"Seseorang yang sungguh-sungguh mendukung dan memperjuangkan multikulturalisme seharusnya tidak akan senang apabila suatu hari nanti semua orang di wilayah tempat tinggal mereka menjadi sama dengan mereka," - own quote
Sebetulnya percakapan di Interpals ini terjadi tidak sengaja karena saya sedang malas membicarakan hal-hal berat seperti ini apalagi di musim ujian begini. Akan tetapi ujian wacana di hari Jumat yang salah satu temanya wacana Multikulti mendorong saya untuk iseng bertanya kepada beberapa orang yang kebetulan hadir menemani saya di Interpals semalam (berasa acara talkshow ajaa...). Saya perkenalkan dulu para narasumber saya (nama disamarkan). Pertama, ada E, teman saya berusia 23 tahun asal Norwegia. Ia bekerja di sebuah minimarket. Orangnya baik tapi pemalu. Berasal dari kota superkecil di utara Norwegia yang nyaris nggak ada apa-apanya untuk ukuran orang Jakarta. Kedua, ada C, teman saya asal Norwegia juga, umurnya 24 tahun. Pecinta game dan film. Lulusan sekolah hospitality yang akhirnya gonta-ganti kerjaan melulu. Penganut Asatru atau paganisme Norse yang masih percaya pada dewa-dewi seperti Odin, Thor dan Freyja. Teman yang ketiga bernama T, asal München, Jerman. Mahasiswa teknik berumur 23 tahun yang kuliah di Inggris. Jemaat gereja Kristen yang sangat religius. Teman yang terakhir bernama S, mahasiswa hukum berusia 21 tahun asal Polandia. Penganut Katolik yang juga masih religius.
Sebelum masuk ke inti obrolan saya dengan mereka, ada baiknya saya buat peringatan dulu:
WARNING!! TULISAN DI BAWAH BERPOTENSI MEMICU KOMENTAR-KOMENTAR BURUK BERNADA SARA KHUSUSNYA UNTUK ORANG-ORANG INDONESIA YANG BELUM BISA MENYIKAPI PERSOALAN SECARA DEWASA! HANYA UNTUK ORANG YANG SABAR DAN OPEN MINDED! KOMENTAR MEREKA BERDASARKAN PENGALAMAN, JADI BUKAN MENGGENERALISASI SEMUA GOLONGAN YANG DIMAKSUD!
Ok, jadi intinya, pertanyaan saya cuma satu: bagaimana pandangan kalian terhadap kaum imigran di Eropa?
Jawaban dari E:
E: aku tidak pernah bermasalah dengan kaum imigran karena negara asal mereka. Tetapi jika boleh jujur, aku kurang suka dengan sikap semena-mena mereka. Aku tidak mau rasis, tetapi sepanjang aku bekerja di mini market, ada beberapa orang dari Eropa Timur dan Afrika yang suka membeli barang dalam jumlah banyak (memborong) tanpa mempedulikan peringatan karyawan toko bahwa jika mereka memborong, akan sulit menunggu sampai barang itu direstock, berhubung letak kota yang terpencil. Menurutku itu sangat tidak sopan dan semena-mena. Apalagi mereka membelinya untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal.
Gue: Di Indonesia banyak kok orang yang beli banyak buat dijual lagi, tetapi biasanya ada kontraknya.
E: Mereka tidak pakai kontrak di sini, dan gara-gara mereka, banyak masyarakat lokal yang kehabisan barang.
Jawaban dari C:
C: Tergantung. Di negaraku banyak imigran asal Asia yang sangat rajin dan mau bekerja. Dengan mereka aku tidak masalah. Akan tetapi masalah justru muncul dari kaum imigran yang datang karena cari suaka.
Gue: Cari suaka?
C: Iya, pemerintah kami begitu takut dicap tidak membela HAM atau tidak cinta damai maka dari itu mereka bersedia menerima kaum imigran yang di negara asalnya terancam. Masalahnya, banyak dari mereka yang malas bekerja dan mengharapkan dari uang tunjangan pemerintah yang asalnya dari pajak kita. Itu belum seberapa, karena beberapa dari mereka sering berbuat tidak benar pada para wanita lokal. Mereka melakukan pelecehan seksual pada wanita-wanita tersebut. Bahkan kita punya satuan khusus pengaman bernama "Natteravn" yang secara sukarela membantu dan melindungi wanita-wanita yang terpaksa harus keluar pada malam hari di wilayah-wilayah tidak aman.
Nah, sebagai tambahan, pada percakapan-percakapan sebelumnya, C pernah cerita ke saya kalau para imigran ini suka makan tempat, mengambil lowongan pekerjaan yang ada untuk orang lokal. Banyak perusahaan lebih suka mempekerjakan imigran karena mereka lebih murah dibanding lulusan sarjana yang mahal. Di lain kesempatan, C pernah share link ke saya tentang tindakan kaum imigran asal Afghanistan bernama Afdar Qadeer Bhatti yang sibuk berorasi di muka umum dan mengancam akan melakukan terorisme pada warga sipil di sana jika pemerintah Norwegia tidak menarik pasukan dari Afghanistan. Waktu itu linknya ada di sini http://www.youtube.com/watch?v=w284HgHsO5Y tetapi oleh pihak Youtube sudah ditarik karena banyak yang protes tentang copyrightnya. C juga pernah cerita kalau dia pernah berantem sama orang asal Maroko, karena orang tersebut mengatakan bahwa keyakinan C hanya dongeng dan memaksa dia untuk percaya "yang benar" menurut orang tersebut.
Jawaban dari T:
T: Selama orang itu mau bekerja dan mau berintegrasi serta menghargai kebudayaan Jerman, mereka akan disambut dengan ramah. Tetapi bagi mereka yang tidak mau berintegrasi, hanya memanfaatkan penduduk lokal, dan tidak mau menerima norma-norma masyarakat yang berlaku di Jerman sebaiknya tinggal saja di negaranya. Ada banyak imigran di Jerman yang menolak berintegrasi dengan budaya Jerman karena agamanya. Sangat disayangkan, karena hal ini bisa memicu konflik di masa depan.
Jawaban dari S:
S: Aku tidak menyukai beberapa imigran dari Arab dan Turki. Kamu bisa lihat sendiri di situs ini banyak dari mereka yang senang menggoda wanita. Baru saja mulai bicara sudah menyapa dengan "hi cutiee" atau semacamnya. Orang-orang ini sepertinya hanya ingin seks, karena di negara mereka hal itu haram. Di negara-negara Slavia, kami tidak segan-segan meladeni mereka di jalan, kalau mereka mengajak berantem. Tentang multikulturalisme di Jerman, aku kebetulan berada di sana ketika ada pertandingan sepak bola Jerman vs Turki. Banyak sekali orang Turki di sana, sementara hanya sedikit orang Jerman yang tampak bangga mengibarkan bendera. Mereka seperti takut dengan rombongan orang Turki tersebut, bahkan di negaranya sendiri!
Saya hanya mengangguk-angguk sambil berpikir mungkin orang-orang yang saya temui memang rasis dan punya prasangka buruk terhadap beberapa golongan. Tetapi kemudian saya ingat-ingat lagi, apa yang saya lihat di kompleks apartemen saya beberapa minggu lalu. Lima puluh imigran ilegal asal Iran dan Nigeria ditangkap karena tidak punya dokumen resmi. Oh? Mereka ilegal? Pantas saja di sekeliling saya tiba-tiba banyak sekali kaum mereka. Tiba-tiba saya ingat punya pengalaman tidak enak dengan mereka. Pernah suatu kali saya beli air botolan di sebuah toko di lantai bawah. Kira-kira waktu itu pukul 22.00. Baru sampai di pintu toko, saya dilihatin dan disuit-suitin sama para imigran itu, yang kebetulan lagi merokok di meja-meja dekat toko itu. Pernah lagi ketika belanja di supermarket, tiba-tiba ada yang mendekat terus manggil-manggil pakai kata "beautiful", "cutie" dan semacamnya. Di hari lain, saya memergoki salah satu dari mereka memukuli orang Indonesia dekat parkiran mobil. Setelah mereka diciduk aparat tiba-tiba saya bisa santai dan aman-aman saja ketika malam hari harus turun beli ini itu. Tidak ada yang menggoda atau melecehkan.
Jadi? Masihkah saya disebut rasis dan diskriminatif jika saya tidak suka dengan keberadaan mereka di negara saya? Masihkah teman-teman saya di atas dikatakan rasis dan diskriminatif jika berkata demikian? Menyimpulkan pengakuan mereka, saya bisa bilang bahwa banyak kaum imigran yang tidak tahu terima kasih. Sudah diperbolehkan tinggal dan menerima tunjangan tetapi kelakuannya semena-mena. Sama seperti mereka yang tertangkap di Indonesia kemarin. Sudah numpang, tetapi merugikan masyarakat Indonesia. Lalu agama dijadikan alasan untuk tidak mau integrasi. Menurut saya, hal itu tidak dibenarkan, karena mereka pindah ke negara yang awalnya monokultur itu atas kesadaran sendiri. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jika mereka memilih tinggal di negara tersebut mereka harus bersedia mengikuti aturannya. Berbeda dengan Indonesia yang pada dasarnya sudah beragam. Segala aturan yang dibentuk harus menjamin semua golongan masyarakat.
Jika tidak merasa terjamin, mereka mengatakan pemerintahnya diskriminatif atau warganya rasis. Mereka mengaku memperjuangkan multikulturalisme. Apa betul yang diperjuangkan itu multikulturalisme? Saatnya memikirkan ulang perenungan saya yang berbuah kutipan di atas. "Orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan multikulturalisme tidak akan senang jika suatu hari nanti semua orang di wilayah tempat tinggalnya menjadi sama seperti dirinya." Saya berasumsi, para imigran yang menolak integrasi ini akan sangat bahagia jika mereka bisa mengubah negara yang mereka datangi menjadi sepaham dengan mereka, menerima budaya mereka, mengadopsi, bahkan mungkin mempercayai hal yang sama dengan mereka. Hal ini tampak pada keengganan mereka untuk berintegrasi, artinya mereka masih lebih banyak condong untuk mencintai budaya akarnya. Selanjutnya, silakan pikir kesimpulannya sendiri.
Tulisan ini jangan diambil hati. Isinya cuma pendapat beberapa orang. Ini negara demokrasi, bebas berpendapat.
~ LV~Eisblume
Tidak ada komentar:
Posting Komentar