Saya menulis ini dengan harapan memotivasi semua yang membacanya, bahwa mimpi itu bisa menjadi nyata, jika kita terus berusaha dan fokus pada impian itu. Pergi ke Jerman adalah salah satu impian terbesar saya sejak menyaksikan aksi timnas sepak bola Jerman dalam kancah Piala Dunia 2006. Itu kali pertama saya jatuh cinta dengan negara ini. Cerita selengkapnya bisa dibaca di It's D for Deutschland :) Di sana saya bercerita tentang jatuh bangun saya dalam mengejar impian ini.
Pada tahun 2009, saya sebetulnya punya kesempatan memperoleh beasiswa kursus tiga minggu di Jerman dari sekolah saya. Saya dan sepuluh orang lainnya mengikuti tes untuk memperoleh beasiswa itu. Namun saya gagal mendapatkannya. Ketika itu saya kesal dan marah. Saya merasa Tuhan tidak adil, karena ada kasus berkaitan dengan beasiswa itu. Pada awalnya, perhimpunan sekolah-sekolah partner pemerintah Jerman (PASCH) menetapkan bahwa jumlah penerima beasiswa di sekolah saya ada 6 orang. Jumlah itu lebih banyak 2 orang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya, semua penerima beasiswa itu diambil dari kelas Bahasa, karena kamilah yang mempelajari bahasa Jerman paling intensif. Saya percaya diri karena kuota yang besar itu. Saya hitung di kelas saya siapa saja yang pandai dalam kelas bahasa Jerman. Saya rasa saya bisa masuk ke dalamnya, karena sejak mulai memasuki kelas Bahasa, saya sangat bersemangat dan rajin di mata pelajaran Bahasa Jerman. Bahkan guru saya pun cukup menyukai saya. Tetapi rupanya kuota 2 orang yang lebih itu diberikan pada anak IPA dan IPS yang mengambil bahasa pilihan bahasa Jerman untuk kelas Sabtu. Saya sangat kecewa, karena peluang saya menipis. Saya sampai bilang dan protes pada guru saya, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih kecewa lagi ketika saya tahu siapa yang mendapatkan kesempatan itu dari kelas IPA dan IPS. Apalagi ketika saya lihat para penerima beasiswa di kelas saya (dan saya tidak termasuk di dalamnya) sebagian besar adalah orang-orang yang mampu secara finansial dan karenanya bisa mengambil kursus di Goethe Institut. Saya pikir begini: "ya iyalah mereka bisa dapat, 'kan mereka bisa les bahasa Jerman di Goethe dan lesnya mahal." Intinya pikiran saya pendek sekali sewaktu itu, beranggapan bahwa kegagalan saya disebabkan karena faktor tidak mampu les bahasa Jerman di Goethe Institut.
Saya sempat down ketika itu, bahkan mengalami stress bawah sadar. Tapi semua orang di sekeliling saya terus menyemangati saya dan akhirnya saya bertobat serta membuang pikiran-pikiran itu jauh-jauh. Saya berpikir bahwa mungkin saja Tuhan ingin melihat usaha saya lebih lagi dan akan ada sesuatu yang lebih baik di masa depan saya. Ketika saya kemudian berkuliah di Sastra Jerman UI, saya semakin sadar bahwa memang Tuhan tidak memberikan kesempatan itu pada saya karena Ia tahu, saya masih punya banyak sekali kesempatan untuk ke Jerman, sedangkan teman-teman saya tidak. Dari enam orang yang saat itu berangkat, hanya satu yang kembali ke Eropa, itupun di Swiss dan bukan Jerman. Sementara saya?
Di Sastra Jerman UI ada kesempatan memperoleh beasiswa yang lebih berbeda dan jauh lebih menyenangkan dibandingkan apa yang tersedia di SMA. Penyelenggara beasiswa ini adalah DAAD. Apa keistimewaannya? Pertama, kursus yang akan kita ikuti tidak sekedar bahasa Jerman saja, tetapi juga beberapa bidang studi lain yang bisa dipilih misalnya: budaya, sastra, teater, jurnalisme, dll. Kedua, lebih lama. Jika yang sebelumnya hanya 3 minggu, yang ini satu bulan!! :D Ketiga, kita bebas memilih tempat. Waktu SMA, kita tidak bisa memilih tempat kursusnya, semua diurus oleh Goethe Institut dan PASCH. Sekarang, kita bebas memilih 3 pilihan dari banyak kota yang ditawarkan. Keempat, beasiswa di SMA diatur sedemikian rupa sehingga kita tinggal mengikuti programnya sementara di universitas kita bisa mandiri. Bahkan kita bisa bebas pergi ke mana saja ketika ada waktu luang di jadwalnya. Kelima, keberagaman asal negara dari peserta kursus lebih banyak dan kita bisa saja menjadi satu-satunya orang Indonesia di tempat itu sehingga tidak seperti ketika SMA yang membuat kita cenderung pergi berombong-rombong dengan sesama Indonesia dan akhirnya tidak sungguh-sungguh belajar budaya lain. Duh, kalau disebutkan intinya banyak banget deh kelebihannya. Ketika mengetahui hal ini, saya mulai sadar bahwa inilah rencana yang Tuhan simpan untuk saya.
Tapi, bagaimana cara saya bisa mendapatkannya? Hmm... itu perjuangan lagi. Seperti sebuah kutipan dalam film 5 cm, kalau kita ingin mencapai impian, taruhlah impian itu 5 cm di depan mata kita. Pada intinya, maksud dari kutipan itu adalah agar kita bisa fokus terhadap mimpi itu. Sejak awal saya mengetahui keberadaan beasiswa ini, saya mencoba belajar sungguh-sungguh di jurusan yang kata orang sulit ini. Sama seperti jurusan apapun, tentu tidak semua mata kuliah terasa mudah. Meski di kiri kanan ada pandangan-pandangan negatif terdengar, saya tetap memandang positif dengan sabar segala hasil baik maupun buruk yang saya peroleh. Saya mencoba menerima semua tantangan dan rintangan yang harus saya lalui. Kadang-kadang, akibat terlalu serius belajar, komentar miring pun muncul. Tetapi saya sungguh tidak mau peduli. Lihat saja nanti, apa yang saya lakukan akan membuahkan hasil. Toh saya tidak perlu menunjukkan kerja keras saya pada teman-teman. Yang perlu tahu akan kerja keras saya hanya Tuhan (supaya saya tidak cuma minta terus tanpa usaha) dan dosen (yang menilai). Tetapi jangan lupa, amal juga penting. Kalau ada yang minta bantuan dalam perkuliahan, bantulah mereka dengan senang hati :)
Memasuki semester 5, dosen mulai memilih kandidat-kandidat penerima beasiswa ini. Beberapa tahap seleksi dilakukan hingga tersisa 5 orang. Lima orang ini diharuskan menulis sebuah karangan tentang motivasi belajar di Jerman. Setelah semua dari kami selesai menulis, kami sempat saling bertukar. Jujur, saya minder. Teman-teman saya tulisannya bagus semua. Ada yang sangat fokus ingin meneliti teater dan seorang dramaturg terkenal yang sangat relevan, ada yang bahasannya sangat berguna untuk perkembangan studi bahasa Jerman, ada yang motivasinya sangat up-to-date karena membahas multikulturalisme, dan satu lagi, kepribadiannya sangat baik, sehingga punya nilai plus. Karangan saya isinya betul-betul mimpi doang! Semakin mendekati hari pengumpulan akhir saya semakin tegang. Berkaca pada pengalaman di SMA, ketika saya begitu ingin dan terobsesi dengan beasiswa itu tetapi justru gagal, saya tidak mengulanginya lagi. Bahkan saya berusaha melupakan dan tidak peduli dengan beasiswa itu. Pemikiran saya telah berubah: dapat ya syukur, enggak ya udah. Saya cuma berpegang pada nasehat dosen saya yang mengoreksi karangan itu. Ada tiga nasehat penting yang bisa saya rangkum. Pertama, jadilah diri sendiri. Tulis saja keinginan pribadi yang membuat kita ingin sekali ke Jerman. Kedua, masukkan motivasi yang berbeda dari motivasi orang lain, pada intinya sesuatu yang hanya bisa kita dapatkan di Jerman. Ketiga, fokus dan ketahui apa yang kita inginkan. Nasehat itu menghasilkan sebuah karangan yang kalau dibaca nggak berbobot dan isinya mimpi doang hahahaa...Karangan saya menyebutkan keinginan menulis buku dengan latar belakang abad pertengahan Jerman, kota Munich dan kastil Neuschwanstein. Saya ingin melihat bunga Kornblume yang tidak ada di Indonesia karena katanya warna birunya tidak pernah hilang. Saya ingin menulis skripsi tentang perbandingan pohon Linde di Jerman dan pohon beringin di Indonesia (yang ternyata nggak jadi karena nggak ada waktu -.-a).
Pada akhirnya saya pasrah dan mengumpulkan karangan itu, ditemani oleh Ritter saya hehehee... Bulan demi bulan berlalu, saya belum juga mendapatkan hasilnya. Saya nyaris lupa dengan beasiswa itu ketika tiba-tiba seorang senior yang juga dulu pernah menerimanya meng-sms saya dan mengingatkan untuk sering-sering cek email. Bukan main kesalnya saya, karena saya sudah susah-susah melupakan eh sekarang ingat lagi. Permasalahannya, kalau saya ingat saya jadi semakin pengen -.-a
Dan, suatu pagi pada tanggal yang saya lupa tepatnya kapan, saya sedang duduk di payung dekat Gedung 1 bersama Ritter. Tiba-tiba seorang teman dekat sms saya dan tanya tentang hasil beasiswa. Karena saya takut, jadi saya bilang saya belum mau lihat. Ternyata dia bilang bahwa salah satu teman saya telah mengetahui hasilnya dan rupanya dia mendapatkan beasiswa ke Berlin. Buru-buru saya buka email. Betapa gembiranya hati saya ketika melihat sebuah email dari DAAD berjudul "Beasiswa HSK". Saat itu juga saya bangunkan Ritter yang ternyata sudah ketiduran di samping saya dan memberi tahu hasilnya. Bersamaan dengan itu, teman-teman saya yang duduk tidak jauh dari sana berdatangan dan menanyakan kota yang akan saya tuju. Munich. Lalu mereka bersorak gembira dan ikut memberi selamat. Saat itu saya benar-benar speechless. Nggak menyangka Tuhan kasih kesempatan itu kepada saya.
Demikianlah cerita saya memperoleh berkat tersebut. Sebuah impian ternyata memang harus dicapai dengan penuh perjuangan, fokus dan keyakinan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar