31.3.12

Tentang yang terjadi di sini akhir-akhir ini...

BBM mau naik. Demikian kata pemerintah tanpa kejelasan dan sangat tiba-tiba. Sudah jelas yang terjadi selanjutnya: demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kaum buruh. Teman-teman saya ini (baca: mahasiswa) mengaku membela rakyat kecil dan memperjuangkan nasib mereka dengan berusaha agar harga BBM tidak naik. Kebetulan saya bukan termasuk tipe yang suka berdemo, saya tipe berkoar-koar di belakang, lewat tulisan, entah karya sastra atau sekedar tweet-tweet nggak penting. Lewat tulisan itu, saya sama sekali bukan mau memaksa orang untuk setuju dan ikut pendapat saya. Saya hanya mau bicara, mengutarakan pendapat saya.

Kemarin saya sempat diskusi (atau berdebat?) via twitter dengan salah satu senior. Senior ini, menurut saya, orang yang luas wawasannya dan pandai. Pengetahuannya banyak, dan saya respek. Kalau bicara sama dia, sudah pasti saya kelihatan seperti orang berwawasan sempit yang nggak tau apa-apa. Ya memang, saya bicara kemarin itu tujuannya sama sekali bukan buat memberikan fakta supaya orang ikut pendapat saya, saya cuma mengeluarkan unek-unek kekesalan karena sepanjang saya hidup di Indonesia saya sudah dikecewakan dengan keadaan di luar sana. Saya tidak tahu pendapat saya benar atau tidak, saya hanya ingin bicara, dari kaca mata saya ya demikian.

Saya bukan orang yang anti demonstrasi kok. Menurut saya mengeluarkan aspirasi bersama-sama seperti itu memang hak warga negara yang (katanya) menganut demokrasi. Tapi tentu saja demonstrasi itu ada aturannya. Tetap sopan, tetap menghargai orang lain. Mengaku bela rakyat kecil, tapi apa mereka betul-betul tau apa yang ada di dalam pikiran rakyat kecil? Memang pernah salah satu perwakilan rakyat kecil(kalo bisa dibilang mewakili, karena rakyat kecil di Indonesia jumlahnya gak ketolongan banyaknya dan tentu saja pendapatnya beda-beda), ngomong ke mereka langsung minta diwakili dan disampaikan aspirasinya dengan cara demikian. Teman saya di twitter ada yang membenarkan demonstran menggunakan kekerasan, katanya: ya siapa suruh pemerintah nggak mendengarkan. Menurut saya mau apapun alasannya kekerasan itu ya salah. Oke, baik, kekerasan dilakukan pada pihak aparat yang juga terlalu keras menyikapi para demonstran. Tapi nggak perlu pakai merusak fasilitas umum kan? Nggak perlu ngotorin jalan kan? Nggak perlu blokade jalan kan? Memangnya pengguna jalan hanya mereka? Dengan mereka berlaku seperti itu justru saya makin nggak simpati. Yang tadinya merasa dibela malah jadi malu. Malu dong, tayangan demonstrasi ricuh itu udah sampai Eropa! Teman saya yang studi di sana nonton, malu dong dilihat warga dunia yang lain.

Karena sudah dari saya kecil saya selalu melihat demonstrasi macam begini, akhirnya saya juga tidak bisa mengatakan kalau mereka ada di pihak yang benar. Baik pemerintah maupun mereka dua-duanya salah. Dan karena tidak ada yang benar saya pilih diam, saya pilih apatis, nggak dukung dua-duanya. Lagipula saya sudah terlanjur pesimis dengan apa yang ada di negara saya. Senior yang saya ceritakan tadi bilang harusnya saya nggak pesimis. Tapi gimana caranya coba? Kalau pemerintah yang sekarang turun, siapa yang siap mengganti? Partai oposisinya saja semalam sudah walk out semua, menyerah di tengah jalan. Saya yakin semua orang yang duduk di pemerintahan itu sama aja. Sama-sama udah pegang duit banyak, sama-sama jadi lapar dan haus kekuasaan. Ya tentu saja tidak semua demikian, ada juga yang baik. Tapi yang baik ini diam aja, sebenarnya bukan salah mereka diam, tapi karena kalau mereka berulah pasti digencet, ditekan sama yang salah. Karakter ini udah ada sejak mereka muda. Kelihatan kok dari lingkungan saya sekarang di masa kuliah ini. Yang nggak mau ngasih contekan dibilang pelit, yang nggak mau diajak bolos dibilang sok rajin, yang bersikap baik dan sopan sama dosen dibilang ngejilat. Lama-lama orang baik pilih diam aja. Generasi muda yang nantinya akan menggantikan mereka yang sekarang memerintah itu aja udah rusak kaya gini. Nggak cuma itu, kalau lihat ricuhnya sidang semalam itu jujur aja nggak jauh beda sama rapat-rapat di kampus. Walaupun cenderung lebih sopan, rapat di kampus itu juga sama, janji jam berapa mulai jam berapa, ujung-ujungnya semua mau ngomong gak ada yang mau dengar.

Menurut saya, generasi berikutnya yang naik jadi pemerintah negara ini bakalan sama aja. Kita sudah jadi korban dari generasi terdahulu yang membiarkan negara ini terlalu dieksploitasi bangsa asing, terlalu disusupi bangsa asing (dan ingat, bangsanya nggak cuma AS dan kawan-kawan baratnya, tapi juga negara-negara Asia Timur dan Timur Tengah!). Ya kita ini korbannya, sudah terlanjur kecemplung di kolam kapitalisme dan globalisasi jadi susah keluar. Satu-satunya jalan menurut saya, peradaban di Indonesia yang sekarang ini harus hancur dulu. Hancur total entah karena apa. Dan orang-orang yang selamat akan membangun kembali Indonesia yang baru, yang beda, kalau perlu bikin ideologi baru yang lebih sesuai dan bentuk pemerintahan yang baru supaya sesuai. Kalau memang yang lama dirasa sudah nggak cocok, nggak masalah kok diubah. Manusia aja bisa ganti identitas, bangsa juga boleh dong kalau arahnya positif  :)

2 komentar:

  1. Tulisannya "menggigit", kalau makan coklat rasanya bikin terbayang-bayang terus... perlu dipublikasikan secara luas tulisan-tulisannya supaya semua orang terbuka dan mau berdiam untuk merenung. Ga cuma itu, harusnya mereka ga usah gengsi mengubah pendirian demi kehidupan yang lebih baik sebab melihat tulisan ini. :) Jadilah agen perubahan!

    BalasHapus
  2. Sebelum berbicara mengenai peradaban, termasuk cara menghancurkannya dan memperbaikinya, ada baiknya Anda belajar mengenai entitas dulu. Mempertimbangkan situasi dan filterisasi pemikiran itu tidak kalah penting. Anda sendiri tentu menyadari, bangsa Indonesia bukan sekadar para demonstran yang tempo hari turun ke jalan. Salam.

    BalasHapus