18.6.13

Marienplatz, Jam 3 Sore


Tanpa peduli pada panas terik yang menerjang, siang itu aku menyusuri jalan-jalan di sudut-sudut kota Munich menuju pusat kota. Marienplatz. Ke sanalah aku akan pergi. Distrik kota tua Munich itu memang tidak terlalu jauh dari apartemen tempatku menginap selama mengikuti konferensi mahasiswa Program Studi Jerman sedunia yang tengah berlangsung di salah satu universitas ternama di kota ini. Sebetulnya tidak ada kegiatan yang tengah berlangsung di sana, hanya saja, hari ini adalah satu-satunya waktu yang kumiliki untuk menangkap kemegahan menara-menara gereja di pusat kota itu dengan kameraku. Tak hanya menara-menara itu, aku pun hendak mendengarkan dentingan jam dengan boneka-boneka menari yang selalu berbunyi setiap jamnya.

Sebetulnya aku bisa saja menempuh perjalanan dengan kereta api bawah tanah, tetapi aku tidak ingin. Pemandangan kota ini terlalu cantik untuk dilewatkan begitu saja tanpa diabadikan. Lagipula letak apartemenku sungguh tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki dan aku akan tiba di Marienplatz. Dan benar saja, tanpa terasa kakiku telah menginjak lapangan luas berlantai konblok itu. Menara-menara gereja tua dari abad-abad lampau menjulang tinggi di salah satu sisinya. Dari menara-menara itu, berterbangan burung-burung gereja dan merpati ke sana kemari. Mereka mengitari menara-menara itu seolah tengah berkejaran. Segera kutangkap pemandangan itu dengan kameraku.

Kudekati sebuah air mancur yang terletak di sana. Sembari duduk menunggu pertunjukkan jam berbunyi, aku berusaha menangkap pemandangan orang-orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Sungguh pemandangan yang menarik, seolah aku menyaksikan dunia modern berpadu indah dengan masa lampau. Konsentrasiku pada orang-orang itu terhenti, ketika aku mendengar suatu suara asing yang menyebut sesuatu yang tidak asing. Namaku! Ya, aku yakin sekali orang itu meneriakkan namaku. Tetapi, kupikir ulang, namaku bukan nama yang tidak lazim di dunia barat. Ah, mungkin saja ia memanggil orang lain.

Sebuah tangan menepuk pundakku hingga aku berbalik dan terkejut. Aku mengenalnya. Aku kenal dia. Kenal betul siapa dia.
"Kamu?? Bagaimana bisa kamu ada di sini?" aku terkejut hingga mundur beberapa langkah, hendak memastikan bahwa itu memang sosok yang kukenal.
Sosok itu hanya melemparkan senyum jahil, seolah senang melihat dirinya telah berhasil mengejutkan diriku. Sementara itu, aku hanya bengong dan bertanya-tanya bagaimana ia bisa berada di sini dan menemukanku di tempat ini.

* * *

3 Minggu Sebelumnya

isblomst : boleh aku tanya sesuatu?
rycerz    : silakan. kamu mau tanya apa?
isblomst : setelah sekian lama kita kenal, pendapatmu tentang aku apa?                               
rycerz    : hmm... aku suka wanita yang cerdas
isblomst : jadi, maksudmu aku cerdas? Atau sebaliknya?
rycerz    : kalau kamu nggak cerdas, aku nggak akan mau bicara sama kamu. Kamu cerdas, ramah dan menarik. Aku ingin sekali ketemu secara pribadi sama kamu.
isblomst : ahh.. terima kasih :P
rycerz    : giliranmu.
isblomst : kamu dewasa dan penuh perhatian. Kamu sangat baik dan aku juga ingin mengenalmu lebih lagi.
rycerz    : :)
isblomst : ya Tuhan, tidak bisakah kita ketemu? Aku sungguh-sungguh ingin ketemu kamu. Seandainya kamu bisa menemuiku di Munich. Aku ingin mengunjungi beberapa tempat bersamamu. :')
rycerz    : itu sulit, tetapi bukannya nggak mungkin. Ah, aku punya ide lain. Bagaimana kalau ketemu di Passau? Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku.
isblomst : sepertinya akan sulit. Karena aku punya jadwal, dan aku perlu uang lebih untuk ke sana. Ah, lupakanlah. Itu cuma ide gilaku. Kita bisa ketemu kalau aku ke Eropa lagi kapan-kapan.
rycerz    : maaf ya, liburan ini aku harus belajar. Banyak hal yang harus kukerjakan.
isblomst : nggak apa-apa. Aku bisa mengerti.

* * *

Ia ceritakan semuanya dengan jelas. Tentang percakapanku dan dia selepas tengah malam itu. Tentang kata-kata dan harapanku yang diingatnya terus sampai saat ini. Tentang keinginan rahasiaku yang sesungguhnya masih ingin kuwujudkan meski kuminta ia melupakannya. Dan kemarin ia memutuskan untuk memenuhi keinginanku. Ia tinggalkan pekerjaannya. Ia lupakan setumpuk buku tebal yang harus ia pelajari jelang ujian akhirnya hanya demi mengejar kereta lintas negara yang berangkat di waktu pagi. Hanya demi menemuiku di sini.
"Tapi aku masih tak mengerti. Kota ini luas. Bagaimana bisa kau menemuiku di sini?" aku bertanya bingung.
Ia mengambil tempat di sampingku. Sembari memandang pada menara-menara katedral, ia ceritakan dengan sabar, suatu hal yang rupanya terlewat olehku.

* * *
Sekitar setengah jam sebelumnya

isblomst : sudah dulu ya, aku mau siap-siap pergi.
rycerz    : ke mana? memang kamu sedang nggak ada acara?
isblomst : begitulah, dan ini satu-satunya kesempatan yang kupunya.
rycerz    : mau ke mana?
isblomst : ke Marienplatz. Mau hunting foto bagus
rycerz    : Ohh.., jangan lupa jamnya.
isblomst : ya, aku tahu. Sekarang sudah jam dua lebih. Aku akan mengejar dentangan yang jam tiga.
rycerz    : baiklah, hati-hati ya. Simpan foto bagus untukku.
isblomst : oke, sampai nanti :)

isblomst is offline

* * *

"Sebetulnya aku tadi sudah tiba di Hauptbahnhof ketika aku berkirim pesan itu," katanya sembari tersenyum jahil.
"Lalu?"
"Awalnya aku mau tanya lokasimu, tapi kemudian kamu sudah membocorkannya duluan."
"Kamu ya... keterlaluan! Senang sekali mengerjai aku!" kucubit lengannya dengan gemas.
"Hehee.. aku kan sudah bilang. Aku jahat banget!!" ia menjulurkan lidahnya, seolah mengejekku. "Tapi kamu senang 'kan?"
Aku mengangguk kuat. Dalam hati kubisikkan rasa terima kasih. Meski aku dan dia tak punya hubungan apapun, aku merasa begitu dekat dengannya. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengan sosok yang begitu cocok denganku. Ia seperti sahabat, kekasih, dan kakak laki-laki yang sangat kudambakan keberadaannya. Ia seorang pendengar yang baik, selalu bersedia mendengarkan masalah-masalahku. Dan ia begitu dewasa, mampu memberiku saran-saran yang tak pernah terpikir sebelumnya. Ialah alasanku meninggalkan keputusan lama yang telah kubuat, yang pada akhirnya tidak terlalu membahagiakan. Aku memang belum tahu akan jadi apa kita berdua nanti. Sepasang sahabat pun tak apa, karena aku masih menginginkannya. Tetapi jika lebih, mengapa tidak?

Jam berdentang lima belas kali. Fünfzehn Uhr, kata orang Jerman. Seluruh Marienplatz, termasuk aku dan dia terdiam sejenak, memandang pada boneka-boneka menari di menara jam sana. Marienplatz, jam tiga sore, tempat kami bertemu secara langsung untuk pertama kalinya.


By LV~Eisblume
19.06.13
for my wish...


                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar