22.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (3)

Thorvard -- yang kini dikenal sebagai ksatria malam --- sungguh tidak pernah lagi menjejakkan kakinya di lingkungan kastil itu. Ia telah memutuskan untuk berkelana ke negeri-negeri yang jauh dan mengabdi sebagai ksatria yang melindungi masyarakat. Karena keterbatasannya, ia hanya muncul dan beraksi pada malam hari. Sigmund, menyadari bahwa sang anak tak pernah kembali, akhirnya telah merelakan kepergiannya sekalipun ia masih sedikit berharap bahwa sebelum kematiannya nanti ia dapat bertemu kembali dengan putranya itu.

Sementara Thorvard pergi berkelana, keadaan di negerinya justru menjadi kacau. Ancaman demi ancaman dari suku-suku barbar mulai berdatangan. Pasukan kerajaan disiagakan di mana-mana, termasuk para pasukan yang mengabdi pada Sigmund sang tuan tanah. Mereka dikirim ke berbagai wilayah kerajaan untuk membantu mengamankan situasi. Di saat seperti ini, Sigmund begitu merindukan anaknya. Kemampuan berperang dan ketrampilan menggunakan senjata yang ada pada Thorvard sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.

* * *
Di salah satu desa yang terletak di luar tembok istana tinggal sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu dan anak perempuan mereka yang masih muda dan cantik. Yngva namanya, dan sehari-harinya ia membantu orang tuanya dengan menggembalakan domba. Setiap pagi gadis itu menggiring beberapa ekor dombanya menuju padang rumput yang terletak di antara desanya dan hutan keramat. Sembari menunggui domba-dombanya merumput, ia senang duduk di atas sebuah batu besar yang ada di situ dan mengepang rambut emasnya lalu menghiasnya dengan bunga-bunga rumput liar yang tumbuh di sekitar situ. Yngva menyukai bunga. Kadang-kadang pandangannya beralih pada hutan keramat yang terbentang sejauh mata memandang di sebelah selatan desa. Ia membayangkan, bahwa di balik kelebatan hutan itu pasti ada banyak bunga-bunga yang tumbuh dengan indah.

Suatu hari menjelang musim dingin, Yngva menggiring domba-dombanya ke padang rumput. Tidak banyak rumput yang tersisa di situ. Nyaris semua helai rumput sudah mengering karena angin musim gugur yang bertiup. Tetapi orang tua Yngva memutuskan untuk menghemat persediaan rumput musim dingin bagi domba-domba itu sehingga mereka menyuruh anak perempuannya untuk menghabiskan sisa rumput yang masih bisa dimakan oleh hewan-hewan berbulu putih itu. Sedang ia menikmati dinginnya semilir angin musum gugur, dilihatnya sesuatu yang mengejutkan. Asap mengepul dari kejauhan. Ia segera tersadar bahwa asap itu berasal dari desanya. Ingatannya melayang pada kedua orang tuanya. Dengan cepat ia berlari meninggalkan domba-dombanya. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik. Sekelompok pria bertubuh raksasa yang menunggang kuda hitam memburunya. Yngva bingung. Ia tidak tahu harus melarikan diri ke mana lagi. Pandangannya tertuju pada hutan keramat di depannya. Ke sanalah ia berlari. Satu-satunya tempat yang dapat menyelamatkannya saat itu.

Yngva berlari dan terus berlari. Ia tidak peduli lagi akan jalan keluar selama ia dapat melarikan diri dari para penunggang kuda itu. Ia tahu mereka. Mereka pastilah suku barbar yang telah dikabarkan melintasi perbatasan negeri ini. Gadis gembala itu tahu betul keganasan suku itu. Mereka dikenal suka membakar dan menghancurkan apapun yang dilewatinya. Semua penduduk desa dibunuh dan para wanita diculik untuk dijadikan istri pemimpin mereka atau sekedar pemuas nafsu mereka saja kemudian dibuang atau dibunuh. Yngva bergidik ngeri membayangkan hal itu. Ia terus berlari, tak peduli dengan tersandung akar pohon atau tersandung batu berulang kali. Sesekali ia mengintip lewat bahunya. Para penunggang kuda itu belum juga berhenti. Kuda-kuda mereka tampaknya terlalu handal untuk dihambat dengan medan seperti hutan ini.

Tepat di sebuah kolam di bawah air terjun Yngva terjatuh. Kakinya tidak mampu lagi untuk berlari. Ia menangis ketakutan meratapi nasibnya. Dalam kata-katanya terselip kalimat-kalimat doa.
"Oh, dewa dewi penghuni hutan. Jangan biarkan diriku jatuh ke tangan mereka. Selamatkanlah aku dari kejaran musuh-musuhku. Biarkan aku kesempatan untuk hidup. Kan kuabdikan diriku sebagai penjaga hutan ini. Tak akan kubiarkan satu pun penduduk desaku merusak dan mengambil apapun dari hutan ini. Kumohon padamu dewa dewi penghuni hutan,"
Serta merta muncullah sesosok wanita berpakaian musim dingin --- sang dewi musim dingin dan perburuan yang juga dilihat oleh Thorvard. Hanya Yngva yang mampu melihat sosok ini, tidak dengan musuh-musuh pengejarnya. Wanita itu tersenyum pada Yngva dan mengucapkan sesuatu, lalu menghilang. Seketika tubuh Yngva berubah sosok menjadi setangkai bunga putih kebiruan yang tumbuh di tanah. Tanah di sekitarnya tidak coklat atau hijau, melainkan putih, karena tertutup salju.
"Tidak mungkin! Pasti perempuan itu hanya salah satu penyihir di desa itu. Ia menipu kita dengan triknya!" kata salah satu penunggang kuda.
"Ayo, kita tangkap dia!" seru yang lain.
Empat pria raksasa yang mengejar Yngva turun dari punggung kudanya. Mereka berjalan mendekati setangkai bunga putih yang tumbuh tepat di tengah kolam itu. Tetapi kemudian langkah mereka terhenti. Satu persatu dari mereka mulai tersadar bahwa kaki mereka telah terperangkap dalam air yang membeku tiba-tiba. Air terjun yang mengalir dari atas tebing di sisi kiri mereka juga telah menjadi beku. Es merambat dari kaki mereka lalu menelan mereka hingga kepala. Keempat penunggang kuda itu telah menjadi patung es, diam tak bergerak, mati. Sementara Yngva yang telah menjadi bunga hanya tersenyum penuh syukur dalam sosoknya yang berkelopak putih kebiruan seperti kristal itu.

Beberapa menit kemudian sosok manusia Yngva kembali. Ia mengucapkan terima kasih pada sang dewi yang menolongnya, kemudian pergi dari tempat itu, meninggalkan musuh-musuhnya yang telah menjadi patung es. Ia mencari jalan pulang dan tiba kembali di tepi hutan hanya untuk menyaksikan desanya yang habis terbakar dan domba-dombanya yang sudah menghilang entah ke mana dari padang rumput itu. Dengan terisak ia duduk di tanah melihat segala kehancuran di depan matanya. Ia tidak tahu lagi harus pulang ke mana.

(bersambung)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar