13.3.14

Jembatan Pelangi dan Sebuah Janji


Suara butiran hujan yang menabrak jendela kaca di depanku terdengar begitu nyaring kali ini. Beberapa kali kuhentikan kegiatan mengepak pakaianku dan melongok keluar. Hari menjelang sore dalam musim panas paling kelabu yang pernah kualami. Awan hitam masih menggantung di langit, tanpa menyisakan secercah harapan akan kehadiran pelangi sebelum hari ini berakhir. Aku mendesah sedih, lalu meninggalkan jendela dan kembali pada setumpuk pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Tidak kusangka liburanku akan berakhir seperti ini. Seolah tanpa harapan, datang kemari hanya untuk kehilangan impian lagi. 

Dua minggu lalu ia masih tersenyum malu di balik awan kelabu tipis yang menjelang cerah. Lengkung tujuh warna mengiringi langkah kakiku yang begitu ringan dari sebuah burung besi yang baru tiba di negerimu.
"Lysa!" kudengar suaramu di balik kerumunan orang-orang yang datang menjemput. "Lysa! Aku di sini!"
Tubuhmu tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang sebangsamu. Kau coba lambaikan tanganmu hingga aku dapat melihatnya dari kejauhan.
"Bjørn! Bjørn! Akhirnya kita bertemu lagi!!" 
Aku menyeruak menerobos kerumunan orang itu. Kau raih tanganku dan kulepaskan sesaat koper beroda yang kubawa. Untuk kedua kalinya kita berpelukan di alam nyata.

Kurogoh saku jaketku. Kali ini aku tak akan lupa melakukan hal ini seperti pada pertemuan pertama di musim panas lima tahun lalu.
"Senyum, Bjørn!" kataku, lalu menekan tombol dan membuat kenangan dalam kamera kecilku.
"Pasti aku tampak bodoh. Aku tak bisa senyum, hahaha...," tawamu.
Aku memandangi foto itu. Ia menghias layar ponselku. Beberapa hari lalu kau mencetaknya dan menempatkannya dalam pigura kecil yang kau letakkan di atas meja. Satu-satunya pigura dan satu-satunya foto yang kau punya di atas sana. Satu-satunya foto di dunia yang begitu berkesan bagi seseorang di luar keluargaku namun ada aku di dalamnya. Dan kau tidak tampak bodoh di sana, Bjørn. Bahkan kau tersenyum dengan baik, begitu bahagia, seperti yang selalu tampak ketika kita sedang bersama.

Kuletakkan ponsel itu dan kembali mendekati jendela. Kegelapan masih merajai langit. Semakin gelap, karena hari semakin sore. Seolah mengingatkanku untuk bergegas mengisi koperku kembali sebelum hari kepulanganku besok. Kukatakan pada langit, jika aku enggan pulang. Aku masih ingin di sini. Menemanimu di rumah berlantai dua yang tampak terlalu besar jika kau huni seorang diri. Bukankah kau yang menginginkan kedatanganku, menjadi tetanggamu dan berbagi rumah denganmu suatu saat nanti? Kau tidak akan pergi sekarang dan melepaskan impian ini begitu saja 'kan? Ini baru hari kedua, seharusnya kau masih punya tiga puluh delapan hari lagi untuk tinggal di sini. Atau mungkin tidak, karena empat puluh hari adalah perhitunganku, sedang bagimu tak ada sedetik pun kesempatan untuk menemaniku lagi di dunia ini. Mereka membawamu langsung pada hari kau harus pergi. Itulah mengapa sang pelangi tampak pada hari itu, meskipun hujan selebat sore ini turun.
"Jangan sedih, Lysa. Hujan ini tak akan menghentikan jalan-jalan kita," kau mencoba menghiburku saat itu terjadi.
"Aku hanya tidak menyangka, musim panas akan berjalan seperti ini di sini. Kupikir aku akan melihat musim panas seperti lima tahun lalu," jawabku, mencoba mengingat pertemuan singkat kita yang kupaksakan di tengah rangkaian kegiatanku yang padat lima tahun lalu. 
"Ah, kau seperti tidak tahu saja, Lysa. Kota ini terkenal dengan sebutan kota hujan. Bahkan warganya akan kecewa jika gagal memecahkan rekor tahun sebelumnya," jelasmu mencoba menghiburku dengan fakta unik tentang tempat tinggalmu.
"Ada rekornya?" aku tampak heran.
"Tentu saja. Hal terburuk yang dapat terjadi adalah ketika satu hari menjelang pemecahan rekor tiba-tiba hari cerah, lalu disusul hari hujan berturut-turut. Rusaklah penantian warga kota ini selama setahun lamanya hingga musim panas datang kembali."
Aku tak dapat menahan tawa mendengar ceritamu. Begitu menghibur hingga hujan tak lagi menghalangiku untuk membujukmu agar kita kembali berjalan. Jaket bertudung kita kenakan dan kau membuka payung, agar kita dapat tetap melangkah di tengah hujan.
"Hujannya betul-betul deras. Sepertinya kita tidak akan melihat pelangi hari ini," ujarku tiba-tiba. Entah bagaimana ingatan akan langit yang mewarnai hari ketibaanku muncul lagi.
Kau menepuk bahuku dengan tanganmu yang basah oleh hujan.
"Yah, mau bagaimana lagi. Sepertinya hari ini memang tidak akan ada yang datang," katamu.
"Aku tidak mengerti," ujarku.
"Bangsa Norse kuno percaya bahwa pelangi adalah jembatan penghubung antardunia. Bifrost namanya. Konon, jika pelangi muncul, berarti ada penghuni Asgard yang turun ke bumi. Atau sebaliknya, ada manusia yang pergi ke sana," ceritamu sambil menggamit tanganku dan bersiap menyeberang jalan.
Sungguh aku tertarik pada cerita itu, namun kutahan komentarku, karena aku sibuk menyeka air hujan yang tetap saja menerpa wajahku meski sudah dinaungi payung. Sepertinya aku mendengar teriakanmu, sayup-sayup di balik suara derasnya air yang ditumpahkan dari langit. Entah apa yang kau teriakkan, tetapi sedetik kemudian tubuhku seperti dihantam sesuatu dengan keras. Aku terhempas ke atas aspal yang basah lalu berguling beberapa kali. Untuk beberapa detik sekelilingku menjadi gelap. Namun rintik-rintik air tiada henti menjatuhi kepalaku yang terasa sakit dan membuatku bangun tak berapa lama kemudian.

Saat itu hanya namamu yang kuingat. Kuteriakkan ia berulang kali, namun kau diam membisu, seolah tak berada di sana bersamaku. Suaraku parau, dan air hujan berlomba-lomba mengaliri kerongkonganku. Kuraba aspal yang basah dan mencoba berdiri. Gagal. Ada sesuatu yang membuat kakiku terasa sakit. Rasa itu memaksaku tersadar akan keadaan sekitar. Mataku mengenali bayangan orang-orang. Mereka berkerumun di sebuah sudut, dekat dengan dua cahaya kuning terang yang menyerupai mata raksasa. Cahaya itu tidak bergerak, terus menyala. Dan bayangan-bayangan itu berbicara. Cukup gaduh di tengah suara hujan, namun tak dapat kumengerti bahasanya.

Aku merangkak mendekat. Tubuhku yang kecil mencoba menerobos kerumunan yang entah mengapa sepertinya tidak terlalu menyadari keberadaanku. Lalu aku melihatmu di sana, di tengah kerumunan. Diam tak bergerak, terbujur kaku seperti dalam tidur tanpa akhir. Orang-orang tampak panik dan berusaha membangunkanmu. Beberapa di antara mereka sibuk menghubungi polisi dan ambulance. Pikiranku nyaris kosong, gagal menyatukan potongan-potongan gambar kejadian yang baru saja berlalu.
"Seseorang beri tahu aku apa yang terjadi! Seseorang, tolonglah!" pintaku lirih.
"Apa dia temanmu?" seorang ibu berwajah sangat cemas bertanya padaku.
Aku mengangguk sekuat tenaga.
"Dia tertabrak bus itu ketika mencoba menolongmu. Kami mencoba mencari bantuan. Semoga ia masih tertolong."
Tak kupedulikan lagi kata-kata wanita itu. Aku langsung menghampirimu. Kuusap wajahmu yang basah oleh air hujan. Rintiknya sedikit mereda saat itu, berbanding terbalik dengan yang mengaliri kedua pipiku.
"Lysa," kau buka matamu dan berbisik lemah.
"Bjørn! Bjørn! Lihat aku! Janganlah kau pergi, sebentar lagi bantuan akan datang untukmu," aku menjerit lirih. 
"Tidak, Lysa. Aku sudah senang melihat kau selamat. Terima kasih sudah memberiku kesempatan membantu mewujudkan impianmu."
"Bjørn, jangan pergi! Bjørn!" tangisku. "Aku datang kemari untuk mewujudkan mimpi bersamamu. Kau tidak bisa pergi begitu saja."
Kau usap kepalaku yang basah kuyup, seolah berusaha menenangkanku.
"Lysa, aku ingin kau melihat ke arah sana."
Kau angkat tanganmu dengan susah payah. Jarimu menunjuk ke langit utara. Aku melihatnya. Ada pelangi di sana. Lengkung tujuh warna tersenyum di balik awan kelabu yang mulai berhenti menangis. Entah bagaimana hal yang tak kusangka akan muncul tampak di sana. Hujan mereda, meski langit belum penuh terangnya. Aku berpaling kembali padamu, ketika kusadari tanganmu berhenti membelai rambutku. Kulihat matamu terpejam. Tiada jawaban saat kau kupanggil. Tak dapat kutahan kembali air mata yang ingin meleleh turun, ketika kulihat beberapa petugas rumah sakit mengangkatmu ke atas tandu dan menutup seluruh dirimu dengan kain. Aku enggan melihatnya terlalu lama. Kupalingkan wajahku kembali pada sang pelangi. Itukah artinya mengapa kau muncul hari ini, wahai pelangi? Apakah seseorang dari Asgard baru saja turun menjemput temanku? Ataukah kau datang agar Bjørn bisa menyeberang ke sana?

Kesunyian mengelilingiku begitu lama. Ketika tersadar dari lamunan tampak setumpuk pakaianku masih berantakan di atas tempat tidur, sama menolaknya untuk pulang seperti diriku. Entah untuk yang keberapa kali kutarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri dan mendorongnya untuk segera menyelesaikan tugas yang tersisa. Pelan-pelan kumasukkan pakaian yang sudah terlipat satu demi satu ke dalam koper sembari terus mencari serpihan memori yang mungkin dapat memberiku jawaban, mengapa liburanku harus berakhir sepilu ini. Jawaban itu tak juga kutemukan, hingga aku selesai mengepak koperku dan bersiap meninggalkan kamar itu. Pesawatku akan terbang mengantarku pulang tengah malam ini dan keluargamu akan mengantarku ke bandara.

Mereka tiba beberapa menit setelah aku selesai mengunci kamarmu dan berusaha menuruni tangga dengan dibebani koper berodaku yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Sudah siap, Lysa?" ibumu bertanya di depan pintu.
Aku memandang sekeliling. Apartemenmu terasa besar dan kosong, sunyi dan sepi, meski masih bisa kudengar gema tawa kita di beberapa sudut dindingnya. Kutarik nafas panjang berusaha meyakinkan diri.
"Ia sudah tenang di sana, Lysa. Kami akan jaga tempat ini baik-baik," ujar ibumu sembari memberi tepukan lembut di bahuku.
"Terima kasih," balasku, lalu berbalik membelakangi rumah itu, mengunci pintunya dan memberikan kunci itu pada ibumu.
Ia berterima kasih sembari mengantarku ke mobil. Sudah ada ayahmu dan adik perempuanmu di sana. Perjalanan ke bandara berlangsung dengan sunyi. Kami semua diam, seolah memikirkan kenangan kami masing-masing dengan dirimu. Aku menatap ke luar jendela. Hujan reda pada detik-detik terakhir menjelang terbenamnya matahari. Di balik awan kembali muncul pelangi yang datang memberi jawaban kepadaku. Pelangi yang dalam keyakinanku adalah simbol janji Tuhan. Pelangi yang sama seperti pelangi tujuh tahun lalu, yang muncul ketika aku menangis dalam doa seorang diri di kamarku.
"Tuhan, jika engkau berkenan, berikanlah aku seorang sahabat sejati, yang menyayangiku apa adanya."

by LV~Eisblume
140314
for our everlasting friendship
inspired by our friendship, our night talks about the rainbow, and Gnom's song lyric titled "Bestevenn"
 
 


 

 
 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar