Seluruh penghuni kastil cemas, terlebih lagi Sigmund, ayah Thorvard. Ia menanti kepulangan anaknya dari perburuan. Beberapa pengawal telah diperintahnya untuk mencari rombongan Thorvard, sedangkan ia duduk menanti putra tunggalnya itu dengan penuh kekhawatiran di meja makan. Tiba-tiba pintu kastil terbuka. Dua pengawal yang pakaiannya basah kuyup membawa masuk bangkai seekor serigala.
"Hamba mohon ampun Tuanku, kami tidak dapat menemukan putra Tuanku di mana pun. Kami terpisah darinya ketika badai datang. Kami sudah peringatkan ia agar tidak nekad menerjang badai, apa daya kami tak mampu mencegahnya. Keinginan Tuan Muda Thorvard untuk mendapatkan buruan sangat besar," kata Lars, salah satu pengawal yang mendampingi Thorvard.
"Huh! Dasar kalian berdua bodoh! Harusnya kalian tidak membiarkan putraku pergi sendirian!" kata Sigmund kesal.
"Tapi Tuanku, kedua kuda kami tidak mau dipacu menerjang badai itu," kata Knut, pengawal lainnya.
"Banyak alasan kalian! Sekarang cepat jelaskan mengapa kau bawa bangkai serigala itu kemari!" perintah Sigmund.
"Serigala ini kami temukan tergeletak mati di tepi hutan keramat, Tuan. Dan kami terkejut ketika menemukan ini padanya," Lars dan Knut mengangkat tubuh serigala itu dan memperlihatkan sesuatu yang menancap menembus lehernya: panah Thorvard!
"Oh, tidak. Thorvard anakku!" Sigmund bangkit dari kursi makannya dan langsung menghampiri bangkai serigala yang dibawa kedua pengawal itu. "Thorvard..., putraku satu-satunya... ahli warisku..., bagaimana mungkin kau tewas dimangsa serigala ini?" ia menelungkup penuh penyesalan. Seketika ruangan itu menjadi sunyi seolah kabar duka yang dibawa kedua pengawal telah tersebar lewat udara ke segala penjuru kastil.
"Tapi Tuanku," Lars memecah kesunyian penuh duka itu. "hamba tidak begitu yakin bahwa Thorvard pasti dimangsa serigala ini. Memang ada kemungkinan ketika ia dimangsa ia berusaha melawan dengan menancapkan panahnya ini. Tapi... jika memang serigala ini memangsanya, kami tidak menemukan sisa apapun dari Tuan Muda Thorvard, yang tentu seharusnya tidak terjadi,"
Sigmund mengangkat kepalanya. "Jadi.. maksud kalian, ada harapan bahwa anakku masih hidup? Lalu jika demikian di mana ia sekarang?"
"Satu hal yang kami khawatirkan, Tuanku. Tuan Muda Thorvard mungkin telah tersesat dalam badai dan tanpa sengaja masuk ke hutan keramat," kata Knut.
"Apaaa?! Hutan keramat kau bilang?! Apa bedanya dengan kematian kalau begitu?! Siapa pun yang masuk ke sana tidak akan dapat keluar!" Sigmund tidak begitu suka dengan kemungkinan kedua.
"Setidaknya kita dapat berharap Tuan Muda Thorvard tidak seperti yang lainnya dan suatu saat menemukan jalan keluar," kata Lars berusaha memberikan pemikiran positif.Sigmund sang tuan tanah melewatkan makan malam dalam kesendirian. Separuh hatinya masih berharap bahwa anaknya akan kembali. Sayangnya hingga ia beranjak tidur, tidak ada tanda-tanda kepulangan Thorvard.
* * *
Nun jauh di hutan keramat, Thorvard yang telah berubah menjadi serigala menanti datangnya malam dengan tidak sabar. Ketika sinar bulan pertama menembus celah-celah pohon yang begitu rapat, ia segera berlari dan membiarkan tubuhnya dimandikan cahaya bulan yang membuat bulu-bulunya menjadi keperakan. Ia membuat sebuah lolongan panjang lalu seluruh tubuhnya mulai berubah. Wajah, tangan, badan, kaki dan jari jemarinya kembali menjadi Thorvard, sang ksatria gagah. Ia berdiri dalam balutan baju besi yang bersinar terkena pantulan cahaya bulan. Dengan mantap ia melangkah meninggalkan cahaya itu, bermaksud melaksanakan keinginan utamanya: pulang ke kastil.
Thorvard melangkah keluar dari hutan keramat, melalui desa-desa di sekitar dinding kastil yang sangat sunyi seolah mati. Malam sudah begitu larut, sampai-sampai ketika ia tiba di kastil, tak seorang pun masih terbangun kecuali para penjaga gerbang. Penjaga gerbang tampak terkejut melihat kehadiran sang ksatria yang tidak berubah kecuali sebuah luka yang tampak di kepala akibat terantuk batu tadi. Tanpa berkata apa-apa, mereka langsung membukakan gerbang untuk sang tuan muda. Thorvard harus melalui jalan panjang yang melingkar ke atas apabila ingin mencapai pintu kastil. Ia harus melakukannya dengan kedua kakinya karena kudanya telah kabur entah ke mana ketika melihat dirinya berubah menjadi serigala.
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah Thorvard di pintu kastilnya. Semua pengawal yang berjaga membukakan pintu untuknya, tetapi ia merasa ada yang janggal, karena para pengawal itu kemudian berbisik-bisik dengan berisik sekali. Kepulangan Thorvard langsung diketahui oleh ayahnya lewat kurir kastil. Sigmund menghambur keluar menghampiri sang anak dan segera menanyakan banyak hal pada Thorvard. Tanpa mempertimbangkan waktu, sang tuan tanah memerintahkan para pelayan untuk memasakkan makanan mewah dan lezat untuk putranya. Ia begitu percaya akan keajaiban yang telah terjadi: Thorvard tidak mati namun berhasil keluar dari hutan keramat dengan selamat, nyaris tanpa kekurangan apapun.
Ayah dan anak itu terus bercakap-cakap hingga lupa waktu. Ketika Thorvard tersadar, jam sudah menunjuk pukul lima pagi. Mereka telah mengobrol semalaman tanpa tidur dan Thorvard mulai khawatir. Ia sadar bahwa sebentar lagi mentari akan terbit dan sinarnya akan mengubah dirinya menjadi serigala kembali.
"Tapi Thorvard anakku," kata Sigmund, "kau baru saja pulang, kenapa harus pamit dan pergi lagi?" tanyanya bingung.
"Tidak bisa ayah, aku harus pergi. Ada urusan yang belum kuselesaikan. Aku akan kembali lagi nanti," katanya. Ia langsung menyambar jubah yang disampirkan di punggung kursinya dan berlari melintasi ruang tengah kastil yang luas menuju keluar.
"Thorvard! Tunggu!" panggil Sigmund, namun ia tidak lagi dapat mencegah anaknya. Sang ksatria muda telah menghilang dari pintu.Thorvard berlari dengan cepat melintasi lorong-lorong sempit di antara bangunan. Ia berusaha menghindari sinar mentari yang mulai menyusup menembus awan di ufuk timur. Namun ia kalah cepat. Matahari mulai naik dan menampakkan seluruh wujudnya. Sekelilingnya menjadi sangat terang dan perlahan-lahan ia merasakan bulu-bulu kembali menutupi tubuhnya. Dengan segera ia melompat bersembunyi di balik bayangan. Sial bagi Thorvard, seorang anak kecil justru berjalan mendekatinya karena penasaran.
"Aada.. celigalaaaa..., celigalaaa..," katanya dengan polos dan lugu seolah tak tahu bahaya yang mengancam nyawanya.
"Tidak ada serigala di dalam dinding kastil, Nak," kata ibunya tanpa menyadari keberadaan Thorvard.
"Jangan ke sini, Nak! Bahaya.., menjauhlah dariku! Hush.. hush...," Thorvard berusaha mengusirnya dengan melambai-lambaikan cakarnya. Ia tidak sadar suara yang dihasilkannya sama sekali bukan suara manusia, melainkan suara geraman hewan buas.
"Ada serigalaaaaaaa!!!! Toloooong!!" sang ibu menjerit ketika menyadari asal geraman itu. Ia menarik anaknya menjauh dan berteriak-teriak di sepanjang jalan lalu menunjuk tempat persembunyian Thorvard.Buru-buru Thorvard melompat keluar dari bayangan. Ia terkejut melihat banyaknya orang di jalan dengan berbagai macam senjata. Mereka juga tampak terkejut menemukan serigala abu-abu besar berada di balik dinding kastil.
"Itu serigalanya! Ayo kita kejar!!" seru seorang penduduk.Mereka mengejar Thorvard sembari melesakkan anak panahnya berharap dapat melumpuhkan atau membunuh serigala itu. Thorvard berlari dengan panik mencari gerbang kastil selagi berusaha menghindari senjata apapun yang dilemparkan para penduduk. Sebuah anak panah yang tajam berhasil menggores kakinya. Siksaan belum berakhir, karena ketika ia tiba di gerbang kastil, penduduk desa di luar sudah bersiap dengan senjatanya masing-masing. Garpu ladang dan obor dengan api menyala dilemparkan ke arah dirinya. Kerumunan penduduk terus mengejarnya. Thorvard terengah-engah berlari melintasi padang rumput lalu menghilang di balik kelebatan hutan keramat. Sejak hari itu ia bertekad tidak lagi ingin masuk ke dalam kastil selagi kutukan itu masih ada. Ia hanya keluar pada malam hari sesekali dalam pakaian ksatria dan wujudnya yang tegap dan gagah dan menghilang sebelum matahari terbit. Orang di daerah tersebut kemudian mengenalnya sebagai ksatria malam.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar