3.2.14

Nordlys ved Vinduet: Cahaya Utara di Jendela


Dengan langkah gontai dan penuh kekecewaan kudorong pintu kabin yang kau pinjam dari temanmu demi rencana kita. Menyaksikan cahaya utara. Aurora borealis. Nordlys, katamu, yang sepertinya tidak begitu menyukai impianku. Hari demi hari kusisihkan uang-uang kecilku demi membentuk gunungan logam dalam kaleng-kaleng bertuliskan sebuah kalimat motivasi - "aku ingin pergi ke Norwegia". Tetapi tampaknya semua akan menjadi percuma malam ini. Langit tak bersahabat, tertutup tirai awan tebal yang membuat sang cahaya ajaib tak muncul.
"Jangan sedih," katamu sambil menepuk bahuku dua kali. Sejak kuajarkan istilah "puk-puk" kamu pun jadi sering melakukannya di kala mencoba menghiburku. 
Aku menoleh padamu tanpa suara. Hanya tatapan kecewa yang kutunjukkan. Aku tahu, bukan salahmu sang cahaya tidak muncul. Hanya saja, aku begitu khawatir jikalau kesempatan ini jadi satu-satunya yang kumiliki karena begitu sulitnya melakukan perjalanan ini.
"Perjalananmu tidak akan sia-sia, kok. Aku yakin. Kau sudah melihat fyord-fyord itu, berlayar di atas kapal longship yang legendaris sambil menikmati mead langsung dari drinking horn. Bahkan kita sudah bertemu langsung dan mengusahakan banyak hal bersama-sama. Setidaknya lebih dari setengah daftarmu terlaksana, bukan?" kau ingatkan aku akan berbagai kesenangan yang sudah kita lakukan bersama selama seminggu ini. 
Kugelengkan kepala dengan pasrah dan kulempar diriku di atas sofa nyaman di depan perapian kecil.
"Sudahlah, percuma menghiburku. Itu tidak ada gunanya. Cahaya utara itu tujuan utamaku pergi ke sini. Dan di bawahnya aku menanti keajaiban," aku bersikeras.
"Entah keajaiban apa yang kau nanti, aku tidak mengerti. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, cahaya itu cuma keajaiban alam biasa. Biasan cahaya matahari dengan warna-warni yang lebih cantik di malam hari. Ia istimewa hanya karena kau belum pernah melihatnya. Bukan berarti dengan kau berdiri di bawah sana tiba-tiba akan ada hal yang terjadi seperti dalam dongeng, " kau berkata sambil tertawa. Seolah menertawaiku dan aku benci itu. Kupalingkan pandangan ke arah perapian dan segera meraup pemandangan hangat yang ada di sana.
"Secangkir coklat panas?" tanyamu.
"Terserah kau saja," jawabku dengan ketus tanpa menoleh sedikit pun.
"Baiklah, aku segera kembali," lalu langkahmu terdengar menjauh menuju dapur kecil di bagian belakang kabin.
Dari perapian hangat aku berpindah pada jendela kaca di sisi kananku yang tak bertirai. Kucoba memindahkan rasa hangat perapian di mataku pada tumpukan salju di luar. Menguapkan awan di langit dan membiarkan tirai warna-warni yang kunanti jatuh dari langit bagai air terjun yang menari di udara. Di manakah sang putri dari utara itu bersembunyi? Mengapa ia tak ingin menemuiku?
"Apa yang kau lihat?" tanyamu, memecah keheningan dengan tiba-tiba. Kau berikan secangkir coklat panas buatanmu ke dalam tanganku, yang langsung mencairkan rasa dingin dengan sempurna.
"Takk!" balasku, "dan tidak, aku tidak melihat apapun selain tumpukan salju di luar," jawabku sambil menyeruput rasa manis yang hangat dalam cangkir itu sedikit demi sedikit.
"Kau marah padaku?" tanyaku, yang justru membuatku semakin kesal.
"Perkataanmu yang tadi sedikit tidak enak didengar," kataku ketus.
Kau berjalan mendekat, mengambil duduk di sampingku di atas sofa nyaman itu. Aku menghindar, merapatkan tubuhku pada sisi kanan sofa yang berada dekat jendela. Kau di sisi satunya, memandangiku. Dan aku rasa itu mengganggu ketika aku sedang kesal seperti ini. Kunikmati coklat panas itu tanpa menoleh ke arahmu, justru membelakangimu dan menatap awan tebal yang menutup langit. Terus menatapnya sampai mataku terasa berat. Sesuatu membasahinya. Menyampaikan pesan akan kemungkinan perjalanan yang sia-sia. Seluruh tubuhku terasa berat, seolah mengingatkan akan panjangnya perjalananan di tengah udara dingin yang kulalui untuk tiba ke sini dan melihat kekosongan. Dan kini aku dapat merasakan rasa asin bercampur manis di bibirku. Kuletakkan cangkir coklatku di meja dan merebahkan kepalaku sambil terus menatap jendela, berharap air mata ini akan memanggil sang putri utara agar keluar dan menari untukku.

Sesuatu menyentuh rambutku dan memainkannya. Aku tahu itu kau, yang tanpa kusangka mengingat salah satu bagian pembicaraan kita pada bulan-bulan sebelumnya, bahwa aku senang jika seseorang memainkan rambutku.
"Dengar," akhirnya kau bicara, "maafkan aku untuk yang tadi. Aku tidak bermaksud membuatmu semakin kecewa atau terdengar menyepelekan mimpimu. Aku hanya tidak begitu suka dengan kekecewaanmu. Itu akan merusak malam ini. Kita sudah mengumpulkan uang demi perjalanan jauh ke utara dan menikmati malam ini. Jikalau impian itu tak datang, bukankah masih ada malam yang panjang yang bisa kita habiskan bersama?
Kupalingkan wajahku dari jendela. Perkataanmu tadi memang ada benarnya. Mungkin aku terlalu fokus pada impianku hingga lupa pada impian-impian kecil lainnya yang ingin kuwujudkan serta. Salah satunya, bertemu denganmu di dunia nyata.
"Tetapi apakah yang kau katakan tadi itu benar, bahwa cahaya utara hanyalah keajaiban  alam semata?" tanyaku.
 "Tidak. Tentu saja tidak. Ia lebih dari sekedar fenomena alam," katamu sembari duduk di atas lantai kayu beralaskan permadani kecil dari bulu-bulu. Aku beringsut mendekatimu, dengan tetap berada di atas sofa nyaman yang hangat. Aku tahu betul saat-saat kau akan mulai bercerita.
"Jadi apakah yang membuat cahaya utara adalah keajaiban sungguhan?" tanyaku tak sabar dalam nada yang lebih ceria. Berharap cerita kecilmu dapat sedikit menghiburku dari kegagalan mimpi ini, dan mengawali malam panjang kita bersama-sama.
"Legenda Norse kuno bilang bahwa cahaya utara diciptakan oleh kemilau pakaian yang dikenakan oleh para Valkyrie ketika turun menjemput para pahlawan yang gugur dalam perang. Para Valkyrie adalah wanita-wanita cantik serupa bidadari yang diutus oleh sang mahadewa Odin untuk memilih siapa saja para pejuang yang harus gugur di medan perang. Mereka akan dibawa menuju Valhalla, tempat mereka akan menghadiri jamuan makan dan pesta bersama para dewa, hingga nanti turun kembali mendampingi para dewa dalam Ragnarok, perang terakhir itu," kau bercerita dengan begitu bersemangat, seolah pernah kau saksikan sendiri segala hal yang kau ceritakan. Tetapi aku tahu alasan sesungguhnya, karena memang demikianlah yang kau percayai.
 Begitu nyata segala kata yang terucap olehmu ketika membentuk cerita singkat itu, hingga aku merasa dapat menyaksikan sendiri kemilau cahaya yang kau kisahkan tadi. Tirai cahaya dari pakaian para Valkyrie itu berkilau tujuh warna, tertiup angin utara dan berkibar di udara. Para Valkyrie menari, membiarkan pakaiannya jatuh mendekati padang salju di bawah. Aku tak mampu membayangkan perang, sebaliknya aku dapat melihat desa-desa kecil beratap aneka warna yang berkerumun di beberapa sudut padang salju, menyembul di balik bebukitan putih yang tampak dingin.
"Nordlys!" serumu tiba-tiba. "Se, nordlys vet vinduet!"
Dengan segera aku menoleh ke belakang, pada jendela kaca tak bertirai yang kupunggungi. Lapisan awan tebal telah menghilang tak berbekas, berganti dengan air terjun hijau kebiruan yang menari dengan latar belakang langit malam yang berbintang.
"Cahaya utara!" seruku lirih, lalu menutup mulut tak percaya, namun percuma karena senyumku mengembang tak mampu kutahan. 
"Ayo, kita keluar sekarang!" kau tarik tanganku hingga aku berhenti terpaku pada pemandangan di jendela dan segera keluar menjemput sang impian. 
Kulangkahkan kaki melalui pintu kabin kayu itu dan dengan segera tubuhku merinding. Bukan karena dingin, aku yakin. Melainkan kebahagiaan teramat sangat yang menyelimuti hati ini dan menghangatkannya. Mengikutimu aku berlari ke padang salju.
"Aku berhasil! Kita berhasil!!" sorakku bahagia, melompat dan menari dalam balutan pakaian musim dingin di bawah cahaya utara itu.
Kau berdiri tak jauh, melihat dan memandangku. Kutangkap raut wajah bahagia padamu, seolah turut merasa senang telah berhasil membantuku mencapai impian itu. Kau biarkan diriku melompat dan menari dalam kebahagiaan. Hingga akhirnya kau hampiri aku dan tarianku berhenti. Kau raih tanganku dan kau genggam keduanya.
"Terima kasih," kataku, nyaris tak dapat kubendung tangis bahagia yang hendak meleleh turun.
"Lepaskanlah rasa bahagia itu," katamu. "Jangan kau tahan."
Kubiarkan kehangatan mencairkan rasa beku yang menyelimuti kedua pipiku. Kau lepaskan genggaman tanganmu dan mulai menyeka air mataku dengan jemarimu yang berlapis bahan rajutan hangat.
"Menyaksikan cahaya utara, impianmu sudah terwujud," katamu sambil menatapku dengan senyuman turut bahagia.
"Terima kasih sudah membantuku mewujudkan sebagian impian terbesarku," kataku, kubalas senyum itu dengan milikku.
"Sebagian? Mengapa? Bukankah ini sudah semuanya?" kau tampak bingung.
"Ya, karena sebetulnya impian itu masih ada lanjutannya. Tapi tidak perlu, memang belum saatnya, " kataku sembari terkikik senang.
Kau tersenyum lagi tanpa melepas tatapanmu. Cahaya utara membuat wajahmu dan padang salju di sekeliling kita berwarna-warni begitu cantik. Aku merasa tengah berada di dalam mimpi yang tak pernah ingin kuakhiri. Terus menerus kupandangi keindahan cahaya utara itu.
"Maukah kau pejamkan matamu sebentar? Kau akan melihat cahaya itu lebih indah setelahnya," pintamu.
"Berapa lama harus kulakukan?" tanyaku, ragu akan kehilangan pemandangan langka itu.
"Sampai aku bilang boleh kau buka," jawabmu.
Kupejamkan kedua mataku. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tak ada suara darimu, sampai sesuatu yang hangat menyentuh bibir mungilku. Rasanya begitu hangat, sampai melelehkan setiap lapisan dingin yang menyelimuti seluruh tubuhku. Aku tak dapat berkata-kata, bahkan membuka mata pun aku tak sanggup lagi. Terlampau bahagia hati ini, seolah ingin terus menari di bawah cahaya penuh keajaiban yang begitu cantik.
"Bukalah matamu," kembali kau genggam tanganku. "Menyaksikan, menari dan memperoleh ciuman pertama di bawah cahaya utara. Impianmu telah terwujud."
Aku begitu tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Nyaris tak dapat kutemukan kata-kata untuk membalas ucapanmu.
"Glad i deg, vennen min," kataku, sembari menatapmu dengan penuh kebahagiaan.
Kau tarik aku dalam dekapanmu dan kau bisikkan sesuatu, "jeg elsker deg, min kjære."


030214
by LV~Eisblume

note about language translation:

se, nordlys vet vinduet!: lihatlah, cahaya utara di jendela!
glad i deg, vennen min: aku sayang kamu, teman.
jeg elsker deg, min kjære: aku cinta kamu, sayang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar