Gue selalu mau nulis ini dan baru kesampaian sekarang, setelah banyak peristiwa terjadi mendorong gue untuk melakukannya. Plus bentar lagi Hari Kemerdekaan Indonesia jadi pas banget untuk bahas hal-hal seperti ini :)
Pernah nggak sih kalian menanyakan hal ini: apakah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu beneran ada? Atau Bhinneka Tunggal Ika itu hanya semboyan buat keren-kerenan negara kita di mata internasional aja? Pertanyaan ini tuh selalu muncul di kepala gue kalau sedang heboh-hebohnya ada isu berkaitan dengan keberagaman SARA di negara kita. Gue tahu, negara kita itu bagus sekali apalagi dari segi keberagamannya. Gimana enggak, sukunya macam-macam dari yang asli maupun pendatang. Agama juga macam-macam, nggak terhitung lagi kepercayaan yang bahkan kita sendiri aja nggak tahu eksistensinya. Bahasa daerah macam-macam. Duh, apalagi yang macam-macam? Banyak banget kan... Dan menurut gue hal ini tuh jadi nilai plus di mata internasional.
Kenyataan bahwa banyak sekali sisi negatif negara kita yang juga terekspos ke luar negeri nggak bisa kita pungkiri. Korupsi, pembajakan, terorisme, kemiskinan, konflik-konflik dalam negeri, separatisme, illegal logging, dll. semua pernah masuk media internasional. Kebetulan gue suka sekali menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai negara dan gue selalu malu kalau segi negatif ini ketahuan. Untungnya sisi positif Indonesia dari keberagamannya bisa menutupi semua itu. Gue selalu bilang sama mereka: yah, itu bangsanya yang bikin citra buruk seperti itu, tapi kenyataannya Indonesia bagus lho. Kita punya buanyak sekali suku dan bahasa, kita terdiri dari masyarakat yang keyakinannya beragam. Percaya nggak kalau kita aja punya 4 tahun baru dalam setahun: tahun baru masehi, tahun baru Imlek, tahun baru Hijriyah dan tahun baru Saka. Waktu teman-teman gue dengar ini mereka memuji-muji Indonesia. Tapi JLEB!! kenyataannya gue sadar kalau gue sudah bohong ke mereka. Kenyataannya ada yang nggak beres di negara kita berkaitan dengan keberagaman ini. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ingat cerita nyokap gue dulu bahwa pada zaman Orde Baru masalah semacam ini tuh nyaris nggak lebih dari masalah kecil yang biasa ada di semua negara. Coba lihat sekarang deh.. Orang mau ibadah aja susah, mendirikan tempat ibadah harus izin sana sini, tempat ibadah dihancurkan, orang-orang dari golongan suku tertentu dianggap bukan "Indonesia", diskriminasi terjadi di sana-sini. Gue jadi bertanya-tanya lagi, sebenarnya segi positif yang gue bilang ke teman-teman di luar sana itu ada beneran nggak sih?
Yang gue tulis di atas bukan karangan. Gue yakin sekarang kalau Bhinneka Tunggal Ika itu nggak lebih dari semboyan doang. Kalau nggak percaya coba deh kita renungkan hal berikut ini:
- Kalau kita berada di antara orang-orang Indonesia, kita cenderung masih memandang mereka sebagai suku A, suku B, agama A, agama B. Jarang yang bisa memandang cukup sampai "sesama Indonesia" saja. Anggapan "sesama Indonesia" cuma berlaku kalau sedang ada pertandingan sepak bola, bulu tangkis atau intinya punya musuh bersama atau ketika sudah jadi teman akrab.
- Sebagian besar dari kita senang dan menerima adanya hari besar agama lain di kalender hari nasional Indonesia hanya karena senang dengan liburnya, bukan karena rasa ingin respek pada penganutnya. Pasti sebagian besar dari kita masa bodoh aja, bahkan nggak kasih ucapan apa-apa sekali pun teman kita merayakannya.
- Sebagian besar dari kita masih jauh lebih suka jika dipimpin oleh orang yang segolongan baik agama, suku, ras, dll. tetapi prestasinya biasa aja atau bahkan buruk daripada dipimpin oleh orang yang golongannya beda tapi prestasinya lebih bagus.
- Sebagian besar dari kita setidaknya masih menganggap suku tertentu sebagai "bukan Indonesia" atau "pendatang" sekalipun kenyataannya mereka dan nenek moyangnya sudah lama ada di Indonesia.
Kalau kita banyak setuju dengan pertanyaan di atas, artinya Bhinneka Tunggal Ika buat kita itu hanya semboyan doang dan belum masuk ke kehidupan kita sehari-hari. Kita masih mengutamakan kelompok atau golongan di atas kesatuan sebagai Indonesia.
Kadang-kadang gue berharap pemerintah bisa memberi contoh yang baik lewat institusi-institusinya supaya Bhinneka Tunggal Ika nggak cuma jadi semboyan aja. Eh tapi sayangnya enggak. Bahkan dari institusi yang di dalamnya beranggotakan anak-anak dan remaja (yang harusnya sejak kecil diajarkan tentang penerapan semboyan itu) saja tidak. Misalnya saja institusi pendidikan milik pemerintah, dari jenjang SD sampai Universitas. Kebetulan gue nggak pernah mengayom pendidikan di sekolah milik pemerintah sampai akhirnya gue kuliah di UI dan terkaget-kaget dengan isinya. Beberapa hal yang gue catat berkaitan dengan bahasan di post ini:
1. Sejak masuk UI gue sering banget dengar orang tanya: "asal mana?" dan ketika gue tanya lagi: "asal apa? sekolah?", orang tsb menjawab: "bukan, asal daerah." Lebih parah lagi kalau orang itu langsung tanya: "suku mana?" hohoho.. pertanyaan ini paling males gue jawab. Memang apa pentingnya suku gue buat orang itu? Mau dicatat ke database? Udahlah ngapain sih masih bahas-bahas suku segala, kita sama kok orang Indonesia, suku-sukuan itu buat personal aja deh nggak usah dibawa keluar. Gue tau itu bisa memperkaya Indonesia, tapi kenyataannya pertanyaan begitu tuh nggak penting dan ujung-ujungnya malah dipakai buat beda-bedain orang :(
2. Sikap yang sama berlaku untuk pertanyaan: "agama apa?" dan semua kolom agama di semua biodata yang terpaksa gue isi kecuali yang buat database mahasiswa yang di SIAK NG. Lebih kesel lagi kalau pertanyaannya: "Lo x atau non-x?" Seolah-olah yang penting cuma x ini doang dan sisanya nggak dilihat lagi ragamnya cuma dibilang non-x. Duh di Indonesia kan ada 5 agama lainnya yang diakui (dan sebenarnya menurut gue ini masalah juga, masa dari ratusan keyakinan yang diakui cuma 5, padahal kita lebih beragam dari itu).
3. Ucapan salam di semua acara. Bukannya gue gak mau jawab atau sentimen, nggak sama sekali. Gue tahu itu hanya sebuah ucapan salam yang nggak ada salahnya dibalas (bahkan selalu gue balas). Sama dengan ucapan "Guten Tag" ketika masuk jurusan Jerman. Tapi masalahnya ada di sini nih: itu bukan bahasa Indonesia >.> dan nggak semua orang menempatkan "selamat pagi/siang/sore/malam" di belakangnya. Kenapa sih di institusi yang sifatnya milik umum, milik pemerintah dan universal nggak pakai bahasa Indonesia aja. Kecuali kalau ada di kelas bahasa tsb sih silakan aja. Coba deh kita ganti salam itu pakai bahasa Inggris, atau "God be with you" gitu misalnya, pasti nggak enak juga kan? Pakai bahasa asing di tengah acara resmi institusi yang labelnya "Indonesia" :c
4. Salah satu maba gue baru aja masuk UI dan ikut OBM. Pas di kelas Learning Skill dan disuruh muterin kertas trus ngisi pendapat tentang teman yang punya kertas itu, banyak orang nulis di kertas dia dengan tulisan nama sukunya atau yang berhubungan dengan itu. Buat apa coba? Setahu gue kertas itu harusnya dipakai untuk nulis karakter orang tsb deh -.-a Lebih parahnya lagi si maba ini cerita ke adek gue kalau dia dulu di SMA cuma satu-satunya anak yang agamanya beda. Sampai pas kelas agama gurunya frustasi trus marah-marah dan bilang: "ini nih akibatnya kalau kamu minoritas!" setelah sebelumnya menarik dia ke ruang guru. Hmm.. yang gue kaget, sekolahnya ini ternyata jadi partner pemerintah Jerman. Duh, kalau gue jadi pemerintah Jerman gue akan berpikir sekolah ini gak deserve posisi itu, karena mereka gagal melakukan sesuatu yang sedang diperjuangkan sekali sama pemerintah Jerman: Multikulturalisme.
5. Gue sama teman gue pernah lihat spanduk gede-gede di depan stasiun soal sukarelawan yang mau dikirim ke Palestina. Menurut gue spanduk itu berlebihan banget ya. Pertama, ngapain coba sukarelawan digembar-gemborkan. Sukarelawan kan harusnya anonim. Kedua, gue heran sama universitas ini. Indonesia masih banyak masalah, banyak orang-orang di wilayah terpencil yang nggak tersentuh tangan pemerintah. Kenapa nggak kirim sukarelawan ke sana aja trus digembar-gemborkan? Mereka sama-sama Indonesia lho...jadi kayanya lebih pantas digembar-gemborkan :) Yah, mungkin orang Indonesia (lagi-lagi) lebih melihat yang segolongan daripada yang sebangsa -__-a atau lagi-lagi cuma buat citra bagus yang palsu di mata internasional. Sama dengan konflik di Rohingya yang digembar-gemborkan tapi lupa kalau negara sendiri masih diskriminatif sama kelompok-kelompok minoritas -__-a
Gue tahu betul kalau di mana-mana minoritas, baik dari segi suku, agama, ras bahkan gaya dan selera (makanya ada namanya subculture) pasti didiskriminasi. Hak mereka nggak akan sebanyak kelompok mayoritas. Banyak orang Indonesia yang menunjuk-nunjuk kalau misalnya di Jerman terjadi hal yang sama terhadap para imigran Turki, di Norwegia terjadi hal yang sama terhadap imigran Afrika dan Afghanistan, dan lain sebagainya. Tapi ingat, Jerman, Norwegia, dan negara-negara itu pada awalnya bersifat monokultur. Negara yang terdiri dari satu bangsa, satu ras bahkan punya agama resmi. Sementara itu Indonesia berdiri di atas keberagaman itu. Berbagai suku, agama, ras dan golongan mendirikan Indonesia, bersumpah lewat Sumpah Pemuda dan akhirnya menghasilkan semboyan itu. Hal itu yang membuat kita jadi tidak boleh diskriminatif dan harus mengutamakan Indonesia di atas golongan. Kalau tidak setuju dengan hal ini lebih baik keluar dan buat negara sendiri khusus untuk kelompoknya :)
Tulisan ini sama sekali bukan buat mancing pertengkaran atau menyerang pihak-pihak tertentu. Gue bahkan nggak menyebut terang-terangan berbagai macam pihak yang ada di sini. Pada intinya inilah hal yang gue rasakan selama ini dan gue temukan di sekitar gue. Kalau ada hal yang menyinggung baik langsung dan tidak gue minta maaf sedalam-dalamnya. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita semua :)
Peace,
Eisblume :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar