Tampilkan postingan dengan label münchen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label münchen. Tampilkan semua postingan

5.2.14

Langit Biru Langit


Langit biru langit
terindah
adalah
langit biru di bawah-
nya mimpiku menari
Biru langit biru
terindah 
ialah
biru langit padanya
aku berkaca bahagia
Langit biru langit
terindah
adalah
langit biru dilintasi
sayap-sayap kebebasan
Biru langit biru 
terindah
ialah
biru langit berpadu
coklat merah bebatu
jalan kota tua itu
Langit biru langit
biru langit biru
terindah
adalah
dan
ialah
milik sang ibu
Bavaria
tempat bendera
biru langit-putih
berkibar di angkasa
musim panas itu


by LV~Eisblume
050214
for the beautiful Munich blue sky in summer 2013

Deutschland, 9.Schritt: Stadtbummel. Von Odeonsplatz bis Sendlinger Tor

Mungkin cerita kali ini bakal jadi salah satu yang paling panjang dan dipenuhi gambar-gambar cantik. Sengaja gue sambung di sini supaya post yang sebelumnya nggak kepanjangan. Sekali lagi gue ulang rute Stadtbummel yang paling gue suka adalah dari Odeonsplatz, kemudian ke Marienplatz, menyusuri jalan utama di sana sampai Karlplatz (Stachus), dilanjutkan ke Sendlinger Tor dan balik lagi ke Marienplatz. Kedengarannya capek ya jalurnya. Dan mengingat kita akan melewati empat stasiun rasanya kok jauh banget rutenya. Tenang saja, jarak di Jerman jauh lebih dekat-dekat dibandingkan di Indonesia karena kotanya yang kecil. Kalau ditanya capek apa enggak sih ya tetap aja capek, tapi terbayar kok karena udara kota yang bersih dan pemandangan yang supercantik.

Dari Giselastrasse, tempat kampus gue berada, gue harus menaiki kereta bawah tanah (U-Bahn) dan turun di stasiun Odeonsplatz (kalau butuh bayangan, silakan buka gambar rute U-Bahn yang ada di post sebelumnya). Pemandangan pertama yang gue saksikan adalah sebuah plaza yang cukup luas bernama Odeonsplatz. Kalau ada yang belum tahu apa yang dimaksud dengan "Platz", tempat itu kira-kira diterjemahkan sebagai Plasa, tapi berbeda dengan plasa yang kita kenal di Indonesia. Kalau plasa itu biasanya kita bayangkan sebagai mall atau pusat perbelanjaan yang luas dan megah, maka Platz lebih menyerupai alun-alun atau lapangan luas tempat masyarakat dapat mengadakan acara-acara seperti pameran, festival, atau sekedar berjalan-jalan, nongkrong dan mengobrol.

Sebuah tiang di Odeonsplatz
Gambar di kiri ini adalah Odeonsplatz dengan tiangnya. Entah apa fungsinya tiang itu, yang jelas kalau dari jauh kelihatan seperti Irminsäulenya bangsa Sachsen, tapi jelas bukan sih. Nah, di sisi kiri lapangan ini adalah gereja kuning Theatinerkirche yang sudah muncul beberapa kali di post sebelum-sebelumnya. Di sebelah kanan adalah kompleks tempat tinggal kerajaan Wittelsbach yang bernama Residenz. Odeonsplatz menghadap ke salah satu jalan utama kota München yang bernama Ludwigsstrasse. Di kiri kanan jalan terdapat kafe-kafe, toko-toko dan berbagai bangunan lainnya dengan arsitektur yang wow.
Feldherrenhalle

Di seberang Ludwigsstrasse, setelah menyeberangi Odeonsplatz, ada sebuah monumen berbentuk semacam panggung yang disebut Feldherrenhalle. Monumen yang dibangun dengan gaya Romawi oleh raja-raja Wittelsbach ini menyimbolkan kemenangan. Di tengahnya terdapat patung bergaya Romawi (detil patung adalah gambar di sebelah kanan) yang diapit oleh patung dua orang raja Bavaria dari dinasti Wittelsbach, salah satunya adalah Ludwig I, yang membangun kota München dan berharap ia akan menjadi lebih cantik daripada kota Athena di Yunani dan Roma di Italia. Gambar di sebelah kanan inilah yang disebut dengan Feldherrenhalle. Kompleks Odeonplatz ini menyimpan kisah sejarah yang menarik, karena pada masa kekuasaan Nazi, tempat ini menjadi favoritnya Adolf Hitler. Pasukan SSnya akan dikumpulkan di Odeonsplatz selagi ia berpidato berapi-api dari atas panggung Feldherrenhalle. Hmm.. langsung kebayang ya atmosfer penuh kemenangan dan semangat yang tercipta di kala itu.


Marienhof

Patung naga lagi nemplok
di dinding Marienplatz
Dari Odeonsplatz, tempat yang asyik untuk dilewati adalah sebuah jalan bernama Theatinersstrasse. Jalan bebas kendaraan bermotor ini terletak di antara pintu depan Theatinerkirche dan sisi kanan Feldherrenhalle. Di kedua sisi jalan ini terdapat berbagai toko pakaian bermerk dan kafe-kafe yang tentu saja nggak akan gue masuki pada saat itu berhubung harganya tidak ramah mahasiswa. Akan tetapi, arsitekturnya yang bergaya klasik menjadi hal yang menarik untuk dinikmati. Di ujung jalan ini, gue menemukan sebuah lapangan luas berumput superhijau tempat orang-orang duduk di udara terbuka dan menikmati kesegaran udara kota. Jika terus berjalan mengikuti Theatinerkirche, di sisi utara akan tampak sisi belakang sebuah bangunan berarsitektur cantik yang tampaknya menyimpan kejutan lebih. Kejutan tidak hanya sampai di situ, karena begitu tiba di Weinstrasse, yang merupakan sambungan dari Theatinerstrasse, gue menemukan *drumrolls* ... patung naga di samping, lagi nemprok di sisi samping bangunan balai kota München!! Cakep banget yahhhh....


Neues Rathaus dengan bunga merah di balkon



Puncak dari kejutan-kejutan tadi tentunya adalah ketibaan gue di Marienplatz, pusat kota tua München yang terkenal dengan balai kotanya yang berarsitektur Gotik. Cakepnya seampun-ampun deh bangunan yang satu ini. Di fasade depannya dipenuhi patung-patung cantik, sepertinya sih tokoh-tokoh rohani dan politik. Ada patung ksatria berkuda yang dinaungi semacam atap bergaya gotik. Plusnya lagi kalau datang pas musim panas, balkon-balkon balai kota ini dipenuhi bunga-bunga yang warnanya merah. Cantik banget deh, sampai nggak bisa berkata-kata waktu pertama kali lihat :") (lebay!). 


Menara Glockenspiel 
Fitur lainnya yang menarik adalah menara jamnya, yang disebut Glockenspiel. Menara jam yang menjulang tinggi sampai kalau di foto nggak muat semua ini didekorasi dengan boneka-boneka penari yang akan menari setiap jam 5 sore. Waktu pertama kali gue tiba di Marienplatz, gue ketinggalan pertunjukannya karena kuliah bubar agak terlambat. Alhasil gue cari hari lain dan gue bela-belain untuk nongkrong di lapangannya setengah jam sebelumnya supaya nggak ketinggalan. Usaha ini membuahkan sebuah rekaman komplit pertunjukan boneka menari yang dilengkapi dengan lengan pegal karena megangin kamera terus nggak bergerak plus mata silau karena ngeliat ke atas melulu. Nah, yang di samping-samping inilah salah satu hasil usaha gue mengabadikan balai kota yang disebut Neues Rathaus ini. Terpaksa dibagi dua foto, karena nggak mungkin ngefoto gedung ini tampak depan komplit baik panjang maupun tingginya, kecuali dari atas, tapi itu lain cerita :) Yang tampak berwarna hijau itu adalah panggung boneka tempat mereka menari ketika Glockenspiel menunjukkan kebolehannya.

Mariensäule (depan), Altes
Rathaus (belakang, dengan menara)
Tentu saja, seperti Platz-Platz yang lain, Marienplatz pun tidak hanya sekedar lapangan biasa, melainkan juga dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menarik lainnya. Di sebelah kiri Neues Rathaus terdapat Altes Rathaus. Bangunan itu dulunya balai kota, sebelum pindah ke bangunan baru yang bergaya gotik ini, namun sekarang berganti menjadi Spielzeug Museum atau museum mainan. Di tengah Marienplatz menjulang sebuah tiang bernama Mariensäule yang di puncaknya terdapat patung Bunda Maria berwarna emas. Di pelataran bawah tiang, terdapat empat patung malaikat yang tampak sedang berperang melawan beberapa hewan, yaitu naga, singa, ayam dan ular, serta semacam piagam yang terpahat dalam bahasa latin. Entahlah maksudnya apa, tetapi sepertinya keempat hewan itu melambangkan sifat buruk manusia. Di sisi kanan lapangan terdapat sebuah air mancur kecil yang disebut Fischbrunnen. Selain bangunan-bangunan tersebut, Marienplatz disesaki oleh kafe-kafe jalanan, turis yang berlalu lalang dan mengambil foto, stand-stand suvenir yang
Gue nampang di depan Fischbrunnen.
Patung yang mangap di atas itu ikan.
menjual aneka macam suvenir khas München seperti postcard, bendera, gantungan kunci, dsb, hingga seniman jalanan yang sering mempertunjukkan karyanya di depan para turis yang akan memberi mereka sedekah. Pokoknya plasa yang satu ini cantiknya melebihi semua plasa yang ada di München, selain karena arsitekturnya juga karena aneka macam kegiatan yang berlangsung di sana. 

Setelah puas muter-muter di Marienplatz (soalnya di luarnya aja banyak banget yang bisa dilihat!) jangan lupa cek ke dalam Neues Rathaus. Ada apa di sana? Setidaknya ada tiga hal yang cukup menarik di dalam bangunan supercantik ini, yaitu museum balai kota München, sebuah restoran di dalam bernama Ratskeller dan tentu saja menara yang bisa dinaiki dengan karcis seharga 2 Euro untuk melihat kota München dari atas. Museum balai kota München menjabarkan sedikit mengenai beberapa peristiwa terkait kota München, misalnya Olimpiade bersejarah pada tahun 1977, pembangunan Neues Rathaus sendiri dan plakat peringatan korban-korban Holocaust semasa Perang Dunia II. Sementara itu, restoran Ratskeller adalah sebuah restoran di pelataran dalam balai kota yang menjual makanan-makanan khas Jerman dengan harga yang (lagi-lagi) tidak ramah mahasiswa. Maklum, semua restoran di sekitar Marienplatz memang memiliki standar harga yang tinggi. 
Kran air minum di Neues Rathaus
Jendela Neues Rathaus

Hal yang membuat dua fitur ini nggak bisa dilewatkan adalah arsitektur gotiknya sendiri. Bagian dalam bangunan yang menjadi museum dipenuhi lampu-lampu kandelar bergaya gotik, kaca-kaca patri berlukis kota-kota tua di Jerman bahkan kran air berbentuk kepala naga atau singa (gue juga nggak jelas) tapi pokoknya gotik juga. 

Kalau sudah puas di Neues Rathaus plus Marienplatznya, Stadtbummel bisa dilanjutkan dengan menyusuri jalan panjang yang terletak di sebelah kiri Marienplatz. Namanya Kaufingerstrasse. Sesuai dengan namanya yang berawalan "Kauf" (artinya beli), jalan ini memang merupakan shopping centernya München. Jangan lupa mampir ke stand es krim tepat di dekat tukang buah dan bunga di sisi kiri jalan dekat Kaufhaus, karena itu enaknya nggak ketolongan. Lebay sih, sebetulnya itu es krim vanila biasa, tapi nggak kebanyakan susu aja kayak yang dijual di Indonesia. Harganya 1 Euro per scoop. Lumayan kan buat nemenin di jalan yang masih panjang hehehe.. :) Habis beli es krim, perjalanan gue lanjutkan dengan menyusuri Kaufingerstrasse. Kiri kanan jalan isinya butik atau kafe mahal semua. Jangan dilirik, kecuali Anda bukan mahasiswa atau mahasiswa tetapi tajir :D Sekitar beberapa blok kemudian, tepat di depan Fisch- und Jägdmuseum alias museum ikan dan perburuan, ada belokan ke kiri.

Menara Frauenkirche yang tampak
dari belokan yang dimaksud :)
Belokan ini juga wajib diambil, karena mengarah pada suatu tempat yang wajib-kunjung kalau lagi di München, yaitu Frauenkirche. Frauenkirche yang disebut juga Münchner Dom ini adalah katedralnya kota München yang tinggi menaranya tidak boleh disaingi oleh bangunan apapun di zona Ring 1. Frauenkirche adalah gereja terbesar di München, yang sayangnya belum pernah gue hadiri misanya. Dari luar, bangunannya tampak kuno dan sangat bernuansa abad pertengahan dengan bebatuan merah besar berukir atau pahatan tulisan. Dindingnya menjulang tinggi, apalagi menaranya. Sayangnya, ketika gue datang sedang ada misa di dalam, sehingga mengambil foto tidak diperbolehkan. Akan tetapi, gue menemukan hal menarik lainnya di halaman katedral itu. Sebuah peta timbul wilayah kota tua München yang terbuat dari semacam logam. Karena tengah dikerumuni anak-anak turis, gue nggak bisa mengamati peta ini secara detil, tetapi sepertinya sih dulu kota München memang cuma sekecil itu, yaitu yang sekarang bertahan menjadi wilayah kota tua München.

Memutari Frauenkirche membawa gue ke sebuah jalan baru bernama Neuhauserstrasse yang tentunya merupakan sambungan dari Kaufingerstrasse. Tempat menarik pertama yang akan kita temui adalah sebuah gereja di sisi kanan jalan bernama Michaeliskirche. Pada langkah ke-7, gue sudah membahas sedikit tentang gereja ini, yang di dalamnya menyimpan rahasia lain, yaitu kompleks pemakaman wangsa Wittelsbach yang salah satunya adalah makam König Ludwig II. Tentu saja kunjungan ke makam ini juga merupakan cerita menarik, tetapi gue nggak akan bahas itu di sini. Berlanjut menyusuri Neuhauserstrasse, jalanan ini juga dipenuhi oleh berbagai macam toko dan restoran. Toko-toko dan restoran itu menempati bangunan-bangunan tua berarsitektur khas Eropa. Beberapa di antaranya memiliki detil-detil unik yang tidak terduga, misalnya dekorasi atap yang unik. Perhatikan dua gambar berikut:
Ada kapal di atap :)

Ada anak kecil bawa bendera
di atap :)
Neuhauserstrasse dengan Karlstor di ujungnya
Kalian pasti bertanya-tanya, di manakah jalan panjang yang terbentang dari Marienplatz sampai tempat ini berakhir. Tentu setiap jalan ada akhirnya. Dan ratusan langkah yang gue buat sepanjang jalan ini membawa gue pada pemandangan cantik sebuah gerbang yang bernama Karlstor. Tor berarti gerbang dalam bahasa Jerman. Imajinasi gue langsung terlempar ke masa ratusan tahun lalu ketika München masih merupakan kota tua sepenuhnya. Karlstor adalah salah satu gerbang yang mengelilingi kota tersebut, bersama dengan Sendlinger Tor, Siegestor dan Isartor. Melaluinya akan mengantar kita pada balai kota dan alun-alun utama di Marienplatz. 

Di balik Karlstor yang menyerupai gerbang kastil adalah sebuah plasa bernama Karlplatz atau dikenal juga dengan nama Stachus. Hal yang paling mencolok dari tempat ini adalah air mancur besarnya yang kalau hari sedang panas pasti dipenuhi orang bermain air dan ngadem di sekitarnya. Karlplatz ini juga menjadi tempat yang tepat untuk sedikit mengintip multikulturalisme yang mulai memasuki München (dan semoga nggak sampai kayak di Berlin). Wilayah Stachus yang berseberangan dengan wilayah sekitar Hauptbahnhof yang dihuni banyak imigran membuatnya sering dikunjungi oleh kaum pendatang tersebut. Wajah-wajah Timur Tengah, Afrika dan Asia sering tampak di daerah ini. Dikarenakan oleh hal tersebut, maka salah satu restoran cepat saji yang terkenal di dunia membuka cabangnya di sini. Selain itu, tempat ini sering digunakan orang untuk mempromosikan produknya atau bahkan menggelar demonstrasi. 

Air mancur besar di Stachus yang penuh orang-orang ngadem
Waktu gue tiba di sini, sedang ada protes dari kelompok liberal kota München dan beberapa penduduk yang menolak rencana pembangunan masjid di Stachus. Meskipun topiknya sensitif, demonstrasi berjalan tertib. Orang yang protes hanya berdiri dan mengoceh pake toa, sedangkan teman-temannya ngedarin kertas buat ngumpulin tanda tangan. Polisi yang terlihat cuma dua orang, tanpa perlengkapan berlebihan (yang kayak kalau di Indonesia mau bikin pagar manusia itu loh), ganteng-ganteng, dan kerjaannya cuma jalan ke sana-kemari sambil ngobrol-ngobrol doang. Dari demonstrasi yang sempat gue lihat itu, gue mempelajari satu hal, bahwa di mana-mana kelompok minoritas pasti harus berjuang menghadapi penolakan. Bedanya adalah bagaimana cara kelompok mayoritas menyuarakan penolakan itu. Kalau demonstrasi sejenis di Indonesia pasti sudah ada acara penutupan dan penyegelan tempat ibadah atau tindak kekerasan lainnya (duhh..-.-a).

Berhubung hari menjelang sore dan sudah lewat lama dari waktu terakhir gue makan di kantin (sebenarnya nggak lama-lama banget sih, cuma kan capek jalan jauh :P), mulailah gue merasa lapar. Ketika melihat logo M kuning di sisi kanan air mancur besar, langsung deh gue sambangi tuh restoran cepat saji. Waktu lihat harganya gue cuma bisa "astaga, murah banget!!" (maksudnya dibandingin kantin universitas). Langsung deh gue membeli satu kotak french fries ukuran sedang yang harganya tidak sampai 2 Euro itu dan cabut menuju tempat tujuan berikut di seberang jalan. 

Justiz Palast - Gedung pengadilan kota München
Sebetulnya bangunan di seberang jalan ini di luar rute, karena sudah bukan merupakan wilayah kota tua. Nggak apa-apa deh ya, toh masih bisa dicapai dari stasiun U-Bahn Karlsplatz. Supaya nggak perlu ribet nungguin lampu lalu lintas, lebih baik mengambil jalan lewat stasiun bawah tanah dan nyebrang dari sana. Lalu apa yang menanti di seberang jalan? Sebuah bangunan bernama Justiz Palast, yang dari namanya saja sudah ketebak kalau bangunan ini adalah gedung pengadilan kota München. Arsitekturnya supercantik, khas bangunan-bangunan tua Eropa dan di depannya berkibar bendera Schwarz-Rot-Gold Jerman dan Weiß-Blau Bavaria. Ketika gue ke sini, dengar-dengar lagi ada pengadilan sebuah kasus yang heboh, yaitu pembunuhan 13 orang imigran oleh kelompok berideologi neonazi. >.> Serem yahhh...

Setelah puas foto-fotoin gedung cantik yang satu ini, gue kembali ke Stachus lewat bawah tanah juga. Perjalanan kali ini akan melalui bagian yang paling nggak favorit menurut gue, karena gue harus menyusuri sisi luar kompleks kota tua yang bersisian dengan jalan besar dan jalur sepeda. Nama jalannya adalah Sonnenstrasse. Meskipun trotoarnya cukup luas dan aman, tiap kali bakal kedengaran suara kring-kring klakson sepeda, trem yang melintas di rel dan aneka jenis mobil (yang untungnya nggak ada yang sampai kentut berasap kaya Metromini jadul). Meskipun bangunan-bangunannya terlihat lebih modern, ada hal menarik yang cukup terasa di sini. Gue berasa tengah berjalan di antara dua sisi yang berbeda. Sisi kiri gue, tempat trotoar berada, adalah batas terakhir wilayah München yang menyenangkan dan sangat aman menurut gue. Atau karena kota München memang tergolong salah satu kota teraman di Eropa, mungkin gue lebih suka menyebutnya sebagai batas zona nyaman gue untuk jalan-jalan sendirian. Gue menyebut sisi kiri gue sebagai wilayah München yang menampakkan dirinya seperti seorang wanita tua kelas atas dari golongan terpelajar, baik hati dan religius. Gambaran ini gue peroleh dari keberadaan kota tua yang berkesan mewah dan juga dipadati oleh banyak bangunan gereja. Dari trotoar di sisi kiri gue dapat memandang apa yang ada di seberang jalan sana: gedung-gedung yang lebih modern, wilayah yang lebih "sederhana", dipadati oleh pemukiman imigran, klub-klub malam yang gemerlap sampai toko sex toys. Sisi ini gue gambarkan sebagai München yang menjelma menjadi seorang gadis remaja jelang dewasa yang pemberontak, pembela hak-hak kaum tertindas dan suka mencoba hal-hal baru. Hehehe...

Ada lagi satu hal yang menarik di sisi kiri jalan, yaitu pusat kebudayaan Jerman Goethe-Institut. Gedungnya sih terbilang modern dan tampak biasa aja. Yang bikin menarik adalah kenyataan bahwa tempat itu adalah pusat dari pusat kebudayaan Jerman yang letaknya di Jerman. Plus kenyataan bahwa salah satu teman kampus gue yang bernama Ardel baru saja mengunjungi tempat itu musim dingin lalu. Hihi, jadi ngebayangin kan teman gue yang sesama pitik itu seliweran di tempat tersebut di tengah musim dingin hahaha...:D Lewat dari Goethe-Institut, Sonnenstrasse membawa gue pada sebuah plasa kecil yang lagi-lagi dipenuhi kafe-kafe dan Biergarten yang bernama Sendlinger-Tor-Platz. Di situlah perjalanan bagian pertama berakhir. Sebetulnya gue pengen lanjut lagi, tapi kenyataan berkata lain. Kaki gue capek minta banget diistirahatkan. Kamera kekenyangan foto minta banget dipindahin isinya ke laptop. Hari semakin gelap dan gue belum belanja mingguan. Terpaksalah gue turun melalui pintu yang ada di situ dan pulang ke asrama dari stasiun U-Bahn Sendlinger Tor. 

Sampai ketemu di kesempatan berikutnya dan perjalanan bagian dua :)
Tschüß!!








4.2.14

Deutschland, 8.Schritt: Stadtbummel. Wer geht mit?

Meskipun di Indonesia gue terkenal supermager alias malas gerak dan cenderung menghabiskan liburan di rumah saja, sebetulnya gue jauh dari istilah itu. Satu-satunya hal yang bikin gue malas keluar rumah kalau di Indonesia adalah bisingnya jalanan dan udara kotornya yang bikin nggak tahan lama-lama di luar. Padahal sebetulnya gue suka sekali segala bentuk jalan-jalan, meskipun sekedar menyusuri trotoar di kota dan memandangi bangunan-bangunan megah di kiri kanan jalan. Dan begitu gue punya kesempatan di München, langsung gue sambar kesempatan untuk jalan-jalan ini.

Kalau kalian tipe yang suka jalan-jalan seperti ini, kota München merupakan salah satu tempat yang sangat cocok untuk melakukannya. Banyak sekali kelebihan München yang mampu memanjakan kita sebagai pecinta keliling kota dengan jalan kaki, yang kalau dalam bahasa Jerman disebut Stadtbummel. Ada lagi keliling kota dengan naik kendaraan, yang disebut Stadtrundfahrt. Gue juga sempat mengikuti program ini dari universitas di München, tetapi menurut gue nggak terlalu asik, berhubung kita dipandu dan waktunya terbatas. Hasilnya lumayan sih, video berbagai jalan di kota München lewat jendela bus, meskipun kalau dibandingkan dengan Stadtbummel masih kalah jauh.

Jadi apa saja kelebihan München untuk urusan Stadtbummel?

  • Lalu lintas yang superamatsangat teratur. Seperti ciri khas kota-kota lainnya di Jerman, München memiliki lalu lintas yang superamatsangat teratur sampai gue nggak tega bandinginnya sama Jakarta. Tentu saja ini semua bukan karena memang dasar penduduknya yang niat dan disiplin kalau sedang berlalu lintas, melainkan karena peraturan yang superketat dari pemerintah dan rambu-rambu yang jelas. Dosen yang mengajar kelas gue ketika mengikuti Sommerkurs di LMU pernah bercerita bahwa suatu kali dia bandel dengan menyerobot lampu lalu lintas ketika belum waktunya. Tiba-tiba ada suara sempritan polisi yang langsung menghentikan sepedanya dan memberi catatan buruk pada surat kelakuan baiknya. Kalau seseorang dapat catatan buruk yang sangat banyak, orang tersebut bisa menemui kesulitan dalam mencari pekerjaan. Sistem yang bagus untuk diterapkan di Indonesia, bukan? Nah, balik lagi pada keuntungan dari keadaan ini terhadap pejalan kaki. Lalu lintas di München dibagi tiga atau empat, yaitu jalur mobil, jalur sepeda, jalur pejalan kaki dan kadang-kadang ada jalur trem. Masing-masing punya rambu dan lampu lalu lintas sendiri, jadi jangan lupa memperhatikan rambu ini sesuai kendaraan yang dipakai ^^ Karena adanya pengaturan seperti ini, kalau memang bukan karena sudah takdirnya, kita bisa merasa aman berjalan di trotoar tanpa takut kesamber mobil seperti kasus Xenia maut hehehe...
  • Car Free Zone. Salah satu nilai plus yang dimiliki München adalah keberadaan zona bebas mobil. Zona bebas mobil ini berlangsung setiap hari, bukan cuma hari Minggu seperti di kota-kota Indonesia. Zona bebas mobil di München meliputi zona Ring 1 menurut pembagian zona harga tiket kendaraan umum. Tentang wilayah yang tercakup akan dijelaskan lebih lanjut di bawah. Zona Ring 1 adalah wilayah yang sangat turistik dan tempat pusat keindahan München berada. Hal inilah yang juga menjadikan Stadtbummel di München lebih menyenangkan dibandingkan Stadtrundfahrt, karena kendaraan umum seperti mobil dan bus dilarang memasuki zona ini, padahal bagian inilah yang paling wajib dilihat kalau mengunjungi München.
  • Kota tua dengan bangunan-bangunan berarsitektur cantik. Tentu saja, sebagai salah satu kota tua Eropa, München tidak terlepas dari kepemilikan terhadap bangunan berarsitektur cantik. Wilayah kota tua München didominasi bangunan berarsitektur Gotik, Romanik dan Barock. Beberapa yang hancur akibat Perang Dunia II dibangun dengan gaya lebih baru namun masih berselaras dengan bangunan-bangunan tua yang dilestarikan. Adanya larangan pembangunan gedung yang lebih tinggi dibandingkan menara Frauenkirche menambah kerapian tata kota di daerah ini. Bayangkan, ketika sedang melihat bangunan tua dengan rata-rata jumlah lantai 4 sampai 5 tiba-tiba mata menubruk pemandangan berupa pencakar langit dari kaca-kaca berarsitektur modern. Kan ganggu banget tuh! Dengar-dengar sih wilayah kota tua Jakarta juga mau dibuat serupa dengan car free zone juga. Mudah-mudahan sukses ya, Pak Gubernur, biar semakin cantik deh ibukota negara gue yang satu ini. 
Untuk memulai Stadtbummel, pertama-tama kita harus tahu medannya dulu nih.


Wilayah Ring 1 yang tergolong dalam car free zone dan merupakan tempat terbaik untuk Stadtbummel adalah wilayah di dalam rute stasiun Sendlinger Tor - Marienplatz - Odeonsplatz dan Karlplatz (Stachus) (lihat zona putih / Innenstadt tempat semua jalur kereta berkumpul). Wilayah ini dapat dicapai dengan semua jalur kereta karena terletak di tengah-tengah kota. Kalau gue paling suka menggunakan jalur U6 dan turun di Odeonsplatz. Stadtbummel bisa dimulai dari mana saja, tetapi rute favorit gue adalah Odeonsplatz - Marienplatz - Stachus - Sendlinger Tor - lalu balik lagi ke Marienplatz. Jalur favorit gue ini sebetulnya tercipta dengan tidak sengaja. Waktu itu gue pulang kuliah pukul 13.00 waktu München dan bingung banget mau jalan-jalan ke mana. Akhirnya keputusan gue jatuh pada Stadtbummel di wilayah car free zone ini. Berhubung kampus gue terletak di dekat stasiun Giselastrasse, maka stasiun di zona Stadtbummel yang terdekat adalah Odeonsplatz, jadilah gue memutuskan untuk memulai dari sana.

Pemandangan pertama yang akan kita temukan kalau keluar dari stasiun bawah tanah Odeonsplatz adalah tempat ini:

Theatinerkirche (kanan) dan Feldherrenhalle
Penasaran?? Lanjutannya ada di langkah ke-9 ya... : )


28.9.13

Deutschland, 7.Schritt : Gotteshäuser in München

Nah ini dia, salah satu alasan gue pilih kota München. Waktu SMA, gue sempat berdebat sedikit sama nyokap gue yang superkonservatif itu soal pergi ke gereja ketika di Jerman. Nyokap gue waktu itu ngotot, bahwa kalau gue dapat beasiswa kursus musim panas di Jerman gue harus tetap ke gereja. Sementara gue bilang kalau gue bakal pergi kalau memang waktu dan tempatnya ada. Sedikit informasi, meskipun Jerman berpenduduk mayoritas Kristiani, akibat perang agama 40 tahun setelah gerakan Martin Luther memisahkan diri dari gereja Katolik Roma, sekarang wilayah Jerman terbagi menjadi utara dan selatan menurut agamanya. Jerman utara, timur dan tengah mayoritas Kristen Protestan sedangkan Jerman barat dan selatan (terutama Bavaria) adalah wilayah mayoritas Katolik. Nah, kalau gue beruntung dapat kota di selatan atau barat baru deh gue bisa gereja setiap Minggu.

Balik lagi ke München. Kali ini gue beruntung bisa memilih kota yang gue inginkan. Langsung saja gue pilih München dengan berbagai alasan yang mendukung, salah satunya adalah supaya gampang cari gereja. Dan benar saja, waktu gue tiba di sini, setiap kali gue jalan-jalan selalu ketemu gereja. Bahkan kadang-kadang jaraknya cuma 5-10 langkah antargereja. Banyak banget, kayak mesjid kalau di Indonesia. Dan gue senang sekali, karena arsitekturnya selalu bagus dan megah. Langsung saja gue susun rencana untuk pergi ke gereja yang berbeda setiap Minggunya, sekalian ngumpulin foto hihihi...

Apa sih yang membedakan gereja di München dan di Indonesia?

  • ARSITEKTURNYA!!! Jelas kalau ini. Mungkin karena Eropa lama sekali berada di bawah kerajaan-kerajaan Kristiani sehingga mereka betul-betul punya perhatian yang besar terhadap bangunan gereja. Gereja mereka anggap sebagai rumah Tuhan sungguhan, sehingga mereka hias dan percantik sedemikian rupa. Sedangkan di Indonesia, hal ini tidak terlalu diperhatikan karena yang lebih dipentingkan adalah segi fungsinya. Selain itu sepertinya orang Indonesia nggak suka buat gereja terlalu mencolok. Nggak mencolok aja udah ditolak masyarakat atau bahkan dibom, gimana kalau mencolok ya?? 
  • PINTUNYA. Bukan karena keindahan atau bentuknya, tetapi pintu-pintu gereja di München selalu tertutup, sekalipun sedang tidak ada perayaan misa. Para wisatawan yang ingin melihat ke dalam harus membuka dulu pintunya (yang biasanya berat banget -,-a). Kalau sedang ada misa, pintu utama di bagian depan bangunan akan dikunci, sedangkan umat yang terlambat datang harus masuk lewat pintu samping. Pintu di depan ini nantinya akan dibuka kembali untuk umat yang akan beribadah selanjutnya, sedangkan yang baru selesai harus lewat pintu samping supaya nggak berjubel di pintu utama (sekalipun nggak bakal berjubel juga karena orangnya nggak banyak).
  • KOMPOSISI UMAT. Nah ini dia. Di Jerman, bahkan München, kebanyakan umatnya adalah lansia atau bapak-bapak dan ibu-ibu yang kelihatannya sih supertajir dan masih konservatif. Sementara di Indonesia, astagaaaa.. umatnya banyak banget sampai bayi-bayi aja dibawa. Apakah anak-anak muda di Jerman malas ke gereja? Sebetulnya bukan malas, tapi lebih kepada sudah tidak merasa sebagai kewajiban lagi, karena beranggapan doa bisa di mana saja. Tapi awalnya gue pikir gue nggak akan bertemu dengan anak muda manapun, ternyata lumayan juga lho anak mudanya kalau di München. Umat yang tidak terlalu banyak ini ada untungnya juga, karena kita jadi bisa milih tempat duduk di mana saja. Satu deret bangku bahkan enggak pernah penuh, nggak kayak di Indonesia yang bisa terpaksa duduk setengah pantat. Sebetulnya kalau dinalar hal ini masuk akal juga di München. Selain karena jumlah gereja yang superbanyak dan penduduk kota München yang supersedikit kalau dibandingkan sama Jakarta misalnya, penduduk München kebanyakan masih pergi berlibur di bulan Agustus.
  • MISA. Cepat tapi ngena, padahal auf Deutsch. Serius ini. Kalau di Indonesia kan kebanyakan pastornya hobi nyanyi gitu deh jadi semua bacaan, semua doa dikasih nada. Kalau di München itu misanya singkat padat jelas. Nyanyian cuma di bagian yang perlu aja dan nggak semua bacaan atau doa dikasih nada. Khotbah juga singkat dan nggak bertele-tele. Terus ada yang beda lagi di bagian komuni. Kalau di Indonesia kan orang harus mengantre panjang gitu ke belakang. Kalau di Jerman, orang cuma tinggal maju ke bangku paling depan yang dekat altar. Dari deretan bangku umat sampai bangku yang ini ada semacam space luas untuk ngantre. Terus barisnya nggak cuma satu baris tapi banyak berderet-deret. Nanti pastornya cuma di bagian depan aja jalan bolak-balik kayak setrikaan sambil bagi-bagi komuni. 
  • SUASANANYA. Ini yang masih belum gue mengerti sampai sekarang. Mungkin karena arsitektur dan kondisi pintunya yang selalu tertutup, gereja-gereja di München selalu tenang. Padahal letaknya kadang-kadang di pinggir jalan raya dan tanpa pagar atau halaman. Begitu masuk ke dalam, nggak akan ada lagi suara dari luar yang terdengar. Tenang banget kayak di surga, apalagi ditambah arsitektur dan fresko-freskonya yang supercantik. Coba bandingkan dengan yang ada di Jakarta, hmm.. sudah ada halaman pun masih berisik, bahkan ketika pintu-pintunya ditutup. Cuma ada satu tempat yang gue ingat punya ketenangan menyerupai gereja di Jerman, yaitu kapel kecil di susteran di belakang SD gue dulu. Itu pun letaknya jauh dari jalan raya.
  • ATURAN PAKAIAN. Ini nih yang lumayan bikin kaget. Kebanyakan gereja di Indonesia sepertinya sudah tidak terlalu mengatur pakaian umat. Alhasil ada aja umat yang ke gereja dengan rok mini dan pakaian tanpa lengan. Sementara di Jerman, tepat di depan pintunya sudah ada peringatan agar mengenakan pakaian yang sopan. Rok mini dan tanpa lengan dilarang keras, bahkan turis yang pakaiannya terlalu terbuka pun bisa jadi sasaran tegur sama nenek-nenek konservatif yang banyak banget di gereja itu.
Empat Gereja di München yang Berhasil Gue Kunjungi

1. Theatinerkirche
Ini gereja pertama yang gue kunjungi dengan dadakan pada minggu pertama gue di München. Awalnya gue  memang berniat pergi ke gereja, tapi gue belum menentukan dari mana gue harus mulai. Akhirnya dengan asumsi di München banyak gereja, gue browsing sedikit tentang jadwal misa di beberapa gereja yang tidak jauh dari museum yang ingin gue kunjungi saat itu - museum lukisan Alte Pinakothek. Theatinerkirche terletak di Theatinerstrasse, tepat di depan Odeonsplatz, salah satu daerah bebas kendaraan alias zona pejalan kaki di kawasan kota tua München. Untuk mencapainya, kita harus naik kereta bawah tanah di jalur U-6 dan turun di stasiun Odeonsplatz. Bangunannya berwarna kuning dan arsitekturnya luar biasa bagusnya. Setelah gue mengunjungi beberapa gereja lagi di München, gue yakin bahwa gereja ini punya arsitektur terbagus baik sisi luar maupun dalamnya.
Theatinerkirche terletak tepat di depan sebuah jalanan yang selalu ramai oleh turis dan orang-orang yang duduk di restoran. Belum lagi pada waktu itu sedang ada festival makanan Jerman dan wine di Odeonsplatz. Anehnya, ketika gue berada di dalam gereja ini, ketenanganlah yang mendominasi. Oke banget deh pokoknya. Begitu misa hendak dimulai, lonceng gereja langsung dibunyikan dan seorang lektor (petugas misa) akan mengumumkan supaya turis atau orang-orang yang nggak berkepentingan segera keluar atau duduk tenang. Sebelum misa biasanya ada doa rosario dulu, dalam bahasa Jerman tentunya. Duh, senang banget deh gue. Apalagi misa di Theatinerkirche ini jadi salah satu yang paling berkesan buat gue. Gimana enggak? Pastornya khotbah dalam bahasa Jerman. Lumayanlah buat latihan Hörverstehen, walaupun cuma nangkep inti-intinya aja. Tapi, tiba-tiba pastor ini mengambil contoh untuk menggambarkan tema yang dibahas lewat cerita Nibelungenlied!! Hahaa... seketika gue langsung ngerti isi khotbahnya. Sampai sekarang gue masih ingat apa yang dikatakan pastor itu hehehee... :) Tuhan Mahabaik ya..., kalau niat ke gereja pasti dikasih yang bagus-bagus :3


2. Ludwigskirche

Mungkin dia tidak secantik Theatinerkirche, tapi menurut gue namanya paling ganteng, karena mengingatkan gue pada sosok sang Raja Mimpi :) Ludwigskirche ini letaknya di Ludwigstrasse, tepat di seberang gedung jurusan Deutsch als Fremdsprache LMU. Gereja ini dapat dicapai dengan kereta bawah tanah jalur U-6 dan turun di stasiun Universität. Gereja inilah markasnya perkumpulan mahasiswa Katolik LMU. Jika sedang tidak libur semester, di gereja ini selalu diselenggarakan misa mahasiswa setiap Sabtu sore. Arsitektur dan dekorasi interior Ludwigskirche tidak semewah dan semegah Theatinerkirche, bahkan terkesan lebih suram. Dari segi ketenangan sih sama saja, malah menurut gue lebih rekor yang ini karena letaknya betul-betul di pinggir jalan raya yang buat mobil lewat dan tanpa pagar atau halaman. Belum lagi di bawah tanahnya ada stasiun kereta. Anehnya, nggak ada satu pun kebisingan yang bisa masuk begitu kita ada di dalam. 

Pintu Ludwigskirche superberat. Bahkan gue harus nebeng di belakang bapak-bapak waktu mau masuk. Bedanya lagi dengan Theatinerkirche, di sini turis yang mau lihat misanya bisa tetap masuk, tapi tidak boleh lebih dari pintu kaca yang membatasi antara wilayah turis dengan bangku-bangku umat. Satu hal lagi yang unik di gereja ini. Di belakang deretan bangku umat ada semacam prasasti batu yang ternyata kalau diperhatikan adalah denah gereja beserta tempat duduknya dengan keterangan dalam huruf braille!! Gila nih ya, ramah penyandang cacat banget ini. Gue belum pernah lihat yang seperti ini di Indonesia. Mungkin ada juga, tapi nggak tahu di mana.

Secara keseluruhan sih misanya nggak jauh beda dari misa di Theatinerkirche. Pilihan lagu-lagunya juga sama. Tapi di sini gue untuk pertama kalinya dengar lagu yang sampai sekarang gue sukai. Lagu Anak Domba Allah dalam bahasa Jerman yang judulnya Lamm Gottes. Bagus banget musiknya. Lagu ini jadi satu-satunya yang gue ingat dari seluruh lagu yang gue dengar di gereja-gereja München. Di akhir misa, ada juga satu hal yang berkesan buat gue. Pastor yang memimpin misa memberikan pesan-pesan sebelum perayaan berakhir, dan dia mendoakan turis-turis dan pendatang lainnya yang kebetulan di München agar mereka betah dan menikmati saat-saat menyenangkan di sini. Langsung gue amini dan ternyata doa sang pastor terkabul sepanjang sebulan gue di München. Gott sei Dank! :) 

3. Michaelskirche

Gereja yang satu ini letaknya di Kaufingerstrasse yang juga termasuk jalanan utama di kota tua München yang dijadikan zona pejalan kaki. Bangunannya terselip di antara toko-toko bermerek dan kafe-kafe di pusat perbelajaan München. Untuk mencapainya, kita harus naik kereta bawah tanah jalur apa saja (seriusan ini!) dan turun di stasiun Marienplatz. Dari situ dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 3 menit. Dibandingkan dengan dua gereja di atas, arsitekturnya terbilang lebih rumit karena terdapat banyak sekali patung. Tetapi dari segi bangunan terlihat lebih sederhana karena letaknya yang menyempil di antara bangunan lain. 

Begitu masuk ke dalam, gue mendapati kesan yang sedikit suram. Tidak ada banyak cahaya yang masuk ke dalamnya. Akan tetapi, gue maklum, karena di gereja inilah tersimpan sesuatu yang lain dari gereja-gereja lainnya di München. Apakah itu?? Makam para bangsawan Wittelsbach, termasuk sang Raja Mimpi, König Ludwig II. Cerita tentang kunjungan ke sini akan gue bahas lain kali. Sementara perayaan misanya sendiri sih biasa saja. Tidak ada yang seberkesan kedua gereja sebelumnya. 
Hal yang menarik dari gereja ini justru gue dapati pada malam hari. Ketika itu gue iseng jalan-jalan untuk terakhir kalinya di zona pejalan kaki kota tua München pada malam hari. Gue terkejut ketika melihat bahwa gereja ini ternyata terkunci dan supergelap. Tidak ada lampu sama sekali yang menerangi daerah di sekitarnya. Rupanya kalau di München, gereja itu ada jam tutupnya, yaitu sekitar jam 9 malam. Beda dengan gereja di Indonesia yang selalu buka dan ada penjaganya, gereja di München sama sekali nggak kelihatan dijaga. Gue tiba-tiba jadi berkhayal, apa yang terjadi di kompleks pemakaman para bangsawan Wittelsbach ketika hari sangat gelap seperti itu ya? Kalau saja gue bisa masuk ke dalam dan mengobrol sejenak dengan sang Raja Mimpi tanpa ada yang memperhatikan :')







4. Der Alte Peter (Peterskirche) 

Alte Peter adalah salah satu gereja di München yang terletak di kawasan kota tua Marienplatz. Berseberangan dengan gereja lain bernama Allerheiligen dan pasar terbuka paling terkenal seantero München, Viktualienmarkt. Pada awalnya gue ke sini gara-gara seorang teman di tempat kuliah berhasil mendapatkan foto-foto keren kota München dari atas. Gue pernah sih ngambil foto serupa, tapi gue baru sadar kalau best featurenya München - Neues Rathaus di Marienplatz - gak kelihataaaan!! Jelas, karena gue ngambilnya memang dari menara Neues Rathaus itu. Nah, ini temen gue bisa dapat foto Neues Rathaus dari atas. Dari mana dong ngambilnya?? Setelah tanya orangnya, ternyata dia naik ke menara gereja Alte Peter. Dari situlah akhirnya gue mengunjungi gereja ini dan sempat ikut ibadah di sini juga. 

Secara arsitektur luar gue suka karena tua banget. Di luarnya masih banyak batu-batu pahatan seperti dari zaman akhir Mittelalter gitu. Entah sebetulnya gerejanya dibangun kapan gue juga masih belum tahu. Menaranya, yang akhirnya gue naikin juga supermittelalter! Bukan karena gayanya sih, tapi karena sangat tradisional dan kuno sampai-sampai lift saja tidak ada! Bayangkan saudara-saudara, gue naik ke menara setinggi sepuluh lantai tanpa lift, cuma pakai tangga kayu yang kalau diinjak bunyinya berderak-derak gitu. Tapi secara keseluruhan oke sih. Dari segi ketenangan juga sama seperti gereja-gereja lain. Perayaan misanya nggak ada bedanya, secara keseluruhan sama dan lagi-lagi gue masih jatuh cinta sama lagu Lamm Gottes :')

Satu hal lagi yang jadi ciri khas gereja di München termasuk Alte Peter ini. Selalu ada toko suvenir khas München yang jual kartu pos, magnet, kalender, dll. tapi lebih murah dari harga suvenir di toko dan hasil penjualannya akan disumbangkan untuk gereja. Gara-gara ini kartu pos gue banyak banget. Yah selain karena gue memang suka koleksi kartu pos, hitung-hitung kasih persembahan ke gereja buat Tuhan yang udah baik banget ngasih kesempatan ini :). Gambar di samping ini Alte Peter dan menaranya dilihat dari Viktualienmarkt.

Nah, keempat gereja itulah yang sempat gue kunjungi dan gue hadiri misanya. Eits, tunggu dulu, masih ada satu gereja lagi yang sebetulnya merupakan ikon kota München tapi sayang gue belum sempat masuk ke dalam. Gereja ini selalu nongol di hampir semua kartu pos tentang München dengan dua menaranya yang menjulang dan bangunannya yang sangat tua seperti dari abad pertengahan. Gereja ini merupakan katedralnya München, maka sering juga disebut Münchner Dom. Konon katanya, pemerintah kota München melarang pembangunan gedung di wilayah kota tua (sekitar ring 1-2 kalau menurut peta jalur transportasi) yang tingginya melebihi menara gereja ini. Gereja apa ya??


Ini dia, namanya Frauenkirche!! :) Cantik yaaa?? Foto ini diambil dari menara Neues Rathaus :)


18.6.13

Marienplatz, Jam 3 Sore


Tanpa peduli pada panas terik yang menerjang, siang itu aku menyusuri jalan-jalan di sudut-sudut kota Munich menuju pusat kota. Marienplatz. Ke sanalah aku akan pergi. Distrik kota tua Munich itu memang tidak terlalu jauh dari apartemen tempatku menginap selama mengikuti konferensi mahasiswa Program Studi Jerman sedunia yang tengah berlangsung di salah satu universitas ternama di kota ini. Sebetulnya tidak ada kegiatan yang tengah berlangsung di sana, hanya saja, hari ini adalah satu-satunya waktu yang kumiliki untuk menangkap kemegahan menara-menara gereja di pusat kota itu dengan kameraku. Tak hanya menara-menara itu, aku pun hendak mendengarkan dentingan jam dengan boneka-boneka menari yang selalu berbunyi setiap jamnya.

Sebetulnya aku bisa saja menempuh perjalanan dengan kereta api bawah tanah, tetapi aku tidak ingin. Pemandangan kota ini terlalu cantik untuk dilewatkan begitu saja tanpa diabadikan. Lagipula letak apartemenku sungguh tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki dan aku akan tiba di Marienplatz. Dan benar saja, tanpa terasa kakiku telah menginjak lapangan luas berlantai konblok itu. Menara-menara gereja tua dari abad-abad lampau menjulang tinggi di salah satu sisinya. Dari menara-menara itu, berterbangan burung-burung gereja dan merpati ke sana kemari. Mereka mengitari menara-menara itu seolah tengah berkejaran. Segera kutangkap pemandangan itu dengan kameraku.

Kudekati sebuah air mancur yang terletak di sana. Sembari duduk menunggu pertunjukkan jam berbunyi, aku berusaha menangkap pemandangan orang-orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Sungguh pemandangan yang menarik, seolah aku menyaksikan dunia modern berpadu indah dengan masa lampau. Konsentrasiku pada orang-orang itu terhenti, ketika aku mendengar suatu suara asing yang menyebut sesuatu yang tidak asing. Namaku! Ya, aku yakin sekali orang itu meneriakkan namaku. Tetapi, kupikir ulang, namaku bukan nama yang tidak lazim di dunia barat. Ah, mungkin saja ia memanggil orang lain.

Sebuah tangan menepuk pundakku hingga aku berbalik dan terkejut. Aku mengenalnya. Aku kenal dia. Kenal betul siapa dia.
"Kamu?? Bagaimana bisa kamu ada di sini?" aku terkejut hingga mundur beberapa langkah, hendak memastikan bahwa itu memang sosok yang kukenal.
Sosok itu hanya melemparkan senyum jahil, seolah senang melihat dirinya telah berhasil mengejutkan diriku. Sementara itu, aku hanya bengong dan bertanya-tanya bagaimana ia bisa berada di sini dan menemukanku di tempat ini.

* * *

3 Minggu Sebelumnya

isblomst : boleh aku tanya sesuatu?
rycerz    : silakan. kamu mau tanya apa?
isblomst : setelah sekian lama kita kenal, pendapatmu tentang aku apa?                               
rycerz    : hmm... aku suka wanita yang cerdas
isblomst : jadi, maksudmu aku cerdas? Atau sebaliknya?
rycerz    : kalau kamu nggak cerdas, aku nggak akan mau bicara sama kamu. Kamu cerdas, ramah dan menarik. Aku ingin sekali ketemu secara pribadi sama kamu.
isblomst : ahh.. terima kasih :P
rycerz    : giliranmu.
isblomst : kamu dewasa dan penuh perhatian. Kamu sangat baik dan aku juga ingin mengenalmu lebih lagi.
rycerz    : :)
isblomst : ya Tuhan, tidak bisakah kita ketemu? Aku sungguh-sungguh ingin ketemu kamu. Seandainya kamu bisa menemuiku di Munich. Aku ingin mengunjungi beberapa tempat bersamamu. :')
rycerz    : itu sulit, tetapi bukannya nggak mungkin. Ah, aku punya ide lain. Bagaimana kalau ketemu di Passau? Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku.
isblomst : sepertinya akan sulit. Karena aku punya jadwal, dan aku perlu uang lebih untuk ke sana. Ah, lupakanlah. Itu cuma ide gilaku. Kita bisa ketemu kalau aku ke Eropa lagi kapan-kapan.
rycerz    : maaf ya, liburan ini aku harus belajar. Banyak hal yang harus kukerjakan.
isblomst : nggak apa-apa. Aku bisa mengerti.

* * *

Ia ceritakan semuanya dengan jelas. Tentang percakapanku dan dia selepas tengah malam itu. Tentang kata-kata dan harapanku yang diingatnya terus sampai saat ini. Tentang keinginan rahasiaku yang sesungguhnya masih ingin kuwujudkan meski kuminta ia melupakannya. Dan kemarin ia memutuskan untuk memenuhi keinginanku. Ia tinggalkan pekerjaannya. Ia lupakan setumpuk buku tebal yang harus ia pelajari jelang ujian akhirnya hanya demi mengejar kereta lintas negara yang berangkat di waktu pagi. Hanya demi menemuiku di sini.
"Tapi aku masih tak mengerti. Kota ini luas. Bagaimana bisa kau menemuiku di sini?" aku bertanya bingung.
Ia mengambil tempat di sampingku. Sembari memandang pada menara-menara katedral, ia ceritakan dengan sabar, suatu hal yang rupanya terlewat olehku.

* * *
Sekitar setengah jam sebelumnya

isblomst : sudah dulu ya, aku mau siap-siap pergi.
rycerz    : ke mana? memang kamu sedang nggak ada acara?
isblomst : begitulah, dan ini satu-satunya kesempatan yang kupunya.
rycerz    : mau ke mana?
isblomst : ke Marienplatz. Mau hunting foto bagus
rycerz    : Ohh.., jangan lupa jamnya.
isblomst : ya, aku tahu. Sekarang sudah jam dua lebih. Aku akan mengejar dentangan yang jam tiga.
rycerz    : baiklah, hati-hati ya. Simpan foto bagus untukku.
isblomst : oke, sampai nanti :)

isblomst is offline

* * *

"Sebetulnya aku tadi sudah tiba di Hauptbahnhof ketika aku berkirim pesan itu," katanya sembari tersenyum jahil.
"Lalu?"
"Awalnya aku mau tanya lokasimu, tapi kemudian kamu sudah membocorkannya duluan."
"Kamu ya... keterlaluan! Senang sekali mengerjai aku!" kucubit lengannya dengan gemas.
"Hehee.. aku kan sudah bilang. Aku jahat banget!!" ia menjulurkan lidahnya, seolah mengejekku. "Tapi kamu senang 'kan?"
Aku mengangguk kuat. Dalam hati kubisikkan rasa terima kasih. Meski aku dan dia tak punya hubungan apapun, aku merasa begitu dekat dengannya. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengan sosok yang begitu cocok denganku. Ia seperti sahabat, kekasih, dan kakak laki-laki yang sangat kudambakan keberadaannya. Ia seorang pendengar yang baik, selalu bersedia mendengarkan masalah-masalahku. Dan ia begitu dewasa, mampu memberiku saran-saran yang tak pernah terpikir sebelumnya. Ialah alasanku meninggalkan keputusan lama yang telah kubuat, yang pada akhirnya tidak terlalu membahagiakan. Aku memang belum tahu akan jadi apa kita berdua nanti. Sepasang sahabat pun tak apa, karena aku masih menginginkannya. Tetapi jika lebih, mengapa tidak?

Jam berdentang lima belas kali. Fünfzehn Uhr, kata orang Jerman. Seluruh Marienplatz, termasuk aku dan dia terdiam sejenak, memandang pada boneka-boneka menari di menara jam sana. Marienplatz, jam tiga sore, tempat kami bertemu secara langsung untuk pertama kalinya.


By LV~Eisblume
19.06.13
for my wish...