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya..."

Semua orang riuh rendah bertepuk tangan, tapi aku tidak. Benakku sibuk memainkan memori. Lirik itu seperti sesuatu, sesuatu yang pernah kudengar. Tidak persis, tapi senada. Baris-barisnya mengingatkanku pada puisi-puisimu yang menghiasi hari-hari di awal cerita kita. Kata-kata yang kudengar saat aku dan kamu baru menjadi kita. Betapa aku ingin mengenangnya bersamamu, bukan seorang diri seperti ini. 

Kupandangi sekitar. Kedua temanku yang duduk setingkat di bawahku tertawa-tawa sembari menikmati lagu-lagu yang mengalun. Bahkan seolah mereka tidak sadar akan keberadaanku. Diiringi kata demi kata dalam lirik, aku kembali tenggelam dalam kesepian.

"Malam jadi saksinya. Kita berdua di antara kata. Yang tak terucap ....
Mungkinkah kita ada kesempatan. Ucapkan janji takkan berpisah selamanya."

"Sayang, kamu inget nggak?" 
"Inget apa?"
"Itu lho, waktu kita kejebak hujan di payung gedung satu,"
"Ah, ya, haha..., aku inget dong,"
"Hihi.. waktu itu kita 'kan masih zaman galau-galau gitu. Ngomongin perbedaan, takut kalau nanti di masa depan kita nggak bisa nyatu karena beda agama," 
"Hehe...iya, tapi tenang aja, siapa yang tahu masa depan? Jalanin aja dulu,"
"Iya, kamu bener. Harapan itu selalu ada kok,"

Ah. Aku tersentak dari lamunanku. Tanpa sadar, benakku telah memainkan kata-kata, membuat seolah-olah aku sedang bercakap-cakap denganmu karena kenangan yang dibawa lirik lagu ini. Aku kembali melihat sekeliling, menatap keramaian yang membawa sepi untukku. Kukirim lagi pesan singkat, berharap kamu membalasnya untuk sedikit mengusir rasa sepiku.
"Coba kalau kamu di sini sekarang, kapan lagi coba Payung Teduh tampil sore. Biasanya 'kan mereka selalu disimpan buat malam, dan aku nggak selalu bisa pulang malam :'( " tulisku.
Hanya berselang beberapa menit, kuterima balasanmu. Dengan mencuri-curi kesempatan ketika sang vokalis sibuk berinteraksi dengan penonton, kubaca pesan singkatmu.
"Bolehkah saya menyimpan maaf dari kamu sebab hari ini?"
Ah, teganya dirimu, Sayang. Meminta maaf dengan bahasa yang sedemikian menyentuh. Rupanya menghubungimu bukan ide bagus. Aku malah jadi semakin sedih. Mengapa aku harus jahat membuatmu merasa bersalah? 

Lagu terhenti sesaat. Seseorang membuka pintu samping auditorium. Sepertinya panitia bagian keamanan yang hendak bertukar jaga. Samar-samar kudengar suara alam berbisik lewat udara. Hujan. Hujan yang deras terlihat dari balik pintu auditorium ketika ia terbuka. Rupanya langit sedang menangis di luar. Kualihkan pandanganku kembali pada band yang sedang bermain di atas panggung. Aku masih ingin berteduh, karena kurasakan isyarat hujan lain yang hendak turun.

"Aku cari kamu. Disetiap malam yang panjang. Aku cari kamu. Kutemui kau tiada..."

Lirik lagu ini, sungguh menggambarkan perasaanku sekarang, asal kamu tahu. 

Lalu teman-temanku yang duduk di tingkat bawah, seolah dengan sengaja menoleh padaku dan berbisik di tengah alunan suara sang vokalis yang menenangkan. 
"Mana dia? Kok dia nggak datang?" tanya salah satunya.
"Dia nggak datang, dia sibuk kerja," jawabku tanpa berani memandang kedua temanku. 
"Ah, sayang banget ya dia nggak ada. Padahal kalau mau nonton band ini 'kan harus ada dia. Ah.. sayang banget...," kata yang lain sambil mengguncang-guncangkan tanganku. 
Kembali kualihkan pandangan, tapi yang kutemukan lebih menyakitkan. Teman lain yang duduk di sisi kiriku sedang asyik mesra dengan kekasihnya. Ah, beruntung sekali dia, menikmati lagu-lagu seindah ini berdua dengan yang terkasih. Memandang mereka hanya menambah kesepianku saja. Sekali lagi hati ini menegaskan kalau ia menginginkanmu, di sisiku, sekarang.

"Aku ingin berjalan bersamamu. Dalam hujan dan malam gelap. Tapi aku tak bisa melihat matamu. Aku ingin berdua denganmu. Diantara daun gugur...."

"Kamu tahu nggak, kenapa aku manggil kamu "Ritter"?" tanyaku suatu hari.
"Nggak, kenapa?"
"Karena Ritter itu bahasa Jermannya ksatria. Kamu itu seperti ksatria buat aku, dan aku wanitanya. Kamu 'kan suka nulis dan bacain puisi buat aku, seperti ksatria-ksatria di abad pertengahan yang suka nyanyi di bawah jendela kamar wanita yang dicintainya. Tapi karena biasanya cinta di antara mereka itu terlarang karena sang wanita sudah dijodohkan, wanitanya akan turun diam-diam dari balkon, terus mereka ketemu berdua di bawah pohon Linde. Pohon Linde itu kalau di Jerman jadi simbol cinta," jelasku.
Kamu tersenyum, lalu melanjutkan, "aku mau dong, berdua sama kamu di bawah pohon Linde."

Bayangan percakapan itu menghilang perlahan, larut dalam riuh rendah tepuk tangan penonton yang membahana. Kedua temanku ikut serta, selagi aku menarik diri. Aku mundur ke belakang, tak ingin melihat keramaian itu. Hujan turun, membasahi pipi kiriku terlebih dahulu. Konon katanya, kalau air mata menetes dari mata kiri terlebih dahulu, artinya tangis itu sedih. Mungkin aku berlebihan dengan ini, karena banyak temanku yang toh sedang sendiri tetapi tetap bahagia. Mungkin aku berlebihan, karena toh kamu selalu ada di hari-hari biasanya. Mungkin aku berlebihan, tapi entah mengapa aku merasa kesempatan seperti ini tidak akan datang lagi.

Masih dalam gelap aku menyingkir, pergi dari keramaian yang membawa sepi. Hujan masih turun di luar, namun aku tak ingin peduli. Kembali kulanjutkan malam ini dengan berteduh di bawah payung seorang diri, sambil melangkah dalam perjalanan pulang.



by LV~Eisblume
07.10.12
based on a true story~
ditulis dalam rangka proyek #UIMenulis dari @NBC_UI 


3 komentar:

  1. romansa kasih Jerman-Indonesia, entah fiksi atau nyata, aku terpesona :))
    lagi dong nulisnya, cara bercerita kamu enak, bikin adem.

    BalasHapus
  2. makasih kak Idha :) aku suka baca blog kakak juga lho :D

    BalasHapus
  3. Baca ini, terus denger lagu Faun ini soothing banget deh. :)

    BalasHapus