"Seseorang yang sungguh-sungguh mendukung dan memperjuangkan multikulturalisme seharusnya tidak akan senang apabila suatu hari nanti semua orang di wilayah tempat tinggal mereka menjadi sama dengan mereka," - own quote
Sebetulnya percakapan di Interpals ini terjadi tidak sengaja karena saya sedang malas membicarakan hal-hal berat seperti ini apalagi di musim ujian begini. Akan tetapi ujian wacana di hari Jumat yang salah satu temanya wacana Multikulti mendorong saya untuk iseng bertanya kepada beberapa orang yang kebetulan hadir menemani saya di Interpals semalam (berasa acara talkshow ajaa...). Saya perkenalkan dulu para narasumber saya (nama disamarkan). Pertama, ada E, teman saya berusia 23 tahun asal Norwegia. Ia bekerja di sebuah minimarket. Orangnya baik tapi pemalu. Berasal dari kota superkecil di utara Norwegia yang nyaris nggak ada apa-apanya untuk ukuran orang Jakarta. Kedua, ada C, teman saya asal Norwegia juga, umurnya 24 tahun. Pecinta game dan film. Lulusan sekolah hospitality yang akhirnya gonta-ganti kerjaan melulu. Penganut Asatru atau paganisme Norse yang masih percaya pada dewa-dewi seperti Odin, Thor dan Freyja. Teman yang ketiga bernama T, asal München, Jerman. Mahasiswa teknik berumur 23 tahun yang kuliah di Inggris. Jemaat gereja Kristen yang sangat religius. Teman yang terakhir bernama S, mahasiswa hukum berusia 21 tahun asal Polandia. Penganut Katolik yang juga masih religius.
Sebelum masuk ke inti obrolan saya dengan mereka, ada baiknya saya buat peringatan dulu:
WARNING!! TULISAN DI BAWAH BERPOTENSI MEMICU KOMENTAR-KOMENTAR BURUK BERNADA SARA KHUSUSNYA UNTUK ORANG-ORANG INDONESIA YANG BELUM BISA MENYIKAPI PERSOALAN SECARA DEWASA! HANYA UNTUK ORANG YANG SABAR DAN OPEN MINDED! KOMENTAR MEREKA BERDASARKAN PENGALAMAN, JADI BUKAN MENGGENERALISASI SEMUA GOLONGAN YANG DIMAKSUD!
Ok, jadi intinya, pertanyaan saya cuma satu: bagaimana pandangan kalian terhadap kaum imigran di Eropa?
Jawaban dari E:
E: aku tidak pernah bermasalah dengan kaum imigran karena negara asal mereka. Tetapi jika boleh jujur, aku kurang suka dengan sikap semena-mena mereka. Aku tidak mau rasis, tetapi sepanjang aku bekerja di mini market, ada beberapa orang dari Eropa Timur dan Afrika yang suka membeli barang dalam jumlah banyak (memborong) tanpa mempedulikan peringatan karyawan toko bahwa jika mereka memborong, akan sulit menunggu sampai barang itu direstock, berhubung letak kota yang terpencil. Menurutku itu sangat tidak sopan dan semena-mena. Apalagi mereka membelinya untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal.
Gue: Di Indonesia banyak kok orang yang beli banyak buat dijual lagi, tetapi biasanya ada kontraknya.
E: Mereka tidak pakai kontrak di sini, dan gara-gara mereka, banyak masyarakat lokal yang kehabisan barang.
Jawaban dari C:
C: Tergantung. Di negaraku banyak imigran asal Asia yang sangat rajin dan mau bekerja. Dengan mereka aku tidak masalah. Akan tetapi masalah justru muncul dari kaum imigran yang datang karena cari suaka.
Gue: Cari suaka?
C: Iya, pemerintah kami begitu takut dicap tidak membela HAM atau tidak cinta damai maka dari itu mereka bersedia menerima kaum imigran yang di negara asalnya terancam. Masalahnya, banyak dari mereka yang malas bekerja dan mengharapkan dari uang tunjangan pemerintah yang asalnya dari pajak kita. Itu belum seberapa, karena beberapa dari mereka sering berbuat tidak benar pada para wanita lokal. Mereka melakukan pelecehan seksual pada wanita-wanita tersebut. Bahkan kita punya satuan khusus pengaman bernama "Natteravn" yang secara sukarela membantu dan melindungi wanita-wanita yang terpaksa harus keluar pada malam hari di wilayah-wilayah tidak aman.
Nah, sebagai tambahan, pada percakapan-percakapan sebelumnya, C pernah cerita ke saya kalau para imigran ini suka makan tempat, mengambil lowongan pekerjaan yang ada untuk orang lokal. Banyak perusahaan lebih suka mempekerjakan imigran karena mereka lebih murah dibanding lulusan sarjana yang mahal. Di lain kesempatan, C pernah share link ke saya tentang tindakan kaum imigran asal Afghanistan bernama Afdar Qadeer Bhatti yang sibuk berorasi di muka umum dan mengancam akan melakukan terorisme pada warga sipil di sana jika pemerintah Norwegia tidak menarik pasukan dari Afghanistan. Waktu itu linknya ada di sini http://www.youtube.com/watch?v=w284HgHsO5Y tetapi oleh pihak Youtube sudah ditarik karena banyak yang protes tentang copyrightnya. C juga pernah cerita kalau dia pernah berantem sama orang asal Maroko, karena orang tersebut mengatakan bahwa keyakinan C hanya dongeng dan memaksa dia untuk percaya "yang benar" menurut orang tersebut.
Jawaban dari T:
T: Selama orang itu mau bekerja dan mau berintegrasi serta menghargai kebudayaan Jerman, mereka akan disambut dengan ramah. Tetapi bagi mereka yang tidak mau berintegrasi, hanya memanfaatkan penduduk lokal, dan tidak mau menerima norma-norma masyarakat yang berlaku di Jerman sebaiknya tinggal saja di negaranya. Ada banyak imigran di Jerman yang menolak berintegrasi dengan budaya Jerman karena agamanya. Sangat disayangkan, karena hal ini bisa memicu konflik di masa depan.
Jawaban dari S:
S: Aku tidak menyukai beberapa imigran dari Arab dan Turki. Kamu bisa lihat sendiri di situs ini banyak dari mereka yang senang menggoda wanita. Baru saja mulai bicara sudah menyapa dengan "hi cutiee" atau semacamnya. Orang-orang ini sepertinya hanya ingin seks, karena di negara mereka hal itu haram. Di negara-negara Slavia, kami tidak segan-segan meladeni mereka di jalan, kalau mereka mengajak berantem. Tentang multikulturalisme di Jerman, aku kebetulan berada di sana ketika ada pertandingan sepak bola Jerman vs Turki. Banyak sekali orang Turki di sana, sementara hanya sedikit orang Jerman yang tampak bangga mengibarkan bendera. Mereka seperti takut dengan rombongan orang Turki tersebut, bahkan di negaranya sendiri!
Saya hanya mengangguk-angguk sambil berpikir mungkin orang-orang yang saya temui memang rasis dan punya prasangka buruk terhadap beberapa golongan. Tetapi kemudian saya ingat-ingat lagi, apa yang saya lihat di kompleks apartemen saya beberapa minggu lalu. Lima puluh imigran ilegal asal Iran dan Nigeria ditangkap karena tidak punya dokumen resmi. Oh? Mereka ilegal? Pantas saja di sekeliling saya tiba-tiba banyak sekali kaum mereka. Tiba-tiba saya ingat punya pengalaman tidak enak dengan mereka. Pernah suatu kali saya beli air botolan di sebuah toko di lantai bawah. Kira-kira waktu itu pukul 22.00. Baru sampai di pintu toko, saya dilihatin dan disuit-suitin sama para imigran itu, yang kebetulan lagi merokok di meja-meja dekat toko itu. Pernah lagi ketika belanja di supermarket, tiba-tiba ada yang mendekat terus manggil-manggil pakai kata "beautiful", "cutie" dan semacamnya. Di hari lain, saya memergoki salah satu dari mereka memukuli orang Indonesia dekat parkiran mobil. Setelah mereka diciduk aparat tiba-tiba saya bisa santai dan aman-aman saja ketika malam hari harus turun beli ini itu. Tidak ada yang menggoda atau melecehkan.
Jadi? Masihkah saya disebut rasis dan diskriminatif jika saya tidak suka dengan keberadaan mereka di negara saya? Masihkah teman-teman saya di atas dikatakan rasis dan diskriminatif jika berkata demikian? Menyimpulkan pengakuan mereka, saya bisa bilang bahwa banyak kaum imigran yang tidak tahu terima kasih. Sudah diperbolehkan tinggal dan menerima tunjangan tetapi kelakuannya semena-mena. Sama seperti mereka yang tertangkap di Indonesia kemarin. Sudah numpang, tetapi merugikan masyarakat Indonesia. Lalu agama dijadikan alasan untuk tidak mau integrasi. Menurut saya, hal itu tidak dibenarkan, karena mereka pindah ke negara yang awalnya monokultur itu atas kesadaran sendiri. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jika mereka memilih tinggal di negara tersebut mereka harus bersedia mengikuti aturannya. Berbeda dengan Indonesia yang pada dasarnya sudah beragam. Segala aturan yang dibentuk harus menjamin semua golongan masyarakat.
Jika tidak merasa terjamin, mereka mengatakan pemerintahnya diskriminatif atau warganya rasis. Mereka mengaku memperjuangkan multikulturalisme. Apa betul yang diperjuangkan itu multikulturalisme? Saatnya memikirkan ulang perenungan saya yang berbuah kutipan di atas. "Orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan multikulturalisme tidak akan senang jika suatu hari nanti semua orang di wilayah tempat tinggalnya menjadi sama seperti dirinya." Saya berasumsi, para imigran yang menolak integrasi ini akan sangat bahagia jika mereka bisa mengubah negara yang mereka datangi menjadi sepaham dengan mereka, menerima budaya mereka, mengadopsi, bahkan mungkin mempercayai hal yang sama dengan mereka. Hal ini tampak pada keengganan mereka untuk berintegrasi, artinya mereka masih lebih banyak condong untuk mencintai budaya akarnya. Selanjutnya, silakan pikir kesimpulannya sendiri.
Tulisan ini jangan diambil hati. Isinya cuma pendapat beberapa orang. Ini negara demokrasi, bebas berpendapat.
~ LV~Eisblume
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
6.6.13
28.10.12
Hermeneutik dalam Hubungan dengan Perbedaan
Banyak orang harus bermasalah ketika hubungannya terbentur perbedaan, entah perbedaan agama, etnis, budaya, bangsa, kelas sosial, bahkan jurusan atau profesi. Masalah ini klise dan umum ditemukan di semua kasus perbedaan, yaitu keadaan ketika mereka tidak bisa bersatu karena perbedaan itu. Nah, lalu biasanya yang terjadi adalah kedua pihak jadi galau dan ujung-ujungnya kalau sudah nggak kuat menghadapi tantangan itu biasanya mengakhiri hubungan begitu saja. Sebegitu cepatnya menyerahkah? Memangnya kalau ada perbedaan dua orang yang saling mencintai nggak bisa bersatu? Wah, sayang sekali dong kalau gitu apa gunanya Tuhan mempertemukan mereka? Kok kalau saya tidak secepat itu menyerah ya?
Saya berpandangan bahwa perbedaan dalam hubungan itu selalu bisa dijembatani. Tetapi pertama-tama, untuk bisa melihat cara menjembataninya ini dibutuhkan dua jiwa dan pemikiran yang sudah cukup dewasa. Kebetulan saya tipe orang yang menolak hubungan percintaan di bawah umur (dengan batas minimal umur itu sekitar 17 tahun). Alasannya sederhana, orang di bawah usia itu rata-rata belum bisa menyikapi hubungannya dengan benar dan keputusan-keputusannya masih sering banyak dipengaruhi orang tua tanpa bisa menyampaikan pemikiran dan alasan masuk akal milik sendiri. Kalau hubungan percintaan dengan perbedaan itu terjadi di usia segini sih nggak heran kalau ujung-ujungnya pisah.
Terus hubungannya sama hermeneutik apa? Nah, balik lagi ke jalur pembicaraan semula, bahwa setiap perbedaan termasuk yang level berat seperti agama itu bisa dijembatani. Caranya dengan proses Verstehen (saling mengerti) yang berhubungan sama suatu konsep filsafat bernama hermeneutik. Pada intinya sih hermeneutik ini semacam proses penyampaian dan penafsiran pesan, berasal dari nama dewa pengantar pesan bangsa Yunani, Hermes. Kebetulan karena saya berasal dari jurusan sastra, maka saya membahasnya dari sudut pandang sastra untuk memberi gambaran yang lebih mudah. Teori hermeneutik ini sering dipakai untuk mengkritik karya sastra. Dalam suatu karya sastra, ada seorang penulis yang ingin menyampaikan pesan lewat tulisannya. Pesan itu kemudian ditangkap oleh pembaca. Namun karena ada perbedaan latar belakang antara penulis dan pembaca, maka seringkali pesan tidak bisa tersampaikan persis sama dengan yang dikehendaki penulis. Proses menangkap dan menafsirkan pesan yang seringkali dipengaruhi oleh latar belakang pembaca itulah yang disebut proses Verstehen.
Proses Verstehen tidak hanya terjadi dalam hubungan antara penulis dan pembaca, melainkan juga antartokoh dalam cerita. Misalkan ada dua tokoh dengan latar belakang berbeda bertemu dan satu sama lain saling bertolak belakang. Dua tokoh ini membawa latar belakang A dan B yang berbeda dalam berperilaku. Ketika mereka bertemu, proses Verstehen yang terjadi lewat interaksi keduanya menghasilkan satu titik temu (anggap sebagai titik C) yang menjadi reaksi bersama hasil interaksi tersebut. Hasil interaksi ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu: perluasan cakrawala (Horizonterweiterung), pendekatan cakrawala (Horizontannaeherung) dan peleburan/pembauran cakrawala (Horizontverschmelzung).
Mari kita gunakan contoh dengan perbedaan dalam hubungan tadi untuk menjelaskan ketiga jenis hasil proses Verstehen di atas. Misalkan ada seorang pria dengan agama A yang menjalin hubungan dengan wanita beragama B. Jika proses Verstehen mereka menghasilkan perluasan cakrawala, maka baik pria maupun wanita cukup mengetahui bahwa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian. Keduanya tidak bisa menerima sepenuhnya mengapa ada hal-hal tersebut dalam agama pasangannya. Proses Verstehen ini bisa dianggap gagal, tapi bisa juga berhasil, jika pada akhirnya satu sama lain memilih untuk menganggap bahwa agama adalah hal privat yang tidak perlu dipaksakan untuk dimengerti oleh satu sama lain, intinya lebih baik diprivatkan dan tidak usah dibicarakan lagi di ruang publik antarkeduanya. Mereka bisa menaruh cinta di atas keyakinan dalam menyikapi perbedaan itu. Jika proses Verstehen menghasilkan pendekatan cakrawala, maka baik pria maupun wanita mengetahui mengapa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian serta menerima dan memakluminya. Pria maupun wanita tetap setia dengan keyakinan masing-masing namun (mungkin) ketika pasangannya merayakan hari raya, ia mengucapkan selamat, ikut membantu dalam menyiapkan perayaan, atau bahkan turut memeriahkan tanpa harus ikut serta dalam ritual di tempat ibadahnya. Hal ini adalah hasil yang paling ideal :) Proses Verstehen terakhir adalah yang paling banyak diharapkan banyak orang tetapi kalau untuk saya tetap kurang oke. Jika hasil proses Verstehen adalah pembauran cakrawala, maka salah satu dari kedua pihak menerima dan mengikuti dengan rela apa yang diyakini pasangannya. Mengapa salah satu dan bukan saling? Karena nggak mungkin kan seseorang memeluk dua agama, atau mereka akhirnya cuma tukar agama (nanti perbedaannya cuma pindah posisi dong?). Intinya, ketika proses Verstehen ini berhasil (salah satu dari hasil di atas), maka pasti hubungan tersebut akan langgeng dan berhasil.
Hmm... tapi bagaimana dengan lingkungan sosial? dengan keluarga? dengan institusi agamanya? Nah, inilah pentingnya kedewasaan. Ketika seseorang sudah dewasa dan merasa bahwa proses tersebut telah berhasil, maka ia bisa menentukan sikap sendiri. Tidak satu pun orang di dunia ini yang dapat menentang kekuatan niat dan rencana Tuhan. Ketika kedua orang merasa cocok, apalagi yang harus dikhawatirkan. Oh, tapi ingat, pandangan ini berdasarkan pandangan saya yang sesungguhnya pernikahan itu kontrak sosial antara dua manusia :) Keluarga dan lingkungan sosial hanya sebagai penasehat dan pengarah, tetapi tidak bisa mengatur mutlak dua orang yang sudah dewasa dan punya hak memutuskan ini. Tentang institusi agama..., banyak pilihan kok, kalau memang keduanya sudah merasa saling cocok kan bisa dicari jalan keluarnya. Ada kok agama yang masih mengizinkan pernikahan beda, atau kalau saya sendiri tipe orang yang nggak mau cepat menyerah, karena nggak satu pun orang tahu akan masa depan. Siapa tahu suatu saat hukum agama berubah. Siapa tahu suatu saat di masa depan terbukti bahwa semua jalan keyakinan sama aja. Siapa tahu (walaupun sebenarnya kurang sreg sih) salah satu dari kita akhirnya ikut meyakini apa yang diyakini pasangannya. Siapa tahu... siapa tahu.. dan masih banyak hal yang tidak kita tahu bisa terjadi di masa depan. Intinya sih yang diperlukan cuma keberhasilan proses saling mengerti itu, kalau sudah saling mengerti, siapa lagi yang bisa menghalangi? Hanya jika bukan takdirnya atau bukan rencana Tuhan-lah hubungan itu akan menjadi gagal. Jadi, buat yang sedang menjalani hubungan dengan perbedaan (seperti saya :P), berhentilah menggalau yang tidak penting, mantapkan dulu keberhasilan proses Verstehen-nya supaya bisa melangkah lebih jauh :) Semoga berhasil :)
viele Liebe,
LV~Eisblume
Saya berpandangan bahwa perbedaan dalam hubungan itu selalu bisa dijembatani. Tetapi pertama-tama, untuk bisa melihat cara menjembataninya ini dibutuhkan dua jiwa dan pemikiran yang sudah cukup dewasa. Kebetulan saya tipe orang yang menolak hubungan percintaan di bawah umur (dengan batas minimal umur itu sekitar 17 tahun). Alasannya sederhana, orang di bawah usia itu rata-rata belum bisa menyikapi hubungannya dengan benar dan keputusan-keputusannya masih sering banyak dipengaruhi orang tua tanpa bisa menyampaikan pemikiran dan alasan masuk akal milik sendiri. Kalau hubungan percintaan dengan perbedaan itu terjadi di usia segini sih nggak heran kalau ujung-ujungnya pisah.
Terus hubungannya sama hermeneutik apa? Nah, balik lagi ke jalur pembicaraan semula, bahwa setiap perbedaan termasuk yang level berat seperti agama itu bisa dijembatani. Caranya dengan proses Verstehen (saling mengerti) yang berhubungan sama suatu konsep filsafat bernama hermeneutik. Pada intinya sih hermeneutik ini semacam proses penyampaian dan penafsiran pesan, berasal dari nama dewa pengantar pesan bangsa Yunani, Hermes. Kebetulan karena saya berasal dari jurusan sastra, maka saya membahasnya dari sudut pandang sastra untuk memberi gambaran yang lebih mudah. Teori hermeneutik ini sering dipakai untuk mengkritik karya sastra. Dalam suatu karya sastra, ada seorang penulis yang ingin menyampaikan pesan lewat tulisannya. Pesan itu kemudian ditangkap oleh pembaca. Namun karena ada perbedaan latar belakang antara penulis dan pembaca, maka seringkali pesan tidak bisa tersampaikan persis sama dengan yang dikehendaki penulis. Proses menangkap dan menafsirkan pesan yang seringkali dipengaruhi oleh latar belakang pembaca itulah yang disebut proses Verstehen.
Proses Verstehen tidak hanya terjadi dalam hubungan antara penulis dan pembaca, melainkan juga antartokoh dalam cerita. Misalkan ada dua tokoh dengan latar belakang berbeda bertemu dan satu sama lain saling bertolak belakang. Dua tokoh ini membawa latar belakang A dan B yang berbeda dalam berperilaku. Ketika mereka bertemu, proses Verstehen yang terjadi lewat interaksi keduanya menghasilkan satu titik temu (anggap sebagai titik C) yang menjadi reaksi bersama hasil interaksi tersebut. Hasil interaksi ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu: perluasan cakrawala (Horizonterweiterung), pendekatan cakrawala (Horizontannaeherung) dan peleburan/pembauran cakrawala (Horizontverschmelzung).
Mari kita gunakan contoh dengan perbedaan dalam hubungan tadi untuk menjelaskan ketiga jenis hasil proses Verstehen di atas. Misalkan ada seorang pria dengan agama A yang menjalin hubungan dengan wanita beragama B. Jika proses Verstehen mereka menghasilkan perluasan cakrawala, maka baik pria maupun wanita cukup mengetahui bahwa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian. Keduanya tidak bisa menerima sepenuhnya mengapa ada hal-hal tersebut dalam agama pasangannya. Proses Verstehen ini bisa dianggap gagal, tapi bisa juga berhasil, jika pada akhirnya satu sama lain memilih untuk menganggap bahwa agama adalah hal privat yang tidak perlu dipaksakan untuk dimengerti oleh satu sama lain, intinya lebih baik diprivatkan dan tidak usah dibicarakan lagi di ruang publik antarkeduanya. Mereka bisa menaruh cinta di atas keyakinan dalam menyikapi perbedaan itu. Jika proses Verstehen menghasilkan pendekatan cakrawala, maka baik pria maupun wanita mengetahui mengapa dalam ajaran agama pasangannya ada dogma, ritual, peraturan, dll. yang demikian serta menerima dan memakluminya. Pria maupun wanita tetap setia dengan keyakinan masing-masing namun (mungkin) ketika pasangannya merayakan hari raya, ia mengucapkan selamat, ikut membantu dalam menyiapkan perayaan, atau bahkan turut memeriahkan tanpa harus ikut serta dalam ritual di tempat ibadahnya. Hal ini adalah hasil yang paling ideal :) Proses Verstehen terakhir adalah yang paling banyak diharapkan banyak orang tetapi kalau untuk saya tetap kurang oke. Jika hasil proses Verstehen adalah pembauran cakrawala, maka salah satu dari kedua pihak menerima dan mengikuti dengan rela apa yang diyakini pasangannya. Mengapa salah satu dan bukan saling? Karena nggak mungkin kan seseorang memeluk dua agama, atau mereka akhirnya cuma tukar agama (nanti perbedaannya cuma pindah posisi dong?). Intinya, ketika proses Verstehen ini berhasil (salah satu dari hasil di atas), maka pasti hubungan tersebut akan langgeng dan berhasil.
Hmm... tapi bagaimana dengan lingkungan sosial? dengan keluarga? dengan institusi agamanya? Nah, inilah pentingnya kedewasaan. Ketika seseorang sudah dewasa dan merasa bahwa proses tersebut telah berhasil, maka ia bisa menentukan sikap sendiri. Tidak satu pun orang di dunia ini yang dapat menentang kekuatan niat dan rencana Tuhan. Ketika kedua orang merasa cocok, apalagi yang harus dikhawatirkan. Oh, tapi ingat, pandangan ini berdasarkan pandangan saya yang sesungguhnya pernikahan itu kontrak sosial antara dua manusia :) Keluarga dan lingkungan sosial hanya sebagai penasehat dan pengarah, tetapi tidak bisa mengatur mutlak dua orang yang sudah dewasa dan punya hak memutuskan ini. Tentang institusi agama..., banyak pilihan kok, kalau memang keduanya sudah merasa saling cocok kan bisa dicari jalan keluarnya. Ada kok agama yang masih mengizinkan pernikahan beda, atau kalau saya sendiri tipe orang yang nggak mau cepat menyerah, karena nggak satu pun orang tahu akan masa depan. Siapa tahu suatu saat hukum agama berubah. Siapa tahu suatu saat di masa depan terbukti bahwa semua jalan keyakinan sama aja. Siapa tahu (walaupun sebenarnya kurang sreg sih) salah satu dari kita akhirnya ikut meyakini apa yang diyakini pasangannya. Siapa tahu... siapa tahu.. dan masih banyak hal yang tidak kita tahu bisa terjadi di masa depan. Intinya sih yang diperlukan cuma keberhasilan proses saling mengerti itu, kalau sudah saling mengerti, siapa lagi yang bisa menghalangi? Hanya jika bukan takdirnya atau bukan rencana Tuhan-lah hubungan itu akan menjadi gagal. Jadi, buat yang sedang menjalani hubungan dengan perbedaan (seperti saya :P), berhentilah menggalau yang tidak penting, mantapkan dulu keberhasilan proses Verstehen-nya supaya bisa melangkah lebih jauh :) Semoga berhasil :)
viele Liebe,
LV~Eisblume
26.8.12
Are You a Smoker?? Please Respect Others!
Maaf ya kalau gue terpaksa menyelingi deretan cerita bersambung gue dengan hal ini. Gue mau numpang ngeluarin unek-unek dulu nih...
Jujur tadinya gue mau kasih judul "Are You a Smoker? Just Go to Hell!" tapi kayaknya terlalu sadis ya dan gue pikir gak semua perokok itu jahat. Akhirnya judulnya gue ganti biar lebih pas. Kejadian tadi siang menginspirasi gue untuk menulis ini. Tadi siang pas gue duduk dan makan di food court Kalibata City gue berhasil memaksa seorang cewek perokok gak bertanggung jawab untuk mematikan rokoknya. Kenapa dia nggak bertanggung jawab? Jelas, karena dia merokok di ruangan ber-AC (baca: di dalam mall) padahal sudah disediakan area outdoor untuk merokok dan di area outdoor itu masih tersedia banyak meja dan kursi kosong. Memang sih pintu keluar yang ada di dekat dia dikunci jadi kalau mau keluar dia harus muter dulu. Tapi apa salahnya sih muter dikit? Toh juga nanti dia enak bisa merokok dengan bebas. Nah, sekarang gue mau cerita gimana caranya gue "memaksa" dia. Seperti hobi gue kalau memperlakukan orang-orang gak bertanggung jawab kayak gini, gue nggak akan mendatangi dan menegur orangnya baik-baik. Gue akan ngomong dengan volume keras dan menyindir-nyindir orang itu sampai dia dilihatin orang dan malu. Kenapa gue nggak menegur dengan cara baik-baik? Karena orang-orang semacam dia ini sebenarnya udah tau peraturannya kalau di dalam ruangan AC nggak boleh merokok tapi dengan egoisnya dia mengabaikan aturan itu untuk enaknya sendiri. Nah kalau gini gue udah nggak bisa toleransi lagi.
Jadi awalnya gue udah duduk duluan di salah satu meja, tiba-tiba cewek ini datang dan mengeluarkan sebatang rokok lalu mulai merokok dengan cueknya. Begitu gue tahu kalau dia penyebar polusinya gue langsung pindah duduk agak menjauh sambil bilang the F word dalam bahasa Jerman. Habis itu gue sindir habis dengan suara keras. Gue bilang, seandainya membunuh itu nggak dosa, perokok nggak bertanggung jawab macam dia ini nih yang jadi korban gue duluan, pengen langsung gue cekik dari belakang. Terus gue bilang lagi bahwa orang kayak dia itu egois, mentingin diri sendiri dan bodoh. Udah tahu peraturannya masih aja dilanggar. Gue bilang dia tega dan jahat karena di sekitar situ banyak anak-anak dan ibu hamil yang bisa tercemar polusinya. Plus nyokap gue nambah-nambahin kalau dia itu nggak sopan dan bilang seharusnya cewek itu menelan asapnya sendiri biar nggak polusi. Pokoknya lumayan heboh deh sampai orang-orang yang di sekitar situ pada ngeliatin cewe ini. Malah ada yang sampai batuk-batuk segala, nggak tau disengaja atau nggak. Akhirnya temennya si cewe ini ngingetin dia kalau mau merokok mending keluar aja. Terus dimatiin deh rokoknya. Huahahahaha... gue merasa menang banget... xD
Well, gue nggak benci dan bilang kalau semua perokok itu jahat. Gue cuma nggak suka sama orang yang merokok tapi nggak bertanggung jawab. Gue tahu kok kalau merokok itu hak setiap orang (walaupun gue masih suka ketawa sama orang yang kalo ditanya "kenapa merokok?" jawabannya "merayakan kebebasan". Menurut gue merokok itu sama kayak bunuh diri pelan-pelan xD LOL). Tapi tolong dong bertanggung jawab sedikit. Merokoklah di tempat yang sudah disediakan, atau kalau tidak ada ya sedikit menjauh dari orang-orang. Jujur gue berharap suatu saat ada peraturan "dilarang merokok di tempat umum kecuali pada tempat yang sudah disediakan", karena kalau peraturannya cuma "dilarang merokok di tempat tertutup dan berAC" nanti di stasiun, di kaki lima, dll. orang pada merokok -.-a Gue suka jahat kalau ada orang yang merokok dengan tidak bertanggung jawab, gue berharap mereka mati aja. Toh merokok itu sama aja kayak bunuh diri pelan-pelan, dan menurut gue lebih baik itu terjadi lebih cepat supaya mereka nggak bunuh diri ngajak-ngajak orang lain (baca: para perokok pasif).
Selain nggak bertanggung jawab, banyak juga perokok yang ngotot dan nggak mau dengerin pendapat orang, dengan kata lain, selalu mencari cara untuk membenarkan dirinya. Gue inget pernah berdebat sama seorang senior yang selama ini selalu gue anggap pintar, punya pemikiran nggak biasa, jago orasi dan nulis sastra, tapi sayang, dia perokok! (buat gue cowok merokok itu kegantengannya langsung melorot 75% kecuali kalo tampangnya kayak Elijah Wood atau Josh Hartnett :P #ehkokjadifangirling xD Jadi kalo tampangnya belum seganteng itu mending jangan merokok deh!). Nah, balik ke perdebatan gue sama si senior. Waktu itu gue komentar soal RUU Antirokok, dia langsung bales dengan bilang bahwa rokok itu menyelamatkan perekonomian Indonesia karena banyak banget buruh bisa hidup dari pabrik rokok. Terus gue usul, kenapa tanaman tembakau nggak diganti aja jadi tanaman lain yang bisa dipanen juga. Dia bilang kalau tanahnya cuma cocok untuk tanaman tembakau. Nah, masalahnya waktu gue nonton di TV, gue dengar kalau sekalipun jumlah perokok di Indonesia bertambah terus, penghasilan para buruh ini nggak tambah banyak. Belum lagi gue nonton video juga yang menjelaskan kalau sebagian besar rokok yang beredar di Indonesia ini rokok putih (yang asalnya dari negara-negara Barat dan di dalamnya mengandung sianida, bahan kutek, bahan sabun pel-pelan, dll yang beracun2 itu -.-a) dan bukan rokok kretek yang khas Indonesia dan biasanya beraroma cengkeh (tanaman khas Indonesia juga). Mana katanya pabrik rokok kretek dibeli sama industri rokok luar lagi, sekarang cuma tinggal satu deh merk rokok kretek yang besar. Nah, kalau sudah begini sekarang alasannya si senior jadi nggak masuk akal kan? Tapi tetep aja tuh orang ngotot dan merasa dirinya benar. Padahal kan yang gue protes bukan masalah merokoknya, tapi pertanggung jawaban mereka sama lingkungan yang isinya gak cuma perokok doang.
Gue juga nggak suka sama jawaban mereka ketika gue protes kalau asapnya nggak baik untuk kesehatan. Gue gak peduli sih sama nyawa mereka, tapi kan kasian sama yang nggak merokok terpaksa kena asapnya juga. Nah, kalau gue udah bahas ini terus mereka bilang "belum ada bukti tuh kalau merokok itu penyebab penyakit A, B, C, dll." Gue tahu kok memang itu belum resmi dibuktikan, tapi kenyataan menunjukkan sebagian besar penderita penyakit-penyakit itu dulunya perokok. Walaupun di sisi lain banyak juga yang nggak pernah merokok tapi sakit juga. Dengan alasan itu mereka bilang kalau yang gue bilang belum terbukti. Plus ditambah juga mereka bilang kalau asap kendaraan bermotor dan polusi udara di jalan lebih bahaya. Gini aja deh, nggak usah mikir lebih bahaya mana, tapi lihat dong jelas-jelas rokok itu ada sianidanya. Sianida! Itu lho, bahan gas yang dipakai untuk pembunuhan massal di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Nggak cuma itu, ada zat pembuat kutek, sabun pel lantai, dll. Itu kan sedikit banyak sama aja minum bahan-bahan itu sedikit demi sedikit. Maksud gue, zat-zat itu kan bukan zat yang diperlukan tubuh dan beracun pula, kenapa harus dikonsumsi? -___-a
Masalahnya sekarang perokok di Indonesia bukannya makin sedikit jumlahnya, malah makin banyak. Bahayanya lagi banyak dari mereka yang masih remaja dan belum bisa cari duit sendiri. Jadi beli rokok pakai duit jajan dari orang tuanya (duh!!). Uang orang tuanya dibakar gitu aja untuk hal-hal nggak guna, tau gitu mending buat anak2 baik yang gak bisa sekolah atau susah hidup aja dehh... -.-a Kalau dari video yang pernah gue tonton sih, memang saat ini perusahaan rokok sedang menargetkan remaja dan wanita jadi konsumen baru mereka. Banyak terutama di kalangan remaja yang berpikir bahwa merokok itu tanda gaul dan keren. Huh, padahal menurut gue kalau ada cowok sampai mikir kalau merokok sama dengan jantan itu bodoh. Merokok kan bisa bikin impoten. Kalau impoten gak jantan lagi dooong hahahahaha...xD
Jujur tadinya gue mau kasih judul "Are You a Smoker? Just Go to Hell!" tapi kayaknya terlalu sadis ya dan gue pikir gak semua perokok itu jahat. Akhirnya judulnya gue ganti biar lebih pas. Kejadian tadi siang menginspirasi gue untuk menulis ini. Tadi siang pas gue duduk dan makan di food court Kalibata City gue berhasil memaksa seorang cewek perokok gak bertanggung jawab untuk mematikan rokoknya. Kenapa dia nggak bertanggung jawab? Jelas, karena dia merokok di ruangan ber-AC (baca: di dalam mall) padahal sudah disediakan area outdoor untuk merokok dan di area outdoor itu masih tersedia banyak meja dan kursi kosong. Memang sih pintu keluar yang ada di dekat dia dikunci jadi kalau mau keluar dia harus muter dulu. Tapi apa salahnya sih muter dikit? Toh juga nanti dia enak bisa merokok dengan bebas. Nah, sekarang gue mau cerita gimana caranya gue "memaksa" dia. Seperti hobi gue kalau memperlakukan orang-orang gak bertanggung jawab kayak gini, gue nggak akan mendatangi dan menegur orangnya baik-baik. Gue akan ngomong dengan volume keras dan menyindir-nyindir orang itu sampai dia dilihatin orang dan malu. Kenapa gue nggak menegur dengan cara baik-baik? Karena orang-orang semacam dia ini sebenarnya udah tau peraturannya kalau di dalam ruangan AC nggak boleh merokok tapi dengan egoisnya dia mengabaikan aturan itu untuk enaknya sendiri. Nah kalau gini gue udah nggak bisa toleransi lagi.
Jadi awalnya gue udah duduk duluan di salah satu meja, tiba-tiba cewek ini datang dan mengeluarkan sebatang rokok lalu mulai merokok dengan cueknya. Begitu gue tahu kalau dia penyebar polusinya gue langsung pindah duduk agak menjauh sambil bilang the F word dalam bahasa Jerman. Habis itu gue sindir habis dengan suara keras. Gue bilang, seandainya membunuh itu nggak dosa, perokok nggak bertanggung jawab macam dia ini nih yang jadi korban gue duluan, pengen langsung gue cekik dari belakang. Terus gue bilang lagi bahwa orang kayak dia itu egois, mentingin diri sendiri dan bodoh. Udah tahu peraturannya masih aja dilanggar. Gue bilang dia tega dan jahat karena di sekitar situ banyak anak-anak dan ibu hamil yang bisa tercemar polusinya. Plus nyokap gue nambah-nambahin kalau dia itu nggak sopan dan bilang seharusnya cewek itu menelan asapnya sendiri biar nggak polusi. Pokoknya lumayan heboh deh sampai orang-orang yang di sekitar situ pada ngeliatin cewe ini. Malah ada yang sampai batuk-batuk segala, nggak tau disengaja atau nggak. Akhirnya temennya si cewe ini ngingetin dia kalau mau merokok mending keluar aja. Terus dimatiin deh rokoknya. Huahahahaha... gue merasa menang banget... xD
Well, gue nggak benci dan bilang kalau semua perokok itu jahat. Gue cuma nggak suka sama orang yang merokok tapi nggak bertanggung jawab. Gue tahu kok kalau merokok itu hak setiap orang (walaupun gue masih suka ketawa sama orang yang kalo ditanya "kenapa merokok?" jawabannya "merayakan kebebasan". Menurut gue merokok itu sama kayak bunuh diri pelan-pelan xD LOL). Tapi tolong dong bertanggung jawab sedikit. Merokoklah di tempat yang sudah disediakan, atau kalau tidak ada ya sedikit menjauh dari orang-orang. Jujur gue berharap suatu saat ada peraturan "dilarang merokok di tempat umum kecuali pada tempat yang sudah disediakan", karena kalau peraturannya cuma "dilarang merokok di tempat tertutup dan berAC" nanti di stasiun, di kaki lima, dll. orang pada merokok -.-a Gue suka jahat kalau ada orang yang merokok dengan tidak bertanggung jawab, gue berharap mereka mati aja. Toh merokok itu sama aja kayak bunuh diri pelan-pelan, dan menurut gue lebih baik itu terjadi lebih cepat supaya mereka nggak bunuh diri ngajak-ngajak orang lain (baca: para perokok pasif).
Selain nggak bertanggung jawab, banyak juga perokok yang ngotot dan nggak mau dengerin pendapat orang, dengan kata lain, selalu mencari cara untuk membenarkan dirinya. Gue inget pernah berdebat sama seorang senior yang selama ini selalu gue anggap pintar, punya pemikiran nggak biasa, jago orasi dan nulis sastra, tapi sayang, dia perokok! (buat gue cowok merokok itu kegantengannya langsung melorot 75% kecuali kalo tampangnya kayak Elijah Wood atau Josh Hartnett :P #ehkokjadifangirling xD Jadi kalo tampangnya belum seganteng itu mending jangan merokok deh!). Nah, balik ke perdebatan gue sama si senior. Waktu itu gue komentar soal RUU Antirokok, dia langsung bales dengan bilang bahwa rokok itu menyelamatkan perekonomian Indonesia karena banyak banget buruh bisa hidup dari pabrik rokok. Terus gue usul, kenapa tanaman tembakau nggak diganti aja jadi tanaman lain yang bisa dipanen juga. Dia bilang kalau tanahnya cuma cocok untuk tanaman tembakau. Nah, masalahnya waktu gue nonton di TV, gue dengar kalau sekalipun jumlah perokok di Indonesia bertambah terus, penghasilan para buruh ini nggak tambah banyak. Belum lagi gue nonton video juga yang menjelaskan kalau sebagian besar rokok yang beredar di Indonesia ini rokok putih (yang asalnya dari negara-negara Barat dan di dalamnya mengandung sianida, bahan kutek, bahan sabun pel-pelan, dll yang beracun2 itu -.-a) dan bukan rokok kretek yang khas Indonesia dan biasanya beraroma cengkeh (tanaman khas Indonesia juga). Mana katanya pabrik rokok kretek dibeli sama industri rokok luar lagi, sekarang cuma tinggal satu deh merk rokok kretek yang besar. Nah, kalau sudah begini sekarang alasannya si senior jadi nggak masuk akal kan? Tapi tetep aja tuh orang ngotot dan merasa dirinya benar. Padahal kan yang gue protes bukan masalah merokoknya, tapi pertanggung jawaban mereka sama lingkungan yang isinya gak cuma perokok doang.
Gue juga nggak suka sama jawaban mereka ketika gue protes kalau asapnya nggak baik untuk kesehatan. Gue gak peduli sih sama nyawa mereka, tapi kan kasian sama yang nggak merokok terpaksa kena asapnya juga. Nah, kalau gue udah bahas ini terus mereka bilang "belum ada bukti tuh kalau merokok itu penyebab penyakit A, B, C, dll." Gue tahu kok memang itu belum resmi dibuktikan, tapi kenyataan menunjukkan sebagian besar penderita penyakit-penyakit itu dulunya perokok. Walaupun di sisi lain banyak juga yang nggak pernah merokok tapi sakit juga. Dengan alasan itu mereka bilang kalau yang gue bilang belum terbukti. Plus ditambah juga mereka bilang kalau asap kendaraan bermotor dan polusi udara di jalan lebih bahaya. Gini aja deh, nggak usah mikir lebih bahaya mana, tapi lihat dong jelas-jelas rokok itu ada sianidanya. Sianida! Itu lho, bahan gas yang dipakai untuk pembunuhan massal di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Nggak cuma itu, ada zat pembuat kutek, sabun pel lantai, dll. Itu kan sedikit banyak sama aja minum bahan-bahan itu sedikit demi sedikit. Maksud gue, zat-zat itu kan bukan zat yang diperlukan tubuh dan beracun pula, kenapa harus dikonsumsi? -___-a
Masalahnya sekarang perokok di Indonesia bukannya makin sedikit jumlahnya, malah makin banyak. Bahayanya lagi banyak dari mereka yang masih remaja dan belum bisa cari duit sendiri. Jadi beli rokok pakai duit jajan dari orang tuanya (duh!!). Uang orang tuanya dibakar gitu aja untuk hal-hal nggak guna, tau gitu mending buat anak2 baik yang gak bisa sekolah atau susah hidup aja dehh... -.-a Kalau dari video yang pernah gue tonton sih, memang saat ini perusahaan rokok sedang menargetkan remaja dan wanita jadi konsumen baru mereka. Banyak terutama di kalangan remaja yang berpikir bahwa merokok itu tanda gaul dan keren. Huh, padahal menurut gue kalau ada cowok sampai mikir kalau merokok sama dengan jantan itu bodoh. Merokok kan bisa bikin impoten. Kalau impoten gak jantan lagi dooong hahahahaha...xD
12.8.12
Bhinneka Tunggal Ika, hanya sekedar semboyan saja?
Gue selalu mau nulis ini dan baru kesampaian sekarang, setelah banyak peristiwa terjadi mendorong gue untuk melakukannya. Plus bentar lagi Hari Kemerdekaan Indonesia jadi pas banget untuk bahas hal-hal seperti ini :)
Pernah nggak sih kalian menanyakan hal ini: apakah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu beneran ada? Atau Bhinneka Tunggal Ika itu hanya semboyan buat keren-kerenan negara kita di mata internasional aja? Pertanyaan ini tuh selalu muncul di kepala gue kalau sedang heboh-hebohnya ada isu berkaitan dengan keberagaman SARA di negara kita. Gue tahu, negara kita itu bagus sekali apalagi dari segi keberagamannya. Gimana enggak, sukunya macam-macam dari yang asli maupun pendatang. Agama juga macam-macam, nggak terhitung lagi kepercayaan yang bahkan kita sendiri aja nggak tahu eksistensinya. Bahasa daerah macam-macam. Duh, apalagi yang macam-macam? Banyak banget kan... Dan menurut gue hal ini tuh jadi nilai plus di mata internasional.
Kenyataan bahwa banyak sekali sisi negatif negara kita yang juga terekspos ke luar negeri nggak bisa kita pungkiri. Korupsi, pembajakan, terorisme, kemiskinan, konflik-konflik dalam negeri, separatisme, illegal logging, dll. semua pernah masuk media internasional. Kebetulan gue suka sekali menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai negara dan gue selalu malu kalau segi negatif ini ketahuan. Untungnya sisi positif Indonesia dari keberagamannya bisa menutupi semua itu. Gue selalu bilang sama mereka: yah, itu bangsanya yang bikin citra buruk seperti itu, tapi kenyataannya Indonesia bagus lho. Kita punya buanyak sekali suku dan bahasa, kita terdiri dari masyarakat yang keyakinannya beragam. Percaya nggak kalau kita aja punya 4 tahun baru dalam setahun: tahun baru masehi, tahun baru Imlek, tahun baru Hijriyah dan tahun baru Saka. Waktu teman-teman gue dengar ini mereka memuji-muji Indonesia. Tapi JLEB!! kenyataannya gue sadar kalau gue sudah bohong ke mereka. Kenyataannya ada yang nggak beres di negara kita berkaitan dengan keberagaman ini. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ingat cerita nyokap gue dulu bahwa pada zaman Orde Baru masalah semacam ini tuh nyaris nggak lebih dari masalah kecil yang biasa ada di semua negara. Coba lihat sekarang deh.. Orang mau ibadah aja susah, mendirikan tempat ibadah harus izin sana sini, tempat ibadah dihancurkan, orang-orang dari golongan suku tertentu dianggap bukan "Indonesia", diskriminasi terjadi di sana-sini. Gue jadi bertanya-tanya lagi, sebenarnya segi positif yang gue bilang ke teman-teman di luar sana itu ada beneran nggak sih?
Yang gue tulis di atas bukan karangan. Gue yakin sekarang kalau Bhinneka Tunggal Ika itu nggak lebih dari semboyan doang. Kalau nggak percaya coba deh kita renungkan hal berikut ini:
- Kalau kita berada di antara orang-orang Indonesia, kita cenderung masih memandang mereka sebagai suku A, suku B, agama A, agama B. Jarang yang bisa memandang cukup sampai "sesama Indonesia" saja. Anggapan "sesama Indonesia" cuma berlaku kalau sedang ada pertandingan sepak bola, bulu tangkis atau intinya punya musuh bersama atau ketika sudah jadi teman akrab.
- Sebagian besar dari kita senang dan menerima adanya hari besar agama lain di kalender hari nasional Indonesia hanya karena senang dengan liburnya, bukan karena rasa ingin respek pada penganutnya. Pasti sebagian besar dari kita masa bodoh aja, bahkan nggak kasih ucapan apa-apa sekali pun teman kita merayakannya.
- Sebagian besar dari kita masih jauh lebih suka jika dipimpin oleh orang yang segolongan baik agama, suku, ras, dll. tetapi prestasinya biasa aja atau bahkan buruk daripada dipimpin oleh orang yang golongannya beda tapi prestasinya lebih bagus.
- Sebagian besar dari kita setidaknya masih menganggap suku tertentu sebagai "bukan Indonesia" atau "pendatang" sekalipun kenyataannya mereka dan nenek moyangnya sudah lama ada di Indonesia.
Kalau kita banyak setuju dengan pertanyaan di atas, artinya Bhinneka Tunggal Ika buat kita itu hanya semboyan doang dan belum masuk ke kehidupan kita sehari-hari. Kita masih mengutamakan kelompok atau golongan di atas kesatuan sebagai Indonesia.
Kadang-kadang gue berharap pemerintah bisa memberi contoh yang baik lewat institusi-institusinya supaya Bhinneka Tunggal Ika nggak cuma jadi semboyan aja. Eh tapi sayangnya enggak. Bahkan dari institusi yang di dalamnya beranggotakan anak-anak dan remaja (yang harusnya sejak kecil diajarkan tentang penerapan semboyan itu) saja tidak. Misalnya saja institusi pendidikan milik pemerintah, dari jenjang SD sampai Universitas. Kebetulan gue nggak pernah mengayom pendidikan di sekolah milik pemerintah sampai akhirnya gue kuliah di UI dan terkaget-kaget dengan isinya. Beberapa hal yang gue catat berkaitan dengan bahasan di post ini:
1. Sejak masuk UI gue sering banget dengar orang tanya: "asal mana?" dan ketika gue tanya lagi: "asal apa? sekolah?", orang tsb menjawab: "bukan, asal daerah." Lebih parah lagi kalau orang itu langsung tanya: "suku mana?" hohoho.. pertanyaan ini paling males gue jawab. Memang apa pentingnya suku gue buat orang itu? Mau dicatat ke database? Udahlah ngapain sih masih bahas-bahas suku segala, kita sama kok orang Indonesia, suku-sukuan itu buat personal aja deh nggak usah dibawa keluar. Gue tau itu bisa memperkaya Indonesia, tapi kenyataannya pertanyaan begitu tuh nggak penting dan ujung-ujungnya malah dipakai buat beda-bedain orang :(
2. Sikap yang sama berlaku untuk pertanyaan: "agama apa?" dan semua kolom agama di semua biodata yang terpaksa gue isi kecuali yang buat database mahasiswa yang di SIAK NG. Lebih kesel lagi kalau pertanyaannya: "Lo x atau non-x?" Seolah-olah yang penting cuma x ini doang dan sisanya nggak dilihat lagi ragamnya cuma dibilang non-x. Duh di Indonesia kan ada 5 agama lainnya yang diakui (dan sebenarnya menurut gue ini masalah juga, masa dari ratusan keyakinan yang diakui cuma 5, padahal kita lebih beragam dari itu).
