25.4.14

Dongeng Peri Clairessa (2)

Setelah perjalanan panjang yang menegangkan, Clairessa tiba di tepi hutan. Meski cahaya tubuhnya begitu terang, ia berhasil mengelabui para penjaga Tropicalea dengan bersembunyi di balik dedaunan. Ia mencari-cari Lichta dan peri-peri lain. Namun bukan Lichta yang ia temukan, melainkan beberapa manusia yang datang memasuki hutan. Clairessa terpaku memandang mereka. Begitu besar dan gagah. Mereka mengenakan pakaian berlapis-lapis dan menggendong tas yang besar di punggung. Clairessa tahu semua benda-benda itu, karena meski dunianya berbeda dengan para manusia, ia telah mempelajari tentang mereka dalam buku-bukunya.

Sambil bersembunyi di balik dedaunan, Clairessa memperhatikan para manusia itu. Ketiganya pria, namun mereka tampak berbeda. Salah satunya berkulit sangat terang, putih seperti nyala tubuhnya. Rambutnya keemasan seperti warna pakaiannya, yang menyimpan cahaya mentari terlampau banyak. Ketiga manusia itu duduk di tanah. Salah satunya mulai menumpuk kayu di bagian tengah. Clairessa tahu apa yang harus ia lakukan. Manusia itu ingin membuat api unggun, dan para peri cahaya seharusnya hadir di sana untuk menghasilkan api dan menjaganya agar tetap menyala sepanjang malam. 
"Jangan gila kau, Clairessa! Mana mungkin kau bisa membuat api?! Panas saja kau tak punya," ejek Lichta yang tiba-tiba saja sudah terbang di belakangnya.
"Ah, tidak. Aku tidak akan melakukannya. Lagipula, belum saatnya kita di sana dan membantu mereka. Itu tugas para peri yang sudah resmi meninggalkan Tropicalea," ujar Clairessa.
"Buat apa menunggu mereka. Kenyataannya kitalah yang ada di sini dan kita sudah cukup pandai untuk melakukannya," kata Sonneia, dikedipkannya salah satu matanya ke arah Lichta.
"Kalian gila! Bagaimana kalau itu berbahaya?" Clairessa terdengar panik. Ia berusaha memperingatkan teman-temannya.
"Kau terlalu penakut. Aku yakin itu tidak masalah," kata Lichta, kemudian terbang meninggalkan Clairessa di balik pepohonan. Sonneia dan peri-peri cahaya lainnya menyusul di belakangnya.
Clairessa memilih untuk menunggu dan menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh para peri cahaya itu. Dilihatnya salah satu manusia itu tengah mengambil dua buah batu dan mulai menggosok-gosokkan keduanya. Ia tahu, bahwa gosokan dua batu adalah tanda bagi para peri untuk terbang mendekat dan membuat api di sekitar bagian batu yang bergesekan. Di saat itulah Lichta, Sonneia dan yang lainnya terbang menuju kedua batu itu. Mereka menari dan menari di sana, menciptakan percikan api yang berpijar kecil di antara keduanya. Batu itu didekatkan pada kayu, dan mereka terus menari dan menari hingga menciptakan api yang sangat besar. Lichta dan Sonneia begitu bangga akan pekerjaan mereka, yang tentu saja belum selesai, karena mereka harus mempertahankan api itu sampai pagi.

Jam demi jam berlalu. Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka mulai kelelahan. Clairessa menyadari hal itu dari api yang mulai meredup. Dilihatnya ketiga manusia yang sudah tertidur tampak sedikit tidak nyaman. Berulang kali mereka menggosok-gosokkan telapak tangannya akibat dingin yang menusuk. 
"Tampaknya peri-peri cahaya yang membuat api kita tidak mampu bertahan lama," komentar salah satu dari mereka yang tiba-tiba terbangun akibat ketidaknyamanan itu.
"Belum apa-apa apinya sudah kecil, Payah! Padahal kayunya masih banyak," keluh yang lain.
"Ini belum apa-apa, teman. Di negeriku, Frozenland, jarang sekali kami memiliki malam hangat seperti ini. Terutama tahun-tahun belakangan ini. Para peri cahaya tidak mampu bertahan lama di bawah suhu dingin akibat sinar mentari yang mereka serap terlalu sedikit," ujar yang berambut emas.
Akhirnya Lichta, Sonneia dan para peri cahaya pengikut mereka tidak lagi mampu bertahan. Mereka terkulai lemas di sekitar kayu-kayu yang belum terbakar, lalu tertiup angin dan menghilang dalam gelap, menyisakan kabut tipis sebagai jejaknya, yang dikenal manusia sebagai asap. Para manusia tampak kecewa. Mereka bermaksud menyalakan api lagi. Di saat itulah Clairessa keluar dari persembunyiannya.
"Oh lihat, kawan!" seru salah satu manusia itu. "Ada peri kecil yang tersisa! Terang sekali cahayanya!"
"Mungkinkah ia bisa membuat api?" tanya yang lain.
"Aku tak yakin, karena ia seorang diri dan kecil. Tetapi cahaya terangnya bisa menyalakan lentera kita," kata yang berambut emas.
Pria berambut emas itu kemudian mengulurkan tangannya dan berusaha meraih Clairessa untuk disimpan dalam lentera. Tentu saja Clairessa sangat senang, karena ia setidaknya bisa membantu para manusia itu.
"Wah, aneh sekali! Aku bisa menyentuhnya tanpa merasa terlalu panas!" ujar yang berambut emas dengan nada senang.
"Masa sih? Bagaimana bisa? Peri cahaya 'kan panas sekali, apalagi yang berasal dari negeri ini," temannya tampak heran.
"Ya, aku baru saja menyentuhnya. Rasanya cukup hangat, mengingatkan aku pada hari-hari bermentari di negeriku," kata yang berambut emas mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak salah kau pernah bilang, kalau negerimu sedang mengalami masalah cuaca. Mengapa tidak kau bawa saja lentera dengan peri cahaya ini. Kurasa cahayanya akan cukup membantu menerangi hari-hari gelap tanpa matahari yang kau katakan," usul salah satu manusia itu.
"Hmm.. kau benar juga,"
"Ya, betul sekali itu! Lagipula panasnya sepertinya akan cukup untuk orang-orang di negerimu yang tidak terlalu menyukai panas seperti bangsaku," timpal yang lainnya.
Si rambut emas tersenyum senang mendengar usul kedua temannya. Ia mengangguk-angguk penuh persetujuan. Dalam lentera, Clairessa menari bahagia. Tak ia sangka ia akan mengetahui kegunaan dirinya secepat itu. Bahkan saat ini ia semakin tidak sabar melihat negeri lain yang terdengar begitu jauh dari Tropicalea. Meski ia harus meninggalkan tanah kelahirannya, Clairessa tidak keberatan. Ia begitu senang memperoleh kesempatan menemukan dirinya kembali, dan mungkin, memperoleh teman yang sesungguhnya.

(bersambung) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar