28.10.12

Hermeneutik dalam Hubungan dengan Perbedaan

Banyak orang harus bermasalah ketika hubungannya terbentur perbedaan, entah perbedaan agama, etnis, budaya, bangsa, kelas sosial, bahkan jurusan atau profesi. Masalah ini klise dan umum ditemukan di semua kasus perbedaan, yaitu keadaan ketika mereka tidak bisa bersatu karena perbedaan itu. Nah, lalu biasanya yang terjadi adalah kedua pihak jadi galau dan ujung-ujungnya kalau sudah nggak kuat menghadapi tantangan itu biasanya mengakhiri hubungan begitu saja. Sebegitu cepatnya menyerahkah? Memangnya kalau ada perbedaan dua orang yang saling mencintai nggak bisa bersatu? Wah, sayang sekali dong kalau gitu apa gunanya Tuhan mempertemukan mereka? Kok kalau saya tidak secepat itu menyerah ya?

Saya berpandangan bahwa perbedaan dalam hubungan itu selalu bisa dijembatani. Tetapi pertama-tama, untuk bisa melihat cara menjembataninya ini dibutuhkan dua jiwa dan pemikiran yang sudah cukup dewasa. Kebetulan saya tipe orang yang menolak hubungan percintaan di bawah umur (dengan batas minimal umur itu sekitar 17 tahun). Alasannya sederhana, orang di bawah usia itu rata-rata belum bisa menyikapi hubungannya dengan benar dan keputusan-keputusannya masih sering banyak dipengaruhi orang tua tanpa bisa menyampaikan pemikiran dan alasan masuk akal milik sendiri. Kalau hubungan percintaan dengan perbedaan itu terjadi di usia segini sih nggak heran kalau ujung-ujungnya pisah.

Terus hubungannya sama hermeneutik apa? Nah, balik lagi ke jalur pembicaraan semula, bahwa setiap perbedaan termasuk yang level berat seperti agama itu bisa dijembatani. Caranya dengan proses Verstehen (saling mengerti) yang berhubungan sama suatu konsep filsafat bernama hermeneutik. Pada intinya sih hermeneutik ini semacam proses penyampaian dan penafsiran pesan, berasal dari nama dewa pengantar pesan bangsa Yunani, Hermes. Kebetulan karena saya berasal dari jurusan sastra, maka saya membahasnya dari sudut pandang sastra untuk memberi gambaran yang lebih mudah. Teori hermeneutik ini sering dipakai untuk mengkritik karya sastra. Dalam suatu karya sastra, ada seorang penulis yang ingin menyampaikan pesan lewat tulisannya. Pesan itu kemudian ditangkap oleh pembaca. Namun karena ada perbedaan latar belakang antara penulis dan pembaca, maka seringkali pesan tidak bisa tersampaikan persis sama dengan yang dikehendaki penulis. Proses menangkap dan menafsirkan pesan yang seringkali dipengaruhi oleh latar belakang pembaca itulah yang disebut proses Verstehen.

Proses Verstehen tidak hanya terjadi dalam hubungan antara penulis dan pembaca, melainkan juga antartokoh dalam cerita. Misalkan ada dua tokoh dengan latar belakang berbeda bertemu dan satu sama lain saling bertolak belakang. Dua tokoh ini membawa latar belakang A dan B yang berbeda dalam berperilaku. Ketika mereka bertemu, proses Verstehen yang terjadi lewat interaksi keduanya menghasilkan satu titik temu (anggap sebagai titik C) yang menjadi reaksi bersama hasil interaksi tersebut. Hasil interaksi ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu: perluasan cakrawala (Horizonterweiterung), pendekatan cakrawala (Horizontannaeherung) dan peleburan/pembauran cakrawala (Horizontverschmelzung).

Mari kita gunakan contoh dengan perbedaan dalam hubungan tadi untuk menjelaskan ketiga jenis hasil proses Verstehen di atas. Misalkan ada seorang pria dengan agama A yang menjalin hubungan dengan wanita beragama B. Jika proses Verstehen mereka menghasilkan perluasan cakrawala, maka baik pria maupun wanita cukup mengetahui bahwa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian. Keduanya tidak bisa menerima sepenuhnya mengapa ada hal-hal tersebut dalam agama pasangannya. Proses Verstehen ini bisa dianggap gagal, tapi bisa juga berhasil, jika pada akhirnya satu sama lain memilih untuk menganggap bahwa agama adalah hal privat yang tidak perlu dipaksakan untuk dimengerti oleh satu sama lain, intinya lebih baik diprivatkan dan tidak usah dibicarakan lagi di ruang publik antarkeduanya. Mereka bisa menaruh cinta di atas keyakinan dalam menyikapi perbedaan itu. Jika proses Verstehen menghasilkan pendekatan cakrawala, maka baik pria maupun wanita mengetahui mengapa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian serta menerima dan memakluminya. Pria maupun wanita tetap setia dengan keyakinan masing-masing namun (mungkin) ketika pasangannya merayakan hari raya, ia mengucapkan selamat, ikut membantu dalam menyiapkan perayaan, atau bahkan turut memeriahkan tanpa harus ikut serta dalam ritual di tempat ibadahnya. Hal ini adalah hasil yang paling ideal :) Proses Verstehen terakhir adalah yang paling banyak diharapkan banyak orang tetapi kalau untuk saya tetap kurang oke. Jika hasil proses Verstehen adalah pembauran cakrawala, maka salah satu dari kedua pihak menerima dan mengikuti dengan rela apa yang diyakini pasangannya. Mengapa salah satu dan bukan saling? Karena nggak mungkin kan seseorang memeluk dua agama, atau mereka akhirnya cuma tukar agama (nanti perbedaannya cuma pindah posisi dong?). Intinya, ketika proses Verstehen ini berhasil (salah satu dari hasil di atas), maka pasti hubungan tersebut akan langgeng dan berhasil.

Hmm... tapi bagaimana dengan lingkungan sosial? dengan keluarga? dengan institusi agamanya? Nah, inilah pentingnya kedewasaan. Ketika seseorang sudah dewasa dan merasa bahwa proses tersebut telah berhasil, maka ia bisa menentukan sikap sendiri. Tidak satu pun orang di dunia ini yang dapat menentang kekuatan niat dan rencana Tuhan. Ketika kedua orang merasa cocok, apalagi yang harus dikhawatirkan. Oh, tapi ingat, pandangan ini berdasarkan pandangan saya yang sesungguhnya pernikahan itu kontrak sosial antara dua manusia :) Keluarga dan lingkungan sosial hanya sebagai penasehat dan pengarah, tetapi tidak bisa mengatur mutlak dua orang yang sudah dewasa dan punya hak memutuskan ini. Tentang institusi agama..., banyak pilihan kok, kalau memang keduanya sudah merasa saling cocok kan bisa dicari jalan keluarnya. Ada kok agama yang masih mengizinkan pernikahan beda, atau kalau saya sendiri tipe orang yang nggak mau cepat menyerah, karena nggak satu pun orang tahu akan masa depan. Siapa tahu suatu saat hukum agama berubah. Siapa tahu suatu saat di masa depan terbukti bahwa semua jalan keyakinan sama aja. Siapa tahu (walaupun sebenarnya kurang sreg sih) salah satu dari kita akhirnya ikut meyakini apa yang diyakini pasangannya. Siapa tahu... siapa tahu.. dan masih banyak hal yang tidak kita tahu bisa terjadi di masa depan. Intinya sih yang diperlukan cuma keberhasilan proses saling mengerti itu, kalau sudah saling mengerti, siapa lagi yang bisa menghalangi? Hanya jika bukan takdirnya atau bukan rencana Tuhan-lah hubungan itu akan menjadi gagal. Jadi, buat yang sedang menjalani hubungan dengan perbedaan (seperti saya :P), berhentilah menggalau yang tidak penting, mantapkan dulu keberhasilan proses Verstehen-nya supaya bisa melangkah lebih jauh :) Semoga berhasil :)

viele Liebe,
LV~Eisblume



Tidak ada komentar:

Posting Komentar