3. Ucapan salam di semua acara. Bukannya gue gak mau jawab atau sentimen, nggak sama sekali. Gue tahu itu hanya sebuah ucapan salam yang nggak ada salahnya dibalas (bahkan selalu gue balas). Sama dengan ucapan "Guten Tag" ketika masuk jurusan Jerman. Tapi masalahnya ada di sini nih: itu bukan bahasa Indonesia >.> dan nggak semua orang menempatkan "selamat pagi/siang/sore/malam" di belakangnya. Kenapa sih di institusi yang sifatnya milik umum, milik pemerintah dan universal nggak pakai bahasa Indonesia aja. Kecuali kalau ada di kelas bahasa tsb sih silakan aja. Coba deh kita ganti salam itu pakai bahasa Inggris, atau "God be with you" gitu misalnya, pasti nggak enak juga kan? Pakai bahasa asing di tengah acara resmi institusi yang labelnya "Indonesia" :c
4. Salah satu maba gue baru aja masuk UI dan ikut OBM. Pas di kelas Learning Skill dan disuruh muterin kertas trus ngisi pendapat tentang teman yang punya kertas itu, banyak orang nulis di kertas dia dengan tulisan nama sukunya atau yang berhubungan dengan itu. Buat apa coba? Setahu gue kertas itu harusnya dipakai untuk nulis karakter orang tsb deh -.-a Lebih parahnya lagi si maba ini cerita ke adek gue kalau dia dulu di SMA cuma satu-satunya anak yang agamanya beda. Sampai pas kelas agama gurunya frustasi trus marah-marah dan bilang: "ini nih akibatnya kalau kamu minoritas!" setelah sebelumnya menarik dia ke ruang guru. Hmm.. yang gue kaget, sekolahnya ini ternyata jadi partner pemerintah Jerman. Duh, kalau gue jadi pemerintah Jerman gue akan berpikir sekolah ini gak deserve posisi itu, karena mereka gagal melakukan sesuatu yang sedang diperjuangkan sekali sama pemerintah Jerman: Multikulturalisme.
5. Gue sama teman gue pernah lihat spanduk gede-gede di depan stasiun soal sukarelawan yang mau dikirim ke Palestina. Menurut gue spanduk itu berlebihan banget ya. Pertama, ngapain coba sukarelawan digembar-gemborkan. Sukarelawan kan harusnya anonim. Kedua, gue heran sama universitas ini. Indonesia masih banyak masalah, banyak orang-orang di wilayah terpencil yang nggak tersentuh tangan pemerintah. Kenapa nggak kirim sukarelawan ke sana aja trus digembar-gemborkan? Mereka sama-sama Indonesia lho...jadi kayanya lebih pantas digembar-gemborkan :) Yah, mungkin orang Indonesia (lagi-lagi) lebih melihat yang segolongan daripada yang sebangsa -__-a atau lagi-lagi cuma buat citra bagus yang palsu di mata internasional. Sama dengan konflik di Rohingya yang digembar-gemborkan tapi lupa kalau negara sendiri masih diskriminatif sama kelompok-kelompok minoritas -__-a
Gue tahu betul kalau di mana-mana minoritas, baik dari segi suku, agama, ras bahkan gaya dan selera (makanya ada namanya subculture) pasti didiskriminasi. Hak mereka nggak akan sebanyak kelompok mayoritas. Banyak orang Indonesia yang menunjuk-nunjuk kalau misalnya di Jerman terjadi hal yang sama terhadap para imigran Turki, di Norwegia terjadi hal yang sama terhadap imigran Afrika dan Afghanistan, dan lain sebagainya. Tapi ingat, Jerman, Norwegia, dan negara-negara itu pada awalnya bersifat monokultur. Negara yang terdiri dari satu bangsa, satu ras bahkan punya agama resmi. Sementara itu Indonesia berdiri di atas keberagaman itu. Berbagai suku, agama, ras dan golongan mendirikan Indonesia, bersumpah lewat Sumpah Pemuda dan akhirnya menghasilkan semboyan itu. Hal itu yang membuat kita jadi tidak boleh diskriminatif dan harus mengutamakan Indonesia di atas golongan. Kalau tidak setuju dengan hal ini lebih baik keluar dan buat negara sendiri khusus untuk kelompoknya :)
Tulisan ini sama sekali bukan buat mancing pertengkaran atau menyerang pihak-pihak tertentu. Gue bahkan nggak menyebut terang-terangan berbagai macam pihak yang ada di sini. Pada intinya inilah hal yang gue rasakan selama ini dan gue temukan di sekitar gue. Kalau ada hal yang menyinggung baik langsung dan tidak gue minta maaf sedalam-dalamnya. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita semua :)
Peace,
Eisblume :)
Pernah nggak sih kalian menanyakan hal ini: apakah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu beneran ada? Atau Bhinneka Tunggal Ika itu hanya semboyan buat keren-kerenan negara kita di mata internasional aja? Pertanyaan ini tuh selalu muncul di kepala gue kalau sedang heboh-hebohnya ada isu berkaitan dengan keberagaman SARA di negara kita. Gue tahu, negara kita itu bagus sekali apalagi dari segi keberagamannya. Gimana enggak, sukunya macam-macam dari yang asli maupun pendatang. Agama juga macam-macam, nggak terhitung lagi kepercayaan yang bahkan kita sendiri aja nggak tahu eksistensinya. Bahasa daerah macam-macam. Duh, apalagi yang macam-macam? Banyak banget kan... Dan menurut gue hal ini tuh jadi nilai plus di mata internasional.
Kenyataan bahwa banyak sekali sisi negatif negara kita yang juga terekspos ke luar negeri nggak bisa kita pungkiri. Korupsi, pembajakan, terorisme, kemiskinan, konflik-konflik dalam negeri, separatisme, illegal logging, dll. semua pernah masuk media internasional. Kebetulan gue suka sekali menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai negara dan gue selalu malu kalau segi negatif ini ketahuan. Untungnya sisi positif Indonesia dari keberagamannya bisa menutupi semua itu. Gue selalu bilang sama mereka: yah, itu bangsanya yang bikin citra buruk seperti itu, tapi kenyataannya Indonesia bagus lho. Kita punya buanyak sekali suku dan bahasa, kita terdiri dari masyarakat yang keyakinannya beragam. Percaya nggak kalau kita aja punya 4 tahun baru dalam setahun: tahun baru masehi, tahun baru Imlek, tahun baru Hijriyah dan tahun baru Saka. Waktu teman-teman gue dengar ini mereka memuji-muji Indonesia. Tapi JLEB!! kenyataannya gue sadar kalau gue sudah bohong ke mereka. Kenyataannya ada yang nggak beres di negara kita berkaitan dengan keberagaman ini. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ingat cerita nyokap gue dulu bahwa pada zaman Orde Baru masalah semacam ini tuh nyaris nggak lebih dari masalah kecil yang biasa ada di semua negara. Coba lihat sekarang deh.. Orang mau ibadah aja susah, mendirikan tempat ibadah harus izin sana sini, tempat ibadah dihancurkan, orang-orang dari golongan suku tertentu dianggap bukan "Indonesia", diskriminasi terjadi di sana-sini. Gue jadi bertanya-tanya lagi, sebenarnya segi positif yang gue bilang ke teman-teman di luar sana itu ada beneran nggak sih?
Yang gue tulis di atas bukan karangan. Gue yakin sekarang kalau Bhinneka Tunggal Ika itu nggak lebih dari semboyan doang. Kalau nggak percaya coba deh kita renungkan hal berikut ini:
- Kalau kita berada di antara orang-orang Indonesia, kita cenderung masih memandang mereka sebagai suku A, suku B, agama A, agama B. Jarang yang bisa memandang cukup sampai "sesama Indonesia" saja. Anggapan "sesama Indonesia" cuma berlaku kalau sedang ada pertandingan sepak bola, bulu tangkis atau intinya punya musuh bersama atau ketika sudah jadi teman akrab.
- Sebagian besar dari kita senang dan menerima adanya hari besar agama lain di kalender hari nasional Indonesia hanya karena senang dengan liburnya, bukan karena rasa ingin respek pada penganutnya. Pasti sebagian besar dari kita masa bodoh aja, bahkan nggak kasih ucapan apa-apa sekali pun teman kita merayakannya.
- Sebagian besar dari kita masih jauh lebih suka jika dipimpin oleh orang yang segolongan baik agama, suku, ras, dll. tetapi prestasinya biasa aja atau bahkan buruk daripada dipimpin oleh orang yang golongannya beda tapi prestasinya lebih bagus.
- Sebagian besar dari kita setidaknya masih menganggap suku tertentu sebagai "bukan Indonesia" atau "pendatang" sekalipun kenyataannya mereka dan nenek moyangnya sudah lama ada di Indonesia.
Kalau kita banyak setuju dengan pertanyaan di atas, artinya Bhinneka Tunggal Ika buat kita itu hanya semboyan doang dan belum masuk ke kehidupan kita sehari-hari. Kita masih mengutamakan kelompok atau golongan di atas kesatuan sebagai Indonesia.
Kadang-kadang gue berharap pemerintah bisa memberi contoh yang baik lewat institusi-institusinya supaya Bhinneka Tunggal Ika nggak cuma jadi semboyan aja. Eh tapi sayangnya enggak. Bahkan dari institusi yang di dalamnya beranggotakan anak-anak dan remaja (yang harusnya sejak kecil diajarkan tentang penerapan semboyan itu) saja tidak. Misalnya saja institusi pendidikan milik pemerintah, dari jenjang SD sampai Universitas. Kebetulan gue nggak pernah mengayom pendidikan di sekolah milik pemerintah sampai akhirnya gue kuliah di UI dan terkaget-kaget dengan isinya. Beberapa hal yang gue catat berkaitan dengan bahasan di post ini:
1. Sejak masuk UI gue sering banget dengar orang tanya: "asal mana?" dan ketika gue tanya lagi: "asal apa? sekolah?", orang tsb menjawab: "bukan, asal daerah." Lebih parah lagi kalau orang itu langsung tanya: "suku mana?" hohoho.. pertanyaan ini paling males gue jawab. Memang apa pentingnya suku gue buat orang itu? Mau dicatat ke database? Udahlah ngapain sih masih bahas-bahas suku segala, kita sama kok orang Indonesia, suku-sukuan itu buat personal aja deh nggak usah dibawa keluar. Gue tau itu bisa memperkaya Indonesia, tapi kenyataannya pertanyaan begitu tuh nggak penting dan ujung-ujungnya malah dipakai buat beda-bedain orang :(
2. Sikap yang sama berlaku untuk pertanyaan: "agama apa?" dan semua kolom agama di semua biodata yang terpaksa gue isi kecuali yang buat database mahasiswa yang di SIAK NG. Lebih kesel lagi kalau pertanyaannya: "Lo x atau non-x?" Seolah-olah yang penting cuma x ini doang dan sisanya nggak dilihat lagi ragamnya cuma dibilang non-x. Duh di Indonesia kan ada 5 agama lainnya yang diakui (dan sebenarnya menurut gue ini masalah juga, masa dari ratusan keyakinan yang diakui cuma 5, padahal kita lebih beragam dari itu).
3. Ucapan salam di semua acara. Bukannya gue gak mau jawab atau sentimen, nggak sama sekali. Gue tahu itu hanya sebuah ucapan salam yang nggak ada salahnya dibalas (bahkan selalu gue balas). Sama dengan ucapan "Guten Tag" ketika masuk jurusan Jerman. Tapi masalahnya ada di sini nih: itu bukan bahasa Indonesia >.> dan nggak semua orang menempatkan "selamat pagi/siang/sore/malam" di belakangnya. Kenapa sih di institusi yang sifatnya milik umum, milik pemerintah dan universal nggak pakai bahasa Indonesia aja. Kecuali kalau ada di kelas bahasa tsb sih silakan aja. Coba deh kita ganti salam itu pakai bahasa Inggris, atau "God be with you" gitu misalnya, pasti nggak enak juga kan? Pakai bahasa asing di tengah acara resmi institusi yang labelnya "Indonesia" :c
4. Salah satu maba gue baru aja masuk UI dan ikut OBM. Pas di kelas Learning Skill dan disuruh muterin kertas trus ngisi pendapat tentang teman yang punya kertas itu, banyak orang nulis di kertas dia dengan tulisan nama sukunya atau yang berhubungan dengan itu. Buat apa coba? Setahu gue kertas itu harusnya dipakai untuk nulis karakter orang tsb deh -.-a Lebih parahnya lagi si maba ini cerita ke adek gue kalau dia dulu di SMA cuma satu-satunya anak yang agamanya beda. Sampai pas kelas agama gurunya frustasi trus marah-marah dan bilang: "ini nih akibatnya kalau kamu minoritas!" setelah sebelumnya menarik dia ke ruang guru. Hmm.. yang gue kaget, sekolahnya ini ternyata jadi partner pemerintah Jerman. Duh, kalau gue jadi pemerintah Jerman gue akan berpikir sekolah ini gak deserve posisi itu, karena mereka gagal melakukan sesuatu yang sedang diperjuangkan sekali sama pemerintah Jerman: Multikulturalisme.
5. Gue sama teman gue pernah lihat spanduk gede-gede di depan stasiun soal sukarelawan yang mau dikirim ke Palestina. Menurut gue spanduk itu berlebihan banget ya. Pertama, ngapain coba sukarelawan digembar-gemborkan. Sukarelawan kan harusnya anonim. Kedua, gue heran sama universitas ini. Indonesia masih banyak masalah, banyak orang-orang di wilayah terpencil yang nggak tersentuh tangan pemerintah. Kenapa nggak kirim sukarelawan ke sana aja trus digembar-gemborkan? Mereka sama-sama Indonesia lho...jadi kayanya lebih pantas digembar-gemborkan :) Yah, mungkin orang Indonesia (lagi-lagi) lebih melihat yang segolongan daripada yang sebangsa -__-a atau lagi-lagi cuma buat citra bagus yang palsu di mata internasional. Sama dengan konflik di Rohingya yang digembar-gemborkan tapi lupa kalau negara sendiri masih diskriminatif sama kelompok-kelompok minoritas -__-a
Gue tahu betul kalau di mana-mana minoritas, baik dari segi suku, agama, ras bahkan gaya dan selera (makanya ada namanya subculture) pasti didiskriminasi. Hak mereka nggak akan sebanyak kelompok mayoritas. Banyak orang Indonesia yang menunjuk-nunjuk kalau misalnya di Jerman terjadi hal yang sama terhadap para imigran Turki, di Norwegia terjadi hal yang sama terhadap imigran Afrika dan Afghanistan, dan lain sebagainya. Tapi ingat, Jerman, Norwegia, dan negara-negara itu pada awalnya bersifat monokultur. Negara yang terdiri dari satu bangsa, satu ras bahkan punya agama resmi. Sementara itu Indonesia berdiri di atas keberagaman itu. Berbagai suku, agama, ras dan golongan mendirikan Indonesia, bersumpah lewat Sumpah Pemuda dan akhirnya menghasilkan semboyan itu. Hal itu yang membuat kita jadi tidak boleh diskriminatif dan harus mengutamakan Indonesia di atas golongan. Kalau tidak setuju dengan hal ini lebih baik keluar dan buat negara sendiri khusus untuk kelompoknya :)
Tulisan ini sama sekali bukan buat mancing pertengkaran atau menyerang pihak-pihak tertentu. Gue bahkan nggak menyebut terang-terangan berbagai macam pihak yang ada di sini. Pada intinya inilah hal yang gue rasakan selama ini dan gue temukan di sekitar gue. Kalau ada hal yang menyinggung baik langsung dan tidak gue minta maaf sedalam-dalamnya. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita semua :)
Peace,
Eisblume :)
Teori Konspirasi dan Simbol-Simbol
Beberapa minggu lalu gue sama nyokap pergi ke toko buku. Kita keliling-keliling ke tempat kesukaan masing-masing. Nyokap gue ke bagian buku resep dan gue ke deretan novel fantasi (berharap gitu ada LOTR atau The Hobbit atau bahkan The Silmarillion haha.. yang tentu saja nggak mungkin xD). Pas udah selesai gue nyari nyokap gue. Tiba-tiba dia manggil gitu sambil nunjukin sebuah buku (yang gue lupa judulnya). Pas gue ambil bukunya gue sadar bahwa itu adalah salah satu jenis buku yang paling freak di dunia. Yep, buku tentang Teori Konspirasi.
Menurut gue buku yang isinya menjabarkan (bukan menyebutkan doang) berbagai macam jenis teori konspirasi dan penafsiran simbol-simbol itu freak. Kenapa? Sederhana aja, isi bukunya nggak bisa dibuktikan selain dengan buku itu sendiri. Coba kalau yang mereka bilang memang benar, tunjukin dong bukti fisiknya di depan mata sedunia, jangan cuma nulis buku doang. Lagipula itu lucu, sebutannya aja "teori", yang namanya teori kan harus terus diuji dan dibuktikan kebenarannya. Plus yang gue nggak suka, terlepas dari siapa yang nulis, teori konspirasi itu terkesan memojokkan golongan tertentu dan mengacak-acak (khususnya) keyakinan tertentu. Simbol-simbol keyakinan tertentu diterjemahkan sembarangan begitu saja. Misalnya simbol mata di dalam segitiga di uang kertas Dollar. Di situ dijelaskan itu maksudnya "One World Order" alias satu pemerintahan di dunia. Kalau baca bukunya ada deh penjelasannya maksudnya apa. Intinya ada oknum tertentu yang mau memerintah secara tunggal di dunia ini dan mengatur segalanya. Simbol yang sama pernah gue temuin di gereja gue yang lama. Gue sempat tanya sama pastornya soal arti simbol itu dan katanya simbol itu artinya kira-kira "Tuhan Maha Melihat". Kok sembarangan banget ya penulis bukunya gonta-ganti arti simbol itu? -.-a
Hmm.. ya sebenarnya hak asasi penulis sih untuk menyatakan pendapatnya. Tapi yang gue nggak ngerti kok ada ya orang-orang Indonesia yang main percaya aja tanpa diteliti dan dibuktikan dulu. Orang-orang ini juga biasanya datang dari golongan tertentu (yang sebaiknya tidak usah diperjelas lagi deh, pokoknya orang-orang yang kaya gitu deh) yang begitu bodohnya sibuk ubek-ubek buku itu, percaya begitu saja, terus dipakai untuk ngejudge ini itu tanpa memperhatikan masalah lain yang sebenarnya jauh lebih penting. Bayangin, orang-orang ini bahkan menerjemahkan simbol mata itu jadi lambang setan. Okee.. gue ngga ngerti lagi, dari Tuhan kok jadi setan -.-a Nggak cuma simbol mata itu, simbol yang lain pun diterjemahkan sembarangan. Kelihatan banget misalnya waktu ada kasus Lady Gaga mau konser terus videonya dibedah di salah satu acara TV (yang kira-kira membahas 7 simbol misterius yang dipakai Lady Gaga di videonya -.-a *sigh*). Ada simbol Pentagram, yang lagi-lagi dibilang simbol setan. (Duh.. apa2 setan yak, orang-orang itu antek-anteknya kali ya, habis kaya tau semua tentang setan). Padahal Pentagram itu kan simbol 5 elemen bumi dan berasal dari paganisme Eropa, artinya jiwa, api, air, tanah dan udara. Terus lagi, simbol Eye of Osiris yang rupanya seperti mata dan berasal dari Mesir. Ini juga dibilang simbol setan, padahal simbol dewa Mesir. Tapi yang paling freak sih yang pernah gue temuin di salah satu link dari teman di Facebook. Di situ dibilang salah satu snack di Indonesia (ngga mau sebut merk deh), bentuknya bintang segienam seperti bintang David (di bendera Israel) dan simbol perusahaannya kakek-kakek (yang katanya) mirip Charles Darwin. Oke, ini freaknya nampol deh. Kok bodoh banget sih makan aja mikirin bentuknya, mending dicek apakah konten makanannya haram atau racun atau enggak daripada mempermasalahkan bentuknya -.-a Dan si kakek-kakek itu, ya udah sih kalo mirip Charles Darwin, bisa aja kan kebetulan atau sekilas mirip doang. Buktinya kalo itu foto Pak Darwin juga ngga ada -.-a
Intinya buku-buku teori konspirasi dan penafsiran simbol-simbol itu merujuk ke satu hal, yaitu adanya organisasi yang mengendalikan jalannya dunia dan organisasi ini terkait dengan golongan tertentu di dunia. Duh.. bisa banget sih bilangnya. Kok gue agak nggak percaya ya kalau satu dunia yang luasnya gak karuan dan buanyak banget penduduknya ini dikendalikan sama kelompok itu dengan mudahnya. Kalau emang kita hidup dikendalikan kaya gitu sih mending ngga usah hidup aja dari awal. Kayanya Tuhan nggak bikin rencana kaya gitu deh waktu menciptakan dunia. Hmm.. *geleng-geleng* Nah, gara-gara teori-teori ini, orang-orang bodoh yang tadi gue sebut itu kalau ketemu masalah apa di Indonesia gitu pasti langsung nyalah-nyalahin pihak atau negara tertentu. Boleh deh kalau mau nyalahin tapi pastikan dulu orang-orang itu nggak mengkonsumsi budaya atau produk apapun dari kelompok atau negara yang bersangkutan. Kalau masih bicara pakai bahasanya, atau pakai produknya mending ngga usah ngomong gitu. Kenyataannya mereka dan bahkan negara kita aja masih sering bergantung sama negara itu.
Well, itu pendapat gue aja sih. Gue bukan orang ahli yang mengerti betul dengan segala seluk beluk masalah yang dijabarkan di buku itu. Gue bukan ahli sejarah dan politik yang ngerti masalah-masalah di dunia. Gue cuma melihat buku itu dari sudut pandang gue dan pengetahuan terbatas yang gue dapat. Intinya buku itu belum bisa dibilang 100% benarlah sampai gue bisa lihat sendiri buktinya. Dan gue agak kesel sama orang-orang bodoh itu akhir-akhir ini. Orang-orang semacam itu hobinya merusak image negara kita aja -.-a
Menurut gue buku yang isinya menjabarkan (bukan menyebutkan doang) berbagai macam jenis teori konspirasi dan penafsiran simbol-simbol itu freak. Kenapa? Sederhana aja, isi bukunya nggak bisa dibuktikan selain dengan buku itu sendiri. Coba kalau yang mereka bilang memang benar, tunjukin dong bukti fisiknya di depan mata sedunia, jangan cuma nulis buku doang. Lagipula itu lucu, sebutannya aja "teori", yang namanya teori kan harus terus diuji dan dibuktikan kebenarannya. Plus yang gue nggak suka, terlepas dari siapa yang nulis, teori konspirasi itu terkesan memojokkan golongan tertentu dan mengacak-acak (khususnya) keyakinan tertentu. Simbol-simbol keyakinan tertentu diterjemahkan sembarangan begitu saja. Misalnya simbol mata di dalam segitiga di uang kertas Dollar. Di situ dijelaskan itu maksudnya "One World Order" alias satu pemerintahan di dunia. Kalau baca bukunya ada deh penjelasannya maksudnya apa. Intinya ada oknum tertentu yang mau memerintah secara tunggal di dunia ini dan mengatur segalanya. Simbol yang sama pernah gue temuin di gereja gue yang lama. Gue sempat tanya sama pastornya soal arti simbol itu dan katanya simbol itu artinya kira-kira "Tuhan Maha Melihat". Kok sembarangan banget ya penulis bukunya gonta-ganti arti simbol itu? -.-a
Hmm.. ya sebenarnya hak asasi penulis sih untuk menyatakan pendapatnya. Tapi yang gue nggak ngerti kok ada ya orang-orang Indonesia yang main percaya aja tanpa diteliti dan dibuktikan dulu. Orang-orang ini juga biasanya datang dari golongan tertentu (yang sebaiknya tidak usah diperjelas lagi deh, pokoknya orang-orang yang kaya gitu deh) yang begitu bodohnya sibuk ubek-ubek buku itu, percaya begitu saja, terus dipakai untuk ngejudge ini itu tanpa memperhatikan masalah lain yang sebenarnya jauh lebih penting. Bayangin, orang-orang ini bahkan menerjemahkan simbol mata itu jadi lambang setan. Okee.. gue ngga ngerti lagi, dari Tuhan kok jadi setan -.-a Nggak cuma simbol mata itu, simbol yang lain pun diterjemahkan sembarangan. Kelihatan banget misalnya waktu ada kasus Lady Gaga mau konser terus videonya dibedah di salah satu acara TV (yang kira-kira membahas 7 simbol misterius yang dipakai Lady Gaga di videonya -.-a *sigh*). Ada simbol Pentagram, yang lagi-lagi dibilang simbol setan. (Duh.. apa2 setan yak, orang-orang itu antek-anteknya kali ya, habis kaya tau semua tentang setan). Padahal Pentagram itu kan simbol 5 elemen bumi dan berasal dari paganisme Eropa, artinya jiwa, api, air, tanah dan udara. Terus lagi, simbol Eye of Osiris yang rupanya seperti mata dan berasal dari Mesir. Ini juga dibilang simbol setan, padahal simbol dewa Mesir. Tapi yang paling freak sih yang pernah gue temuin di salah satu link dari teman di Facebook. Di situ dibilang salah satu snack di Indonesia (ngga mau sebut merk deh), bentuknya bintang segienam seperti bintang David (di bendera Israel) dan simbol perusahaannya kakek-kakek (yang katanya) mirip Charles Darwin. Oke, ini freaknya nampol deh. Kok bodoh banget sih makan aja mikirin bentuknya, mending dicek apakah konten makanannya haram atau racun atau enggak daripada mempermasalahkan bentuknya -.-a Dan si kakek-kakek itu, ya udah sih kalo mirip Charles Darwin, bisa aja kan kebetulan atau sekilas mirip doang. Buktinya kalo itu foto Pak Darwin juga ngga ada -.-a
Intinya buku-buku teori konspirasi dan penafsiran simbol-simbol itu merujuk ke satu hal, yaitu adanya organisasi yang mengendalikan jalannya dunia dan organisasi ini terkait dengan golongan tertentu di dunia. Duh.. bisa banget sih bilangnya. Kok gue agak nggak percaya ya kalau satu dunia yang luasnya gak karuan dan buanyak banget penduduknya ini dikendalikan sama kelompok itu dengan mudahnya. Kalau emang kita hidup dikendalikan kaya gitu sih mending ngga usah hidup aja dari awal. Kayanya Tuhan nggak bikin rencana kaya gitu deh waktu menciptakan dunia. Hmm.. *geleng-geleng* Nah, gara-gara teori-teori ini, orang-orang bodoh yang tadi gue sebut itu kalau ketemu masalah apa di Indonesia gitu pasti langsung nyalah-nyalahin pihak atau negara tertentu. Boleh deh kalau mau nyalahin tapi pastikan dulu orang-orang itu nggak mengkonsumsi budaya atau produk apapun dari kelompok atau negara yang bersangkutan. Kalau masih bicara pakai bahasanya, atau pakai produknya mending ngga usah ngomong gitu. Kenyataannya mereka dan bahkan negara kita aja masih sering bergantung sama negara itu.
Well, itu pendapat gue aja sih. Gue bukan orang ahli yang mengerti betul dengan segala seluk beluk masalah yang dijabarkan di buku itu. Gue bukan ahli sejarah dan politik yang ngerti masalah-masalah di dunia. Gue cuma melihat buku itu dari sudut pandang gue dan pengetahuan terbatas yang gue dapat. Intinya buku itu belum bisa dibilang 100% benarlah sampai gue bisa lihat sendiri buktinya. Dan gue agak kesel sama orang-orang bodoh itu akhir-akhir ini. Orang-orang semacam itu hobinya merusak image negara kita aja -.-a
31.3.12
Tentang yang terjadi di sini akhir-akhir ini...
BBM mau naik. Demikian kata pemerintah tanpa kejelasan dan sangat tiba-tiba. Sudah jelas yang terjadi selanjutnya: demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kaum buruh. Teman-teman saya ini (baca: mahasiswa) mengaku membela rakyat kecil dan memperjuangkan nasib mereka dengan berusaha agar harga BBM tidak naik. Kebetulan saya bukan termasuk tipe yang suka berdemo, saya tipe berkoar-koar di belakang, lewat tulisan, entah karya sastra atau sekedar tweet-tweet nggak penting. Lewat tulisan itu, saya sama sekali bukan mau memaksa orang untuk setuju dan ikut pendapat saya. Saya hanya mau bicara, mengutarakan pendapat saya.
Kemarin saya sempat diskusi (atau berdebat?) via twitter dengan salah satu senior. Senior ini, menurut saya, orang yang luas wawasannya dan pandai. Pengetahuannya banyak, dan saya respek. Kalau bicara sama dia, sudah pasti saya kelihatan seperti orang berwawasan sempit yang nggak tau apa-apa. Ya memang, saya bicara kemarin itu tujuannya sama sekali bukan buat memberikan fakta supaya orang ikut pendapat saya, saya cuma mengeluarkan unek-unek kekesalan karena sepanjang saya hidup di Indonesia saya sudah dikecewakan dengan keadaan di luar sana. Saya tidak tahu pendapat saya benar atau tidak, saya hanya ingin bicara, dari kaca mata saya ya demikian.
Saya bukan orang yang anti demonstrasi kok. Menurut saya mengeluarkan aspirasi bersama-sama seperti itu memang hak warga negara yang (katanya) menganut demokrasi. Tapi tentu saja demonstrasi itu ada aturannya. Tetap sopan, tetap menghargai orang lain. Mengaku bela rakyat kecil, tapi apa mereka betul-betul tau apa yang ada di dalam pikiran rakyat kecil? Memang pernah salah satu perwakilan rakyat kecil(kalo bisa dibilang mewakili, karena rakyat kecil di Indonesia jumlahnya gak ketolongan banyaknya dan tentu saja pendapatnya beda-beda), ngomong ke mereka langsung minta diwakili dan disampaikan aspirasinya dengan cara demikian. Teman saya di twitter ada yang membenarkan demonstran menggunakan kekerasan, katanya: ya siapa suruh pemerintah nggak mendengarkan. Menurut saya mau apapun alasannya kekerasan itu ya salah. Oke, baik, kekerasan dilakukan pada pihak aparat yang juga terlalu keras menyikapi para demonstran. Tapi nggak perlu pakai merusak fasilitas umum kan? Nggak perlu ngotorin jalan kan? Nggak perlu blokade jalan kan? Memangnya pengguna jalan hanya mereka? Dengan mereka berlaku seperti itu justru saya makin nggak simpati. Yang tadinya merasa dibela malah jadi malu. Malu dong, tayangan demonstrasi ricuh itu udah sampai Eropa! Teman saya yang studi di sana nonton, malu dong dilihat warga dunia yang lain.
Karena sudah dari saya kecil saya selalu melihat demonstrasi macam begini, akhirnya saya juga tidak bisa mengatakan kalau mereka ada di pihak yang benar. Baik pemerintah maupun mereka dua-duanya salah. Dan karena tidak ada yang benar saya pilih diam, saya pilih apatis, nggak dukung dua-duanya. Lagipula saya sudah terlanjur pesimis dengan apa yang ada di negara saya. Senior yang saya ceritakan tadi bilang harusnya saya nggak pesimis. Tapi gimana caranya coba? Kalau pemerintah yang sekarang turun, siapa yang siap mengganti? Partai oposisinya saja semalam sudah walk out semua, menyerah di tengah jalan. Saya yakin semua orang yang duduk di pemerintahan itu sama aja. Sama-sama udah pegang duit banyak, sama-sama jadi lapar dan haus kekuasaan. Ya tentu saja tidak semua demikian, ada juga yang baik. Tapi yang baik ini diam aja, sebenarnya bukan salah mereka diam, tapi karena kalau mereka berulah pasti digencet, ditekan sama yang salah. Karakter ini udah ada sejak mereka muda. Kelihatan kok dari lingkungan saya sekarang di masa kuliah ini. Yang nggak mau ngasih contekan dibilang pelit, yang nggak mau diajak bolos dibilang sok rajin, yang bersikap baik dan sopan sama dosen dibilang ngejilat. Lama-lama orang baik pilih diam aja. Generasi muda yang nantinya akan menggantikan mereka yang sekarang memerintah itu aja udah rusak kaya gini. Nggak cuma itu, kalau lihat ricuhnya sidang semalam itu jujur aja nggak jauh beda sama rapat-rapat di kampus. Walaupun cenderung lebih sopan, rapat di kampus itu juga sama, janji jam berapa mulai jam berapa, ujung-ujungnya semua mau ngomong gak ada yang mau dengar.
Menurut saya, generasi berikutnya yang naik jadi pemerintah negara ini bakalan sama aja. Kita sudah jadi korban dari generasi terdahulu yang membiarkan negara ini terlalu dieksploitasi bangsa asing, terlalu disusupi bangsa asing (dan ingat, bangsanya nggak cuma AS dan kawan-kawan baratnya, tapi juga negara-negara Asia Timur dan Timur Tengah!). Ya kita ini korbannya, sudah terlanjur kecemplung di kolam kapitalisme dan globalisasi jadi susah keluar. Satu-satunya jalan menurut saya, peradaban di Indonesia yang sekarang ini harus hancur dulu. Hancur total entah karena apa. Dan orang-orang yang selamat akan membangun kembali Indonesia yang baru, yang beda, kalau perlu bikin ideologi baru yang lebih sesuai dan bentuk pemerintahan yang baru supaya sesuai. Kalau memang yang lama dirasa sudah nggak cocok, nggak masalah kok diubah. Manusia aja bisa ganti identitas, bangsa juga boleh dong kalau arahnya positif :)
Kemarin saya sempat diskusi (atau berdebat?) via twitter dengan salah satu senior. Senior ini, menurut saya, orang yang luas wawasannya dan pandai. Pengetahuannya banyak, dan saya respek. Kalau bicara sama dia, sudah pasti saya kelihatan seperti orang berwawasan sempit yang nggak tau apa-apa. Ya memang, saya bicara kemarin itu tujuannya sama sekali bukan buat memberikan fakta supaya orang ikut pendapat saya, saya cuma mengeluarkan unek-unek kekesalan karena sepanjang saya hidup di Indonesia saya sudah dikecewakan dengan keadaan di luar sana. Saya tidak tahu pendapat saya benar atau tidak, saya hanya ingin bicara, dari kaca mata saya ya demikian.
Saya bukan orang yang anti demonstrasi kok. Menurut saya mengeluarkan aspirasi bersama-sama seperti itu memang hak warga negara yang (katanya) menganut demokrasi. Tapi tentu saja demonstrasi itu ada aturannya. Tetap sopan, tetap menghargai orang lain. Mengaku bela rakyat kecil, tapi apa mereka betul-betul tau apa yang ada di dalam pikiran rakyat kecil? Memang pernah salah satu perwakilan rakyat kecil(kalo bisa dibilang mewakili, karena rakyat kecil di Indonesia jumlahnya gak ketolongan banyaknya dan tentu saja pendapatnya beda-beda), ngomong ke mereka langsung minta diwakili dan disampaikan aspirasinya dengan cara demikian. Teman saya di twitter ada yang membenarkan demonstran menggunakan kekerasan, katanya: ya siapa suruh pemerintah nggak mendengarkan. Menurut saya mau apapun alasannya kekerasan itu ya salah. Oke, baik, kekerasan dilakukan pada pihak aparat yang juga terlalu keras menyikapi para demonstran. Tapi nggak perlu pakai merusak fasilitas umum kan? Nggak perlu ngotorin jalan kan? Nggak perlu blokade jalan kan? Memangnya pengguna jalan hanya mereka? Dengan mereka berlaku seperti itu justru saya makin nggak simpati. Yang tadinya merasa dibela malah jadi malu. Malu dong, tayangan demonstrasi ricuh itu udah sampai Eropa! Teman saya yang studi di sana nonton, malu dong dilihat warga dunia yang lain.
Karena sudah dari saya kecil saya selalu melihat demonstrasi macam begini, akhirnya saya juga tidak bisa mengatakan kalau mereka ada di pihak yang benar. Baik pemerintah maupun mereka dua-duanya salah. Dan karena tidak ada yang benar saya pilih diam, saya pilih apatis, nggak dukung dua-duanya. Lagipula saya sudah terlanjur pesimis dengan apa yang ada di negara saya. Senior yang saya ceritakan tadi bilang harusnya saya nggak pesimis. Tapi gimana caranya coba? Kalau pemerintah yang sekarang turun, siapa yang siap mengganti? Partai oposisinya saja semalam sudah walk out semua, menyerah di tengah jalan. Saya yakin semua orang yang duduk di pemerintahan itu sama aja. Sama-sama udah pegang duit banyak, sama-sama jadi lapar dan haus kekuasaan. Ya tentu saja tidak semua demikian, ada juga yang baik. Tapi yang baik ini diam aja, sebenarnya bukan salah mereka diam, tapi karena kalau mereka berulah pasti digencet, ditekan sama yang salah. Karakter ini udah ada sejak mereka muda. Kelihatan kok dari lingkungan saya sekarang di masa kuliah ini. Yang nggak mau ngasih contekan dibilang pelit, yang nggak mau diajak bolos dibilang sok rajin, yang bersikap baik dan sopan sama dosen dibilang ngejilat. Lama-lama orang baik pilih diam aja. Generasi muda yang nantinya akan menggantikan mereka yang sekarang memerintah itu aja udah rusak kaya gini. Nggak cuma itu, kalau lihat ricuhnya sidang semalam itu jujur aja nggak jauh beda sama rapat-rapat di kampus. Walaupun cenderung lebih sopan, rapat di kampus itu juga sama, janji jam berapa mulai jam berapa, ujung-ujungnya semua mau ngomong gak ada yang mau dengar.
Menurut saya, generasi berikutnya yang naik jadi pemerintah negara ini bakalan sama aja. Kita sudah jadi korban dari generasi terdahulu yang membiarkan negara ini terlalu dieksploitasi bangsa asing, terlalu disusupi bangsa asing (dan ingat, bangsanya nggak cuma AS dan kawan-kawan baratnya, tapi juga negara-negara Asia Timur dan Timur Tengah!). Ya kita ini korbannya, sudah terlanjur kecemplung di kolam kapitalisme dan globalisasi jadi susah keluar. Satu-satunya jalan menurut saya, peradaban di Indonesia yang sekarang ini harus hancur dulu. Hancur total entah karena apa. Dan orang-orang yang selamat akan membangun kembali Indonesia yang baru, yang beda, kalau perlu bikin ideologi baru yang lebih sesuai dan bentuk pemerintahan yang baru supaya sesuai. Kalau memang yang lama dirasa sudah nggak cocok, nggak masalah kok diubah. Manusia aja bisa ganti identitas, bangsa juga boleh dong kalau arahnya positif :)
24.2.12
Budaya Kita, Budaya Maksa?
Ini sama sekali bukan esai antropologi. Ini sebenarnya hanya unek-unek gue beberapa hari ini. Langsung saja ya...
Gue biasanya bukan jadi orang pengamat yang suka mengamati sesuatu hal sampai detail, apalagi terus dipikirin dan direnungkan. Tapi kali ini gue baru "ngeh" bahwa ada banyak kejadian di sekitar gue yang membuat gue menulis post ini. Budaya kita, budaya maksa? Maksudnya? Sederhana saja, orang Indonesia itu kalau gue lihat hobinya maksain apapun. Sampai-sampai gue mikir keadaan memaksakan apapun ini sudah sangat membudaya dan bisa ditemui di mana saja!
Sebut saja kejadian yang paling sering gue lihat (dan kalian yang suka naik kendaraan umum juga). Kalau kita naik kendaraan umum, nyaris apapun itu, kereta, angkot, bus, transjakarta, dll. terutama yang bukan untuk perjalanan jauh pasti penuh banget. Penuhnya sampai nggak wajar (coba aja kalo naik kereta arah Jakarta pada pagi hari dan Bogor pada malam hari). Mengapa demikian? Karena sopir/masinis sudah tau penumpang penuh dan desak-desakan sampai pintu nggak bisa ditutup lagi, masih aja dimasukin penumpang baru. Penumpangnya juga nggak tau diri, udah tau di dalam penuh masih aja maksa naik. Duh -___-a
Alasannya memang masuk akal sih, sopir ngejar setoran dan penumpang mau cepat-cepat sampai tujuan.
Kejadian kedua misalnya di jalan raya. Waktu itu gue lagi naik motor di daerah Pasar Minggu dan macet karena lampu merah. Lampu merah! bukan macet total karena kecelakaan! Apa yang terjadi? Banyak banget motor yang nyelonong maksa lewat trotoar, padahal itu daerah pasar. Plis deh, trotoar itu kan buat pejalan kaki, masa nunggu lampu merah sedikit aja nggak mau. Padahal kalau di jalan sabar dikit gue yakin macetnya nggak akan parah. Lebih parahnya lagi, polisi yang harusnya bantu mengatur jalan malah ikut-ikutan. Waktu itu gue lagi di lampu merah Kalibata-Duren Tiga yang lamanya nggak manusiawi itu. Gara-gara harus nunggu seratus sekian detik sampai lampu hijau jalanan di situ jadi macet panjang. Eh tiba-tiba di samping gue ada polisi gendut naik motor jalan di trotoar di depan Taman Makam Pahlawan. Gilak!
Terus ada lagi kejadian di gereja. Kemarin gue misa Rabu Abu di gereja, kebetulan ambil jam yang paling malam (19.30). Gue udah duduk sama nyokap sebelahan dan bangku gereja itu kan di bagian tempat duduknya ada semacam kotak-kotak pembatas yang menunjukkan satu kotak itu ya buat satu orang. Tiba-tiba ada segeng ibu-ibu masuk dan bermaksud duduk di sebelah gue. Mereka berempat sementara di situ cuma ada space untuk tiga orang. Eh.. yang satu maksa loh, padahal di bangku-bangku bagian depan masih ada banyak tempat kosong (yang kalau mau ditempati ya gak bisa berempat sekaligus berderet tapi satu-satu diseling orang lain). Ini ibu maksa banget sampai gue yang udah duluan di situ duduk setengah pantat. Akhirnya gue ngomong ke nyokap untuk minta duduk pisah gue di bangku depan. Sepertinya si ibu itu dengar, langsung deh dia bisik-bisik ke temen-temennya trus pindah duduk di depan. ckckckck...
Memang sih hal-hal tersebut hanya kejadian sehari-hari di kota-kota besar. Gue gak tau apakah kejadian juga di tempat lain. Tapi budaya maksa ini sepertinya memang ada. Bahkan sistem di pemerintahan kita aja maksa. Mau menerapkan demokrasi tapi negara belum sejahtera dan masih miskin ckckck.. mana bisa berhasil. Syarat utama demokrasi kan kesejahteraan rakyat dulu.
Tapi kalau dilihat-lihat lagi permasalahan utama dari budaya maksa yang gue cerita tadi sepertinya ada di kependudukan deh. Orang Indonesia kesejahteraan dan pendapatannya masih rendah tapi pada maksa bikin anak banyak dan gede-gedean keluarga. Duh.. terang aja ya kendaraan umum penuh -___-a Belum lagi Jakarta yang udah penuh ini masih ditambah banyak orang berurbanisasi.. makin penuuuhhhh... Lebih parah lagi, satu orang beli kendaraan satu. Nggak ngerti lagi deh... x.x
Gue selalu mengidam-idamkan negara sepi kayak di Skandinavia atau negara tertib tidak maksa seperti Jerman.... Lebih sehat, lebih nyaman, lebih aman, dan lebih teratur juga. Kapan ya Indonesia (atau setidaknya Jakarta dulu deh) berubah kayak gitu...
Gue biasanya bukan jadi orang pengamat yang suka mengamati sesuatu hal sampai detail, apalagi terus dipikirin dan direnungkan. Tapi kali ini gue baru "ngeh" bahwa ada banyak kejadian di sekitar gue yang membuat gue menulis post ini. Budaya kita, budaya maksa? Maksudnya? Sederhana saja, orang Indonesia itu kalau gue lihat hobinya maksain apapun. Sampai-sampai gue mikir keadaan memaksakan apapun ini sudah sangat membudaya dan bisa ditemui di mana saja!
Sebut saja kejadian yang paling sering gue lihat (dan kalian yang suka naik kendaraan umum juga). Kalau kita naik kendaraan umum, nyaris apapun itu, kereta, angkot, bus, transjakarta, dll. terutama yang bukan untuk perjalanan jauh pasti penuh banget. Penuhnya sampai nggak wajar (coba aja kalo naik kereta arah Jakarta pada pagi hari dan Bogor pada malam hari). Mengapa demikian? Karena sopir/masinis sudah tau penumpang penuh dan desak-desakan sampai pintu nggak bisa ditutup lagi, masih aja dimasukin penumpang baru. Penumpangnya juga nggak tau diri, udah tau di dalam penuh masih aja maksa naik. Duh -___-a
Alasannya memang masuk akal sih, sopir ngejar setoran dan penumpang mau cepat-cepat sampai tujuan.
Kejadian kedua misalnya di jalan raya. Waktu itu gue lagi naik motor di daerah Pasar Minggu dan macet karena lampu merah. Lampu merah! bukan macet total karena kecelakaan! Apa yang terjadi? Banyak banget motor yang nyelonong maksa lewat trotoar, padahal itu daerah pasar. Plis deh, trotoar itu kan buat pejalan kaki, masa nunggu lampu merah sedikit aja nggak mau. Padahal kalau di jalan sabar dikit gue yakin macetnya nggak akan parah. Lebih parahnya lagi, polisi yang harusnya bantu mengatur jalan malah ikut-ikutan. Waktu itu gue lagi di lampu merah Kalibata-Duren Tiga yang lamanya nggak manusiawi itu. Gara-gara harus nunggu seratus sekian detik sampai lampu hijau jalanan di situ jadi macet panjang. Eh tiba-tiba di samping gue ada polisi gendut naik motor jalan di trotoar di depan Taman Makam Pahlawan. Gilak!
Terus ada lagi kejadian di gereja. Kemarin gue misa Rabu Abu di gereja, kebetulan ambil jam yang paling malam (19.30). Gue udah duduk sama nyokap sebelahan dan bangku gereja itu kan di bagian tempat duduknya ada semacam kotak-kotak pembatas yang menunjukkan satu kotak itu ya buat satu orang. Tiba-tiba ada segeng ibu-ibu masuk dan bermaksud duduk di sebelah gue. Mereka berempat sementara di situ cuma ada space untuk tiga orang. Eh.. yang satu maksa loh, padahal di bangku-bangku bagian depan masih ada banyak tempat kosong (yang kalau mau ditempati ya gak bisa berempat sekaligus berderet tapi satu-satu diseling orang lain). Ini ibu maksa banget sampai gue yang udah duluan di situ duduk setengah pantat. Akhirnya gue ngomong ke nyokap untuk minta duduk pisah gue di bangku depan. Sepertinya si ibu itu dengar, langsung deh dia bisik-bisik ke temen-temennya trus pindah duduk di depan. ckckckck...
Memang sih hal-hal tersebut hanya kejadian sehari-hari di kota-kota besar. Gue gak tau apakah kejadian juga di tempat lain. Tapi budaya maksa ini sepertinya memang ada. Bahkan sistem di pemerintahan kita aja maksa. Mau menerapkan demokrasi tapi negara belum sejahtera dan masih miskin ckckck.. mana bisa berhasil. Syarat utama demokrasi kan kesejahteraan rakyat dulu.
Tapi kalau dilihat-lihat lagi permasalahan utama dari budaya maksa yang gue cerita tadi sepertinya ada di kependudukan deh. Orang Indonesia kesejahteraan dan pendapatannya masih rendah tapi pada maksa bikin anak banyak dan gede-gedean keluarga. Duh.. terang aja ya kendaraan umum penuh -___-a Belum lagi Jakarta yang udah penuh ini masih ditambah banyak orang berurbanisasi.. makin penuuuhhhh... Lebih parah lagi, satu orang beli kendaraan satu. Nggak ngerti lagi deh... x.x
Gue selalu mengidam-idamkan negara sepi kayak di Skandinavia atau negara tertib tidak maksa seperti Jerman.... Lebih sehat, lebih nyaman, lebih aman, dan lebih teratur juga. Kapan ya Indonesia (atau setidaknya Jakarta dulu deh) berubah kayak gitu...
4.3.11
A man is like a dog while a woman a monkey.
Pernyataan ini dikemukakan oleh salah satu teman saya, Reyninta, di kampus ketika kemarin kita makan siang bersama di Sastra Cafe, FIB UI. Katanya sih itu dia dapat dari dosen Bahasa Inggrisnya yang kebetulan sering mengajak mahasiswanya mengobrol soal hidup kalau lagi nganggur di kelas. Ketika saya mendengarnya, saya tersadar juga bahwa ternyata pernyataan itu ada benarnya juga. Maka dari itu saya ingin share di sini.
A man is like a dog, pria itu seperti anjing.
Pernyataan ini adalah sebuah perumpamaan dari apa yang biasanya pria lakukan ketika berselingkuh dari pasangannya. Anjing sebagaimana kita tahu sangat menyukai tulang. Namun apabila kita memberinya tulang besar yang lezat di atas piring emas di suatu ruangan, dan ketika ia menikmatinya lalu kita buka sedikit pintu ruangan itu dan menaruh di depan pintunya sebuah tulang kecil yang baru dan segar, pastilah anjing itu langsung meninggalkan tulang yang tadi begitu dinikmatinya demi tulang kecil segar yang baru itu.
Hal ini seperti pria ketika berselingkuh dari pasangannya. Sekalipun ia sudah merasa nyaman dengan seorang wanita, jika ia melihat wanita lain yang dirasa lebih menarik dan ada sedikit saja kesempatan maka pada umumnya pria akan meninggalkan wanita itu demi yang baru.
A woman is like a monkey, wanita itu seperti monyet.
Nah, kalau wanita tipe selingkuhnya seperti monyet. Seperti kita tahu, monyet jika sedang bergelantungan di pohon dan akan berpindah tempat mencari yang lebih nyaman, maka ia akan menggunakan satu tangannya untuk maju dan membiarkan yang lain tetap menggantung pada tempat yang pertama tadi. Ketika ia merasa mantap dengan genggamannya yang baru, barulah ia melepas genggaman tangan satunya di tempat yang lama.
Ketika berselingkuh, wanita pun demikian. Jika ia sudah merasa tidak nyaman dengan pasangannya dan ingin berganti yang baru, ia akan berusaha menggapai pria yang baru tersebut tanpa melepas yang lama terlebih dahulu. Ketika ia sudah merasa mantap dengan yang baru, barulah ia melepas atau memutuskan yang lama.
Bagaimana menurut anda?
Langganan:
Postingan (Atom)