19.8.12

Ksatria Malam dan Bunga Salju (1)

Kemarilah, aku akan menceritakan sebuah dongeng. Dongeng dari masa yang lampau. Dongeng dari negeri yang sangat jauh. Tempat hutan-hutan tumbuh dengan rimbun, desa-desa tua hidup di sekitarnya, dan benteng-benteng kokoh para raja masih berdiri tegak. Salah satu desa itu terletak di luar dinding kastil yang tinggi. Tak jauh dari desa itu ada sebuah hutan yang pohonnya besar-besar. Konon katanya, hutan itu keramat dan berhantu. Tak satu pun manusia berani menjejakkan kaki ke dalam hutan itu. Katanya, hutan itu ada penunggunya.

Sekarang kita kembali ke desa. Desa itu tidak besar, namun cukup banyak penduduk yang tinggal di dalamnya. Para prianya kebanyakan bekerja sebagai penggembala dan pemburu, sementara para wanitanya adalah peramu obat dan tabib yang handal. Meski demikian, tak satu pun dari bahan baku hasil produksi mereka diambil dari hutan keramat itu. Mereka memilih mencari hutan lain yang letaknya lebih jauh. Tidak hanya penduduk desa yang takut akan hutan itu, tetapi juga para penduduk yang tinggal di balik dinding kastil. Sang tuan tanah yang sangat suka berburu juga menghindari hutan itu. Ia selalu menasehati anak laki-lakinya, seorang ksatria muda yang tampan berambut pirang panjang sebahu, untuk tidak memacu kudanya melangkah masuk ke hutan itu.

Suatu hari menjelang musim dingin, Thorvard sang ksatria hendak mengusir rasa bosannya dengan berburu. Ia berpamitan pada sang ayah untuk pergi sejenak keluar kastil. 
"Ayah, aku sangat bosan. Aku hendak pergi berburu sebentar," katanya.
"Baiklah anakku, Thorvard, ingat selalu pesan ayahmu. Ayah tahu kau sudah beranjak dewasa dan mulai penasaran akan segala hal, tapi untuk hutan itu... itu sebuah pengecualian. Jangan kau pacu kudamu ke sana, karena hutan itu telah dikeramatkan untuk para dewa dan leluhur kita," pesan ayahnya.
Bersama dengan pesan itu Thorvard berangkat. Ia membawa serta dua pengawalnya yang setia dalam perburuan itu. Thorvard menunggang kuda hitam kesayangannya sedangkan para pengawal mengikutinya di belakang dengan kuda coklat mereka masing-masing. Derap langkah kaki kuda menggetarkan jalanan batu di balik dinding kastil, kemudian keluar menjauh mengikuti arah ketiga orang itu.

Jam demi jam berlalu, namun baik Thorvard maupun kedua pengawalnya tak ada yang berhasil mendapatkan buruan. Tak seekor burung atau pun kelinci yang berhasil mereka tangkap, apalagi babi hutan dan rusa. Entah mengapa binatang-binatang seolah terlalu malu menampakkan diri pada hari itu. Thorvard mulai merasa kesal dengan nasibnya yang kurang beruntung. Sementara itu para pengawal seperti cemas dan sedari tadi mereka terus memohon pada sang ksatria untuk pulang.
"Tuan muda Thorvard, apakah tidak sebaiknya kita pulang saja? Kita sudah berjam-jam mengelilingi hutan dan padang rumput tanpa hasil," kata salah satu pengawalnya.
"Apa kau bilang, Lars?! Kau memintaku pulang tanpa membawa apapun? Bodoh! Bagaimana bisa aku menerima pandangan seluruh penghuni kastil ---- Thorvard sang ksatria tidak bisa menangkap satu buruan pun. Huh!" gerutu Thorvard kesal.
"Tapi tuan muda Thorvard, lihatlah! Langit mulai gelap dan sebentar lagi badai akan turun. Badai musim gugur yang membawa angin musim dingin. Badai yang mematikan," Knut, pengawal kedua mencoba memberi saran.
"Tidak.., tidak.., aku tidak akan kalah dengan badai mana pun. Aku akan terus berburu sampai dapat, sekalipun dewa petir mengirimkan badai terdahsyatnya. Kalian para pengecut, silakan kalian pulang, aku akan mengadukan kalian pada ayahku bahwa kalian telah meninggalkanku!" kata Thorvard dengan nada mengejek. Para pengawalnya terdiam tak menjawab lagi. Dengan pasrah mereka mengikuti keangkuhan sang tuan muda sekalipun dalam hatinya merasa berat akan perkataan Thorvard tentang sang dewa petir.
 Sekonyong-konyong hujan turun dengan lebatnya. Bukan hujan salju, namun hujan air yang teramat sangat dingin. Angin bertiup kencang dan memperparah keadaan. Kedua kuda para pengawal Thorvard menolak dipacu, sehingga mereka terpaksa berhenti dan menunggu hujan sedikit mereda. Namun kuda hitam milik Thorvard, yang kebetulan berasal dari generasi kuda tertangguh di seluruh kerajaan, masih bersikeras menghadapi badai itu. Tampaknya ia tertular jiwa keras kepala tuannya. 

Thorvard memacu kudanya dan berusaha menembus badai. Namun angin semakin kuat bertiup dan menerbangkan segala hal yang dilewatinya. Kabut turun dari langit membutakan pandangan mata. Thorvard tidak bisa lagi melihat kejauhan. Jarak pandang matanya semakin terbatas. Tanpa ia sadari, langkah kaki kudanya telah membawa dirinya mendekat ke arah hutan keramat. Ketika kaki kudanya hendak melangkah masuk ke dalam lapisan pertama pepohonan hutan itu, ia terkejut ketika dilihatnya sebuah cahaya keperakan berjalan mendekat. Cahaya itu berhasil menahan kudanya untuk tidak melangkah masuk ke hutan. Thorvard mengusap kedua matanya, menyangka bahwa cahaya itu hanya ada dalam mimpinya. Namun cahaya keperakan itu begitu nyata dan semakin mendekat. Akhirnya Thorvard menyadari bahwa cahaya itu menampakkan siluet seekor binatang yang sangat gagah : serigala! Sang ksatria terpana memandang sosok sang serigala. Begitu terangnya cahaya perak yang dihasilkan bulu-bulunya, ia sampai dapat melihat keadaan di sekelilingnya. Hujan belum berhenti tetapi ia mampu melihat dengan jelas, bahwa kaki kudanya berdiri tepat di tepi hutan keramat. Sang serigala telah menyelamatkan dirinya.

Ia terkesima dengan pemandangan beberapa detik itu. Tanpa mampu berkata-kata, Thorvard memacu kudanya berbalik memunggungi hutan keramat. Ia bermaksud meninggalkan tempat itu ketika disadarinya sang serigala tidak lagi bercahaya. Dari balik bahunya ia melirik dan menemukan seekor serigala biasa berbulu abu-abu tua berdiri di belakangnya. 
"Tampaknya yang tadi itu hanya halusinasiku saja..., hahaa..., bodoh kau Thorvard!" katanya pada diri sendiri. "Masa kau tidak sadar, serigala itu hadiah dari dewa untukmu. Lihat, serigala itu besar sekali, pasti kau akan jadi kebanggaan setelah pulang dan membawanya."
Dengan segera Thorvard mengambil busurnya dan melesakkan panah secepat kilat yang langsung menembus tubuh sang serigala. Serigala itu menggeram kesakitan lalu rebah di tanah. Thorvard terdiam, kemudian perasaan bangga langsung menyelimuti hatinya. Ia tertawa sendiri memuji keberhasilannya.  

Sang ksatria turun dari kudanya hendak mengambil dan membawa pulang sang serigala. Tiba-tiba sebuah petir yang begitu kuat menyambar dirinya. Ia terpental menjauhi tubuh sang serigala dan kepalanya terantuk batu-batu di jalan hingga luka. Sembari mengaduh ia berusaha bangun dan bermaksud melanjutkan pekerjaannya ketika dilihatnya sosok terang lain telah berdiri di sebelahnya, menghalangi pandangannya dari sang serigala. Ia adalah sang dewi yang menguasai musim dingin dan perburuan. Sosok wanita berambut kepang emas dengan pakaian dari bulu-bulu hewan musim dingin itu berkata:
"Thorvard Sigmundson! Ksatria pemberani yang angkuh, tamak dan tidak punya hati. Telah kutolong dirimu dengan mengirimkan serigalaku untuk membantumu pulang, tapi karena ketamakan dan keangkuhanmu, kau justru membunuhnya! Kau tidak pantas hidup sebagai manusia. Maka atas nama semua dewa-dewi dan penghuni kerajaan langit, kukutuk kau menjadi serigala, seperti makhluk malang yang telah kau bunuh! Kau akan berjalan dengan empat kaki, menghindari kejaran pemburu, ditakuti dan dibenci semua makhluk selama mentari bercahaya di langit. Kau akan selalu terburu-buru meninggalkan kastil sebelum matahari terbit hingga tiada mampu lagi kau menjejakkan kaki di dalamnya!"
Petir yang sangat kuat menyambar lagi, melenyapkan sosok sang dewi dari pandangan kedua mata kuning menyala, mata Thorvard Sigmundson, sang serigala.

(bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar