Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

25.4.14

Dongeng Peri Clairessa (3 - end)

Dalam lentera yang dibawa sang rambut emas, Clairessa duduk dengan tenang. Pakaiannya berkilau-kilau indah begitu terang, seolah sinar mentari yang diserap pada tempo hari tak pernah habis untuk selamanya. Bersama sang rambut emas, ia mengarungi lautan menuju sebuah negeri di utara yang diketahuinya bernama Frozenland. Sang rambut emas tampak bosan dalam perjalanan panjang itu, sehingga dikeluarkannya Clairessa dari kotak lentera dan mulai mengajaknya berbicara, seolah-olah mereka dapat mendengar satu sama lain.
"Kuharap kau tidak keberatan kubawa pulang, peri cahaya," katanya. "Sejak aku melihatmu dalam gelap malam itu, kupikir kau akan cocok untuk membantu negeriku."
Clairessa tersenyum lebar dan bahagia. Ia berputar-putar menari di depan wajah sang rambut emas.
"Aku tak tahu apa kau mengerti yang kukatakan, peri. Tapi aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Eirik, hanya seorang petualang dari Frozenland yang penasaran dengan negeri tropis. Tak kusangka aku menemukan peri sepertimu. Kuharap aku tahu namamu," kata sang rambut emas.
"Clairessa!" seru sang peri, yang tentu saja tak akan terdengar. Namun Clairessa tidak peduli. Baginya, pergi dari Tropicalea sudah menjadi kebahagiaan.
"Kau tahu? Kau mengingatkanku pada periku yang dulu pernah kumiliki juga. Namanya Lysette. Mungkin ia peri cahaya tercantik di seluruh Frozenland. Tetapi tentu ia tidak akan bertahan selamanya. Mentari yang jarang datang telah mematikan cahayanya," ujar Eirik.
Clairessa mendengar kisah itu dengan prihatin. Frozenland tampaknya suatu kerajaan yang sangat malang. Ia teringat pada mentari yang membuat cahayanya berlimpah seperti sekarang. Dalam satu hari itu, nyaris tak ada sedikit pun waktu yang digunakan mentari untuk pergi menghilang, kecuali ketika ia berganti tempat dengan bulan. 
"Izinkan aku mengirimkan seberkas cahaya mentari negeri tropis ke Frozenland," Clairessa menjawab, meski ia tahu Eirik tak akan mendengar dirinya.
 Akan tetapi, pria berambut emas itu tampaknya mengerti. Karena kemudian ia tersenyum. Dimasukkannya kembali Clairessa ke dalam kotak lentera yang dibawanya.

Kapal merapat di pelabuhan Frozenland. Untuk pertama kalinya Clairessa menyaksikan sendiri negeri yang malang itu. Langit tertutup awan mendung, tak menyisakan celah bagi mentari untuk muncul. Salju turun perlahan, namun terasa lebih lebat ketika ditiup angin laut. Bongkahan-bongkahan es yang pecah mengambang di beberapa bagian laut. 

Eirik turun dari kapal. Clairessa ada di dalam lentera yang tergantung di jemarinya. Peri cahaya itu dapat melihat peri-peri lain yang berdiam sunyi dalam lampu-lampu penerang jalan di dermaga. Cahayanya biru, membeku seperti tak pernah mendapat asupan lagi. Semua peri itu menunduk. Namun ketika Clairessa lewat, kemilau tubuh dan pakaiannya yang gemilang memaksa para peri itu untuk memandang lebih dekat. Clairessa dapat melihat, peri-peri yang putih seperti pualam dengan rambut panjang yang diikat dengan cara berbeda dengan rambutnya mulai bersandar pada dinding lampu yang menatap jalanan pelabuhan. Ia ingin memberi salam pada mereka, namun ia tak mengerti bahasa peri Frozenland. Beruntunglah Clairessa, tampaknya para peri cahaya menerima dirinya. Mereka tersenyum memandangnya.

Eirik membawa Clairessa ke sebuah bangunan yang memiliki menara jam yang menjulang. Clairessa begitu terpesona memandang bangunan itu. Tidak pernah sekalipun ia melihat bangunan seperti itu di hutan. Mungkin bangunan semacam itu ada pula di negerinya, hanya saja ia belum sempat melihat karena ia tak pernah sungguh-sungguh mencapai dunia manusia di sana. Di dalam bangunan itu tampak suram. Clairessa melihat para peri cahaya lain yang menari begitu cepat di dalam perapian. Dengan kecepatan seperti itu tampaknya mereka tak akan mampu bertahan lama. Tetapi dalam dingin seperti ini pastilah mereka harus melakukannya. 

Seorang wanita, umurnya tampak belum terlalu tua, turun dari tangga dan menemui Eirik. Dari pakaiannya, Clairessa menebak bahwa ia memegang peranan penting. 
"Selamat pagi, Ibu Walikota," sapa Eirik. "Saya membawa sesuatu untuk Anda dan seluruh penduduk negeri ini."
"Katakan padaku, Eirik. Apa yang kau temukan dari petualanganmu?" tanya wanita itu.
"Seorang peri cahaya. Dalam lentera ini. Ia begitu terang namun hangatnya cocok untuk negeri kita. Mungkin ia bisa menggantikan para peri yang ada pada lampu plasa kota ini," jelas Eirik sembari menunjukkan lentera dengan Clairessa di dalamnya.
"Oh?!" sang wanita tampak begitu terkejut menyaksikan cahaya Clairessa. "Peri cahaya apa ini? Mengapa begitu cantik?"
"Aku mendapatkannya dari Tropicalea," jawab Eirik. "Dan tampaknya ia tidak keberatan jika kubawa ke sini, karena di sana ia kurang panas."
Ibu Walikota tampak bahagia. Seolah-olah ia sudah menemukan solusi bagi bencana musim dingin di negerinya, setidaknya untuk sementara. Ia mengajak Eirik untuk keluar dari bangunan itu dan berjalan menuju sebuah air mancur di tengah plasa yang terletak di depan balai kota. Air mancur itu membeku karena udara yang sangat dingin. Di puncaknya terdapat sebuah lampu yang sudah mati.
"Bisakah kau tolong aku memindahkan perimu ke dalam lampu itu?" pinta Ibu Walikota.
Eirik mengangguk menyanggupi. Dikeluarkannya Clairessa yang terbang dengan tenang mengikuti telapak tangannya menuju lampu di atas air mancur itu. Dan segeralah sumber cahaya baru memancar dari tengah plasa kota. Cahaya Clairessa yang begitu terang menerangi bagian utama kota itu, memaksa orang-orang untuk keluar, menyaksikan sendiri keajaiban dari negeri tropis yang baru tiba di Frozenland. Beberapa dari mereka mendekat untuk menghangatkan diri. Kehangatan Clairessa rupanya cukup untuk melelehkan sedikit demi sedikit air mancur yang membeku. Tak percaya akan keajaiban itu, Clairessa pun menangis bahagia.

* * *
Waktu berlalu. Bencana musim dingin di Frozenland telah berakhir, meski udaranya masih jauh lebih dingin dibandingkan Tropicalea. Clairessa masih bahagia membantu masyarakat di sana. Terlebih lagi karena dari tempatnya berdiri, di tiang lampu di atas air mancur balai kota, ia dapat menyaksikan laut yang dipenuhi kapal-kapal berlayar, berikut pegunungan yang menjulang di bagian timur kota itu. Mentari mulai muncuk kembali, sehingga Clairessa dapat menyerap cahayanya dan membuat dirinya terus menjadi terang, meski ketika musim dingin datang melanda. 

Suatu malam musim dingin, Clairessa tengah memperhatikan kota yang sudah sunyi dari orang-orang yang berlalu lalang ketika tiba-tiba disaksikannya suatu keanehan tampak di langit. Clairessa melihat cahaya, warnanya hijau kebiruan, seperti jatuh dari angkasa, namun tiada bintang yang menjadi sumbernya di sana. Ia menduga bahwa itu sepasukan peri cahaya Frozenland yang belum terlalu dikenalnya. Dugaan itu lenyap ketika Clairessa menyadari sesuatu. Cahaya hijau itu mampu diserap oleh tubuhnya! Ia memperhatikan sekitarnya. Tak ada peri lain yang melakukannya, entah mengapa. Clairessa tak peduli. Ia membiarkan cahaya itu jatuh dan menari, di atas langit yang menaungi plasa kota. Ia begitu bahagia merasakan pengalaman itu. Cahaya hijau itu, tidak sama dengan mentari, karena ia tidak hangat, namun tampak indah seperti warna zamrud.

"Peri cahaya?! Apa yang kau lakukan?!" terdengar suara familiar di telinganya. 
Clairessa menjauhi cahaya itu dan melihat ke arah sumber suara. Eirik berdiri di sana, dekat dengan air mancur dan sedang memperhatikan dirinya dengan wajah heran. 

"Lihatlah aku!" ujar Clairessa, lalu ia menari dan berputar, membiaskan cahaya hijau kebiruan yang baru saja diserapnya dari langit.
Eirik terpana melihat cahaya itu. Ia terkesima cukup lama, sampai kemudian berseru dengan senang.
"Penduduk Frozenland!! Kalian tak akan percaya apa yang akan kalian lihat! Sekarang kita punya lampu yang bercahaya seperti aurora!"
Beberapa orang mulai membuka jendelanya dan langsung terpana seperti Eirik. Anak-anak berlarian keluar dari rumah dan mendekati air mancur tempat lampu aurora itu berada. Clairessa terus menari, membiaskan cahaya itu hingga ke lekuk-lekuk arsitektur balai kota. Ia begitu bahagia melihat dirinya sekarang. Apa yang telah menjadi kelemahannya di negerinya, kini menjadi kekuatannya di negeri orang. Ia tak percaya akan apa yang telah terjadi padanya. Dan ia tentu lebih bahagia lagi, jika mengetahui bahwa ialah satu-satunya peri cahaya yang mampu membiaskan warna aurora borealis. Tidak hanya di Frozenland, tetapi juga di seluruh dunia. 

(Tamat)

Dongeng Peri Clairessa (2)

Setelah perjalanan panjang yang menegangkan, Clairessa tiba di tepi hutan. Meski cahaya tubuhnya begitu terang, ia berhasil mengelabui para penjaga Tropicalea dengan bersembunyi di balik dedaunan. Ia mencari-cari Lichta dan peri-peri lain. Namun bukan Lichta yang ia temukan, melainkan beberapa manusia yang datang memasuki hutan. Clairessa terpaku memandang mereka. Begitu besar dan gagah. Mereka mengenakan pakaian berlapis-lapis dan menggendong tas yang besar di punggung. Clairessa tahu semua benda-benda itu, karena meski dunianya berbeda dengan para manusia, ia telah mempelajari tentang mereka dalam buku-bukunya.

Sambil bersembunyi di balik dedaunan, Clairessa memperhatikan para manusia itu. Ketiganya pria, namun mereka tampak berbeda. Salah satunya berkulit sangat terang, putih seperti nyala tubuhnya. Rambutnya keemasan seperti warna pakaiannya, yang menyimpan cahaya mentari terlampau banyak. Ketiga manusia itu duduk di tanah. Salah satunya mulai menumpuk kayu di bagian tengah. Clairessa tahu apa yang harus ia lakukan. Manusia itu ingin membuat api unggun, dan para peri cahaya seharusnya hadir di sana untuk menghasilkan api dan menjaganya agar tetap menyala sepanjang malam. 
"Jangan gila kau, Clairessa! Mana mungkin kau bisa membuat api?! Panas saja kau tak punya," ejek Lichta yang tiba-tiba saja sudah terbang di belakangnya.
"Ah, tidak. Aku tidak akan melakukannya. Lagipula, belum saatnya kita di sana dan membantu mereka. Itu tugas para peri yang sudah resmi meninggalkan Tropicalea," ujar Clairessa.
"Buat apa menunggu mereka. Kenyataannya kitalah yang ada di sini dan kita sudah cukup pandai untuk melakukannya," kata Sonneia, dikedipkannya salah satu matanya ke arah Lichta.
"Kalian gila! Bagaimana kalau itu berbahaya?" Clairessa terdengar panik. Ia berusaha memperingatkan teman-temannya.
"Kau terlalu penakut. Aku yakin itu tidak masalah," kata Lichta, kemudian terbang meninggalkan Clairessa di balik pepohonan. Sonneia dan peri-peri cahaya lainnya menyusul di belakangnya.
Clairessa memilih untuk menunggu dan menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh para peri cahaya itu. Dilihatnya salah satu manusia itu tengah mengambil dua buah batu dan mulai menggosok-gosokkan keduanya. Ia tahu, bahwa gosokan dua batu adalah tanda bagi para peri untuk terbang mendekat dan membuat api di sekitar bagian batu yang bergesekan. Di saat itulah Lichta, Sonneia dan yang lainnya terbang menuju kedua batu itu. Mereka menari dan menari di sana, menciptakan percikan api yang berpijar kecil di antara keduanya. Batu itu didekatkan pada kayu, dan mereka terus menari dan menari hingga menciptakan api yang sangat besar. Lichta dan Sonneia begitu bangga akan pekerjaan mereka, yang tentu saja belum selesai, karena mereka harus mempertahankan api itu sampai pagi.

Jam demi jam berlalu. Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka mulai kelelahan. Clairessa menyadari hal itu dari api yang mulai meredup. Dilihatnya ketiga manusia yang sudah tertidur tampak sedikit tidak nyaman. Berulang kali mereka menggosok-gosokkan telapak tangannya akibat dingin yang menusuk. 
"Tampaknya peri-peri cahaya yang membuat api kita tidak mampu bertahan lama," komentar salah satu dari mereka yang tiba-tiba terbangun akibat ketidaknyamanan itu.
"Belum apa-apa apinya sudah kecil, Payah! Padahal kayunya masih banyak," keluh yang lain.
"Ini belum apa-apa, teman. Di negeriku, Frozenland, jarang sekali kami memiliki malam hangat seperti ini. Terutama tahun-tahun belakangan ini. Para peri cahaya tidak mampu bertahan lama di bawah suhu dingin akibat sinar mentari yang mereka serap terlalu sedikit," ujar yang berambut emas.
Akhirnya Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka tidak lagi mampu bertahan. Mereka terkulai lemas di sekitar kayu-kayu yang belum terbakar, lalu tertiup angin dan menghilang dalam gelap, menyisakan kabut tipis sebagai jejaknya, yang dikenal manusia sebagai asap. Para manusia tampak kecewa. Mereka bermaksud menyalakan api lagi. Di saat itulah Clairessa keluar dari persembunyiannya.
"Oh lihat, kawan!" seru salah satu manusia itu. "Ada peri kecil yang tersisa! Terang sekali cahayanya!"
"Mungkinkah ia bisa membuat api?" tanya yang lain.
"Aku tak yakin, karena ia seorang diri dan kecil. Tetapi cahaya terangnya bisa menyalakan lentera kita," kata yang berambut emas.
Pria berambut emas itu kemudian mengulurkan tangannya dan berusaha meraih Clairessa untuk disimpan dalam lentera. Tentu saja Clairessa sangat senang, karena ia setidaknya bisa membantu para manusia itu.
"Wah, aneh sekali! Aku bisa menyentuhnya tanpa merasa terlalu panas!" ujar yang berambut emas dengan nada senang.
"Masa sih? Bagaimana bisa? Peri cahaya 'kan panas sekali, apalagi yang berasal dari negeri ini," temannya tampak heran.
"Ya, aku baru saja menyentuhnya. Rasanya cukup hangat, mengingatkan aku pada hari-hari bermentari di negeriku," kata yang berambut emas mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak salah kau pernah bilang, kalau negerimu sedang mengalami masalah cuaca. Mengapa tidak kau bawa saja lentera dengan peri cahaya ini. Kurasa cahayanya akan cukup membantu menerangi hari-hari gelap tanpa matahari yang kau katakan," usul salah satu manusia itu.
"Hmm.. kau benar juga,"
"Ya, betul sekali itu! Lagipula panasnya sepertinya akan cukup untuk orang-orang di negerimu yang tidak terlalu menyukai panas seperti bangsaku," timpal yang lainnya.
Si rambut emas tersenyum senang mendengar usul kedua temannya. Ia mengangguk-angguk penuh persetujuan. Dalam lentera, Clairessa menari bahagia. Tak ia sangka ia akan mengetahui kegunaan dirinya secepat itu. Bahkan saat ini ia semakin tidak sabar melihat negeri lain yang terdengar begitu jauh dari Tropicalea. Meski ia harus meninggalkan tanah kelahirannya, Clairessa tidak keberatan. Ia begitu senang memperoleh kesempatan menemukan dirinya kembali, dan mungkin, memperoleh teman yang sesungguhnya.

(bersambung) 

Dongeng Peri Clairessa (1)

Segala keajaiban alam di dunia ini dikerjakan oleh makhluk-makhluk kecil cantik yang tak kita sadari keberadaannya. Tak percayakah kau akan apa yang baru saja kukatakan? Sekarang cobalah pejamkan mata dan berhentilah melihat dunia dengan kedua mata di wajahmu. Mulailah melihat dunia dengan mata di hatimu dan mungkin kau akan melihat sesuatu yang tengah menjadi pemandanganku saat ini.

Aku melihat sebuah hutan hujan tropis yang hijau dan lebat di suatu lereng gunung. Di dalam hutan itu tumbuh beraneka jenis pohon dan tanaman yang batang dan dahannya besar-besar. Sulur-sulur hijau berjatuhan ke lantai hutan atau menghubungkan pohon demi pohon. Di sana-sini tampak bebungaan yang warnanya indah. Di hutan itu terdapat sebuah kerajaan peri, salah satu yang terbesar di dunia, yang bernama Tropicalea. Peri-peri Tropicalea mendiami celah-celah kecil di batang-batang pohon, tidur di atas helai dedaunan atau berdiam dalam kolam-kolam kecil di bawah air terjun yang mengaliri hutan itu. Di kerajaan itulah para peri yang masih muda tinggal dan belajar untuk kemudian pergi ke dunia luar untuk membantu pekerjaan alam dan manusia di negeri tersebut.

Clairessa adalah salah satu peri cahaya yang tinggal dan berlatih di Tropicalea. Sebagai peri cahaya, ia harus menyerap sedikit berkas cahaya mentari pada siang hari serta bulan dan bintang pada malam hari. Ketika ia dewasa, ia akan keluar dari Tropicalea dan menggunakan cahaya itu untuk membantu manusia. Peri cahaya akan tinggal dalam lentera-lentera dan lampu-lampu yang digunakan manusia untuk menerangi dunianya di malam hari. Ketika hari hujan atau dingin, peri cahaya juga membantu menghangatkan manusia. Semua peri cahaya selalu bersemangat menantikan hari ketika mereka cukup dewasa dan meninggalkan Tropicalea. Tak terkecuali Clairessa, yang sayangnya mempunyai sedikit masalah.

"Clairessa!! Bagaimana kau ini?! Berapa banyak cahaya yang kau serap tadi siang? Bahkan kau tak bisa menguapkan embun di daun ini! Bagaimana kau akan menghangatkan perapian di masa depan nanti?!" bentak Lumina, guru yang bertanggung jawab mendidik para peri cahaya kecil.
"Tapi, Bu... Aku, aku sudah berbaring seharian di bawah sinar matahari. Memang cahayaku tidak sehangat yang lain," Clairessa  mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mau tahu. Sudah tugasku meluluskan semua peri cahaya untuk memasuki dunia manusia. Aku tidak ingin kau menodai keberhasilanku, Clairessa. Besok aku mau kau berbaring di atas daun yang paling puncak dan menyerap sebanyak mungkin sinar mentari. Kau mengerti?!" perintah Lumina. Tongkatnya diarahkan ke pucuk pohon tertinggi di hutan itu, yang terletak dalam wilayah Tropicalea.
"Baik, Bu," ujar Clairessa tertunduk sedih.
Demikianlah pada pagi berikutnya, Clairessa langsung terbang ke pucuk pohon yang dimaksud Lumina dan menjemput sinar mentari sejak detik pertama ia terbit. Ia berbaring sepanjang hari di sana, menyerap setiap sinar yang dipancarkan sang mentari. Clairessa tak ingin gagal. Ia selalu bermimpi melihat dunia luar, terutama dunia manusia yang selalu diidamkan para peri. Ia ingin menjadi berguna bagi para manusia dan tentu saja tidak ingin terjebak di Tropicalea untuk selama-lamanya, meski tempat itu indah. Lama ia berbaring di atas daun tertinggi di hutan itu sembari melihat pemandangan hutan yang luas nan hijau. Ia baru kembali ke Tropicalea ketika mentari terbenam.
"Mudah-mudahan besok aku berhasil, " katanya dalam hati.
Hari berganti kembali. Siang itu, semua peri cahaya berkumpul kembali di sebuah lapangan, di atas permukaan yang tersisa dari sebuah pohon tumbang. Clairessa ada di sana, juga beberapa peri cahaya lain yang setingkat dengannya. Pada mulanya ada kepercayaan diri dan harapan yang tumbuh dalam diri Clairessa setelah melalui hari sebelumnya dengan berbaring seharian di bawah mentari. Namun akhirnya perasaan itu lenyap, tatkala ia melihat bahwa peri-peri cahaya lainnya menatap dirinya dengan pandangan aneh dan mulai berbisik-bisik. Akhirnya, salah satu dari mereka angkat bicara.
"Oh, Clairessa, tidakkah kau berdandan terlalu berlebihan hari ini?" tanya Lichta, peri cahaya yang tercantik di kelompok itu. "Apakah kau ingin menyaingi aku?"
"Berdandan? Ah, tidak, aku sama sekali tidak memakai apa-apa hari ini," Clairessa tampak bingung.
"Lihatlah dirimu dan pakaian yang sangat berkilauan itu! Bahkan mataku silau dibuatnya!" ujar Sonneia sambil tertawa mengejek.
Dengan ragu-ragu dan malu, Clairessa memandangi tubuhnya sendiri. Cahaya kuning yang begitu terang terpancar dari tubuh dan pakaiannya. Tampaknya ia terlalu banyak menyerap sinar mentari kemarin hingga tubuhnya menjadi terlampau bercahaya. Dan kini peri-peri cahaya lain mulai menertawakan dirinya. Bahkan Lichta tampaknya menganggap bahwa ia terlalu mencari perhatian dengan cara yang berlebihan. Clairessa ingin sekali cepat-cepat pergi dan menghilang dari hadapan teman-temannya. Sayang sekali, Lumina keburu datang dan hendak memulai lagi latihan hari itu.
"Baiklah semua, hari ini aku ingin kalian menguapkan embun di dedaunan untuk mengetahui berapa panas yang kalian mampu pancarkan untuk menjadi peri-peri cahaya penghangat!" jelas Lumina tentang rencana latihannya hari itu.
Cahaya terang yang memancar dari pakaian Clairessa langsung tertangkap pandangannya begitu ia menyelesaikan penjelasan itu. Disuruhnya Clairessa untuk menjadi peri pertama yang melakukan ujian itu.
"Tampaknya kau menganggap perintahku dengan sangat serius, Clairessa!" katanya sembari menyuruh peri muda itu menghampiri salah satu daun berembun yang terletak tak jauh dari situ.
Rasa malu Clairessa seketika menghilang. Kini ia begitu percaya diri karena banyaknya cahaya mentari yang berhasil diserapnya kemarin. Dengan mantap ia melangkah mendekati daun itu dan berusaha mengirimkan panas dari tubuhnya.

Menit demi menit berlalu, namun daun itu tak kunjung kering. Embun di atasnya masih tenang dalam butiran-butiran dan tidak juga menguap. Lumina mulai melihat dengan tidak sabar selagi Clairessa mulai frustrasi dan kesal karena panas tubuhnya tidak mampu menguapkan embun itu.
"Buat apa pakaian sebercahaya itu jika tidak ada panasnya, Clairessa?!" tanya Lumina dengan kesal.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu mengapa bisa seperti ini. Saya rasa, memang saya tidak mampu menyimpan panas mentari seperti yang lainnya," Clairessa mulai merasa tidak tenang. Suaranya pelan dan seperti tercekat.
"Hahahaa... kasihan kamu, Clairessa! Peri cahaya tanpa panas tak akan berguna bagi manusia!" Lichta tertawa, diikuti oleh peri-peri yang lainnya.
Dengan malu dan sedih, Clairessa terbang meninggalkan tempat itu. Masih dapat ia dengar tawa teman-temannya yang begitu meremehkan dirinya. Ia tidak mengerti apa yang salah dari dirinya. Telah ia ikuti segala suruhan Lumina, namun tak juga berhasil. Mungkin memang dirinya ditakdirkan untuk menjadi tidak sepanas peri-peri lainnya, meski kini ia begitu bercahaya. Mungkin memang ia berbeda, meski ia tak tahu mengapa.

Clairessa kembali pada daun di pucuk pohon. Duduk di sana dan termenung hingga mentari terbenam lagi dan mendatangkan kegelapan. Ia hendak tidur ketika tiba-tiba ia terbangun oleh suara-suara bisikan yang ribut. Suara teman-temannya! Ia mengintip dari balik dedaunan dan mendapati Lichta, Sonneia dan beberapa peri lainnya tengah terbang di dekatnya dengan berbisik-bisik.
"Kau yakin ingin melakukan ini, Lichta?" tanya Sonneia.
"Oh ya, tentu saja! Buat apa menunggu sampai dewasa untuk melihat dunia luar! Kalian sudah tidak sabar, bukan?" tanya Lichta.
"Tentu saja!!!" sahut peri-peri cahaya yang lain.
 Clairessa terkejut mendengar apa yang direncanakan para peri itu. Berulang kali ia berpikir mengenai rencana yang sesungguhnya juga terdengar menarik untuknya. Tetapi bergabung dengan Lichta dan kawanannya bukanlah ide bagus, setelah apa yang ia lakukan padanya hari ini. Rupanya Clairessa memilih untuk tidak peduli. Dengan nekat ia turun mendekati peri tercantik itu.
"Hei, mau apa kau kemari? Pasti kau ingin melaporkan perbuatan kita, bukan?" ujar Sonneia yang menyadari kedatangan Clairessa lebih dulu.
"Aku tidak ingin melapor. Justru aku tertarik untuk ikut dengan kalian," jawab Clairessa.
"Ikut dengan kami? Maaf ya, Clairessa. Bukan maksudku melarangmu ikut, tetapi cahayamu terlampau terang dan akan membuat kita semua ketahuan!" tolak Lichta dengan nada angkuh.
"Mmm.. tidak, aku tidak akan membuat kalian ketahuan. Kalian terbang duluan saja, aku akan mengikuti kalian jauh di belakang," kata Clairessa.
Para peri cahaya itu kemudian berunding. Perdebatan memutuskan bahwa Clairessa boleh ikut, dengan syarat ia akan terbang jauh di belakang dan menjadi umpan bagi para penjaga Tropicalea yang mungkin tak sengaja melihat mereka terbang ke pinggir hutan dan menyeberangi batas kerajaan peri. Meski ada perasaan takut, Clairessa menerima hasil perundingan itu. Ia begitu ingin melihat dunia luar dan bertemu dengan manusia. Mungkin ia dapat menemukan jawaban, apakah dirinya benar-benar tidak berguna tanpa panas atau tidak.

(bersambung)

 
 
 

 

 
 
 
 
 
 

 
 

 

13.3.14

Jembatan Pelangi dan Sebuah Janji


Suara butiran hujan yang menabrak jendela kaca di depanku terdengar begitu nyaring kali ini. Beberapa kali kuhentikan kegiatan mengepak pakaianku dan melongok keluar. Hari menjelang sore dalam musim panas paling kelabu yang pernah kualami. Awan hitam masih menggantung di langit, tanpa menyisakan secercah harapan akan kehadiran pelangi sebelum hari ini berakhir. Aku mendesah sedih, lalu meninggalkan jendela dan kembali pada setumpuk pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Tidak kusangka liburanku akan berakhir seperti ini. Seolah tanpa harapan, datang kemari hanya untuk kehilangan impian lagi. 

Dua minggu lalu ia masih tersenyum malu di balik awan kelabu tipis yang menjelang cerah. Lengkung tujuh warna mengiringi langkah kakiku yang begitu ringan dari sebuah burung besi yang baru tiba di negerimu.
"Lysa!" kudengar suaramu di balik kerumunan orang-orang yang datang menjemput. "Lysa! Aku di sini!"
Tubuhmu tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang sebangsamu. Kau coba lambaikan tanganmu hingga aku dapat melihatnya dari kejauhan.
"Bjørn! Bjørn! Akhirnya kita bertemu lagi!!" 
Aku menyeruak menerobos kerumunan orang itu. Kau raih tanganku dan kulepaskan sesaat koper beroda yang kubawa. Untuk kedua kalinya kita berpelukan di alam nyata.

Kurogoh saku jaketku. Kali ini aku tak akan lupa melakukan hal ini seperti pada pertemuan pertama di musim panas lima tahun lalu.
"Senyum, Bjørn!" kataku, lalu menekan tombol dan membuat kenangan dalam kamera kecilku.
"Pasti aku tampak bodoh. Aku tak bisa senyum, hahaha...," tawamu.
Aku memandangi foto itu. Ia menghias layar ponselku. Beberapa hari lalu kau mencetaknya dan menempatkannya dalam pigura kecil yang kau letakkan di atas meja. Satu-satunya pigura dan satu-satunya foto yang kau punya di atas sana. Satu-satunya foto di dunia yang begitu berkesan bagi seseorang di luar keluargaku namun ada aku di dalamnya. Dan kau tidak tampak bodoh di sana, Bjørn. Bahkan kau tersenyum dengan baik, begitu bahagia, seperti yang selalu tampak ketika kita sedang bersama.

Kuletakkan ponsel itu dan kembali mendekati jendela. Kegelapan masih merajai langit. Semakin gelap, karena hari semakin sore. Seolah mengingatkanku untuk bergegas mengisi koperku kembali sebelum hari kepulanganku besok. Kukatakan pada langit, jika aku enggan pulang. Aku masih ingin di sini. Menemanimu di rumah berlantai dua yang tampak terlalu besar jika kau huni seorang diri. Bukankah kau yang menginginkan kedatanganku, menjadi tetanggamu dan berbagi rumah denganmu suatu saat nanti? Kau tidak akan pergi sekarang dan melepaskan impian ini begitu saja 'kan? Ini baru hari kedua, seharusnya kau masih punya tiga puluh delapan hari lagi untuk tinggal di sini. Atau mungkin tidak, karena empat puluh hari adalah perhitunganku, sedang bagimu tak ada sedetik pun kesempatan untuk menemaniku lagi di dunia ini. Mereka membawamu langsung pada hari kau harus pergi. Itulah mengapa sang pelangi tampak pada hari itu, meskipun hujan selebat sore ini turun.
"Jangan sedih, Lysa. Hujan ini tak akan menghentikan jalan-jalan kita," kau mencoba menghiburku saat itu terjadi.
"Aku hanya tidak menyangka, musim panas akan berjalan seperti ini di sini. Kupikir aku akan melihat musim panas seperti lima tahun lalu," jawabku, mencoba mengingat pertemuan singkat kita yang kupaksakan di tengah rangkaian kegiatanku yang padat lima tahun lalu. 
"Ah, kau seperti tidak tahu saja, Lysa. Kota ini terkenal dengan sebutan kota hujan. Bahkan warganya akan kecewa jika gagal memecahkan rekor tahun sebelumnya," jelasmu mencoba menghiburku dengan fakta unik tentang tempat tinggalmu.
"Ada rekornya?" aku tampak heran.
"Tentu saja. Hal terburuk yang dapat terjadi adalah ketika satu hari menjelang pemecahan rekor tiba-tiba hari cerah, lalu disusul hari hujan berturut-turut. Rusaklah penantian warga kota ini selama setahun lamanya hingga musim panas datang kembali."
Aku tak dapat menahan tawa mendengar ceritamu. Begitu menghibur hingga hujan tak lagi menghalangiku untuk membujukmu agar kita kembali berjalan. Jaket bertudung kita kenakan dan kau membuka payung, agar kita dapat tetap melangkah di tengah hujan.
"Hujannya betul-betul deras. Sepertinya kita tidak akan melihat pelangi hari ini," ujarku tiba-tiba. Entah bagaimana ingatan akan langit yang mewarnai hari ketibaanku muncul lagi.
Kau menepuk bahuku dengan tanganmu yang basah oleh hujan.
"Yah, mau bagaimana lagi. Sepertinya hari ini memang tidak akan ada yang datang," katamu.
"Aku tidak mengerti," ujarku.
"Bangsa Norse kuno percaya bahwa pelangi adalah jembatan penghubung antardunia. Bifrost namanya. Konon, jika pelangi muncul, berarti ada penghuni Asgard yang turun ke bumi. Atau sebaliknya, ada manusia yang pergi ke sana," ceritamu sambil menggamit tanganku dan bersiap menyeberang jalan.
Sungguh aku tertarik pada cerita itu, namun kutahan komentarku, karena aku sibuk menyeka air hujan yang tetap saja menerpa wajahku meski sudah dinaungi payung. Sepertinya aku mendengar teriakanmu, sayup-sayup di balik suara derasnya air yang ditumpahkan dari langit. Entah apa yang kau teriakkan, tetapi sedetik kemudian tubuhku seperti dihantam sesuatu dengan keras. Aku terhempas ke atas aspal yang basah lalu berguling beberapa kali. Untuk beberapa detik sekelilingku menjadi gelap. Namun rintik-rintik air tiada henti menjatuhi kepalaku yang terasa sakit dan membuatku bangun tak berapa lama kemudian.

Saat itu hanya namamu yang kuingat. Kuteriakkan ia berulang kali, namun kau diam membisu, seolah tak berada di sana bersamaku. Suaraku parau, dan air hujan berlomba-lomba mengaliri kerongkonganku. Kuraba aspal yang basah dan mencoba berdiri. Gagal. Ada sesuatu yang membuat kakiku terasa sakit. Rasa itu memaksaku tersadar akan keadaan sekitar. Mataku mengenali bayangan orang-orang. Mereka berkerumun di sebuah sudut, dekat dengan dua cahaya kuning terang yang menyerupai mata raksasa. Cahaya itu tidak bergerak, terus menyala. Dan bayangan-bayangan itu berbicara. Cukup gaduh di tengah suara hujan, namun tak dapat kumengerti bahasanya.

Aku merangkak mendekat. Tubuhku yang kecil mencoba menerobos kerumunan yang entah mengapa sepertinya tidak terlalu menyadari keberadaanku. Lalu aku melihatmu di sana, di tengah kerumunan. Diam tak bergerak, terbujur kaku seperti dalam tidur tanpa akhir. Orang-orang tampak panik dan berusaha membangunkanmu. Beberapa di antara mereka sibuk menghubungi polisi dan ambulance. Pikiranku nyaris kosong, gagal menyatukan potongan-potongan gambar kejadian yang baru saja berlalu.
"Seseorang beri tahu aku apa yang terjadi! Seseorang, tolonglah!" pintaku lirih.
"Apa dia temanmu?" seorang ibu berwajah sangat cemas bertanya padaku.
Aku mengangguk sekuat tenaga.
"Dia tertabrak bus itu ketika mencoba menolongmu. Kami mencoba mencari bantuan. Semoga ia masih tertolong."
Tak kupedulikan lagi kata-kata wanita itu. Aku langsung menghampirimu. Kuusap wajahmu yang basah oleh air hujan. Rintiknya sedikit mereda saat itu, berbanding terbalik dengan yang mengaliri kedua pipiku.
"Lysa," kau buka matamu dan berbisik lemah.
"Bjørn! Bjørn! Lihat aku! Janganlah kau pergi, sebentar lagi bantuan akan datang untukmu," aku menjerit lirih. 
"Tidak, Lysa. Aku sudah senang melihat kau selamat. Terima kasih sudah memberiku kesempatan membantu mewujudkan impianmu."
"Bjørn, jangan pergi! Bjørn!" tangisku. "Aku datang kemari untuk mewujudkan mimpi bersamamu. Kau tidak bisa pergi begitu saja."
Kau usap kepalaku yang basah kuyup, seolah berusaha menenangkanku.
"Lysa, aku ingin kau melihat ke arah sana."
Kau angkat tanganmu dengan susah payah. Jarimu menunjuk ke langit utara. Aku melihatnya. Ada pelangi di sana. Lengkung tujuh warna tersenyum di balik awan kelabu yang mulai berhenti menangis. Entah bagaimana hal yang tak kusangka akan muncul tampak di sana. Hujan mereda, meski langit belum penuh terangnya. Aku berpaling kembali padamu, ketika kusadari tanganmu berhenti membelai rambutku. Kulihat matamu terpejam. Tiada jawaban saat kau kupanggil. Tak dapat kutahan kembali air mata yang ingin meleleh turun, ketika kulihat beberapa petugas rumah sakit mengangkatmu ke atas tandu dan menutup seluruh dirimu dengan kain. Aku enggan melihatnya terlalu lama. Kupalingkan wajahku kembali pada sang pelangi. Itukah artinya mengapa kau muncul hari ini, wahai pelangi? Apakah seseorang dari Asgard baru saja turun menjemput temanku? Ataukah kau datang agar Bjørn bisa menyeberang ke sana?

Kesunyian mengelilingiku begitu lama. Ketika tersadar dari lamunan tampak setumpuk pakaianku masih berantakan di atas tempat tidur, sama menolaknya untuk pulang seperti diriku. Entah untuk yang keberapa kali kutarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri dan mendorongnya untuk segera menyelesaikan tugas yang tersisa. Pelan-pelan kumasukkan pakaian yang sudah terlipat satu demi satu ke dalam koper sembari terus mencari serpihan memori yang mungkin dapat memberiku jawaban, mengapa liburanku harus berakhir sepilu ini. Jawaban itu tak juga kutemukan, hingga aku selesai mengepak koperku dan bersiap meninggalkan kamar itu. Pesawatku akan terbang mengantarku pulang tengah malam ini dan keluargamu akan mengantarku ke bandara.

Mereka tiba beberapa menit setelah aku selesai mengunci kamarmu dan berusaha menuruni tangga dengan dibebani koper berodaku yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Sudah siap, Lysa?" ibumu bertanya di depan pintu.
Aku memandang sekeliling. Apartemenmu terasa besar dan kosong, sunyi dan sepi, meski masih bisa kudengar gema tawa kita di beberapa sudut dindingnya. Kutarik nafas panjang berusaha meyakinkan diri.
"Ia sudah tenang di sana, Lysa. Kami akan jaga tempat ini baik-baik," ujar ibumu sembari memberi tepukan lembut di bahuku.
"Terima kasih," balasku, lalu berbalik membelakangi rumah itu, mengunci pintunya dan memberikan kunci itu pada ibumu.
Ia berterima kasih sembari mengantarku ke mobil. Sudah ada ayahmu dan adik perempuanmu di sana. Perjalanan ke bandara berlangsung dengan sunyi. Kami semua diam, seolah memikirkan kenangan kami masing-masing dengan dirimu. Aku menatap ke luar jendela. Hujan reda pada detik-detik terakhir menjelang terbenamnya matahari. Di balik awan kembali muncul pelangi yang datang memberi jawaban kepadaku. Pelangi yang dalam keyakinanku adalah simbol janji Tuhan. Pelangi yang sama seperti pelangi tujuh tahun lalu, yang muncul ketika aku menangis dalam doa seorang diri di kamarku.
"Tuhan, jika engkau berkenan, berikanlah aku seorang sahabat sejati, yang menyayangiku apa adanya."

by LV~Eisblume
140314
for our everlasting friendship
inspired by our friendship, our night talks about the rainbow, and Gnom's song lyric titled "Bestevenn"
 
 


 

 
 
 



5.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (3)

Tak ada satu pun manusia yang masih mengingat kisah Blanche sang penyihir. Bahkan semua orang kini menganggap keberadaannya sebagai dongeng saja. Termasuk Lady Calime, seorang putri yang sangat cantik dari garis keturunan halfelven atau campuran manusia dan elf. Darah elf yang mengalir di tubuhnya membuatnya memancarkan cahaya putih lembut. Walau demikian, darah manusia yang dimilikinya membuatnya tidak abadi sehingga tetap harus melewati kematian layaknya manusia.

Hari ini Lady Calime sangat berbahagia. Beberapa hari lagi akan tiba hari pernikahan yang paling dinantinya seumur hidup. Hari ini juga, Roland, calon suaminya yang juga seorang ksatria tampan dan gagah berani akan pindah ke kastil yang didiami Lady Calime. Pesta pernikahan memang akan dilangsungkan di kediaman mempelai wanita sebagaimana tradisi yang hidup di kerajaan tersebut. Siang itu Roland tiba bersama para pengawal dan pengiringnya. Mereka membawa banyak sekali barang dan menempatkan semuanya di kamar sang ksatria yang terletak tidak jauh dari kamar Lady Calime. Menurut tradisi kerajaan juga, kedua calon mempelai akan tidur di kamar berbeda sampai pada hari pernikahan mereka. Pada hari pernikahan itu akan disiapkan kamar lain tempat mereka akan bersatu pada akhirnya.

"Barang apa saja yang kau bawa, kekasihku?" tanya Lady Calime ketika ia mengintip ke dalam kamar Roland dari pintu. Tampak jelas ada banyak sekali barang baru di dalam kamar itu yang bahkan masih ditutupi selubung kain.
"Aku juga tidak tahu, Sayang, sebagian besarnya hadiah dari kerabat-kerabatku untuk hari pernikahan yang akan datang sebentar lagi," jawab Roland.
Ksatria itu kemudian mengundang sang kekasih masuk dan menemaninya di kamar. Lady Calime melangkah dengan penuh keanggunan dalam balutan gaun biru lautnya yang indah.
"Mungkin kita bisa membuka satu persatu benda ini bersama-sama," usul Roland, yang langsung disetujui Lady Calime.
Sesungguhnya dari sekian banyak barang, Lady Calime sangat penasaran dengan sebuah benda pipih yang lebar dan diselubungi kain berwarna hijau pupus yang warnanya sudah tidak indah lagi. Dengan segera ia mengambil benda yang bersandar di tembok itu dan membuka kain yang menutupinya.
"Apa itu, cermin?" tanya Roland ketika melihat benda yang dipegang kekasihnya.
"Sepertinya demikian, cermin antik yang sudah tua," jawab Lady Calime, ia membuka seluruh selubungnya.
"Aneh. Kenapa ada orang yang memberiku cermin?" sang ksatria bertanya dengan bingung.
"Haha... tidak apa-apa. Itu tetap hadiah. Seorang pria tidak berarti tidak butuh cermin, bukan?" ujar Lady Calime.
"Aku penasaran, siapa yang terpikir untuk menghadiahi aku sebuah cermin antik," kata Roland.
Karena penasaran, sang ksatria memanggil salah satu orangnya yang tadi membawa barang-barang ini ke kamar.
"Dari mana kau dapatkan cermin ini? Apakah ini hadiah? Siapa yang memberikan benda ini kepadaku?" tanya Roland.
"Cermin itu kami beli di pasar, Tuan. Seorang nenek tua menjualnya. Kata nenek itu, cermin ini akan membawa kebahagiaan bagi pernikahan Tuan," jawab pria yang dipanggil tadi.
Tanpa bertanya lagi, Roland menyuruh orang itu meninggalkan kamar. Baik Roland maupun Lady Calime tak ada yang sungguh-sungguh percaya dengan kebahagiaan yang dijanjikan benda itu. Meski demikian, Lady Calime merasa cermin itu memiliki keindahan tersendiri yang dapat menghias kamar yang kosong itu. Sang putri mengambil cermin itu dari tangan kekasihnya lalu menggantungkannya pada sebuah paku di tembok, tepat berhadapan dengan tempat tidur di tengah ruangan. Bayangan ruangan yang kosong dan kusam tampak indah di dalam cermin. Mungkin cermin itu sungguh-sungguh cermin ajaib.

4.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (2)

"Tolooong..!! Kebakaraaan!!"
"Selamatkan mereka!! Cepat! Cepat!"
Teriakan penduduk terdengar di seluruh penjuru desa. Mereka berlari ke sana ke mari mencari sumber air dan berusaha memadamkan api yang berkobar-kobar di salah satu sudut desa. Si jago merah sedang melahap salah satu rumah dengan ganasnya. Rumah Blanche. Di dalam rumah itu tinggal kedua orang tuanya dan Blanche sendiri, sementara sang kakak sudah pindah tinggal setelah pernikahannya. Api yang sangat besar disertai asap tebal seakan menelan rumah itu beserta isinya. Walaupun penduduk desa telah menyiramkan bergentong-gentong air, tetap saja api terus berkobar tak kunjung padam. Usaha yang mereka lakukan berjam-jam menjadi sia-sia ketika akhirnya bangunan itu habis dilalap api.

Tanah di sekitar rumah masih panas dan asap masih membumbung di beberapa sudut. Para penduduk berkerumun menanti sisa apa yang akan mereka temukan dalam rumah. Ketika dirasa cukup aman, beberapa dari mereka mencoba masuk menembus reruntuhan rumah itu. Mereka mencari entah apapun yang bisa mereka temukan di dalam. Semua habis tak tersisa, termasuk kedua orang tua Blanche yang telah menjadi mayat. Tiba-tiba terdengarlah suara isak tangis lain dari balik reruntuhan. Dengan cepat para penduduk desa bekerja sama mengangkat kayu dan batu yang rata dengan tanah. Mereka menemukan sosok Blanche yang terbungkus kain hitam dan menangis tersedu-sedu di bagian yang dulunya kamar pojok di rumah itu, tempat Blanche disembunyikan.
"Siapa gadis ini?" seseorang mencoba membuka kain hitam yang menyelimuti dirinya.
Mereka terkejut karena tak satu pun penduduk desa itu mengetahui keberadaan Blanche sebelumnya.
"Bukankah keluarga ini hanya punya satu anak perempuan?" tambah yang lain. 
"Tidak, mereka punya dua. Tetapi yang satu sudah mati," kata seorang ibu.
"Lalu siapa dia?" tanya yang lain lagi.
"Cukup sudah! Berhenti berdebat. Dia ini Blanche, adikku!" kata sang kakak.
Wanita cantik itu bangkit dari sisi mayat orang tuanya dan menghampiri adiknya yang menangis tersedu-sedu. Alangkah terkejutnya ia ketika dibukanya kain hitam itu dan mendapati bahwa adiknya sangat cantik, bahkan melebihi dirinya. Semua orang di sekitar mereka sibuk berbisik-bisik. Tak satu pun percaya bahwa wanita itu memiliki adik. Tak satu pun percaya bahwa ada seseorang yang sangat cantik telah selamat dari kebakaran besar itu. Mereka merasa keajaiban telah terjadi.

* * *
Setelah kejadian itu, Blanche tinggal bersama kakaknya di sebuah rumah di bagian desa yang terletak dekat dengan hutan. Sang kakak selalu sibuk bekerja. Ia mencari kayu bakar di dalam hutan. Sementara suami sang kakak menghidupi keluarga barunya dengan bekerja sebagai tukang kayu di rumah. Tanpa sepengetahuan kakaknya, diam-diam Blanche telah menaruh hati pada si tukang kayu. Mulanya si tukang kayu tak pernah meladeni setiap godaan yang dilontarkan gadis itu padanya. Blanche yang kesal karena selalu gagal membalaskan dendam pada kakaknya mulai menggunakan sihirnya lagi. Ia mengucapkan mantera dan berhasil menjerat si tukang kayu dalam perangkapnya. 

Suatu hari sang kakak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar seperti biasa. Namun di tengah jalan ia teringat akan sesuatu. Ia lupa membawa bekal yang telah disiapkannya di atas meja. Alangkah terkejutnya ia ketika tiba di rumah. Sang kakak mendapati bahwa adiknya, Blanche, telah tidur bersama suaminya tanpa sepengetahuan dirinya. Ia juga terkejut menemukan buku mantra dan alat sihir lainnya berserakan di kamar Blanche. Segera ia mengetahui apa yang telah dilakukan adiknya. Dengan penuh amarah ia menyeret Blanche dan mengusirnya keluar bersama peralatan sihirnya.

Penuh benci dan dengki, Blanche pergi berlalu dari rumah itu. Ia kemudian hidup menumpang dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia mengganti namanya berulang kali, juga wajahnya sehingga tidak diketahui orang. Tetapi selalu akhir yang sama ditemukan pada setiap rumah. Blanche berselingkuh dengan suami wanita yang tinggal di rumah itu sehingga ia selalu diusir. Lama kelamaan orang tersadar bahwa setiap wanita yang datang ke rumah mereka adalah orang yang sama. Wanita terakhir yang ditumpangi Blanche berhasil menyeretnya ke gedung pengadilan di kota yang terletak di balik tembok tinggi. Dibukanya keras-keras pintu gedung pengadilan dan ia berteriak dengan lantang:
"Bapak Hakim yang terhormat, hari ini juga telah saya temukan seorang wanita penyihir yang bersembunyi di antara kami!" lalu ditunjukkannya peralatan sihir Blanche sebagai bukti.
 Sidang atas terdakwa Blanche digelar. Semua penduduk yang telah menjadi korbannya berkumpul di situ dan berteriak-teriak dengan gaduh meminta Blanche segera dihukum.
"Hukuman paling pantas untuk penyihir adalah dibakar!" teriak seorang ibu.
"Atau ditenggelamkan di sungai!" tambah ibu lainnya.
Kemudian sang hakim berusaha menengahi keriuhan yang terjadi.
"Tenang dulu para penduduk desa. Kita tidak bisa langsung menjatuhkan hukuman dengan tidak bijak. Sebelumnya tidak pernah ada hukuman seperti itu yang dijatuhkan pada penduduk desa kita, " kata sang hakim.
"Biarkan saja, Pak Hakim! Hukum mati saja wanita ini!!" teriak beberapa wanita yang menjadi korban Blanche.
Namun para penduduk desa tak dapat menentukan apa hukuman yang pantas bagi Blanche. Beberapa wanita ingin dia dihukum gantung. Beberapa yang lain minta hukuman bakar, seperti penyihir-penyihir di negeri-negeri lainnya. Ada pula yang meminta agar Blanche ditenggelamkan di sungai. Pada akhirnya karena solusi tidak kunjung ditemukan, sang hakim memutuskan untuk mengusir Blanche jauh dari wilayah tersebut dan menyita segala peralatan sihirnya. Pakaian Blanche yang indah disita dan diganti dengan pakaian lusuh. Rambut merahnya yang indah dipotong dan segala perhiasan yang dipakainya dilucuti. Dengan mata tertutup ia dibawa jauh meninggalkan kota dan desa-desa di situ, lalu dilepaskan di tengah hutan dan ditinggalkan di sana. Tak satu pun pernah melihat Blanche setelah kejadian itu. Tahun-tahun dan masa yang panjang berlalu. Orang mulai melupakan namanya. Kisah Blanche hanya menjadi legenda, sebelum kemudian dilupakan sama sekali. Tetapi sesungguhnya ia terus hidup melewati tahun-tahun itu, tanpa seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya. Sosok buruk rupa aslinya telah kembali, seiring dengan dirinya yang dijauhkan dari peralatan sihirnya.

(bersambung)

2.9.12

Penyihir Cermin dan Lady Calime (1)

Kisah ini datang dari zaman yang sudah sangat lama berlalu. Di sebuah desa yang terletak tak jauh dari kota yang dikelilingi tembok tinggi, tinggallah sebuah keluarga sederhana. Keluarga ini memiliki dua orang anak perempuan. Yang pertama berusia lima tahun dan dikaruniai wajah yang begitu cantik dan lembut, sementara yang kedua baru saja lahir kemarin dengan keadaan bertolak belakang dengan sang kakak. Meski demikian, anak kedua itu memiliki nama yang indah, Blanche.

Orang tua Blanche sangat kecewa melihat anak kedua mereka. Mereka bahkan berharap jika anak itu sebaiknya tidak dilahirkan saja. Wajahnya buruk dan perkembangan tubuhnya lambat. Kemampuan motorik maupun kepandaiannya jauh berbeda dibanding kakaknya. Karena begitu kecewa akan kondisi Blanche, orang tuanya berusaha menyembunyikan keberadaannya. Mereka selalu mengaku hanya memiliki satu anak saja kepada semua orang. Blanche disembunyikan dan dikurung dalam ruangan yang gelap di sudut rumah seolah ia orang gila atau berpenyakit menular. Ketika ia berbuat kesalahan, orang tuanya tidak segan-segan memberinya hukuman fisik yang berlebihan. Blanche tidak pernah kenal teman dan pergaulan. Masa kecilnya dihabiskan dalam kegelapan.

Suatu ketika di ulang tahunnya yang ke-16, Blanche meratapi nasibnya seorang diri di sudut ruangan tempat dirinya disembunyikan. Bahkan sampai usianya yang hampir dewasa, orang tuanya tidak melepasnya keluar. Sementara kakaknya sudah berencana melangsungkan pernikahan, ia tidak kenal siapapun di luar, seolah ia tidak pernah ada di dunia. Di sela-sela tangisnya itulah terdengar suara kepak sayap yang semakin kuat.
"Selamat malam, gadis cantik. Mengapa engkau menangis?" terdengar suara parau yang dingin menyapanya.
"Siapa kau?!" Blanche menengadah dan terkejut melihat seekor gagak hitam besar bertengger di jendela kecil tepat di atas kepalanya. Jendela itu adalah satu-satunya sumber cahaya dan tempat ia dapat mengintip sedikit dunia luar.
"Aku? Aku utusan Maharaja Kegelapan," jawabnya sambil tertawa dingin.
"A-apa.. apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Blanche, masih ketakutan.
"Aku hendak membantumu keluar dari masalahmu, gadis cantik. Aku tahu betul masalahmu. Kau hampir dewasa dan kau ingin keluar dari sini, bukan? Kau ingin punya teman bukan? Kau ingin seperti kakakmu yang cantik itu, ya kau ingin itu dan aku bisa membantumu," jelas sang gagak.
"Omong kosong!" kata Blanche sembari menyeka air matanya. "Aku buruk rupa begini, bagaimana bisa aku jadi seperti kakakku yang cantik itu! Lebih baik aku mati saja!" 
"Jangan bodoh, Blanche. Kau berpotensi, bahkan melebihi kakakmu. Yang kau perlukan hanyalah mencari akar penyebab penderitaanmu dan menerima tawaranku untuk membantumu," kata sang gagak.
Blanche menatap gagak itu ragu. Ia lelah dengan kenyataan pahit yang harus dihidupinya, tetapi ia baru kenal gagak ini dan tidak tahu ada rencana apa dibaliknya.
"Ayolah, Blanche. Maharaja Kegelapan ingin melihatmu berbahagia di hari ulang tahunmu. Sungguh. Maka itu ia mengirim ini," kata sang gagak yang tiba-tiba telah membawa botol kecil di kakinya.
"Apa itu?" tanya Blanche.
"Ramuan ajaib untuk hadiah ulang tahunmu. Dengan ini kau akan mengetahui apa yang disebut kebahagiaan. Dengan ini kau akan bebas. Percayalah. Kau boleh menuntutku jika aku berbohong," bujuk sang gagak.
Akhirnya Blanche jatuh dalam bujukan burung berbulu legam itu dan menerima tawarannya. Sang burung menarik tutup botol yang dibawanya.
"Sekarang aku minta setetes darahmu dan setetes air matamu untuk dicampurkan dalam botol ini," pinta sang gagak.
Seolah terhipnotis, Blanche melangkah ke sudut lain ruangan kecil itu. Di atas meja yang terletak di sana ada pisau buah yang ujung tajamnya bersinar diterpa cahaya bulan yang masuk lewat jendela kecil. Tanpa ragu Blanche menggores telapak tangannya dan meneteskan darahnya ke dalam botol. Rasa sakit yang dirasakannya membuat matanya dibasahi air mata dan dengan segera ia menumpahkan air mata itu dalam botol kecil sang gagak.
"Minumlah, Blanche, dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan," bisik sang gagak lalu tertawa melihat keberhasilannya.
Blanche menghabiskan isi botol ramuan itu. Segeralah mata jahatnya terbuka dan hati baiknya tertutup. Ia melihat dengan jelas setiap orang yang menyakiti dirinya. Ia melihat jelas setiap orang yang ia harapkan mati saja. Dan sasaran pertamanya adalah orang tuanya sendiri.

(bersambung)

31.8.12

Freyja's Rune (4 - end)

Suasana di luar tenda sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Keramaian masyarakat Abad Pertengahan di lapangan luas itu sudah tidak tampak lagi. Namun dari salah satu sudut pekan raya itu terdengar hentakan musik yang begitu keras. Suara riuh rendah menyertai irama musik yang berdentum. Tampaknya sudah waktunya pertunjukkan dari band-band papan atas dan keramaian yang tadi siang menyebar kini sudah menyemut di depan panggung.

Aku menoleh sebentar ke arah keramaian itu, namun kemudian kuputuskan untuk pulang saja. Tidak menyenangkan menonton konser semacam itu seorang diri. Aku sudah tidak sabar menemui batu-batu Runeku di rumah dan mencoba mempraktekkan cara melakukan ramalan dengan Rune. Sedikit banyak gerakan dan suara sang Runemaster menginspirasiku untuk segera memulai latihanku. Mungkin dengan sering latihan, aku akan dapat mengerti segala misteri yang diucapkan sang Runemaster tadi. 

Letak rumahku tidak begitu jauh dari tempat festival itu berlangsung. Tepatnya hanya sekali naik bus ditambah berjalan kaki selama lima belas menit maka aku sudah tiba di rumah. Dengan cepat kudapatkan bus yang akan membawaku ke halte terdekat dari rumahku. Hari sudah malam ketika aku tiba di sana. Tidak ada seorang pun menunggu di halte, atau berjalan di jalan. Entah mengapa hari itu sangat sepi, bahkan para Nattravn* tidak tampak di mana pun. Mulanya aku berjalan sendiri, namun kemudian aku sadar akan sesuatu. Beberapa langkah kaki mengikutiku! Dengan segera kupercepat jalanku. Walau demikian, suara langkah kaki itu tetap saja terdengar. Semakin dekat. Semakin dekat. 
"Hahaha..., kau tidak akan bisa kabur, manis," seorang dari mereka menyambarku lalu melingkarkan tangannya di leherku.
"Ayo, temani kami saja malam ini," tambah yang lain.
Mereka mencengkeramku begitu kuat. Entah siapa mereka, tetapi dari aksen bicaranya sudah pasti bukan orang lokal. Sekuat tenaga aku berusaha melawan namun sia-sia. Cengkeraman mereka terlalu kuat. Mereka bermaksud menarikku masuk ke mobil mereka, yang dikemudikan oleh salah satu teman mereka yang lain. 
"Lepaskan aku!!" aku menjerit. "Seseorang, tolong!!!"
"Percuma saja, Manis. Tak ada seorang pun di sekitar sini selain kami," kata mereka.
"Tidak! Lepaskan aku, dasar penjahat!!"
Kugigit tangan dia yang mencengkeram leherku. Ia berteriak mengaduh dan melepaskan tangannya hingga cengkeramannya menjadi longgar. Aku segera melepaskan diri dan berlari. Sesuatu terlepas dariku. Kulihat mereka berhasil menarik kalung pemberian Sigurd. Aku terkejut dan kecewa, namun tidak ada waktu untuk merebutnya kembali. Aku terus berlari dan berlari hingga mencapai sebuah bukit. Aku tidak berhenti sampai kakiku mencapai puncaknya. Kulihat ke belakang, sepertinya mereka telah berhenti mengejarku. Aku langsung menyandarkan diri pada salah satu pohon dan mengatur napas.

"Ah, Freyja, tampaknya ketidakberuntungan baru saja menggagalkan masa depanmu yang bahagia," kataku pada diri sendiri.
Kuraba leherku. Benda itu sudah tidak melingkar di sana. Bandulnya sudah tidak tergantung di sana. Petunjuk yang ingin kucari tahu artinya sudah hilang sebelum aku berhasil menguak misterinya.
"Freyja bodoh! Kau bodoh, tahu! Bodoh dan ceroboh sekali! Hanya karena kau tidak mau melangkah keluar dari masa lalu, sekarang benda kesayanganmu yang paling berharga hilang!" suara-suara yang menyalahkan diriku terus berkecamuk di kepalaku dan membuatku menjadi galau. 
"Hahaha.. iya, aku memang bodoh. Aku Freyja si bodoh yang ceroboh yang nggak bisa move on. Lebih bodoh lagi karena kau mengharapkan orang yang sudah mati. Haha.. Sigurd sudah mati. Aku masih mengejarnya sampai buta akan pria lain yang masih hidup. Hahaa... biarkan saja...aku bodoh..., yang penting aku bahagia," aku berbicara sendiri, seolah membantah apa yang dikatakan pikiranku. Tanpa sadar air mata menggenangi pelupuk mataku dan mulai jatuh bulir demi bulir.
Aku enggan pulang. Aku mau di sini saja dan melepaskan segala kekacauan hati dan pikiran ini. Kutelungkupkan kepalaku hingga menyentuh kedua lutut yang kulipat ke depan. Aku diam dan menangis sendiri. Aku senang tempat ini sepi, hanya aku berdua dengan perasaan yang kacau.

* * *
"Maaf, apakah ini milik Anda?"
Seseorang dengan suara yang baru saja kudengar memecah keheningan malam. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi wajahku dan segera mencari arah suara tersebut. Alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di sana. Tubuhnya yang tegap dengan rambut emas yang terurai panjang sedikit melebihi bahu berdiri di sana dalam balutan mantel hitam bertudung persis seperti yang dikenakan sang Runemaster.
"Apakah aku mengenalmu....?" tanyaku, sedikit tak percaya dengan pemandangan di depanku.
Pria tampan itu hanya tersenyum misterius dan mengangguk.
"Si.. Sigurd??" suaraku berbisik lalu hilang ditiup angin. "Tapi kata ibumu di surat itu kau sudah ....."
 "Freyja, batu-batu Rune itu sudah menjelaskan bukan? Ada sesuatu yang jahat yang memicu masalahmu terjadi di masa lalu. Aku masih hidup, Freyja, seperti yang kau lihat. Bahkan ketika kau mendengar kabar itu, aku masih menghirup udara bebas di dunia ini. Ibuku yang telah memisahkan kita. Ibuku tidak ingin aku terlalu dekat denganmu. Ia ingin aku bermain di lingkungan yang lebih kaya dan di masa depan menikahi orang yang kaya," jelas Sigurd.
"Tapi.. tapi.., berita kebakaran itu??" aku semakin bingung.
"Rumah kami memang terletak di blok yang sama dengan kebakaran besar itu, tetapi beruntunglah kami semua selamat. Ibuku memanfaatkan kejadian itu untuk menyebarkan berita bohong tentangku lewat surat, karena ia tahu bahwa aku dan kamu masih berhubungan. Sejak saat itu aku berusaha dengan giat untuk bisa pindah dari rumah ibuku dan mandiri. Aku bertekad mencarimu, Freyja. Aku tidak bisa melupakanmu," kata Sigurd.
"Tapi bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku masih tak percaya.
"Bukan aku yang menemukanmu, kamu yang menemukanku duluan. Itu karena kamu percaya dengan keajaiban. Rune Gebo yang selalu kau kenakan itu telah menjawab permohonanmu. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta. Kamu pernah memikirkan makna-makna itu sebelumnya, tapi kamu tidak yakin dengan hal itu," jawab Sigurd.
"Jadi maksud kedatangan seseorang itu adalah dirimu?" aku teringat akan rune Raidho yang muncul dalam ramalan tadi sore.
"Ya, kau bisa lihat sendiri. Selain kedatangan, Raidho juga simbol untuk reuni, pertemuan kembali,"
Sigurd tersenyum, lalu merentangkan tangannya padaku. Dengan segera aku berlari ke arahnya dan menyambut pelukan hangatnya. Saat itu juga kusadari bahwa ia mengenakan kalung yang sama dengan yang kumiliki. Rune Gebo. Rune Freyja. Lambang hadiah dan cinta.

(Tamat)

*Nattravn : kelompok patroli sipil sukarela di Norwegia yang bertugas mengamankan khususnya para wanita yang terpaksa berjalan sendiri atau berada di luar rumah pada larut malam dari para kriminal atau pelaku pelecehan seksual. Kebanyakan dari para pelaku tersebut adalah para imigran yang datang dari negara-negara konflik.

Freyja's Rune (3)

Sang peramal masih tersenyum penuh misteri. Ia menyentuh Rune ketiga yang terletak di paling kiri. Kemudian ia mendongakkan kepala menatap diriku, sekalipun aku tidak bisa melihat seluruh wajahnya kecuali senyumnya yang tampak sedikit.
"Freyja, Rune ketiga ini menunjukkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Rune ini bernama Raidho yang memiliki arti kedatangan atau perjalanan. Seseorang akan datang di masa depan Anda. Tetapi tidak ada yang dapat mengetahui siapakah orang itu, atau apakah dia akan membawa jawaban bagi pertanyaan Anda," jelas sang Runemaster.
Tanpa sadar senyumku ikut mengembang. Aku memang tidak tahu siapa orang di masa depan itu, tapi aku selalu menyukai pertemuan, apalagi dengan orang baru. Hidupku jarang sekali didatangi orang. Sangat sepi rasanya seorang diri terus menerus.
"Hmm.. baiklah. Bagian ini akan jadi yang paling penting. Rune yang berada paling dekat dengan Anda itu bernama Ansuz dengan posisi terbalik. Ini adalah sebuah peringatan bagi Anda, bahwa ada banyak informasi di sekitar Anda tetapi Anda harus berhati-hati mengartikannya. Cobalah mencari tahu lebih dalam dan tetap percaya pada kata hati Anda," kata sang Runemaster lagi.
Aku sibuk manggut-manggut mengiyakan. Kusimpan dan kuingat hal itu sebagai nasehat untukku. Mulai hari ini aku akan lebih memperhatikan hal-hal di sekelilingku.
"Kita tiba pada dua Rune terakhir. Rune yang agak ke tengah ini Fehu. Ia menunjukkan tantangan yang harus kau hadapi, karena posisinya yang terbalik. Tantangan itu adalah ketidakberuntungan. Sementara Rune terakhir yang terletak paling jauh dari Anda bernama Wunjo. Ia adalah simbol dari kebahagiaan. Rangkaian ini ditafsirkan sebagai kemungkinan terjauh yang bisa terjadi. Berhati-hatilah, Freyja, jangan sampai ketidakberuntungan menggagalkan pencapaian dan pencarian jawaban Anda," sang Runemaster menutup rangkaian penjelasan tentang batu-batu Rune yang terserak di meja.
"Tapi.. tapi.., bagaimana dengan jawaban pertanyaanku? Jadi apa arti hadiahnya?" tanyaku bingung.
"Freyja, perlu Anda ketahui bahwa Rune tidak meramal nasib atau masa depan seseorang. Rune hanya membantu seseorang untuk menemukan jawaban akan pertanyaannya sendiri. Rune menjelaskan di mana posisi seseorang berdiri dalam lingkaran masalah. Selanjutnya terserah orang itu sendiri. Ialah yang menentukan jalannya dengan panduan batu-batu Rune ini," jelas sang Runemaster, yang membuat aku terlihat bodoh dan semakin memperjelas diriku sebagai seorang amatir dengan batu-batu Rune.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku buat, untuk misalnya, menghindari ketidakberuntungan itu?" tanyaku lagi.
"Anda bisa berdoa pada siapapun yang Anda percaya. Tapi jika cinta adalah masalah Anda, maka nama Anda telah menunjukkan solusinya. Mintalah petunjuk pada Dewi Freyja, " saran sang Runemaster.
"Lalu bagaimana dengan arti hadiah itu? Siapa yang bisa menjawabnya?"
"Maaf, sebelumnya jika Anda tidak keberatan, maukah Anda sedikit mendeskripsikan bentuk hadiah itu? Mungkin saya bisa membantu memberi pencerahan," sang Runemaster berkata dengan sopan.
"Tidak perlu deskripsi. Aku sudah membawanya," kataku seraya menunjukkan kalung Rune Gebo-ku yang tidak pernah kulepas sejak pertama aku mendapatkannya.
Sang Runemaster tampak terkejut, hingga sedikit memundurkan tubuhnya. Lalu ia kembali tersenyum.
"Anda tidak perlu menanyakannya lagi. Anda sudah tahu jawabannya. Percayalah pada kata hati Anda," 
Aku terdiam seribu bahasa, berusaha mencerna kalimat-kalimat terakhir sang Runemaster. Dengan cepat aku mengucapkan terima kasih dan permisi sembari melangkah pergi. Runemaster ini sungguh membuatku bingung. Aku tidak mengerti apapun kecuali arti dari setiap Rune itu, yang tentu saja bisa kubaca sendiri di buku. Huh, seandainya saja dia tahu bahwa aku masih sangat amatir dan tidak bisa mengerti dengan mudah semua kata-katanya yang penuh misteri itu.

(bersambung)

29.8.12

Freyja's Rune (2)

Festival Viking dan Abad Pertengahan. Keramaian itu kini tepat berada di depan mataku. Orang-orang dari berbagai golongan berlalu lalang dalam pakaian ksatria Viking atau putri-putri kastil abad pertengahan. Mereka mengenakan aksesoris dan atribut yang sejak lama sangat ingin kumiliki. Aku sendiri hanya mengenakan pakaian sederhana yang kupikir "paling bernuansa abad pertengahan". Aku membawa tas kulit berwarna coklat sederhana dan memakai sandal bergaya kekaisaran Romawi yang diikat silang setinggi lutut. Rambut merahku kubiarkan tergerai alami.

Seiring langkahku semakin jauh ke dalam pasar abad pertengahan itu, aku semakin tidak bisa menghentikan rasa kagumku terhadap festival itu. Aku serasa sungguh-sungguh terlempar ke era Viking dan abad pertengahan. Tenda-tenda, miniatur kastil, orang-orang berlalu lalang dan segala macam acara yang diselenggarakan mengingatkan aku pada gambar-gambar yang terdapat di naskah-naskah kuno. Dari arah panggung selalu terdengar melodi dari berbagai alat musik tradisional yang dimainkan oleh beberapa band secara bergantian. Ah, seandainya aku bersama Sigurd sekarang. Ia pasti senang sekali berada di festival ini. Aku teringat pada salah satu permainan favorit kita ketika kecil dulu. Permainan ksatria Viking yang mengalahkan naga untuk menyelamatkan putri yang dicintainya. Sigurd seolah menjelma menjadi Sigurd sang Pembunuh Naga sungguhan. Sigurd...Sigurd... kuharap sebelum kepergianmu kau telah sedikit mencicipi festival ini.

Hari menjelang sore. Setelah aku berputar-putar seorang diri dalam keramaian festival itu, akhirnya aku menemukan tempat yang kucari. Stand peramal Rune. Aku menjadi yang terakhir mengantri karena rupanya stand itu akan tutup sebentar lagi. Beruntung sekali diriku masih sempat mencoba ramalan itu. Aku sangat tidak sabar melihat sang Runemaster atau Runemistress mempraktekkan kebolehannya. Aku juga penasaran tentang petunjuk Rune itu akan hidupku.

Setelah penantian panjang, akhirnya tibalah giliranku untuk masuk ke sisi dalam tenda yang dikelilingi tirai hitam. Hanya sebuah meja kayu sederhana dan sebatang lilin yang hampir habis menemani sang peramal. Tidak ada satu pun batu Rune yang berserakan di atas meja. Tentu saja, karena nanti akulah yang akan mengambil sendiri dari kantongnya. Demikianlah kalau batu Rune itu dipakai untuk meramal orang lain.
"Selamat malam, Nona. Selamat datang. Boleh saya tahu nama Anda?" tanya sang peramal. Dari suaranya sepertinya ia seorang pria, jadi, Runemaster.
"Freyja," jawabku sembari berusaha mengetahui seperti apa rupa sang Runemaster karena ia mengenakan jubah hitam panjang yang bahkan nyaris menutupi seluruh wajah kecuali mulutnya.
"Apa yang ingin kau ketahui lewat batu-batu Rune ini?" tanyanya.
"Mmm.. aku.. aku.. ingin tahu arti hadiah yang diberikan teman masa kecilku, dan...aku ingin tahu apakah aku akan bisa menemukan cinta lagi setelah kepergian temanku ini," jawabku dengan grogi dan malu.
"Silakan, Anda bisa memulai. Ambil lima batu Rune dari kantong ini," katanya mempersilakan.
Aku merasakan aura mistis di sekelilingku. Asap lilin memenuhi ruangan kecil itu seolah mengaburkan pandanganku dan membawaku ke dimensi lain. Dimensi tempat para leluhur hidup bersama dewa dewi. Dimensi tempat rahasia kehidupanku tersimpan. Aku memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi dan memusatkan pikiran pada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan. Bukan tentang batu Rune, bukan tentang menjadi Runemistress, tetapi tentang arti hadiah Sigurd dan menemukan cinta setelah aku kehilangan dirinya.
Tanpa sadar jariku mendorong keluar lima batu Rune butir demi butir dan menempatkannya pada pola yang telah dibuat sang Runemaster. Semua batu itu kini terserak di atas meja dengan posisi begitu alami --- bahkan sang Runemaster pun tidak menyentuh atau mengubah posisinya sama sekali. Kemudian aku merasa pikiranku dikembalikan ke alam nyata.

"Ah!" sang Runemaster terkejut sembari menatap batu Rune yang sudah terletak dengan manis di atas mejanya. "Maaf, apakah tadi nama Anda Freyja?"
"Ya, namaku Freyja," jawabku tanpa mengerti alasan sang Runemaster terkejut.
"Bagaimana bisa...," ia berbisik seolah pada dirinya sendiri. "... Freyja, perlu kuberi tahu sebelumnya bahwa semua batu Rune yang kau ambil secara kebetulan tergolong dalam batu Rune Freyja. Ada tiga golongan batu Rune yaitu Freyja atau Frey, Heimdall dan Tyr ...."
Suara sang Runemaster seolah makin samar dan menghilang. Aku terkejut dan melamun mengamati setiap batu Rune yang terletak di meja. Benar kata sang Runemaster. Semua batu Rune yang kuambil merupakan anggota dari Rune Freyja.
"Baiklah, saya akan mulai dari Rune di sebelah kanan. Rune ini bernama Thurisaz, tetapi posisinya menelungkup ketika Anda ambil tadi. Rune ini menunjukkan sesuatu di masa lalu yang memicu masalah Anda. Ada sesuatu yang tidak baik yang tersamar menjadi sesuatu yang baik di masa lalu Anda," jelasnya.
Aku berpikir keras berusaha mencari jawabannya. Di hadapanku seolah tergambar nyata kejadian ketika Sigurd berpamitan dan pindah dari rumah sebelah ke kota besar dan aku berlari mengejarnya dengan sedih. Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Apa yang membuat Sigurd pindah dengan terburu-buru dan ibunya melarangnya memberi tahuku?
"Rune berikutnya terletak di tengah, dekat dengan Anda. Rune ini bernama Kaunaz tetapi letaknya terbalik. Ini menunjukkan diri Anda di masa kini. Anda mengalami suatu masa yang suram, gelap dan seolah tidak memiliki petunjuk apapun tentang masalah yang Anda ingin tahu jawabannya," kata sang Runemaster.
Aku mengangguk menyetujui apa yang dikatakan batu-batu Rune itu. Kulihat sang Runemaster tersenyum dari balik bayang jubahnya. Aku seolah ingin mengingat sesuatu, tetapi aku tidak bisa menemukan hal itu dalam memoriku. Masih ada empat batu Rune lagi yang menunggu untuk dijelaskan lebih lanjut. Sang Runemaster bersiap dengan Rune yang paling kiri. Ia tersenyum lagi dengan penuh misteri. Aku begitu tegang menunggu penjelasannya. Entah baik atau buruk sesuatu yang akan ditunjukkan oleh batu Rune itu.

(bersambung)


25.8.12

Freyja's Rune (1)


Pagi itu sangat cerah. Aku tidak menyangka akan menerima kabar buruk yang begitu mendadak. Seseorang berdiri di depan pintu rumahku dan menekan bel. Aku masih sangat kecil ketika itu, mungkin sekitar 6 tahun usiaku. Ibu berjalan menuju pintu dan membukanya. Sosok kecilnya berdiri di sana. Sigurd, tetanggaku, teman bermainku, dan seseorang yang diam-diam kusukai.
"Freyja, maaf aku baru bilang sekarang. Ibu selalu melarangku kemari, jadi aku tidak bisa menemuimu. Aku harus pergi sekarang," katanya.
Ibuku langsung mempersilakan ia masuk, tetapi ia menolak. Alasannya sama, ditunggu oleh ibunya. Aku tidak menyangka salam itu menjadi salam perpisahannya. Dengan cepat suara ibunya yang berteriak-teriak memanggil dirinya. Aku tak sempat membalas apapun sebelum ia pergi dari hadapanku. Aku berlari mengejarnya, tetapi ia telah menghilang masuk ke dalam mobil. Aku melihat dirinya dari balik kaca mobil yang gelap. Ia menangis. Aku juga. Kupanggil namanya.. Sigurd.., Sigurd..., berharap mobil berhenti dan menurunkan dirinya. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. Mobil itu menghilang di belokan jalan. Aku masih terdiam dan menangis di situ, sampai ibuku datang dan memelukku. Ia menjelaskan bahwa keluarga Sigurd pindah ke kota, tetapi mereka tidak memberikan alamat barunya, entah mengapa.

* * *
Aku tersentak dari lamunanku, tanpa sadar tanganku menggenggam kuat bandul kalung yang tergantung di dadaku. Sekeping batu bertanda seperti huruf X atau silang itu sesungguhnya adalah salah satu huruf Rune bernama Gebo. Kalung itu pemberian Sigurd untuk ulang tahunku yang ke-12, sebelum akhirnya ia pergi untuk selamanya. Aku masih ingat bungkusan kecil yang kuterima pada pagi hari ulang tahunku di kotak surat. Di dalamnya ada satu set batu Rune, sebuah buku tentang cara pemakaiannya dan kalung ini disertai secarik kertas. "Untuk Freyja. Semoga masa depanmu menjadi masa depan terindah seperti yang kau bayangkan. -- Sigurd." demikian tertulis di kertas itu.

Ketika itu aku tidak mengerti apa maksud Sigurd memberikan hadiah semacam itu padaku. Satu set batu Rune bukanlah hal yang biasa, meski cukup sering ditemukan di sini. Benda itu sudah digunakan oleh leluhur bangsa kami sejak zaman dahulu kala, tepatnya untuk meramal nasib atau membaca situasi dan karakter seseorang. Orang yang ahli menggunakan Rune untuk hal-hal demikian disebut Runemaster atau Runemistress. Mungkinkah Sigurd ingin aku menjadi Runemistress? Atau ia memberikannya hanya untuk koleksiku saja? Sejujurnya aku tidak percaya diri menggunakannya. Aku merasa tidak punya talenta mengetahui masa depan atau membaca situasi dan semacamnya menggunakan media. Tidak, aku belum berani menggunakannya. Aku merasa aku belum percaya sepenuhnya pada benda warisan leluhur itu. Setiap kali aku ingin mencobanya pada akhirnya aku hanya membiarkan Rune itu berserakan di meja. Seperti yang lagi-lagi kulakukan hari ini, ketika aku bosan dan tidak punya hal lain untuk dikerjakan.

Aku mulai membolak-balik buku yang datang bersama batu-batu Rune itu. Buku itu sudah kubaca berulang kali. Di dalamnya tertera sejarah Rune, asal muasalnya, arti setiap karakternya dan yang terpenting, cara meramal menggunakan Rune. Tetapi bagian favoritku (dan yang paling kuingat) adalah penjelasan tentang Rune Gebo. Rune Gebo, merupakan salah satu bagian dari rangkaian delapan Rune Freyja, yaitu delapan Rune pertama dari seluruh Rune. Rune Gebo memiliki tiga makna utama, yakni hadiah, cinta dan pengampunan. Mungkinkah Sigurd memilih Rune ini untukku hanya karena Rune ini menyimbolkan hadiah? Atau dia meminta maaf karena kami tidak lagi bisa bermain bersama? Atau..., ah.., aku tidak terlalu yakin dengan makna ketiga. Sigurd dan aku hanya teman masa kecil, sekalipun rasa sukaku padanya belum hilang sampai sekarang. Setelah kepergiannya, aku merasa tidak akan bisa mencintai orang lain. Aku selalu merindukan dia.

* * *
"Freyja...," suara lembut ibuku membangunkan tidurku yang sangat tidak nyaman. "Astaga, Freyja! Kenapa kau tidur di meja? Pasti kau ketiduran lagi semalam."
Ibu berjalan masuk ke kamarku selagi aku mengusap mata dan memaksa tubuhku untuk kembali menghadapi rutinitas sehari-hari. Kulihat ibuku sudah rapi berpakaian, seperti biasa ia selalu bangun lebih pagi dariku.
"Freyja, apa yang kau lakukan?" ibu mengusap kepalaku dengan lembut, lalu pandangannya beralih ke meja. "Ah, Rune itu lagi. Sampai kapan kau akan membuatnya berserakan tanpa melakukan apapun? Sudahlah, benda seperti itu bukan untukmu, Freyja. Kau bukan Runemistress. Keluarga kita tidak terlahir dengan talenta itu," kata ibu.
"Tapi Bu, Sigurd memberikan ini padaku, pasti ada maksudnya," aku bersikeras.
"Sigurd?" ibu mengernyit. "Sudahlah, Freyja. Sigurd tidak akan kembali. Ia sudah lama tiada. Ibu mengerti perasaan kehilanganmu, Sayang. Tapi Ibu tidak ingin melihatmu terus menerus berada dalam kesedihan dan kenangan masa lalu. Kau harus kembali menjalani hidupmu. Banyak lelaki di luar sana. Kau bisa bersenang-senang dan melupakan sejenak kepergian Sigurd."
Aku mendesah kecewa. Aku tahu Ibu pada akhirnya akan berkata demikian dan aku sadar bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Hidupku harus terus berjalan, sekalipun tanpa Sigurd. Tapi bersenang-senang dengan lelaki lain? Itu tidak mungkin. Semua orang di luar sana menganggapku aneh. Aku tidak cantik, seleraku tidak umum. Huh, ujung-ujungnya aku akan kembali pada kenangan akan Sigurd-ku dan berharap ia masih ada. Ya, kalau saja ia masih ada. Aku sedih jika teringat bahwa aku tidak ada di sisinya pada hari terakhirnya. Aku masih tidak bisa menerima fakta bahwa aku tidak menghadiri pemakamannya. Bahkan aku tidak tahu di mana ia dikuburkan. Aku sedih jika mengingat bahwa aku tidak melewatkan hari-hari bersamanya lebih banyak. Kenangan yang tersisa padaku hanyalah kebersamaan di masa kecil dan hadiah ini. Karenanya aku ingin setidaknya aku mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya, karena aku merasa tulisan di kertas itu adalah pesan terakhirnya.
"Freyja? Apa kau dengar Ibu?" tanya ibuku ketika tersadar bahwa aku melamun lagi.
"Eh, iya Bu, tentu aku dengar. Terima kasih untuk sarannya, Bu. Mungkin aku akan coba lain kali. Untuk sekarang, aku masih ingin mencoba mempergunakan hadiah ini sebaik-baiknya. Mungkin suatu saat aku akan bisa menggunakan batu-batu Rune ini," kataku.
"Hmm.. seperti biasa, anak Ibu selalu keras kepala. Baiklah, kalau Ibu boleh memberi saran, sebaiknya jika kau ingin bisa menggunakan Rune ini, kau belajar pada ahlinya," kata Ibu.
"Ahlinya? Siapa?" tanyaku, sedikit gembira karena rupanya Ibu tidak melarangku sama sekali untuk terus mencoba.
"Mungkin pertama-tama kau harus mencoba diramal menggunakan Rune dulu," kata Ibu lagi. "Lihat ini, Ibu mendapatkan ini ketika pergi ke pasar tadi pagi," ia menyodorkan sebuah brosur padaku.
"Festival Viking dan Abad Pertengahan?!" aku terkejut ketika membaca tulisan yang tertera di brosur itu.
"Baiklah, Freyja. Semoga itu bisa membantumu. Ibu akan ke dapur sekarang. Cepat kau mandi dan bereskan batu Rune yang berserakan itu," kata Ibu yang kemudian berlalu pergi.
Festival Viking dan Abad Pertengahan. Acara itu sesungguhnya merupakan acara tahunan di Bergen, tetapi karena aku baru pindah kemari setahun lalu maka kali ini adalah kesempatan pertamaku untuk melihat dan menikmatinya secara langsung. Festival itu berlangsung setiap musim panas selama beberapa hari. Di sana akan ada banyak sekali musisi dari seluruh Eropa yang tampil secara langsung. Musik-musik mereka umumnya bernuansa folk, abad pertengahan atau metal. Orang-orang yang datang ke festival itu akan mengenakan pakaian bergaya Viking dan abad pertengahan. Di festival itu juga akan ada pasar yang menjual berbagai pernak pernik bernuansa abad pertengahan dan era Viking. Tidak ketinggalan sesuatu yang paling kucari : stand peramal tempat Runemaster dan Runemistress yang berpengalaman akan meramal memakai batu Rune. Aku sangat tidak sabar ingin mencobanya untuk pertama kali. Mungkin besok akan jadi hari yang sangat menyenangkan.

(bersambung)





24.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (5 - end)

Alangkah terkejutnya Thorvard ketika ia tiba di negerinya. Desa-desa di sekitarnya sudah porak poranda. Bekas-bekas terbakar api tampak di sana sini. Entah apa yang terjadi di dalam kastil ia tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya. Ia ingin segera menemui gadis yang bernama Yngva lalu berlari mencari ayahnya. Menara kastil dan gerbangnya masih kokoh berdiri, tetapi bekas pertempuran terlihat jelas di berbagai sisi. Ia tidak tahu lagi siapa yang berkuasa di dalam kastil itu.

Thorvard berlari menuju salah satu reruntuhan desa. Ia tidak dapat menemukan seorang pun di sana. Lebih terkejut lagi karena yang dilihatnya hanyalah mayat-mayat orang tak bersalah tertancap di tombak-tombak yang dipancangkan di kiri kanan jalan --- tanda legitimasi kekuasaan dan kemenangan suku barbar yang menyerang mereka. Sepanjang hari ia mencari keberadaan atau setidaknya tanda-tanda keberadaan Yngva. Ia sangat berharap gadis itu masih hidup. Tetapi kenyataan yang tampak menunjukkan sebaliknya, bahkan tak ada manusia tersisa di desa itu. Pastilah meskipun ada yang selamat mereka telah melarikan diri entah ke mana.

Ksatria itu menatap langit. Di ufuk timur sudah muncul cahaya kemerahan. Ia tahu ia akan gagal menjadikan pagi kemarin sebagai pagi terakhirnya dalam wujud serigala. Sadar bahwa tidak ada satu pun manusia yang melihatnya, ia membiarkan tubuhnya berubah sosok di tempat terbuka tanpa bersembunyi terlebih dahulu. Dengan mata serigalanya, Thorvard mendapatkan penglihatan yang lebih tajam. Penciuman dan pendengarannya juga menjadi lebih baik. Dari sinyal bau ia ketahui bahwa tak jauh dari tempat itu ada sosok manusia. Dengan cepat diputarnya pandangan ke segala arah. Hutan keramat. Ke arah sanalah Thorvard mengikuti bau itu dan mendapati seorang gadis berambut emas berkepang yang kulitnya nyaris sama putihnya dengan salju. Yngva, berdiri di antara pepohonan ek yang tertutup salju di tepi hutan. Melihat kecantikan sang gadis, Thorvard jadi lupa diri.
"Selamat pagi, gadis cantik. Apakah kau Yngva?" tanya Thorvard dalam wujud serigala.
 Yngva terkejut mendengar suara geraman serigala tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mundur beberapa langkah dan memasang tatapan waspada.
"Yngva, tunggu! Kau harus menolongku. Aku mohon, aku minta sedikit saja air matamu."
Sang serigala berjalan mendekat sehingga kali ini Yngva dapat melihat sosoknya dengan jelas. Serigala itu menggeram-geram dan menatap lekat-lekat dirinya. Yngva mulai merasakan ancaman yang berada di dekatnya. Gadis itu berlari masuk ke dalam hutan.
"Yngva, tunggu aku!" seru Thorvard, ia langsung berlari menyusul Yngva.
"Oh, tidak! Hidupku dalam bahaya! Kenapa tiba-tiba ada serigala di sini?" pikir Yngva selagi kakinya melangkah cepat melompati semak-semak dan akar pohon.
Yngva berlari dan terus berlari. Sama seperti ketika suku barbar penunggang kuda itu mengejar dirinya. Ia berbelok ke sana dan kemari menghindari kejaran serigala. Tetapi Thorvard berlari begitu cepat. Penciuman dan pendengarannya yang tajam membuat Yngva selalu gagal menghilangkan jejak. Gadis itu terpaksa menghindar dengan memanjat pohon.
"Baiklah, aku akan tunggu di sini sampai dia pergi," pikir Yngva. Ia menempatkan diri pada dahan yang tidak mampu dicapai oleh Thorvard.
Thorvard berdiri dan menunggu di bawah. Bagi Yngva, sang serigala tidak kunjung berhenti menggeram dan melolong. Tetapi sesungguhnya Thorvard berbicara padanya dalam bahasa yang tak diketahuinya.
"Jangan takut, Yngva. Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji. Tolonglah aku yang malang ini. Aku hanya meminta sedikit air matamu," mohon Thorvard. 
"Sungguh menakutkan, aku harus mencari cara untuk berlindung dari serigala ini. Kutunggu mentari terbenam dan aku akan berlari ke danau sehingga aku dapat menjadi bunga salju. Mungkin serigala itu tidak akan tertarik lagi untuk memangsa diriku," Yngva mendapatkan ide cemerlang.
* * *
Musim dingin menyebabkan siang tidak berlangsung panjang. Dengan cepat ufuk barat menjadi kemerahan tanda mentari hendak terbenam dan berganti dengan bintang-bintang malam. Yngva melihat sang serigala. Tampaknya ia tidak lagi memperhatikan. Namun sesungguhnya Thorvard pun menunggu malam tiba sehingga ia dapat berbicara dengan Yngva dalam sosok ksatrianya. Yngva turun dari pohon dengan mengendap-endap. Ketika ia sudah sedikit menjauhi pohon itu, Thorvard tersadar.
"Oh tidak, ke mana perginya gadis itu?" ia kebingungan mencari sosok Yngva. "Tidak bisa, aku harus jadi manusia seutuhnya mulai besok. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan." pikirnya.
Beruntunglah Thorvard karena gadis itu tidak pergi jauh. Yngva berdiri di tengah kolam yang membeku seolah menantikan sesuatu. Thorvard memutuskan untuk mengawasi gadis itu dari balik pohon dan keluar ketika malam mengubah sosoknya. Perlahan-lahan langit hitam musim dingin mendatangkan kegelapan di atas bumi. Yngva masih berdiri di sana, kini bermandikan sinar bulan. Sosok berwarna putih itu semakin putih dan menyatu dengan es di bawah kakinya. Perlahan dan anggun ia menjadi sosok yang berbeda sekali. Setangkai bunga salju.
"Tidak!! Yngvaaaa!! Apa yang terjadi?? Mengapa sosokmu berubah? Aku baru saja hendak meminta tolong padamu," Thorvard melompat keluar dari balik pohon, kini dalam sosok ksatrianya.
Dalam sosok bunga saljunya Yngva terkejut. Sosok yang melompat ke arahnya, bukan seekor serigala, tetapi seorang ksatria tampan.
"Oh, jangan... jangan sekarang..., aku tak ingin berubah jadi bunga salju. Dewi musim dingin, kembalikan sosokku," pintanya dalam hati. "Bagaimana jika ia sang ksatria itu? Tidak, aku tidak bisa melihat diriku membunuh orang lain."
"Yngva, tolonglah... kembalilah jadi manusia..."
Thorvard berlutut dan memohon. Ia menyentuh lembut kelopak beku sang bunga salju. Ia mendapatkan ide. Mungkin dengan mencabutnya, sosok Yngva akan kembali. Thorvard menempatkan genggamannya pada tubuh bunga itu.
"Hentikan perbuatanmu, wahai Ksatria. Kau akan mati jika mencoba memetik diriku," cegah Yngva dalam suara yang tidak terdengar oleh Thorvard.
Thorvard mulai menarik tubuh sang bunga salju. Akarnya begitu kuat dan sulit tercabut. Permukaan es tempat dia tumbuh bahkan tidak kunjung retak. Justru jari-jari dan telapak tangan sang ksatria mulai biru dan membeku. Tetapi ia terus berjuang.
"Cukup sudah, Ksatria! Jangan lakukan itu! Aku tak ingin kau mati oleh karena diriku!" Yngva menjerit sia-sia.
"Walau tubuhmu akan membekukanku, aku akan tetap menarikmu. Aku ingin kau kembali, Yngva!" Thorvard bersikeras selagi es mulai merambat dan membekukan seluruh tangannya.
"Tolonglah dengarkan aku...,"
Yngva pasrah. Hatinya menangis melihat perjuangan sang ksatria. Thorvard masih berusaha mencabut tubuhnya dari tanah. Kedua kaki sang ksatria sudah membeku. Es terus merambat menyelimuti separuh tubuhnya.
"Aku pasti bisa melakukannya. Yngva, kau akan kembali, kau harus menolongku," ia bersikeras.
Es tempat bunga itu tumbuh mulai retak. Tetapi bunga itu masih sulit tercabut. Waktu sang ksatria tidak banyak. Es hampir mencapai jantungnya. Jika es itu berhasil, maka sang ksatria akan mati.
"Yngva, kembalilah...,"
Thorvard berbisik lemah, namun tarikan tangannya tidak berkurang kuatnya. Ia kehilangan napasnya tepat ketika sang bunga salju tercabut dari tanah es yang mengurungnya. Sang ksatria terkapar di lantai beku kolam dengan bunga salju dalam genggamannya. Namun perlahan-lahan wujud bunga salju itu lenyap. Sosok Yngva yang seputih salju terbaring tepat di samping sang ksatria. Ia segera tersadar dan menghampiri Thorvard yang membeku.
"Oh, tidak...," bisik Yngva lirih dan sedih. "Tidak..., aku telah membunuhnya...," suara tangis gadis itu memecah kesunyian hutan di malam hari.
Ia mendekap Thorvard begitu erat, seolah hendak mengantarkan hangat tubuhnya dan mencairkan es yang membekukan tubuh sang ksatria. Air matanya jatuh dan membasahi pipinya, lalu mengalir jatuh tepat di dada sang ksatria malam. Tanpa Yngva sadari, air matanya yang hangat memberikan keajaiban. Es yang menyelimuti tubuh sang ksatria mulai mencair. Napas kehidupan perlahan kembali pada Thorvard. Ketika ia mulai tersadar dan membuka mata, dilihatnya kecantikan Yngva dalam balutan duka berada tepat di hadapannya. Ia melihat butir-butir air mata yang membasahi wajah sang gadis. Air mata yang telah menyelamatkan dirinya dan menghapus kutukannya.
"Yngva," panggilnya, "terima kasih." lalu didekapnya gadis itu dengan begitu erat.
Yngva terkejut lalu tersenyum ketika menyadari bahwa sang ksatria tidak mati. Ia membalas dengan dekapan yang sama. Air matanya menjadi air mata bahagia. Berakhirlah sudah kutukan atas mereka berdua.

Thorvard Sigmundson kembali ke kastilnya dan mendapati bahwa tidak ada keluarganya yang selamat. Kastil itu telah jatuh ke tangan suku-suku barbar. Ia kembali pada Yngva Thunorsdottir dan menikahi gadis itu disaksikan segala penghuni hutan keramat. Keduanya bersumpah menjaga hutan itu dari ancaman musuh atau orang-orang yang akan merusak hingga akhir hayat mereka. Konon katanya ketika mereka meninggal, Yngva dikuburkan di dekat kolam di tengah hutan dan makamnya dipenuhi oleh bunga-bunga salju yang tumbuh cantik di musim dingin, sementara Thorvard dikuburkan di sampingnya, tetapi arwahnya menjelma menjadi serigala abu-abu yang mendiami dan menjaga hutan itu sampai sekarang.

(end)

23.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (4)

Akhirnya Yngva bangkit berdiri. Ia sadar bahwa meratapi kehancuran di depan matanya sungguh tidak akan menghasilkan apapun. Ia memutuskan untuk melaksanakan nazarnya pada sang dewi di dalam hutan tadi. Sejak saat itu Yngva tinggal di hutan keramat bersama alam liar di dalamnya. Segala hewan dan tumbuhan menjadi temannya dan ia menjaga mereka dengan baik. Sesekali ia mendekat ke tepi hutan dan memastikan tidak ada satu pun orang dari desanya yang memasuki atau merusak hutan itu.

Pada akhir bulan itu, sang dewi meniupkan musim dingin ke seluruh penjuru negeri. Musim dingin itu menjadi musim dingin terdingin yang pernah dialami Yngva. Tidak ada perapian hangat di rumah atau makanan lezat di meja makan. Tidak ada ayah maupun ibu. Yngva melaluinya dengan seorang diri berada di dalam hutan. Ia berlindung di gua, menyalakan api dengan kayu bakar dan batu api dan menyantap kelinci salju. Dengan terpaksa ia kembali ke cara hidup kuno yang pernah ada di negeri itu juga. Mau tidak mau ia melakukannya sekalipun ia mulai merasa bosan.

Tetapi hutan keramat adalah hutan yang menakjubkan. Banyak hal indah tersimpan di dalamnya. Yngva sering berjalan-jalan mengamati indahnya musim dingin di hutan itu ketika ia bosan. Suatu hari, ia putuskan untuk kembali melihat air terjun dan kolam awal mula hidupnya berubah. Ia penasaran dengan air terjun yang membeku oleh musim dingin. Beruntung hari itu salju tidak turun sehingga ia bisa berjalan dengan aman sampai tiba di tempat itu. Alangkah terkejutnya Yngva ketika dilihatnya sesuatu yang baru telah berada di sana. Kolam tempat air terjun membeku berakhir telah dipenuhi dengan sesuatu yang indah. Serumpun bunga salju berwarna putih kebiruan seperti kristal yang tumbuh subur dari tanah yang beku.
"Alangkah cantiknya bunga-bunga ini. Tak pernah kulihat sebelumnya bunga-bunga seindah ini tumbuh di musim dingin. Kurasa tidak apa-apa aku memetik beberapa tangkai, setidaknya untuk menghias guaku yang sepi," pikir Yngva, lalu tangannya mulai memetik beberapa tangkai bunga.
Tapi tidak mudah rupanya melangkah pergi dari kolam beku. Yngva mulai merasakan dingin yang aneh merambat dari telapak kakinya hingga ujung rambutnya. Kakinya menjadi sulit digerakkan seolah menyatu dengan air kolam yang telah menjadi es. Es itu merambat menutupi seluruh tubuhnya. Yngva berteriak namun suaranya tertahan. Tubuhnya kembali berubah menjadi bunga salju. Tangkai-tangkai bunga yang dipetiknya berserakan di sekitar dirinya. Lalu muncullah sang dewi musim dingin.
"Yngva Thunorsdottir? Apa yang kau lakukan dengan bunga-bunga di kolamku? Bukankah kau sendiri telah berjanji untuk menjaga hutan ini dan tidak merusak atau mengambil apapun yang ada di dalamnya? Sebagai hukumannya kau harus menjalani separuh masa hidupmu menjadi pengganti bunga-bunga salju yang kau rusak. Dalam gelap malam kau akan jadi cahaya yang menyihir banyak orang untuk mencabut akarmu. Banyak orang akan mati karena dirimu. Hanya seorang ksatria yang tepat yang dapat mengembalikan hidupmu, tetapi ia harus menukarnya dengan nyawanya sendiri," sang dewi berkata, lalu menghilang, meninggalkan sang bunga salju yang menangis dalam hati menyesali kesalahan dan meratapi nasibnya.
* * *
Malam telah tiba. Thorvard yang sedang dalam perjalanan kembali ke negerinya terpaksa berhenti dan menumpang di rumah penduduk. Rumah yang ia tempati tidak besar dan terbuat dari kayu dengan lubang di bagian tengah rumah sebagai lubang sirkulasi udara sekaligus cerobong asap. Di dalamnya tinggal seorang nenek yang sudah tua seorang diri. Dengan ramah ia memberikan tumpangan bagi Thorvard untuk bermalam di rumahnya. Sang nenek tidak berbeda dari orang tua pada umumnya, kecuali satu hal, bahasa yang digunakannya bukan bahasa penduduk desa, seolah-olah nenek ini seorang bangsawan yang menyamar. Mungkin dulunya ia pekerja istana. Satu hal lain yang dari tadi membuat Thorvard penasaran: pandangan mata sang nenek padanya seperti mengawasi atau menyimpan misteri diam-diam.

"Saya tahu siapa kamu, Nak. Kau adalah sang ksatria malam yang banyak dibicarakan orang-orang, bukan?" tanya sang nenek ketika mereka menikmati makan malam bersama.
Thorvard tidak menjawab. Ia membiarkan nenek misterius itu melanjutkan kalimatnya.
"Apakah orang lain tahu mengapa kamu disebut ksatria malam?" tanyanya lagi.
"Tentu saja, karena aku hanya muncul pada malam hari," jawab Thorvard.
"Maksud saya, alasan sesungguhnya yang membuat kamu terpaksa keluar hanya pada malam hari," kata "terpaksa" ditekannya dengan sengaja sehingga Thorvard sedikit terkejut.
"Aku? Terpaksa keluar pada malam hari? Apa maksud Nenek?" Thorvard pura-pura bodoh.
"Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi. Saya tahu betul apa yang menimpamu, Nak. Sungguh kasihan dirimu, kalau saja para dewa tidak terlalu kejam dan bisa membatalkan kutukan mereka padamu. Saya sudah dengar akan segala kebaikan yang kamu lakukan. Dengan berani kamu mengabdi pada banyak raja dan melindungi negeri-negeri dari bahaya. Sungguh, kamu pantas mendapat pengampunan," kata sang Nenek lagi.
"Aku tidak mengerti bagaimana Nenek bisa tahu akan kutukan itu. Tapi, kurasa para dewa benar, aku memang tidak pantas hidup sebagai putra tuan tanah kaya yang sombong. Lebih baik aku jadi serigala saja. Setidaknya aku berburu hanya untuk makan, bukan kesenangan, lalu menghancurkan alam ciptaan ini," kata Thorvard merendah.
"Kau yakin tidak ingin kembali menjadi manusia sepenuhnya? Baiklah ksatria malam, saya rasa kamu bisa memutuskan sendiri. Tetapi suatu rahasia sebaiknya tidak disimpan terlalu lama apabila ia berguna. Temuilah seorang gadis di kampung halamanmu yang bernama Yngva. Ialah satu-satunya yang dapat menolongmu. Mintalah beberapa tetes air matanya untuk mengembalikan kutukan yang menimpamu. Sebaiknya kau cepat pulang, kudengar desa tempat tinggal gadis itu sudah porak poranda oleh serangan suku barbar," kata sang nenek misterius.
"Bagaimana bisa aku menemukannya sedangkan aku tidak tahu seperti apa rupa gadis itu?" tanya Thorvard.
"Kulitnya putih seperti salju dan rambutnya emas berkepang," jawab sang nenek.
Dengan cepat Thorvard menghabiskan makanannya lalu berpamitan pada nenek itu seraya mengucapkan terima kasih. Ia menyambar mantelnya lalu pergi menghilang dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mencari Yngva.

(bersambung)